Text
"You know that feeling when you already comfortable of being broken that you afraid to be whole again?"
"Yes."
"That's because it's easier to be broken. Because there is nothing more awful than that."
0 notes
Text
Kakak punya kebiasaan yang rutin ia lakukan setiap akhir bulan, yaitu memberi Ibu sebuah amplop coklat yang selalu ia taruh di meja rias milik Ibu. Isinya beragam, namun yang selalu ada adalah uang yang ia sisihkan dari gajinya.
Bulan ini kakak tidak bisa memberi Ibu amplop itu, maka aku pun mencoba menggantikan kakak. Aku memberi Ibu amplop persis seperti yang kakak sering pakai dan mengisinya dengan sepucuk surat yang berisi: ㅤ
"Untuk Ibu,
Apakabar, Bu? Baik-baik saja kan? Maaf kalau aku mencuri kebiasaan kakak yang paling Ibu suka. Aku tidak bermaksud mencuri peran kakak sebagai anak paling favorit Ibu, tapi tampaknya aku harus mulai belajar untuk memerankan itu.ㅤ
Ibu pasti tau sekali kalau setelah amplop ini, tidak akan ada amplop lainnya. Aku tidak akan meneruskan kebiasaan kakak ini, tentunya. Selain karena aku tidak punya pekerjaan yang gajinya sebesar milik kakak, aku juga tidak ingin Ibu terus mengingat kakak.
Aku bukannya hendak bersikap egois dan jahat. Aku tau sekali kakak akan selalu jadi favorit Ibu. Akan selalu jadi nama yang Ibu sebut saat arisan dan Ibu adu-adu kehebatannya dengan anak orang lain. Yang selalu Ibu ulang-ulang sebut "anakku sayang, anakku baik", bahkan di hadapanku sekalipun.
Tapi, Bu, kakak sudah tidak ada, dan Ibu harus perlahan ikhlas tentang itu.ㅤ
Aku menulis dan memberi amplop ini bukan untuk menipu keinginan Ibu, juga memberi harapan bahwa kakak akan kembali hidup dari kematiannya. Itu tidak akan pernah terjadi, Bu. Kita bukan Tuhan.
Aku melakukan ini berharap jika Ibu bisa perlahan sadar akan kenyataan bahwa kakak memang sudah berpulang kepada Tuhan, dan Ibu masih punya satu anak lainnya untuk Ibu jadikan tempat bersandar.
Aku memang tidak pernah sebaik kakak, tapi aku masih tetap anak Ibu. Aku mohon Bu, lihat aku sekali ini saja. Aku berjanji untuk berusaha dengan baik menggantikan kakak untuk menjaga Ibu. Untuk jadi anak Ibu." ㅤ
Aku menaruh amplop itu dengan pelan di atas meja rias. Ibu sedang tidur. Semoga saja Ibu melihat amplopku dan membaca suratnya setelah ia bangun. Dan semoga setelah membaca suratku nanti, Ibu bisa perlahan bangun dari mimpinya.
//
Was written for #storial30dayswritingchallenge #ramadanstori13.
May, 8.
0 notes
Text
Ia mengiring gadis kecil itu menaiki tangga bus. Walau gadis itu sudah cukup umur untuk seimbang, nalurinya sebagai ibu yang selalu ingin melindungi masih tetap mendominasi.
Kursi di baris paling belakang adalah tujuannya. Gelap, sepi dan tentunya tersembunyi. Bus malam sebenarnya sudah merupakan pilihan paling tepat untuk melarikan diri, tetapi ia tetap harus waspada sebagaimana ia tahu jika hidupnya senantiasa tidak tentram dari kemalangan.ㅤ
"Kita mau kemana, Bu?"ㅤ
"Kita akan ke rumah baru, di kota baru." ㅤ
Gadis kecil itu tampak mengedip bingung. "Tapi, rumah kita kan disini." ㅤ
"Iya, kita akan pindah." ㅤ
Gadis kecil itu tidak cukup puas. "Terus kenapa perginya malam-malam? Om juga nggak ikut." ㅤ
Mendengar nama itu disebut, mendadak dadanya panas. "Tidak apa-apa. Kita pergi berdua saja." ㅤ
Nadanya agak terdengar ketus, dan gadis kecil itu tampak tidak paham kenapa. ㅤ
"Ibu kok suka sekali sih dengan malam?" ㅤ
Susah payah mulutnya bersuara. "Maksudnya?"ㅤ
"Ibu selalu melakukan semua hal malam-malam," gadis itu menatapnya. "Kerja, pergi dengan Om, menerima tamu, berdandan cantik." Gadis kecil itu membuang pandang keluar jendela. "Sekarang pindah juga malam-malam."ㅤ
Ia tak sanggup menahan nyeri di dadanya. Rasanya ia ingin berteriak memarahi gadis itu karena berbicara terlalu benar. Selama ini ia kira peraturan jam tidur pukul 8 malam sudah berhasil untuk menutupi kegiatannya yang ia tidak pernah ingin gadis kecil itu tahu. Tapi, tampaknya hidup sudah benar-benar menyerah untuk memberinya sesuatu yang ia inginkan. ㅤ
"Aku pernah cerita ke temanku." Rupanya gadis itu masih belum puas untuk mencubit hatinya. "Dia cerita ke mamanya, dan mamanya bilang kalau..." ㅤ
Ia menggigit bibirnya. Sepertinya memang sudah tidak perlu kaget.ㅤㅤ
"...kalau Ibu itu wanita malam."ㅤ
Bus malam itu pun menyusuri jalan dengan ditemani tangis tanpa suaranya. Dengan laju sedang dan musik dangdut sayup-sayup, mencoba membawanya untuk pergi jauh dari malam. Mengantarnya menuju pagi dari malam yang ia janji tidak akan pernah terulang lagi.
Menjauh dari malam-malam yang tidak pernah ia kehendaki untuk terulang lagi.
//
Was written for #storial30dayswritingchallenge #ramadanstori12.
May, 8.
0 notes
Text
Menepi.
"Sa, gimana kalau gue sampai putus, ya?"
Gue yang lagi ngubek-ngubek tas nyari correction pen, berhenti untuk sepersekian detik, kemudian lanjut kembali dengan tidak menemukan apa-apa selain keterkejutan akan ucapan cowok dengan kemeja hitam di sebelah gue ini.
"Hah? Lo ngomong apa?" Gue pura-pura nggak denger sembari menoleh ke arahnya. Namanya Axel, btw. Cuma temen.
Dengan ekspresi kosong, ia balik menoleh. Gue bisa melihat pandangan menerawangnya yang cukup jauh. Kayaknya dia abis makan sesuatu yang aneh deh kayak minggu kemaren. Seperti minum susu basi yang dia nggak sadar ada di kulkasnya dan berakhir mules nonstop di kampus.
"Kalo gue putus dari Helena, gimana?"
Gue mengernyitkan dahi. Correction pen gue nggak nemu, letak kewarasan Axel gue juga nggak nemu.
"Random amat. Kenapa emang? Ada masalah?"
Axel mendadak mengubah posisi duduknya yang semula mengarah ke depan, sekarang menjadi menghadap gue. Aroma tubuhnya yang identik tercium menusuk alat pembau gue. "Tadi malam Helena bilang sesuatu."
Gue yang masih duduk menghadap depan, meliriknya sekilas. Sibuk membolak-balik lembar kertas double folio berisi tugas yang sebenernya udah gue cek lima kali, tapi terpaksa gue cek lagi karena alasan menghindari kontak terlalu dekat dengan Axel.
"Bilang apa?"
"Katanya dia minta waktu buat sendiri."
Ajaibnya gue cukup tertarik dengan topik ini. Maka pada lembar kelima, gue pun berhenti membalik kertas. Merubah posisi duduk dengan sedikit menyandarkan bahu agar jarak yang tercipta di antara kami cukup luas.
Gue menyipitkan mata. "Lo abis ngapain Helen?" Tanya gue sedikit terdengar posesif. Naluri wanita, kayaknya.
"Nggak ngapa-ngapain, demi Allah." Axel mengangkat tangannya ke atas, berikut dengan alisnya dan juga mata yang membulat. Seolah ia adalah penjahat yang ketahuan polisi. Tapi muka Axel nggak cocok buat jadi penjahat soalnya mukanya dia keliatan terlalu bloon. Yang ada malah dia yang disangka korban. Eh tapi kalo pencuri hati masuk ke klasifikasi penjahat, kayaknya bisa deh. Oke, maaf.
"Terus, kok dia ngomong gitu? Pasti ada penyebabnya."
Axel sedikit mengambil waktu untuk mengingat-ngingat, yang gue juga gunakan buat liatin wajahnya yang nyebelin itu.
"Oh.” Ia menabuh meja. “Akhir-akhir ini kita jarang ketemu, sih. Gue sibuk sama project gue, dan dia sibuk sama UKM." Axel kemudian menghela napas cukup panjang.
"Lo abis makan ayam geprek, ya?"
"Kok tau?"
"Kecium," gue melambaikan tangan. "Sorry. Terus?"
Axel menaruh perhatian lagi. "Dan dia bilang lagi banyak pikiran. Dia butuh waktu sendiri buat jernihin isi kepalanya dulu."
Gue mengangguk dengan tempo pelan, menghayati informasi yang dia suguhkan. Kepala gue emang agak sulit buat bekerja, apalagi buat nanggepin kasus percintaan orang-orang. Tapi setidaknya dengan Axel yang selalu curhat ke gue, sedikitnya menyampaikan bahwa solusi gue bagi dia pribadi cukup membantu. Atau alasan lain, Axel menggunakan solusi gue sebagai peringatan untuk ia melakukan sebaliknya.
“Oke, terus letak permasalahannya dimana?” tanya gue.
“Duh, lo bego ye.” Axel bergeser di tempat. Ia sudah sering mengatakan itu, dan gue udah nggak terganggu lagi. “Kenapa dia menghindari gue? Maksudnya, kalo dia punya sesuatu yang dipikirin dan itu menganggu, harusnya cerita ke gue lah? Kok menghindar? Gue pacarnya.”
Gue menyelipkan jari di sela kacamata untuk mengucek mata yang ternyata lama-lama jadi gatel karena liatin pacar orang mulu. “Lo mau dia cerita ke lo? Gitu?”
“Iya lah. Gue selalu ada kalau dia mau cerita, mah.”
“Oke, tahan dulu.” Gue mengangkat tangan ke depan wajahnya, dan dia malah menyentil telapak tangan gue. “Sakit anjir.” Gue mendesis dan dia mengendikkan bahu. Gue mencondongkan tubuh sedikit. “Begini ya, Axel sahabatku. Nih, gue tanya dulu. Menurut lo kenapa orang pergi liburan ke luar kota?”
Axel memonyongkan bibirnya dengan mata menyipit. Lima detik dia begitu dan gue udah siap mau nabok kalau sekiranya di detik ke enam dia masih begitu. Lucu banget. “Karena capek? Muak sama rutinitas?”
“Betul.” Gue bertepuk tangan. “Gampangnya adalah orang itu menghindari apa yang bikin pusing.”
“Terus hubungannya?”
Alis gue naik sebelah. “Masih belum nangkep?”
“Apaan?” Axel terdengar kesal.
“Helena minta waktu buat sendiri, Axel. Yang biasanya kalian saling komunikasi, tiba-tiba dia minta sendiri. Menurut lo apa kalo bukan dia lagi capek?”
Mendengar perkataan gue, Axel jadi termenung. Wajahnya menunjukkan kebingungan yang makin jadi.
“Katanya dia mau jernihin pikiran dan minta waktu sendiri. Bisa jadi apa yang jadi pikirannya itu adalah di lo, makanya dia menghindari lo dulu. Mungkin dia sedih atau gimana karena kalian lagi jarang ketemu,” kata gue lagi dengan perlahan supaya Axel ngerti. “Gue bisa relate sih sama Helena. Gue juga gitu soalnya.”
“Emang lo punya pacar?” Axel malah bertanya itu. Gue langsung nendang kakinya.
“Ya nggak harus pacar juga.”
Axel kemudian diam untuk beberapa saat. Posisinya sekarang sudah menghadap depan dengan tubuh yang sedikit melorot dari posisi duduknya. Tangannya ia jadikan bantalan untuk bersandar di tepian besi kursi. Wajahnya menatap lurus ke AC yang terpancang di dinding.
Gue mau nggak mau ikutan diam. Ini pertama kalinya bagi Axel, jadi gue sedikitnya paham kalau dia agak bingung. Dan gue tahu Axel. Disamping wujudnya yang lumayan kece itu, dia menyimpan ketidakpekaan yang sangat besar. Antara nggak peka dan bolot. Dia punya keduanya.
“Nggak apa-apa, Xel,” kata gue memecah keheningan di antara kami. “Kalo lo putus, ada gue kok yang siap menemani,” lanjutku.
“Nggak usah hibur gue.”
“Eh, gue serius.”
Axel mengeluarkan suara cibiran. “Alah. Siap menemani pantat gue. Lo aja sering ngilang nggak jelas. Menghindar mulu kaya narapidana. Giliran ditannya cuma nyengir. Lo tuh aneh. Mending lo diem aja.”
Gue terkikik geli. “Lah, ngomel lo?”
“Iye. Lo pikir apa gue nggak capek apa nyari-nyari lo mulu?” gue bisa mendengar nada kekesalan yang sesungguhnya dalam ucapan Axel. “Kemaren lo ngehindar, sekarang Helena. Cuma kalian berdua cewe yang gue peduliin, tapi nyebelin semua.”
Gue masih tertawa mendengar omelannya. Yang lambat laun menyisakan keheningan di antara kami. Axel dengan pikiran dan kekesalannya. Dan gue yang juga ikut kepikiran karena ucapannya. Gue melirik kecil pada Axel, kemudian menghela napas.
“Xel,” kata gue. “Maaf ya kalo lo beneran kesel.”
Axel nggak menyahut. Masih menutup matanya seperti orang tidur.
“Kemaren itu gue cuma lagi banyak pikiran. Gue butuh waktu sendiri.”
“Lah, sama aja kayak Helena,” sinisnya.
“Ya, kan udah gue bilang. Gue sama Helena tuh kembaran.”
Nggak sih. Muka kami beda jauh. Tapi masalah kami sama.
“Gila kali lo. Cakepan Helena.”
Dosen kami akhirnya masuk. Secara tidak langsung menghentikan sesi ngobrol kami yang lumayan serius tadi. Kelas pada akhirnya dimulai. Axel memperhatikan dosen, entah serius entah tidak. Sementara gue juga berusaha buat memperhatikan, tetapi perhatian gue sama sekali nggak menancap pada penjelasan yang dipaparkan.
Kalimat-kalimat Axel barusan terus terngiang-ngiang di kepala gue. Dari yang dia ucapkan tadi, hingga yang pernah dia ucapakan di masa lampau. Semuanya kemudian bercampur dengan tindakan-tindakannya kepada gue. Semuanya tiba-tiba datang dan bergerumul jadi satu. Pikiran gue kayaknya udah mulai kemana-mana lagi.
Mengintip Axel untuk yang terakhir kalinya, sama seperti Helena, kayaknya gue juga butuh waktu sendiri buat berpikir jernih.
//
October, 6.
0 notes
Text
Cari.
Ia punya satu kebiasaan yang rutin ia lakukan, dan kebiasaan tersebut adalah satu-satunya hal yang paling tidak kusuka darinya. Aku selalu menyukainya, setiap yang ia punya. Tapi untuk kebiasaannya ini, aku masih belum bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa.
Ia gemar sekali menghilang. Bukan menghilang yang sepele seperti pergi ke kamar mandi atau ke minimarket sesaat. Ia menghilang yang benar-benar menghilang.
Hilangnya yang pertama kali berdurasi satu minggu. Saat itu aku kira ia tengah sibuk dengan motor yang baru ia beli. Mendekorasinya atau apalah itu yang tidak kupaham. Aku kira ia hanya terlalu asik sehingga lupa untuk mengirimiku pesan seharian. Besoknya aku datang ke kediamannya, dan ibunya berkata jika ia pergi dengan motor itu untuk beberapa hari.
“Dia pergi ke tempat temannya dan menginap beberapa hari.” Ibunya mengatakan dengan bingung. Mungkin mengira aku sudah tahu. “Dia tidak bilang?” dan aku hanya menggeleng dengan senyum tipis. Saat itu hubungan kami baru jalan dua bulan dan hal itu adalah pengalaman yang baru darinya. Maka aku pamit pulang lalu kemudian duduk di kamarku dengan perasaan aneh.
Hilangnya yang pertama kali berhasil kutemukan ketika aku tidak sengaja melihatnya di toko buku. Waktu itu aku sudah sangat hilang akal karena sudah seminggu semenjak ia tidak mengabariku. Aku lihat dia berdiri di rak komik, seperti tengah menunggu sesuatu. Aku dengan ragu menghampirinya. Ia tersenyum sangat lebar sambil setengah berteriak memanggil namaku saat itu.
Itu yang pertama. Hilangnya yang kedua berdurasi lebih lama. Dua minggu. Ibunya bilang ia tidak kemana-mana, tetapi beberapa kali aku datang dan bertanya ia selalu tidak pernah ada di rumah. Kali ini aku memberanikan diri bertanya pada teman-temannya, dan jawaban yang datang tetap sama. Ia seperti menghilang dan tidak bertemu siapa-siapa. Di tengah bingungku, teman-temanku juga terus rajin menyetor praduga-praduga yang berbeda tiap harinya. Mulai dari dia yang selingkuh sampai memiliki sakit serius yang diam-diam ia sembunyikan. Tidak mau kalah, aku juga ikut nimbrung. Apa ia, keluarga dan teman-temannya sepakat membohongiku?
Hari ke-lima belas dan aku tidak sengaja bertemu dengannya di kafe tempat kita sering menghabiskan waktu. Ia tengah duduk sendirian dengan secangkir kopi dan roti bakar favorit kami sambil membaca buku. Aku kali itu tidak ragu menghampirinya.
Dia menyambutku sama meriahnya dengan hilangnya yang pertama.
Kali ini hilangnya yang ketiga, dan sudah terhitung sebulan berlalu. Hubungan kami sudah jalan satu tahun dan harusnya sekarang sumber informasi sudah lebih banyak dan leluasa untuk kucari. Namun ternyata informasi kali ini jauh lebih mudah untuk kudapatkan daripada yang sebelumnya.
“Dia ke rumah saudara yang di luar kota, Ra. Lagi liburan semester, makanya ke sana.”
“Kapan pulangnya, Bu?”
“Katanya sampai liburan semester berakhir. Kalian libur dua bulan, kan?”
Saat tahu itu, aku tidak bisa untuk tidak marah. Maka seminggu pertama aku mencoba untuk tidak menghubunginya dan sibuk mengubur diri dalam kubangan rasa marah. Aku tidak masalah jika dia memang ingin berlibur jauh, tetapi yang membuatku marah adalah karena ia seolah tidak merasa meninggalkan apapun. Apa aku ini bukan apa-apa untuk minimal bertaruh saat pergi?
Jalan tiga minggu dan egoku mulai luntur. Aku mencoba menelpon dan mengiriminya pesan beberapa kali. Nihil. Ia tidak pernah mengangkat atau membalas, walau disaat ponselnya nyala dan panggilanku masuk.
Hari ini sudah hari ketigapuluhtiga, dan aku kembali mencoba menghubunginya. Dering panggilan tersambung dan tiba-tiba suaranya yang sudah lama tidak aku dengar, menguar masuk ke indra pendengeranku.
“Amira.”
“Ketemu.”
Aku senang bukan main. Ibarat menemukan harta karun yang bisa menghidupi tujuh keturunanku.
Terdengar jeda yang cukup lama. “Nggak ketemu, Amira.”
Masih dengan suka cita, aku menjawab. “Kamu kan jauh.”
“Makanya aku bilang nggak ketemu.”
“Tapi sebelum-sebelumnya aku selalu nemuin kamu, kan?”
“Itu semua karena sengaja, Amira.”
Dahiku berkerut. Suka citaku pudar sedikit.
“Toko buku, kafe, itu tempat-tempat yang selalu kamu datengin,” katanya. “Aku sengaja ke sana, karena tahu kamu akan ke sana.”
“Tapi aku selalu nyari kamu.”
“Tapi akhirnya aku yang sengaja memunculkan diri, kan?”
Aku sungguhan bingung. “Kali ini kenapa menghilangnya ke sana?”
Terdengar tarikan napas di ujung sana. “Ini tempat yang nggak bakal kamu kunjungi.”
“Kenapa?”
Sudah jalan satu tahun hubungan kami, dan aku tidak pernah mendengar alasan kenapa ia gemar menghilang dan dicari.
“Karena aku nggak mau kamu temui.”
Sudah satu tahun dan aku selalu takut bahwa ia akan hilang lalu tidak kembali.
“Amira.”
Ia memanggil yang terasa sangat asing.
“Jangan cari aku lagi, ya?”
Sudah satu tahun dan ternyata aku baru menyadari bahwa selama ini ia sudah lama menghilang.
Ternyata memang sejak awal aku tidak pernah berhasil menemukan apa yang ia pinta untuk cari.
0 notes