Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Pendewasaan
Semakin dewasa aku semakin sadar bahwa rupa bukanlah tolak ukur dalam mencintai.
Bahwa harta dan tahta bukanlah pondasi dalam membangun rumah tangga.
Bahwa cinta bukanlah sekedar rasa ingin memiliki namun cinta adalah pengorbanan dan penerimaan ketika kita ingin bersamanya berarti kita harus siap menerima segala kurang dan lebih dirinya.
Harta dan tahta tidak menjamin kehidupan seseorang akan bahagia, tapi tentang etitude bagaimana kecintaan dia kepada Allah dan Rasulnya, dan bagaimana kecintaan dia kepada ibunya adalah cerminan cinta dia kepadaku menjadikan aku satu-satunya cinta dalam hidupnya kelak :')) tidak ada yang tidak benar ketika menjadikan "Iman" sebagai pondasi meraih surga dan ridho Allah dalam mencari keberkahan hidup didunia karena disitulah letak kebahagiannya.
Dalam penantian "sendiri" identik dengan kesepian. Kata siapa sendiri itu sepi? Justru ketika masih sendiri menjadi peluang agar kita lebih gampang untuk bersosialisasi diri, membenah diri dan berintropeksi diri. Menjaga untuk yang terjaga agar kelak lebih terasa manisnya ketika sudah bersama dalam ikatan suci.
Tasikmalaya, 22 Juli 2020
33 notes
·
View notes
Text
Self awareness & Intelectual curiousity
Masih tentang CUPYTS: Cinta Untuk Perempuan Yang Tidak Sempurna by Najeela Shihab sebagai host dengan Maudy Ayunda dan Gita Savitri sebagai partner diskusi. Topiknya adalah “Kepinteran” dan Kepintaran. Kurang lebih diskusinya seperti ini:
Mba najeela : istilah kepinteran ini, kalian melihat orang yang pinter itu gimana?
Gita : menurutku, perempuan yang pinter itu yang paham worth-nya dia, dia yang punya self-concious, dia yang mengenal dirinya sendiri, dan yang cerdas yang tau kapan mesti memprioritaskan dirinya.
Maudy : aku juga setuju, self-awareness itu penting untuk mengenal diri sendiri. Nambahin juga, kepintaran itu adalah keinginan untuk mengembangkan dirinya, to have that growth mindset.
Lalu part lain mengenai relationship,
Mba najeela : dalam love-relationship pernah diputusin cowok gara-gara kepinteran enggak?
Maudy : aku cukup sering sih dapet kalimat “mungkin lu kepinteran kali, jadinya intimidating” meskipun secara prinsip itu kurang tepat ya. Tapi, sebagai seseorang yang mendengar mindset itu dari kecil, ya takut juga. Kalau kita mikir bahwa perempuan yang kepinteran itu sulit dapet jodoh, berarti kita berasumsi bahwa pasangan yang baik adalah yang memilki hierarchy dalam intellegence, and that’s not the value. Justru partnership yang baik adalah komunikasi yang baik, visi-misi yang sama, alignment, dll.
Gita : kalau aku, dari awal prinsipku adalah gak ada hierarchy soal intelektual, yang dipertemukan dengan suami yang melihat masculinity itu bukan yang memandang perempuan inferior (perempuan gak boleh lebih pinter, gak boleh terlalu independen, yang bisa ngebuat pria loose his purpose to be superior, “lalu saya buat apa?”). Dia melihat dirinya sebagai human being.
Lalu membahas kriteria pasangan Maudy Ayunda (dan mungkin perempuan diluar sana),
Mba nejeela: kalau mau jadi pacarnya maudy, mesti lebih pinter dari kamu enggak?
Maudy : siapa yang lebih pinter itu sulit banget buat di-compare, are we talking about IQ? kapabilitas berpikir secara logis? atau skill lain? justru aku lebih nyari orang yang punya self-awareness dan intelectual curiousity yang tinggi.
Dan kalimat Mba najeela yang menarik adalah:
The best relationship is actually makes you smarter, wherever you start. If you are in good relationship, you push each other to be better, to learn together. If you are a good couple, then you will be smarter cause of your interaction each other.
29 Agustus 2020
883 notes
·
View notes
Photo
Kau sudah dewasa ‘kan?! Seharusnya, kau sudah bisa melihat mana laki2 yg layak untuk diseriusi, dan mana laki2 yg tidak pantas diberi hati. Hingga kau bisa bertindak tegas menyelamatkan dirimu dari kegalauan yg berkepanjangan ini. Maka berhentilah bertahan, pd seseorang yg hanya membuat dadamu semakin sesak setiap hari.
Selengkapnya baca di pict ♥️
📝@gadisturatea || Riany Az-Zahra
#menujuhalal https://www.instagram.com/p/CEYErU8l3se/?igshid=fkrrnu33sz0y
51 notes
·
View notes
Photo
#MenujuHalal #Mempersiapkandirimenantijodohterbaik
__
Ketika banyak wanita di luar sana yang mendapatkan suami yang kasar, Alhamdulillah Allah masih memberikan kita kesempatan untuk memilih laki-laki terbaik untuk dijadikan pasangan.
Ketika banyak wanita di luar sana yang menikah tanpa ilmu, Alhamdulillah Allah masih berikan kita kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam pengetahuan tentang agama, sebagai bekal menuju pernikahan.
Ketika banyak wanita di luar sana yang akhirnya berpisah karena tidak sabar menghadapi mertuanya yang buruk akhlaknya, Alhamdulillah Allah masih memberikan kita kesempatan untuk belajar memperluas ruang kesabaran di dalam hati agar mampu menghadapi siapapun, dan dalam keadaan apapun.
Lihatlah betapa sayangnya Allah kepada kita ..
📝@gadisturatea RIANY AZ-ZAHRA
Jangan Lupa Tag Sahabatmu juga ♥️ https://www.instagram.com/p/CEWlZK6lYWV/?igshid=1bqkax3kkkhw1
71 notes
·
View notes
Text
KEDEWASAAN EMOSI
Salah satu topik yang agak jarang diangkat di Indonesia adalah kedewasaan emosi (emotionally mature).
Yang saya lihat, kebanyakan orang di Indonesia beranggapan bahwa kedewasaan emosi ini akan berjalan seiring dengan umur.
Padahal, berdasarkan pengalaman diri sendiri, kalau nggak sering-sering dikulik, kita jarang sadar bahwa secara emosi, kita kurang dewasa.
Setidaknya, ada 20 tanda kedewasaan emosi seseorang, diantaranya adalah:
1. Sadar bahwa kebanyakan perilaku buruk dari orang lain itu akarnya adalah dari ketakutan dan kecemasan – bukan kejahatan atau kebodohan.
2. Sadar bahwa orang gak bisa baca pikiran kita sehingga akhirnya kita tau bahwa kita harus bisa mengartikulasikan intensi dan perasaan kita dengan menggunakan kata-kata yang jelas dan tenang. Dan, gak menyalahkan orang kalau mereka gak ngerti maksudnya kita apa.
3. Sadar bahwa kadang-kadang kita bisa salah – dan bisa minta maaf.
4. Belajar untuk lebih percaya diri, bukan karena menyadari bahwa kita hebat, tapi karena akhirnya kita tau kalau bahwa semua orang sebodoh, setakut, dan se-lost kita.
5. Akhirnya bisa memaafkan orang tua kita karena akhirnya kita sadar bahwa mereka gak bermaksud untuk membuat hidup kita sulit – tapi mereka juga bertarung dengan masalah pribadi mereka sendiri.
6. Sadar bahwa hal-hal kecil seperti jam tidur, gula darah, stress – berpengaruh besar pada mood kita. Jadi, kita bisa mengatur waktu untuk mendiskusikan hal-hal penting sama orang waktu orang tersebut sudah dalam kondisi nyaman, kenyang, gak buru-buru dan gak mabuk
7. Gak ngambek. Ketika orang menyakiti kita, kita akan (mencoba) menjelaskan kenapa kita marah, dan kita memaafkan orang tersebut.
8. Belajar bahwa gak ada yang sempurna. Gak ada pekerjaan yang sempurna, hidup yang sempurna, dan pasangan yang sempurna. Akhirnya, kita mengapresiasi apa yang 'good enough'.
9. Belajar untuk jadi sedikit lebih pesimis dalam mengharapkan sesuatu - sehingga kita bisa lebih kalem, sabar, dan pemaaf.
10. Sadar bahwa semua orang punya kelemahan di karakter mereka – yang sebenarnya terhubung dengan kelebihan mereka. Misalnya, ada yang berantakan, tapi sebenernya mereka visioner dan creative (jadi seimbang) – sehingga sebenernya, orang yang sempurna itu gak ada.
11. Lebih susah jatuh cinta (wadaw). Karena kalau pas kita muda, kita gampang naksir orang. Tapi sekarang, kita sadar bahwa seberapa kerennya orang itu, kalau dilihat dari dekat, ya sebenernya ngeselin juga 😂 sehingga akhirnya kita belajar untuk setia sama yang udah ada.
12. Akhirnya kita sadar bahwa sebenernya diri kita ini gak semenyenangkan dan semudah itu untuk hidup bareng
13. Kita belajar untuk memaafkan diri sendiri – untuk segala kesalahan dan kebodohan kita. Kita belajar untuk jadi teman baik untuk diri sendiri.
14. Kita belajar bahwa menjadi dewasa itu adalah dengan berdamai dengan sisi kita yang kekanak-kanakan dan keras kepala yang akan selalu ada.
15. Akhirnya bisa mengurangi ekspektasi berlebihan untuk menggapai kebahagiaan yang gak realistis – dan lebih bisa untuk merayakan hal-hal kecil. Jadi lebih ke arah: bahagia itu sederhana.
16. Gak sepeduli itu sama apa kata orang dan gak akan berusaha sekuat itu untuk menyenangkan semua orang. Ujung-ujungnya, bakal ada satu dua orang kok yang menerima kita seutuhnya. Kita akan melupakan ketenaran dan akhirnya bersandar pada cinta.
17. Bisa menerima masukan.
18. Bisa mendapatkan pandangan baru untuk menyelesaikan masalah diri sendiri, misalnya dengan jalan-jalan di taman.
19. Bisa menyadari bahwa masa lalu kita mempengaruhi respons kita terhadap masalah di masa sekarang, misalnya dari trauma masa kecil. Kalau bisa menyadari ini, kita bisa menahan diri untuk gak merespon dengan gegabah.
20. Sadar bahwa ketika kita memulai persahabatan, sebenernya orang lain gak begitu tertarik sama cerita bahagia kita – tapi malah kesulitan kita. Karena manusia itu pada intinya kesepian, dan ingin merasa ada teman di dunia yang sulit ini.
Written by @jill_bobby
Referensi: https://youtu.be/k-J9BVBjK3o
4K notes
·
View notes
Text
Aku ingin jadi orang yang selalu ditanyai kabar oleh ibumu,
yang selalu dibincangkan oleh ayahmu,
yang selalu disambut ramah oleh saudaramu.
Aku harap aku bisa sedekat itu dengan mereka.
– @cindyjoviand
762 notes
·
View notes
Text
Prestasi
Kitab biografi Khadijah dan ‘Aisyah (radhiyallaahu ‘anhuma) lebih tebal mana?
Ternyata lebih tebal biografi 'Aisyah.
Mengapa? (1)
Karena, sejarah (dalam hal ini adalah peran ulama’) telah merekam jejak dan karya 'Aisyah dalam ranah ilmiah memang sangat banyak.
Mengapa? (2)
Karena…
Rasulullaah wafat di saat beliau masih berusia 18 tahun. Beliau masih sangat belia, dan kala itu belum dikaruniai buah hati. Yap, bersama 'Aisyah, Rasulullaah memang tak dianugerahi keturunan –dan itu tak mengurangi kemuliaan beliau sebagai Ummahatul Mukminin–
Di tengah “kesendiriannya”, apakah kemudian beliau larut dalam kegalauan hebat?
Ternyata tidak.
'Aisyah memilih untuk fokus berkarya, mewariskan prasasti ilmiah yang diwariskan oleh suaminya sendiri; Rasulullaah. Beliau berkhidmat menjadi oase kedua bagi masyarakat di sekitarnya, melalui karya-karya ilmiah. Maka tak heran, ibunda 'Aisyah pun mampu mengukir prestasi sebagai satu-satunya perempuan yang menduduki posisi keempat dalam jajaran “The Big Seven Perawi Hadits Terbanyak”.
(Ummu Salamah termasuk istri yang juga banyak meriwayatkan hadits Nabi, namun tak sebanyak 'Aisyah –dan itu tak mengurangi kemuliaan beliau sebagai Ummahatul Mukminin–)
Maka kemudian, karena prestasi ilmiah beliau inilah yang membuat biografinya terhimpun lebih kompleks dibanding Khadijah. Padahal Khadijah pernah disebut Rasulullaah sebagai sebaik-baik wanita ahli surga. Hal ini sampai pernah membuat 'Aisyah cemburu.
Nah jadi, mengapa? (3)
Mengapa kisah Khadijah tak setebal kisah 'Aisyah?
Karena…
Karya dan prestasi beliau adalah fokus mendidik anak.
Nah jadi…
Kemuliaan seorang perempuan itu memang tak pernah diukur dari sehebat apa ia berkarir. Khadijah dan 'Aisyah, keduanya adalah perempuan istimewa di bawah didikan lelaki istimewa pula. Entah menjadi seorang ibu ataukah istri (karena belum dianugerahi buah hati), keshalihannya tetap memancar kuat.
Dalam Al-Qur’an pun, peran wanita setidaknya terbagi menjadi 3 (lebih lengkapnya in syaa Allaah disambung di kuliah 3 atau seterusnya), yaitu:
1. Sebagai pribadi muslimah – lajang (yang sepenuhnya masih menjadi “milik orangtuanya), maka dia pun memiliki kewajiban untuk fokus berbakti kepadanya.
2. Sebagai seorang istri (ternyata porsi inilah yang prosentasenya disebutkan paling banyak di dalam Al-Qur’an) – fokus mengupayakan keridhaan suami.
3. Sebagai seorang ibu (prosentase terbesar kedua) – fokus mendidik anak.
Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita memahami esensi peran kita sebagai muslimah, sebagai hamba Allah.
“Setiap upaya kesungguhan untuk mendapatkan ridha-Nya, pasti akan menuai ujian dimana-mana – bagaimanapun bentuknya. Tugas kita bukan menghindar atau mencari-cari alasan, namun menguatkan kesabaran.”
Sebagai apapun kita kelak, wanita shalihah akan tetap istimewa. Mari mulai berbenah. :)
–Tulisan ini disarikan dari materi Ust. Budi Ashari, Lc dalam Stadium General Akademi Keluarga Parenting Nabawiyah di Semarang
507 notes
·
View notes
Text
Aku ingin menamaimu;
Sebagai perjalanan panjang yang tak pernah selesai.
Sebagai lembar buku yang belum terbaca dengan sempurna.
Sebagai detik waktu yang tak pernah berhenti berputar.
Sebagai malam dengan dingin yang tak pernah usai.
Sebagai fajar yang datang bersama embun yang menyejukkan.
Sebagai sepi dalam kebisingan, atau kebisingan dalam kesunyian.
Sebagai apa saja yang mampu membuatku tenang, sekalipun dengan jeda, jarak dan doa yang teruntai.
Meski begitu ingin, takdir Tuhan tetaplah yang menjadi pemenang.
Sebagai dekat dalam kejauhan.
Baturaja, 2020.
101 notes
·
View notes
Text
55/366
Kita tidak sedang main-main,
kita tidak sedang memanjangkan waktu untuk sebuah luka baru dengan akhir yang sama seperti sebelumnya,
atau sedang berusaha menjadi pelarian atas penatnya dunia.
Kita sedang bergegas menuju sana.
Jika kau bertanya 'sana' mana yang ku maksud?
Kata pertama yang muncul setelah kau membacanya itulah jawabannya, mudah-mudahan tidak salah.
Semoga jarak, jeda dan waktu bisa membuat;
Yang abu menjadi jelas,
Yang tidak diketahui menjadi tahu,
Yang sulit dimengerti menjadi paham,
Yang tidak terdengar menjadi sampai ke telinga,
Yang disembunyikan perlahan mulai terlihat,
Yang takut menjadi percaya,
Yang ragu menjadi yakin,
Yang yakin menjadi mantap,
Yang tergesa-gesa mulai tertata,
Yang terasa sulit, ternyata dimudahkan,
Dan yang dirasa mustahil ternyata dimampukan.
Langit sedang sedih, 21.08 | 18 Februari 2020.
55 notes
·
View notes
Text
Tanggalkan Beberapa
Dear Dini 2017.
Masih jomblo ya? Kesian deh. Gw dong, udah gak. Udah punya suami yang berjuang di jalan Allah, punya 3 anak yang mengidolakan Rasul dan sahabat - sahabat beliau, bukan Superman yang pake celana dalam aja gatau musti dimana. Yang paling kecil kemarin pas festival hari pahlawan di sekolah pake kostum Arabian, pake sorban, bawa pedang mainan gede yang gw dan suami buatkan dari kertas berwarna metalik. Dia juga menggendong tas besar yang isinya kue serta permen yang dia bagikan untuk teman - temannya. Di pipinya ada coretan kecil seperti bekas air mata, pura - puranya bekas menangis karena sedih ga bisa menolong temannya yang sakit. Pada gurunya dia berkata , “aku pake kostum pahlawan yang paling berani dan sayang sama teman - temannya, Umar bin Khattab!!”
Oke maaf, itu hanya intermezzo biar kamu iri. Sebenarnya, gw cuma ingin mengingatkan sesuatu, tentang kesibukan yang akhir - akhir ini menyita sebagian besar waktumu : merintis usaha baru.
Kamu selalu bilang, “masih kecil - kecilan.” Ini nasihat dari gw yang sekarang sudah punya usaha besar dan omset..mm, sori deh, ga sebut angka, tapi banyak banget pokoknya, cukuplah buat umrah setiap tahun dan umrahin beberapa anggota keluarga, cukup buat punya belasan anak asuh, hihihi.
Din, ga ada hal besar yang mudah di dunia ini. Orang - orang sukses yang kamu tahu berhasil dalam usahanya dan bisa sustain puluhan tahun (Ny. Meneer dinyatakan pailit setelah berdiri selama 98 tahun), berawal dari perjuangan kecil - kecilan. Ingat kata bosmu di Wardah Cosmetics, bahwa ketika mereka masih berjuang kecil - kecilan dulu, supplier meremehkan dan menolak. Lalu kini, kau tahu kan ketika kamu masih bekerja di sana, berapa banyak dulu supplier yang berusaha membuat janji denganmu untuk menawarkan barang mereka? Tentu jangan lupakan satu pelajaran penting dari perusahaan itu, bahwa mereka sangat menghargai ketepatan waktu melakukan pembayaran pada suplier, sehingga suplier bisa beroperasi dengan baik dan menghargai, pun memperlakukan supplier sebagai partner, bukan babu. Ingat pelajaran ini, sejak kini hingga kapanpun.
Ingat Sosro yang menawarkan teh pada awalnya dari pintu ke pintu dengan plastik. Dan kini, dialah yang bisa mengalahkan penjualan Coca Cola di Indonesia.
Semua dimulai dari kecil, dengan mimpi yang besar. Semua pasti ada tantangannya, semua pasti ada ujiannya, tapi jangan menjadi kecil karena disudutkan tantangan. Jadilah besar karena kamu ditempa oleh tantangan.
Jangan berpikir bahwa segala sesuatu yang sulit berarti tidak ditakdirkan untukmu. Berpikir baiklah pada Dia yang membawamu ke perjuangan ini : bahwa Dia mengirimkan tantangan untuk kau selesaikan satu persatu.
Belajarlah dari pengalaman sebulan belakangan. Ketika pada awalnya kamu mengecilkan tanah tempatmu dilahirkan dengan budaya birokrasi yang sungguh tidak profesional. Belajarlah bahwa ketika kamu berangkat dengan hati riang dan perasaan baik, maka entah bagaimana kamu dipertemukan dengan orang - orang baik yang membantumu, yang pada orang lain dia tidak berbagi tapi denganmu dia seperti kran bocor membagi banyak informasi.
Tetaplah berupaya rendah hati. Mereka yang tidak mendapatkan akses pendidikan setinggi dirimu, belum tentu tidak lebih tahu. Bisa jadi merekalah sumber ilmu. Tetaplah berupaya ramah, hangatlah pada siapapun yang baru kau kenal, terutama jika dia terlihat bisa membantu bisnismu.
Tetaplah merasa bukan apa - apa dan bukan siapa - siapa, meski kelak kau sudah menjadi pengusaha besar. Karena sejatinya, manusia memang bukanlah apa - apa.
Jangan depresi hanya karena kamu merasa pendidikanmu sia - sia. Jika pada akhirnya kamu jualan ikan saja, untuk apa kuliah tinggi - tinggi? Apa bedanya dengan UKM yang tidak sekolah? Ingat kata teman baikmu, “nanti Din, ketika kita besar, baru akan terlihat pola pikir kita berbeda dengan wiraswasta yang un-well educated. Nanti, saat ini kita baru mulai, maka belum bisa kita lihat.” Maka bersabarlah menanti, dan kejarlah masa ‘nanti’ itu dengan ikhtiar.
Kamu sering lupa mimpimu dan hanya fokus pada apa yang tengah kamu hadapi. Sekarang kamu masih menghadapi hal - hal receh, kamu boleh fokus menyelesaikan yang di depan, tapi jangan lupa niat awal dan cita - cita besarmu di masa depan. Karena jika kamu lupa, perjuanganmu akan terasa sangat berat.
Seperti kata mentormu, sifat utama pengusaha ada 2 : yakin dan pantang menyerah. Yakinlah bahwa kamu akan berhasil, kegagalan nanti adalah urusan belakang dan di luar kuasamu. Yakinlah dulu, jika gagal, pergi ke sifat kedua, yaitu pantang menyerah. Lalu yakin untuk mencoba lagi, jika gagal lagi, pantang menyerah, lalu yakin untuk mencoba lagi.
Jangan menyerah, karena jika kamu menyerah, tidak akan ada gw yang setiap hari memarahi anak buah yang terlambat mendistribusikan ikan kaleng siap saji ke berbagai daerah bencana alam. Jika kamu menyerah, tidak akan ada perusahaan gw yang menjadi tempat belajar masyarakat yang ingin menjadi wirausaha namun minim informasi dan pendidikan.
Seperti katamu selama ini, sudah bukan saatnya kita sekedar membuka lapangan pekerjaan. Sudah saatnya kita membuka lapangan wirausaha, meng-hire orang bukan hanya untuk bekerja sebagai pegawai kita, tapi mengajak mereka bekerja dan belajar agar ketika resign dia sudah siap menjadi pengusaha baru.
Awali dengan yang kecil, jangan malu. Tapi selalu bawalah mimpi yang besar, jangan tanggung - tanggung. Tanggalkan lelahmu, bawalah cita - citamu.
Selamat memulai perjuangan.
Dari Dini 2030 Founder and CEO of SAVORY INDONESIA - From Indonesia’s Warm Sea
591 notes
·
View notes
Text
“Sebelum kamu ingin menjadi seseorang yang mengusap air matanya, jadilah dulu seseorang yang tidak membuatnya berairmata.”
—
411 notes
·
View notes
Text
Perempuan
Perempuan tetaplah perempuan Sekuat apapun dia, pasti pernah menangis Setegar apapun dia, pasti pernah rapuh
Tapi, jangan kau meremehkan perempuan Karena setelah dia menangis Perempuan akan berdiri setegar batu karang
Itulah perempuan Di balik ketegarannya selalu ada air mata Dan di balik air matanya selalu ada api yang membara
24 notes
·
View notes
Text
AKU INGIN TAAT, TAPI AKU BINGUNG
Seorang wanita, bersimpuh di atas sajadahnya. Dia baru saja menyelesaikan salat di sisa sepertiga malam. Tepat bersebelahan dengan suaminya yang sedang tertidur pulas.
Dalam solat itu, ia menangis tersedu-sedu, sungguh ia meminta petunjuk kepada Allah, tak pernah ia melakukan ini sebelumnya.
Wanita yang sedang dibalut mukena berwarna putih itu, sungguh sedang kebingungan. Air mata terus turun dengan deras membasahi mukenanya tersebut.
“Ya Allah, aku ingin taat, namun aku bingung” Suaranya begitu pelan, tapi doanya sungguh dalam.
—
Baru beberapa bulan setelah pernikahan, ia mulai mendalami agama. Kini, ia paham, menjadi seorang wanita adalah sebuah keistimewaan, karena hanya bagi wanitalah, ia bisa masuk pintu syurga dari manapun. Syaratnya tidak banyak, cukup tidak meninggalkan ibadah wajib, dan taat kepada suami.
Lantas, setiap hari, ia mulai tidak meninggalkan ibadah wajib, dan ia selalu mencoba untuk taat kepada suaminya. Namun ternyata, baginya menjadi taat pada suami bukanlah urusan yang mudah.
Tatkala ia mengingatkan seorang suaminya, ia selalu mendapatkan jawaban yang membuat hatinya menjadi bingung.
Seperti ketika mengingatkan solat, lantas suami menjawab
“Iyah, ayah juga paham, nanti juga solat. Ayah masih ngantuk. Yang penting kamu solat duluan”
Atau ketika mengajak untuk berqurban, namun suami menjawab
“Iyah, tapi kan gampang qurban itu, ntar aja tahun depan, tahun ini kita liburan dulu aja”
Atau ketika mengajak mengaji, namun suami menjawab
“Iya, nanti juga ngaji kok, anak-anak aja itu ajak, ayah ntar aja”
Bahkan, ketika sang istri mencoba menjaga diri untuk tidak bersentuhan, suami bertanya
“Loh, kok kamu gak mau salam sama bapak itu? Gak sopan tau, itu kan teman papah”
Ia bingung. Apakah taat pada suami yang tidak taat pada tuhannya, tetap membuat ia mendapatkan syurga terbaik?
Ia bingung. Apakah mengikuti perintah suami sedang hati menolaknya itu masih bagian dari taat?
Ia bingung. Apakah taat pada suami yang melalaikan kebenaran, adalah hal yang benar?
Wanita itu bingung, sungguh ia bingung. Kini ia paham, kenapa dulu orangtuanya meminta ia memilih suami yang paham agama serta baik akhlaknya. Karena, menaati kebaikan, jauh lebih mudah daripada menaati sesuatu yang membuat hati selalu bergejolak untuk menentangnya. Ia menyesal, tapi ia tak bisa mundur dari pernikahan, karena ia pun tahu seberapa besar kebencian Allah terhadap pasangan yang melakukan perceraian, dan betapa besarnya kebahagiaan syetan jika hal itu terjadi.
Maka, malam itu, di sisa sepertiga malam, di waktu paling baik untuk berdoa, ia bersujud dan meminta pada Allah
“Ya Allah, aku ingin taat, namun aku bingung. Berikanlah petunjuk-Mu bagiku, dan berikanlah hidayah bagi suamiku. Permudahlah urusan ketaatanku akan suamiku. Ya Allah, jadikanlah para wanita-wanita solihah, untuk mendapatkan para suami yang solih, agar jalan menuju syurganya tidaklah berat dan tidak membuat hatinya terus berkecamuk. Ya Allah, kabulkanlah do’a ku”
Wanita itu terus menangis, hingga akhirnya waktu adzan subuh tiba. Ia berdiri, menghapus sisa air mata di matanya sambil mencoba menguatkan hati. Lantas ia mendekati suaminya.
“Bismillahirrahmannirrahim” ia berlirih.
“Ayah, ayah, bangun ayah, sudah subuh. Bangun ayah.”
Semoga, hari ini, suaminya mempermudah jalan syurganya.
AKU INGIN TAAT, TAPI AKU BINGUNG Bandung, 30 Juli 2017
826 notes
·
View notes
Photo
BEGITULAH “KITA”
Lelaki, sedewasa apapun dia, tetaplah anak-anak yang suka menjalani hidup layaknya permainan tanpa akhir.
Perempuan, akan selalu lebih dewasa dari lelaki seusianya. Caranya dalam mencintai seorang laki-laki mirip seperti halnya ia sedang menyayangi boneka kesayangannya semasa ia kecil.
-SatriaUtama
172 notes
·
View notes
Text
Coba Ingat Kebaikan Mereka
Kalau kamu merasa jengkel saat ayahmu banyak berbicara, saat ibumu banyak menasehati. Maka coba ingat kebaikan mereka. Itu sudah menjadi lebih dari cukup untuk mengekangmu dari sekedar berkata “Ah”
Momentum #dirumahaja seperti ini, serta harus menyeleseikan perkuliahan melalui online seperti saat ini membuat saya sudah tentu berinteraksi dengan orang tua sepanjang hari. Setelah mungkin sekitar 8 tahun terakhir menghabiskan waktu di rantau, dengan intensitas waktu lebih banyak di luar, kini harus kembali lagi ke rumah orang tua. Hingga barangkali karena selama 8 tahun terakhir hidup tanpa frekuensi pertemuan yang sering membuat diri ini harus menyesuaikan kembali dengan ritme di rumah, dengan aturan-aturan yang ada. Terlebih juga dengan kondisi orang tua yang menua yang membuat diri ini harus lebih sigap lagi, lebih sabar dalam melayani, dan mendengarkan nasihat-nasihat, atau bahkan omelan yang ada.
Kadang dari perkara-perkara kecil seperti lupa mematikan lampu, menutup pintu, bisa saja menjadi perkara yang besar jika kita berlebihan menyikapi. Tak ada maksud jahat dari orang tua yang kadang suka ngomel, tak ada maksud mengasari anak-anaknya, justru itulah bentuk cinta mereka kepada anak-anaknya. Perkataan-perkataan itu lahir dari pengalaman hidup yang panjang, dari asam manis garam kehidupan yang sudah mereka telan, namun mungkin barangkali cara penyampaian yang bercampur emosi yang justru terkadang membuat diri kita abai terhadap apa yang mereka sampaikan.
Dulu masa kecil saya pernah melihat film kartun, yang membahas bahwa siklus hidup manusia adalah dari bayi kemudian menjadi dewasa, lalu menjadi tua dan entah mengapa di situ menjadi bayi lagi. Pada akhirnya saya sadar bahwa maksudnya itu adalah tentang pribadi seseorang. Saat orang nanti menua, orang tuamu akan lebih banyak butuh didengarkan, lebih banyak butuh ditemani, ditaati, tanpa banyak diajak berdiskusi, apalagi sampai berdebat. Mereka akan harus lebih banyak dilayani, dihibur, sebab barangkali seumur hidupnya mereka telah banyak memberi. Pada masa tuanya, mereka barangkali seolah-olah akan seperti menjadi anak-anak lagi, banyak bertanya, banyak berbicara, banyak ingin didengarkan, juga dilayani.
Kalau kamu selalu mengingat kebaikan-kebaikan yang mereka perjuangkan dan berikan untukmu, sudah tentu kamu tidak akan pernah merasa lelah dan jengkel. Mungkin itu wajar dan manusiawi jika misal kelak ketika kita sudah sibuk bekerja, lantas ternyata harus melayani orang tua. Namun ingatlah kamu dulu pun melakukan hal yang serupa, bahkan jauh lebih parah. Berapa kali kamu merengek-rengek ayahmu untuk menemani di rumah, untuk tidak berangkat ke kantor. Berapa kali kamu membuat ibumu harus beres-beres kamarmu karena kamu tidak sempat merapkan. Berapa kali pula mungkin kamu membuat mereka khawatir tak bisa tidur karena kamu tak kunjung pulang.
Kebaikan-kebaikan mereka yang tak terhitung jumlahnya itu tentu tak sebanding dengan kekurangan mereka sebagai manusia. Sudah tentu tak ada orang tua yang sempurna, mereka pun pernah melakukan kesalahan, namun ingat bahwa surga ada dibawah telapak kaki mereka. Tak ada satupun orang tua yang menginginkan anaknya terjerumus dalam kegagalan.
Jadi, jika nanti kamu merasa jengkel, merasa ingin marah kepada mereka, tahanlah. Banyaklah beristighfar. Coba ingat kembali kebaikan kebaikan mereka. Karena mereka adalah dua makhluk yang layak untuk dimuliakan. Karena mereka, pintu surgamu akan kelak terbuka lebar.
Malang, 26 Maret 2020 Mushonnifun Faiz Sugihartanto
324 notes
·
View notes
Text
Kamu yang menyukai atau mencintai manusia secara berlebihan itu menjadikan candu, Allah tidak suka pada mereka yang candu, maka Allah berikan luka pada akhirnya. Akan ada, seseorang yang semakin ia dewasa, semakin banyak ia harus mengikhlaskan. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Sampai ia paham perihal rasa itu tidak boleh berlebihan
@jndmmsyhd
2K notes
·
View notes
Text
1% Lebih Baik
Salah satu pedang bermata dua yang dimiliki seorang perfeksionis adalah mentalitas “lakukan dengan sempurna, atau tidak sama sekali.”
Di satu sisi, ini membuat para perfeksionis bekerja dengan luar biasa jika mereka memang harus mengerjakan sesuatu. Di sisi lain, ini membuat mereka lumpuh manakala menghadapi sebuah urusan yang nampak besar dan kompleks.
Terbayang-bayang betapa besarnya energi yang mesti mereka miliki untuk membuat urusan besar nan kompleks itu “sempurna”; terbayang betapa tidak sempurnanya kapasitas dan sumber daya mereka saat itu. Stress jadinya.
Beruntung, semasa kuliah, sebuah buku berjudul “The One Thing”, tulisan Garry Keller, mengubah hidup saya yang merupakan seorang perfeksionis ini.
Inspirasi utama yang saya dapatkan dari buku itu adalah: dalam hidup, kita tidak perlu mengambil semua hal, melakukan semua hal, atau menjadi lebih baik dalam semua hal. Seringkali, kita hanya perlu peduli pada satu hal saja, dan itu cukup untuk membuat kita menjadi lebih baik.
Serakah Informasi
Dahulu kala, jika saya membaca buku, biasanya saya ingin merengkuh semua poin yang disampaikan oleh penulis. Terlalu banyak informasi (fakta atau opini) yang nampaknya akan berguna (meski entah kapan dan bagaimana saya akan menggunakan informasi tersebut), yang terlalu sayang jika tidak mampu saya ingat baik-baik.
Agar bisa mengingat informasi-informasi tersebut, sebagian orang menandai bagian-bagian tertentu dengan stabilo. Sebagian lagi menulisnya dalam sebuah catatan, dan lain sebagainya.
Lalu, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, dengan upaya tersebut, memangnya seberapa banyak informasi yang akhirnya berhasil kita ingat? Seberapa sering (atau bahkan, pernah kah?) kita kembali ke tanda stabilo atau catatan kita?
Bagi saya sendiri, jawaban dari kedua pertanyaan tersebut tidaklah membahagiakan.
Cukup 1 Hal
Alih-alih berusaha merengkuh semua informasi, saya menemukan bahwa jika saya hanya menangkap satu saja informasi yang paling mengesankan bagi saya, lebih besar kemungkinan saya mengingat informasi tersebut dalam jangka waktu lama.
Bahkan, informasi itu tidak sekadar menjadi ingatan “mati”–layaknya kertas yang menyimpan informasi, namun informasi itu tidak berguna bagi dirinya.
Dengan bertanya, “Apa satu hal paling penting dari buku ini?”, saya berhasil menangkap satu informasi yang lalu membekas dan ter-“install” dalam diri saya. Ia menjadi bagian dari diri saya.
Pertanyaan mengenai “Apa satu hal…” ini adalah pertanyaan yang perlu dibiasakan. Jika kita sudah terbiasa, maka kita bisa mengimplementasikannya dari level makro hingga ke level mikro.
Sebagai contoh, jika awalnya kapasitas kita hanya mampu menangkap dan mengingat “satu hal” dari sebuah buku, di tingkatan selanjutnya kita bisa bertanya “Apa satu hal paling penting dari bab pertama?”, lalu “Apa satu hal paling penting dari bab ke dua?”, dan seterusnya.
Efeknya, kita jadi lebih terbiasa “menerawang” benang merah di balik segala sesuatu, di berbagai level.
Kita jadi lebih terbiasa menangkap substansi, tidak terdistraksi oleh hal-hal yang non-substantif.
Ini tidak hanya berlaku pada buku. Ini adalah kebiasaan yang universal, yang bisa diterapkan dalam berbagai konteks.
Cukup 1%
Ini semua membawa saya pada gagasan bahwa untuk menjadi seseorang yang sangat keren, kita tidak perlu berusaha menelan semua atribut sebuah hidup yang keren.
Misalnya, kita menuntut diri kita untuk memiliki karir yang bagus, karya yang booming, bisnis yang ekspansif, investasi yang bertumbuh, pikiran yang tahu segala hal, dan lainnya di waktu yang sama.
Mengapa? Karena kita akan kewalahan. Jika kita kewalahan, upaya kita akan berumur pendek, tidak berkelanjutan, tidak konsisten. Lalu pada akhirnya kita akan menemukan diri kita belum beranjak jauh dari titik awal.
Alih-alih begitu, beritahukan kepada diri sendiri bahwa kita cukup menjadi 1% lebih baik hari ini dibanding hari kemarin. Itu saja. Lakukan setiap hari.
Jika kemarin menjelang tidur kita habiskan dengan berseluncur di Instagram, hari ini menjelang tidur kita habiskan dengan menonton TED Talks, mungkin?
Jika hari ini saya tidak mendapat asupan pengetahuan baru, maka besok saya akan menghabiskan 15 menit membaca Blinkist, dan seterusnya.
Cukup satu persen saja perubahan kecil yang kita lakukan untuk diri kita di satu hari, lalu kita kunci perubahan tersebut di hari-hari setelahnya. Bayangkan, berapa persen perubahan yang akan terjadi pada diri kamu setelah satu tahun?
Selamat bertumbuh 1% lebih baik setiap hari!
941 notes
·
View notes