cinqnovembre
Carpe Diem
231 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
cinqnovembre · 6 years ago
Text
I love Indonesia too much to be living abroad
1 note · View note
cinqnovembre · 6 years ago
Text
Tentang Mencintai dan Dicintai: Sebuah opini
Kenapa seseorang bisa mencintai saya, tapi orang lain tidak? Padahal saya memberikan rasa sayang dan perhatian yang sama. Kenapa hal-hal yang saya sebutkan berarti untuk satu orang, tapi tidak untuk orang lain?
Dua hal.
Satu, People only see what they are looking for.
Gak ada satu realita yang sama. Sebuah masa, sebuah kejadian, bisa berarti beda untuk orang yang berbeda.
Gestur saya mengingatkan akan sesuatu, misalnya. Untuk orang yang jatuh cinta kepada saya, mungkin ia menghargai itu. Sebuah perhatian, katanya. Tapi untuk orang lain, bisa jadi ini adalah gangguan. Terlalu berisik, mungkin.
Jadi tergantung. Apa yang ia cari? Apakah ada di saya? Apakah engga?
Kalau ada, yang saya lakukan menarik untuk dia. Suka, lalu mungkin sayang.
Kalau enggak, mau saya memberikan yang terbaik dari diri saya pun, dia tidak akan peduli. Bukan yang dia cari.
Kedua, dan ini di luar kendali kita.
Adalah
Perasaan.
Seperti cinta pada pandangan pertama. Atau bertemu dan langsung tau bahwa dia. Atau mungkin banyak hal yang sebenarnya tidak kita cari. Tapi entah kenapa masih sayang.
‘Entah kenapa’
Faktor non-duniawi yang bisa memutarbalikkan segalanya. Menghancurkan segala teori. Melawan segala stigma. Entah kenapa, sebenarnya kenapa?
Ya sebenarnya, Tuhan campur tangan. Itu aja.
0 notes
cinqnovembre · 6 years ago
Text
Sesak.
Di antara keheningan dan kebisingan, di antara semangat dan rasa lelah, di antara kantuk jam 7 pagi dan kesusahan tidur jam 10 malam.
Aku kira karena rokok. Satu batang per hari. Penutup hari yang lelah. Di balkon, bersama lembayung dan lantunan music indie. Satu batang, gak sampe 3 menit. Hanya untuk melepaskan sejengkal penat, melapaskan sebongkah beban dari pundak.
Tapi bukan.
Aku kira karena lelah. Rutinitas baru, tidak mudah. Ku cari waktu luang untuk tidur berjam-jam. 9, 10, 11 jam. Badanku mungkin lega, tapi hatiku masih sesak.
Ternyata juga bukan.
Di bawah siraman air mandi, hatiku terasa berkerut. Makin sakit, makin sesak. Air mataku melaju turun, tidak ketara di antara air sabun lainnya. Sedih sekali, tapi aku tak tau mengapa.
Sampai satu saat, jariku bermain lincah menekan layar ponsel. Membuka satu aplikasi ke lainnya. Samapai sebuah gambar terpancar di sana. Fotoku, di Indonesia. Tersenyum, bahagia.
Kalai sekarang sesak, di foto itu, adalah kebalikannya sesak. Apapun namanya. Lega, bahagia, senang, penuh cinta. Aku bersama orang-orang yang paling penting di hidupku. Aku sangat bahagia dekat mereka.
Baru aku sadar. Ini sesak, karena rindu.
“it’s just a call away. Kan sekarang udah ada chat dan video call,”
Aku tau. Tapi aku manusia bukan malaikat. Kadang memang tidak pernah puas. Kadang tidak cukup. Aku ingin bersama mereka, secara utuh. Aku ingin melihat mereka, menyentuhnya. Semua ucapan dan ungkapan rindu rasanya sudah tidak cukup lagi. Perasaanku terlalu kuat dan kompleks untuk dirangkum dalam satu untaian kalimat rindu. Tidak cukup.
Aku rindu. Rindu rumah. Bukan bangunannya atau letaknya. Aku rindu rumah; di mana orang-orang yang aku sayang berada. Aku rindu mendengar isi otak mereka setiap kapanpun bisa. Aku rindu berada di sekitar mereka dan melihat apa yang mereka lakukan. Aku rindu ada. Aku rindu mereka ada dan aku ada dan kita ada bersama.
Rasa rindu ini mengundang pertanyaan yang sama berputar-putar di kepalaku.
“What am I doing? Is this worth it?’
Setiap hari, aku bertemu banyak orang. Bercengkrama, bertukar pikiran, belajar. Tapi dari begitu banyaknya, aku tidak bertemu dengan satupun yang aku ingin. Orang-orang yang paling ingin aku temui begitu jauh. Begitu rindu.
Bagaimana menghilangkan sakit ini? Bagaimana rindu ini hilang?
Aku rindu rumah.
Aku rindu kamu.
0 notes
cinqnovembre · 6 years ago
Text
Alasan
Gue percaya bahwa alasan itu lebih penting daripada perbuatan. Emang sih, misalnya, orang gak sengaja mukul, eh kepukul. Ya yang kena pukul bakal tetep sakit aja walau niatnya gak gitu sih. Tapi, gak fair juga marah ke yang mukul kan. Kan ga sengaja. Mungkin dinasehatin aja untuk lebih hati-hati.
Itu contoh kecil sih. Tapi gitulah kira-kira fondasi pemikiran gue. Menurut gue, cukup menarik kalau diterapkan ke kehidupan sehari-hari pada masa ini.
Misalnya, lo ngeliat orang kok kayak pamer banget gitu di Instagram. Ni orang biasanya diem-diem aja, eh tiba-tiba upload lagi makan enak, atau lagi beli barang bermerk, atau apapun lah yang ngebuat lo mikir, “kok pamer sih”
Nah, padahal, menarik banget kalau lo telusuri alasan di belakangnya. Soalnya, hal ini baru aja terjadi sama diri gue sendiri.
Jadi, gue baru aja upload foto makan siang gue yaitu steak, salad, dan kentang. Setelah beberapa jam gue liat lagi, kok kayak pamer gitu ya. Apalagi caption gue “ini nih yang memotivasi ke kantor”. Bisa banget gue dinyinyirin dan dicap pamer. Jujur, gak peduli sih. Karena orang-orang yang tau gue, pasti ngerti kenapa gue upload itu. Atau seenggaknya, gak langsung jump into conclusions.
2 minggu ke belakang, gue demot banget di tempat kerja gue. Baru hari ke 2 aja udah nangis. Gue gatau mau ngapain, ga pewe sama lingkungannya yang kebanyakan berbahasa belanda. Ternyata, walau bahagia dapet kesempatan kerja di luar negeri, ya tantangannya juga sebesar bahagianya. Orang tua, keluarga, pacar, dan teman-teman terdekat gue udah kebal kali kupingnya denger gue nangis dan ngeluh terus setiap hari.
Sampai, awal minggu ini, gue ada workshop dengan anak-anak di program yang sama dengan gue. Long story short, gue merasa lebih baik karena jadi sadar bahwa mereka melewati tantangan yang mirip dengan gue, dengan versinya masing-masing. Dari acara itu, gue jadi dekat dengan beberapa orang dan salah satunya adalah yang lunch sama gue hari ini. Gue seneng ada temen baru dan bias lunch bareng. Ditambah good weather dan emang makanannya gue suka, ya gue jadi terdorong untuk mengupload. Maksud nya mau pamer? enggak juga. Gue Cuma mau ‘merayakan’ sedikit bahwa ada hal baik di tempat kerja gue ternyata.
Nyokap, temen-temen dan pacar gue ngebales foto itu dengan positif-positif aja
“Itu dimana? Berapa harganya? Ih enakk”
“Alhamdulilah ya sayang akhirnya bisa enjoy di kantor”
“Tuhkann, makanan sana ada yang enak juga”
 Mereka tau, bahwa niat gue bukan pamer. Tapi itu car ague tersenyum di hari-hari baik gue.
 Ini contoh kecil tentang upload-an foto gue. Coba kalau kita semua menerapkan mindset ini ke segala hal yang orang-orang lakukan. Sebelum ngejudge, mungkin berpikir sejenak bahwa mungkin, mungkin saja, ada arti lain dari gerakan mereka. Ada maksud dari gesture mereka.
Sedikit permintaan tolong, “tolong, saya kesepian”
Sedikit penyampaian rasa, “akhirnya, saya senang”
Sedikit pertanyaan, “apa yang harus saya lakukan?”
 Mungkin aja, yang lo kira gak tepat. Karena, lo gak pernah melewati yang dia lewati kan.
 Semoga kita semua bisa cukup dewasa untuk menghargai perasaan seseorang. Karena bisa banget, orang yang tersenyum paling lebar adalah orang yang paling sedih di ruangan itu.
  Mechelen, 19 September 2018.
Nadhira.
0 notes
cinqnovembre · 6 years ago
Text
Antasari
Jakarta, Juli 2018.
Jembatan layang antasari tidak pernah seindah malam itu. Aku selalu menyukai pemandangan Jakarta dari mobil setiap melewatinya. Tapi malam itu begitu spesial.
Kamu, aku, tangan kita yang menemukan rumahnya di satu sama lain, mobil Jazz-mu dengan wangi khasnya, dan lagu ‘Argumentasi Dimensi’. Kita tidak banyak bicara malam itu. Mungkin hal yang sedikit aneh untuk dua orang yang terkenal dari kepiawaiannya berbicara. Tapi di sanalah kita, menikmati tenang bersama.
Petikan gitar di awal lagu membuatku hatiku berdebar 2x lebih cepat. Bibirku pun membentuk ke atas dengan sendirinya. Ini lagu pertama yang aku dengar bersamamu. Aku menoleh ke arahmu. Kamu menjawab senyumku sambil tetap menatap jalanan. Tanganku hangat, karenamu.
Keheningan terpecah saat bagian ‘huh’ di lagu ‘Argumentasi Dimensi’ muncul. Kamu selalu menganggapnya lucu. Aku juga. Tapi menurutku juga filosofis. Seperti suara orang yang menghela napas ditengah-tengah usahanya. Sedikit lelah, tapi tidak menyerah
“Usap terus keringatmu, jangan gugur dan terbunuh”
Menurutku cocok dengan lirik bagian tersebut
Kamu mengiyakan pendapatku dengan senyuman khasmu.
Turun dari jembatan layang, kamu mengharapkan macet. Iya, dua warga Jakarta tercinta mengharapkan macet. Jika kota tersebut punya jiwa, mungkin ia bingung mendengar permintaan yang janggal. Di saat semua orang mengutuk kepadatan, kami malah berharap untuk terus berada di jalan lebih lama lagi.
Mobilmu melambat, lalu berhenti. Macet. “Akhirnya,” ujarmu.
Kakimu sigap menginjak pedal rem, dan tanganmu menyalakan rem tangan (iya, menyalakan. Karena di mobilmu, rem tangannya bukan diangkat seperti biasanya, tapi hanya tombol yg perlu ditarik ringan).
Lalu kamu menatapku. Memelukku. “Gantian,” katamu. Selama ini aku yang mudah untuk memelukmu, karena tidak perlu melihat jalanan dan menyetir. Di saat Jakarta memberikan rehat sejenak, kamu hanya ingin menggunakan waktu itu dengan mendekapku.
“Akan rindu,” bisikmu pelan. Aku mengelus kepalamu. Aku tahu, aku juga akan.
“Udah maju tuh,” aku mengingatkan. Dengan berat hati kamu memulai menyetir lagi. Lalu belok ke kiri, bukan ke kanan menuju rumahku. Berputar dulu, katamu. Ingin lebih lama, jawabku setuju.
Aku menjulurkan tanganku, menginginkanmu menggenggamnya lagi. Tapi tidak. Tanganmu sudah menyentuh pipiku, lalu mendekap daguku, menggerakan wajahku menghadapmu.
“Sayang,” ucapmu.
1 kata yang meleburkan segala perasaanku. Segala sakit, segala resah, segala gundah, terikat dalam satu kantung dan keluar sekaligus dari hembusan napasku. Aku tersenyum, tidak menjawab. Kamu sudah tau apa yang akan aku jawab.
Macet lagi. Aku masih menghadapmu. Menginjak pedal, mengangkat rem. Tapi kali ini kamu tidak memelukku. Tapi mengecup pipiku. Sebelum kamu mundur terlalu jauh, aku yang gantian mengecup pipimu. Lalu pelan-pelan mengarah ke bibirmu.
Mencium kamu. Tenang.
Lalu aku mundur, melihat matamu. Sedih. “Berapa lama lagi bisa kayak gini?” tanyamu, mungkin retoris, sambil membenarkan rambutku.
Sekitar satu bulan lagi. Cuma satu bulan, untuk menghabiskan waktu sama kamu. Untuk memupuk fondasi. Untuk bersiap-siap jauh.
Aku rindu kamu. Aku ingin di Antasari lagi, macet lagi, ‘Argumentasi Dimensi’ lagi, menggenggam tanganmu lagi. Aku ingin hari lelahku diisi denganmu. Dengan matamu yang melihatku seperti dongeng menjadi nyata. Dengan sentuhanmu yang meredamkan segala ribut. Dengan senyumanmu yang bersinar bahkan dalam kelam. Dengan suaramu yang lebih indah dari ‘Argumentasi Dimensi’.
Aku rindu.
0 notes
cinqnovembre · 6 years ago
Text
Let it
I’m gonna let it slide Let it hurt Let it feel Let it smile Let it cry I will not fight it I’m gonna let it be
0 notes
cinqnovembre · 7 years ago
Text
Paradoks perasaan
Perasaan itu hal yang paling simpel, tapi di saat yang bersamaan paling kompleks di dunia ini. Paling suci, tapi juga paling kotor. Paling indah, tapi juga menyeramkan. Perasaan itu hal paling selamanya juga paling sementara. Perasaan itu... mungkin tidak seharusnya ada di dunia ini. Atau malah basis dari segalanya di dunia ini?
0 notes
cinqnovembre · 7 years ago
Text
Calm down, heart
1 note · View note
cinqnovembre · 7 years ago
Quote
Obatnya sebenarnya mudah, ketemu kamu. Itu aja. Segala lelah, letih, penat, hingga perih, mendadak hilang dan jadi terasa jauh lebih lega.
(via mbeeer)
Makanya saat ada yang bilang “jangan ketemu dia lagi”, aku gak bisa
1K notes · View notes
cinqnovembre · 7 years ago
Text
The fifth night
I did lean
You did move
We did touch
We forgot our places
We forgot who we are
For stolen kisses
For a subtle gesture of “I want you”
0 notes
cinqnovembre · 7 years ago
Text
So close, so far
A gentle move of leaning from me would land my lips at yours.
A gentle move of forward from you would stick our chests together.
But as coward as I am,
And as I know my place,
I didn’t lean
And as coward as you are,
And as you know your place,
You didn’t move
And there we are,
Face to face,
Breathing on each other’s face,
Closing our eyes,
And did nothing
I move inside the blanket,
My feet touching yours
A subtle hint for you
You move closer and stop
Hands tied to your chest
A subtle answer of “I can’t”
Again, there we are
Sleeping another night away
Hoping that just somehow,
Morals are not in the way
There we are,
Two creatures curling towards each other
Yet untouched of each other
So close, yet so far
0 notes
cinqnovembre · 7 years ago
Text
Untuk kesekian kalinya terjebak dalam sebuah “ketidak-bisaan”
Kapan datang masanya saat bisa? Saat boleh? Atau memang gak akan pernah ada masanya? Sampai kita sendiri berani untuk membuatnya?
0 notes
cinqnovembre · 7 years ago
Text
Karena tidak bisa;
Karena tidak boleh.
Pembohong yang Perasa
Semua juga tau kita ini sudah lebih dari teman. 
Segala apa yang kita lakukan, bagaimana aku menatapmu, bagaimana kau menanggapiku, juga bagaimana pertemuan-pertemuan palsu yang kita karang hanya untuk saling melepas rindu itu,
Namun tetap saja tak ada salah satu dari kita yang berani mengucap sayang duluan.
924 notes · View notes
cinqnovembre · 7 years ago
Text
A mistake done more than once is a choice
Now I know you want me. And you know I want you.
0 notes
cinqnovembre · 7 years ago
Text
Kadang beberapa hal memang tidak bisa dicerna oleh otak. Kadang cukup dirasain, disyukurin, dan diletakkan di situ saja. Tanpa tanya, tanpa follow up, tanpa mencoba untuk merasionalkan.
Mungkin memang tidak semua hal harus rasional
0 notes
cinqnovembre · 7 years ago
Text
I love hearing my name coming out from your mouth
0 notes
cinqnovembre · 7 years ago
Quote
We talk about love in a definite sense. Love like it is water and our glasses are always full. We decorate it in frills, put it in Hallmark commercials, call it an ending and leave no room for a story. Sometimes I am left wondering how it could have been love if it didn’t last. How is it love if our hands calloused against each other’s bodies until they didn’t fit together anymore? I think we are wrong when we talk about it as a destination. If love is a place, nobody is ever in it. We will always be wanderers of an infinite map, searching for a town that blinks in and out, from air to dust from abstract to existence. I don’t know why we think love comes in the flesh or why we expect it to stay. Sometimes love is just a flicker in the dark that doesn’t burn, and in a world that keeps us hurting, sometimes that flicker is all we need.
a love that doesn’t last (via ink-trails)
“...and in a world that keeps us hurting, sometimes that flicker is all we need”
94 notes · View notes