Text
#016
Malam hari, seharusnya aku beristirahat. Melupakan sejenak pekerjaanku, dan menikmati waktuku untuk scroll sosial media, menulis di blog pribadiku, atau nonton sinetron azab di yutub.
Namun, tentu saja itu semua hanya ekspetasi belaka. Karena begitu sampai kamar, ada tugas murid yang harus aku koreksi.
Kalau kalian tanya, kenapa seorang Charles Saputra bisa jadi guru?
Jawabannya, aku pun tak tahu. Setelah sidang skripsi dan membereskan semua revisi, aku iseng melamar pekerjaan yang ada di platfrom pencari kerja online, sambil menunggu waktu wisudaku. Namun, siapa sangka. CV-ku malah nyantol di sebuah sekolah, yang sedang membutuhkan posisi guru bahasa Mandarin. Mereka pun memanggilku untuk interview, dan siapa sangka pula, aku lolos.
Begitulah cerita singkatnya, kenapa aku bisa jadi guru bahasa Mandarin di sebuah SMA. Padahal, kupikir surat lamaranku akan nyantol di perusahaan Tiongkok yang membutuhkan jasa interpreter, atau di perusahaan yang membutuhkan jasa fotografi, mengingat portofolioku soal fotografi nggak jelek-jelek amat.
Toh, buktinya, kalau ada yang mau pakai jasa fotografiku, mereka langsung menghubungi pesan pribadi instagramku.
Oke, kembali ke ceritaku malam ini. Baru saja hendak memejamkan mata usai mandi, aku langsung teringat akan tugas karangan yang kuberikan pada murid-muridku minggu lalu, dan baru dikumpulkan siang tadi. Maka dari itu, malam ini, aku harus memeriksanya agar bisa kukembalikan besok atau lusa.
Dengan sedikit malas, aku pun membuka laptopku, dan mulai membuka gugel formulir tempat mereka mengumpulkan tugas. Namun, baru juga satu file yang kubuka, membuatku tertawa sedikit.
"Apa nih? Kok, ngomongin Hoshino Ai?" gumamku sambil membaca karangan tersebut. Memperbaiki sedikit tata bahasanya, lalu memberinya nilai.
Dan ada satu karangan, yang benar-benar menyita perhatianku.
"INI APA?! Kenapa juga di catatannya ada tulisan 'ketika mengerjakan ini, saya terdistraksi oleh ulah anak cucu adam dengan membuat bumi bergonjang ganjing memperebutkan harta, tahta, dan Melati Talitha----" tawaku refleks meledak, dan saat kubaca siapa penulisnya...
"OALAH AMEL. ELU YA MEL, GAK BISA APA NORMAL SEDIKIT?!"
Amel alias Nurul Amelia, adalah salah satu dari sekian muridku yang absurd tingkahnya. Dan ini, memberi catatan kaki pada tugas karangannya, merupakan salah satu dari keabsurdan tingkahnya yang diluar nurul, sesuai namanya.
Kalau kuceritakan semua, bisa jadi setebal skripsi.
Seketika mood-ku dalam mengerjakan tugas meningkat, karena ulah Amel ini. Aku memang lelah, namun melihat muridku, terkadang rasa lelah itu tergantikan oleh rasa rindu ingin bertemu mereka. Hingga tanpa sadar, aku berhasil mengoreksi karangan 21 muridku. Pun, semuanya sama absurdnya dengan Amel, walau tak sampai meninggalkan catatan kaki.
0 notes
Text
#015
21:45
Aku baru saja menginjakan kaki di Stasiun Pondok Cina, tahu-tahu hujan deras mengguyur Kota Depok.
"Ah sial, pasti ini ulah para jomblo yang berdoa supaya hujan turun di malam minggu," gerutuku sebal.
Kalau menunggu reda, kayaknya bakal lama. Dan sebentar lagi jam 10 malam.
Maka kuputuskan untuk menerobos hujan, berlari sampai kost ku di daerah Margonda.
Masih ada bapak kost yang berjaga, dan beliau bertanya kenapa aku menerobos hujan malam-malam. Kukatakan pada beliau, aku tidak bawa payung karena tadi pagi, langitnya cerah. Kalau berteduh, bisa sampai tengah malam.
Bapak kost lantas memberiku handuk kering, lalu menyuruhku untuk segera mandi agar tidak masuk angin. Aku pun menuruti perintah beliau, alih-alih langsung masuk kamarku, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Dengan tubuh hanya berbalut handuk di pinggang ke bawah karena baju yang kukenakan langsung kurendam di cucian, aku menuju kamar dengan terburu-buru.
"Untung Lucas udah tidur," ujarku saat mendapati sahabatku sudah terlelap, kala aku masuk ke kamar.
Aku buru-buru berpakaian, lalu menyusul Lucas untuk rebahan di kasur. Rasanya ingin segera menghangatkan tubuh, di balik selimutku.
Dalam tidurku, aku bermimpi.
Aku tengah berada di kursi penumpang bslakang sebuah mobil, di tengah hujan lebat. Aku tak bisa memastikan aku ada di mana, namun yang jelas, sepertinya aku tengah berada di jalan tol.
Kuperhatikan hujan yang menyirami mobil ini dari jendela, hingga aku mendengar suara orang bercakap-cakap.
"Charles udah tidur?" suara seorang pria.
"Udah," suara seorang wanita, menjawab pertanyaan itu.
Perasaan aku nggak tidur?
Dan kenapa... suara pria dan wanita itu terdengar familiar?
Dimana aku pernah mendengarnya.
"Kamu udah masukin obat kan, ke minumannya Charles?" sang pria bertanya lagi.
Hah? Obat?
Sang wanita pun memeriksa kursi belakang, dan betapa terkejutnya aku kala melihat sosok wanita itu.
Ibuku.
Benar, ibu kandungku.
Beliau tengah memeriksa akuโaku yang berusia 10 tahun, yang tertidur di dekatku saat iniโdengan memegang pergelangan tangan aku cilik.
"Iya, udah. Napasnya udah lemah."
APA?!?!
Napasnya udah lemahโ jangan bilang?!!
Aku memang tidak begitu ingat hari dimana aku kecelakaan, karena aku tertidur. Hal terakhir yang kuingat adalah: aku meminum jus, lalu aku sangat mengantuk.
Jangan-jangan...
"PAPA!!! MAMA!!! KALIAN MAU BUNUH AKU?!" jeritku histeris, namun sepertinya mereka tak dapat mendengarku.
Jangankan mendengar. Sepertinya, sosokku yang berusia 21 tahun ini tak terlihat.
"MAMA!!! PAPA!!!" aku menjerit lagi, yang membutaku tanpa sadar, tengan mengigau dalam tidurku.
"KENAPA?! KENAPA?!" aku berteriak lagi, hingga tenggorokanku sakit. Dan, sepertinya, aku mengigau lagi.
Kenapa kalian tega, berniat membunuhku?
"Ke... na... pa..." rasanya suaraku habis, namun sepertinya, aku mengigau lagi. Karena saat aku mengatakan itu, aku terbangun.
Semoga... aku tidak membangunkan Lucas dengan racauanku barusan.
Lantas aku kembali memejamkan mata, karena kepalaku terasa sangat berat.
0 notes
Text
#014
Lihat, siapa yang baru pulang jam segini? Iya, aku. Ini semua akibat aku terjebak hujan yang mengguyur kota Depok sejak sore, dan aku tak membawa payung.
Untung saja, saat aku berteduh di Kopi Sastra, ada beberapa temanku yang juga ikut berteduh. Hingga kami keasikan mengobrol sampai lupa waktu, walaupun hujan sudah berhenti sejak jam 8 malam.
Karena terlalu malas jalan sampai kost, dan bikun alias bis kuning sudah tidak beroperasi lagi, aku memutuskan untuk naik kereta dari Stasiun UI sampai Stasiun Pondok Cina.
Cukup dekat memang, namun lumayan untuk menghemat tenagaku.
Teman yang tadi ikut berteduh denganku, semua membawa motor dan tidak ada yang bisa kutebengi. Maka mau tak mau, aku menyusuri gang hutan UI sendirian.
Lalu aku baru sadar, kalau ini malam Jumat.
Pantas saja ada beberapa wanita bergaun putih yang mulai terbang dari satu pohon ke pohon lain. Iya, beberapa. Wanita bergaun putih yang akrab disapa kunkun itu ada lebih dari satu. Aku mencoba untuk mengabaikan mereka, dan fokus untuk segera sampai stasiun.
Iya, niatnya mau mengabaikan saja.
Tapi...
Semakin dalam aku berjalan...
PLUK!!!!
"AYAMMM!!!" aku menjerit sendiri, kala salah satu dari si cฬถaฬถnฬถtฬถiฬถkฬถ bergaun putih itu nemplok di pundakku.
IYA. NEMPLOK. Bisa kalian membayangkannya?
Takut? Nggak, aku sih, sudah biasa.
TAPI KAGET!!! Mana dia tertawa, seolah puas sudah mengagetkanku. Cih, tawanya dia itu nyebelin banget!!!
Aku mempercepat langkahku untuk sampai stasiun. Semakin cepat... semakin cepat...
GUBRAK!!!
"ADOOOHHH!!!"
Kali ini, aku terpeleset jalan yang sedikit licin, akibat lumut yang terkena air hujan. Wajah tฬถaฬถmฬถpฬถaฬถnฬถku sukses mendarat di jalan setapak berlumut, dan si gaun putih yang tadi nemplok di pundakku, terbang entah kemana. Sambil tertawa cekikikan, dengan tawanya yang jelek itu.
Kurang ajar.
Sial banget aku malam ini. Setelah ditemplokin, malah pulang dalam keadaan kotor.
Semoga Lucas sudah tidur saat aku tiba di kost, agar aku tidak diintrogasi.
0 notes
Text
#013
"Capek banget anjir! Umur udah 30an, tapi merajuk kayak bocah!" aku misih-misuh sendiri sambil menatap layar ponselku. Hampir saja aku membanting benda itu, kalau tak ingat ini adalah barang mahal dan orangtua angkatku yang membelikan. Uang tabunganku kala itu mana cukup untuk beli ponsel.
Kuputuskan untuk melempar pelan benda itu ke sofa, lalu melempar tubuhku sendiri diatasnya. Untung saja, bapak dan ibu kost sedang tidak ada di ruang tengah ini, dan penghuni lain sepertinya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan mereka di kamar masing-masing.
Baru-baru ini, aku terlibat dalam sebuah proyek untuk acara akhir tahun, mereka tertarik untuk memakai jasa fotogtafiku. Yah, kuterima saja kan, hitung-hitung pemasukan untuk tabungan demi melamar Valerie suatu hari nanti.
Jiah, kejauhan.
Tapi masalahnya, atasanku ini sungguh kekanakan. Hanya karena tidak ada yang merespon chat kฬถuฬถrฬถaฬถnฬถgฬถ uฬถrฬถgฬถeฬถnฬถtฬถ beliau, kami diancam dengan SP bagi siapa saja yang tidak merespon.
Akhir pekanku ini, aku tidak ingin diganggu karena sedang pusing belajar untuk hsk 5. Lagi mabok-maboknya sama hanzi. Eh, malah diancam begini, mood-ku auto jelek.
"Lo punya kuasa, lo bebas ngasih SP ya, bahkan dijadiin senjata buat tantrum. Padahal buat konsep pemotretan, udah gue setor kemarin sore! Bocah banget lu!"
Aku lantas mengirim respon sesuai yang beliau minta, lalu rebahan di atas sofa. Memandang langit-langit kost, dengan tatapan kosong.
"Ya Allah, hidup gini banget, ya?"
0 notes
Text
#012
Jam sudah menunjukan pukul 08.30, tetapi entah kenapa, rasanya aku enggan untuk bangun.
Kembali kutarik selimutku, lalu memejamkan mata kembali. Kalau diingat, aku memang baru tidur jam 4 pagi sih.
Isi kepalaku yang berisik, membuatku hanya bisa berbaring tanpa bisa memejamkan mata.
Kulirik arah samping, Lucas sudah tidak ada. Seingatku, kelas hari ini dimulai jam 1 siang.
"Ah, palingan dia ngebucin dulu," kataku pada diri sendiri, sebelum lanjut tidur.
0 notes
Text
#011
"Woi Les!" seseorang menepuk pundakku, kala aku baru saja melangkah keluar dari ruang kelas. Rupanya Raka, teman sekelasku.
"Kenape?"
"Tumben gak sama Lucas. Dia kemana?"
"Ama gebetannya, anak Sasina. Biasa, orang kalo udah bucin, sahabat ditinggal," cibirku, sementara Raka hanya tertawa mendengarnya.
Iya, sejak punya gebetan anak Sastra Indonesia, Lucas jadi langsung ngacir keluar kelas begitu dosen meninggalkan ruangan. Apalagi, kalo bukan untuk menemui sang pujaan hati di Kafe Sastra.
"Hahaha, yaudah ikut gue sama anak-anak lain yuk ke kansas. Pusing kan lo abis setoran hanzi sama Bu Ira."
Aku pun menyetujui ajakan Raka, lantas kami bersama empat anak lainnya pun pergi ke kantin.
Suasana kantin sore hari lumayan sepi. Mungkin mereka memilih pulang ke kediaman masing-masing, atau makan di luar begitu kelas sore berakhir.
"Kenapa udah semester 7 kita masih harus setor hafalan hanzi sih?" keluh Jovi sambil mengambil tempat di dekat tembok. Aku lantas duduk di samping Jovi, alias posisi tengah.
"Ya karena sampe kita semester 7 juga masih ada hanzi yang belum dipelajari," timpal Raka.
"Malah hurufnya makin susah ditulis njirr!!! Heran, di Tiongkok sana ada berapa hanzi sih?!" aku pun ikut mengeluh.
"Halah, tapi lo udah punya sertifikat HSK 4, Les. Seenggaknya hafalan lo udah lebih expert dibanding kita," ujar Iqbal.
"Apalagi, lo kan cindo. Pasti lebih gampang buat lo ngehafalnya."
Entah itu sindiran atau bukan, namun ucapan dari Haikal barusan membuatku sedikit tersinggung. Maksudku, apa hubungannya cindo sama hafalan hanzi coba? Dan lagi, walau orangtuaku keturunan Tionghoa, tapi orangtua angkatku bukan orang Tionghoa. Jadi, aku tak terbiasa dengan budaya Cina sebelum aku masuk kuliah.
"Dah ah, gausah bahas hanzi. Gue laper," ujar Raka sambil bangkit. "Gue mau pesen makan. Kalian ikut apa disini?"
Aku lantas bangkit mengikuti Raka, disusul Iqbal dan Faris. Haikal dan Jovi memilih untuk nitip, sekaligus menjaga tempat di pojok kansas tersebut.
"Omongan Haikal tadi, gausah diambil hati ya, Les," bisik Raka saat kami berjalan ke kios mie ayam.
"Nggak kok, santai aja," jawabku bohong.
Raka hanya mengangguk paham, lantas kami pun memesan mie ayam. Tak ada percakapan lagi diantara kami, saat menunggu pesanan kami dibuat.
"Eh Les, biar cepet, lo tunggu pesanan kita disini ya. Gue mau beli minum. Lo mau apa?" tawar Raka.
"Es jeruk aja."
Raka mengacungkan jempolnya, lalu pergi ke kios minuman.
Sambil menunggu pesanan, aku melamun. Memikirkan ucapan Haikal tadiโ apa benar usahaku dalam belajar tak terlihat? Apa benar, hasil yang kudapatkan ini berdasarkan privilege karena aku ada darah Tionghoa? Padahal, aku baru belajar bahasa mandarin ya, saat masuk jurusan Sastra Cina. Saat orangtuaku masih hidup, aku bahkan tak pernah diajari cara menulis hanzi.
Apa semua orang memandangku begitu?
"Mas, mie ayamnya," ibu penjual mie ayam pun membuyarkan lamunanku. "Totalnya jadi 32 ribu ya."
"Pake kris ya Bu," kataku sambil memindai qr code, dan membayar dengan jumlah yang disebut. Aku pun membawa nampan dengan dua mangkok mie ayam diatasnya menuju mejaku tadi.
Sial, masih sore kok aku sudah overthinking?
0 notes
Text
#010
Hari ini rasanya malas ke kampus, entah kenapa. Pikran negatif yang sejak semalam menghantuiku, membuatku tidak bersemangat melakukan apapun.
Jam menunjukan pukul 9 lewat, namun aku masih juga tak beranjak dari kasur. Kelas pagi, seharusnya sudah dimulai.
Biarlah aku bolos.
"็ธ็ธ๏ผๅฆๅฆ๏ผๆๆณๆไธๆณๅๆดปไบ..." aku bergumam, pada langit-langit kamar kost-ku yang polos dan tidak ada apa apanya itu.
"ๅ
ถๅฎ๏ผๆๆดป็็ๆไนๆฏไปไน๏ผ ๆฒกๆไฝ ๏ผๆๅไฝๅฟ
ๆดป็๏ผ"
Tentu saja tak ada jawaban. Bahkan kuntilanak penunggu pohon mangga pun tak bisa menjawab.
"ๆๅบ่ฏฅ็ปๆ่ชๅทฑ็็ๅฝๅ๏ผ" pikiran itu sekelebat muncul, namun buru-buru aku menampar diri sendiri.
"Jangan bego, Charles. Hidup lo aja udah nyusahin orang, masa mati mau nyusahin juga?"
Tapi, satu pertanyaan ini memang tak bisa lepas dari pikiranku.
ๅ
ถๅฎ๏ผๆๆดป็ๅฐๅบๆฏไธบไบไปไน๏ผ
0 notes
Text
#009
Usai bermain jelangkung dengan Rizal dan teman-teman lainnya, aku pun langsung ke kamar dan lanjut membaca novelku yang berjudul Penance.
Permainan tadi, sama sekali tak menghasilkan apapun. Padahal aku tahu, di kost ini, setidaknya ada beberapa penghuni dari alam sebelah.
Contohnya adalah kuntilanak di pohon mangga yang ada di halaman, atau sesosok anak perempuan yang kerap bermain di halaman seorang diri.
Tetapi, mereka sama sekali tak pernah mengganggu. Bahkan saat main jelangkung, mereka sama sekali tak masuk ke dalam boneka pemanggil arwah tersebut.
Saat tengah membaca novel, tanpa sadar aku ketiduran. Hingga, akhirnya aku terbangun, di jam 12:12 saat aku melihat jam alarm-ku.
"Njir, haus," ujarku, lantas pergi ke dapur untuk melepas dahaga. Sekaligus mencuci muka, untuk belajar.
Maksudku, mumpung kebangun, lebih baik aku belajar untuk HSK 5 sebelum kembali ngantuk, kan?
Maka aku pun keluar kamar, menuruni tangga dan pergi ke dapur.
Namun, saat aku tengah menuang air dingin ke dalam gelas...
๐๐ช๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐จ
๐ ๐ฌ๐ฏ๐ฐ๐ธ ๐บ๐ฐ๐ถ ๐ค๐ข๐ฏ ๐ฉ๐ฆ๐ข๐ณ ๐ฎ๐ฆ
๐๐ฑ๐ฆ๐ฏ ๐ถ๐ฑ ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐ฅ๐ฐ๐ฐ๐ณ ๐ ๐ฐ๐ฏ๐ญ๐บ ๐ธ๐ข๐ฏ๐ต ๐ต๐ฐ ๐ฑ๐ญ๐ข๐บ ๐ข ๐ญ๐ช๐ต๐ต๐ญ๐ฆ
Kedua mataku menatap sosok yang tak asing, namun entah kenapa, aku agak takut melihatnya kali ini.
Tadi di atas, aku sudah bercerita tentang anak kecil yang selalu bermain di halaman, kan?
Nah, kini kedua mataku tengah beradu tatap dengan mata anak itu.
๐๐ช๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐จ
๐ ๐ฐ๐ถ ๐ค๐ข๐ฏ'๐ต ๐ฌ๐ฆ๐ฆ๐ฑ ๐ฎ๐ฆ ๐ธ๐ข๐ช๐ต๐ช๐ฏ๐จ
๐๐ต'๐ด ๐ข๐ญ๐ณ๐ฆ๐ข๐ฅ๐บ ๐ต๐ฐ๐ฐ ๐ญ๐ข๐ต๐ฆ
๐๐ฐ๐ณ ๐บ๐ฐ๐ถ ๐ต๐ฐ ๐ต๐ณ๐บ ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐ณ๐ถ๐ฏ ๐ข๐ธ๐ข๐บ
Mata yang kosong, seolah tak ada bola mata disana.
Aku buru-buru menghabiskan isi gelasku, hingga hampir tersedak, lalu berlari menuju kamarku. Aku bahkan hampir tersandung anak tangga.
๐ ๐ด๐ฆ๐ฆ ๐บ๐ฐ๐ถ ๐ต๐ฉ๐ณ๐ฐ๐ถ๐จ๐ฉ ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐ธ๐ช๐ฏ๐ฅ๐ฐ๐ธ
๐๐ถ๐ณ ๐ฆ๐บ๐ฆ๐ด ๐ข๐ณ๐ฆ ๐ญ๐ฐ๐ค๐ฌ๐ฆ๐ฅ ๐ต๐ฐ๐จ๐ฆ๐ต๐ฉ๐ฆ๐ณ
๐ ๐ค๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฏ๐ด๐ฆ ๐บ๐ฐ๐ถ๐ณ ๐ฉ๐ฐ๐ณ๐ณ๐ฐ๐ณ
๐๐ฉ๐ฐ๐ถ๐จ๐ฉ ๐'๐ฅ ๐ญ๐ช๐ฌ๐ฆ ๐ต๐ฐ ๐ด๐ฆ๐ฆ ๐ช๐ต ๐ค๐ญ๐ฐ๐ด๐ฆ๐ณ
Aku memang bisa melihat hal-hal yang seperti itu sejak 10 tahun yang lalu, akibat kecelakaan lalu lintas dan menewaskan orangtuaku.
Aku pun sudah terbiasa dengan 'mereka', karena aku tahu, kita hidup di dunia ini, berdampingan dengan mereka.
Dan kadang, aku tahu apa mereka punya niat jahat atau tidak.
Maka itu, kali ini, saat aku bertatapan dengan si gadis, aku harus ๐ด๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐บ๐ช.
Karena, malam ini, aku merasa anak itu akan berbuat sesuatu padaku.
๐๐ช๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐จ
๐๐ฆ๐ณ๐ฆ ๐ ๐ค๐ฐ๐ฎ๐ฆ ๐ต๐ฐ ๐ง๐ช๐ฏ๐ฅ ๐บ๐ฐ๐ถ
๐๐ถ๐ณ๐ณ๐บ ๐ถ๐ฑ ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐ณ๐ถ๐ฏ
๐๐ฆ๐ต'๐ด ๐ฑ๐ญ๐ข๐บ ๐ข ๐ญ๐ช๐ต๐ต๐ญ๐ฆ ๐จ๐ข๐ฎ๐ฆ ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐ฉ๐ข๐ท๐ฆ ๐ง๐ถ๐ฏ
๐๐ช๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐จ
๐๐ฉ๐ฆ๐ณ๐ฆ ๐ช๐ด ๐ช๐ต ๐บ๐ฐ๐ถ'๐ท๐ฆ ๐จ๐ฐ๐ฏ๐ฆ ๐ต๐ฐ?
๐๐ฐ ๐บ๐ฐ๐ถ ๐ต๐ฉ๐ช๐ฏ๐ฌ ๐บ๐ฐ๐ถ'๐ท๐ฆ ๐ธ๐ฐ๐ฏ?
๐๐ถ๐ณ ๐จ๐ข๐ฎ๐ฆ ๐ฐ๐ง ๐ฉ๐ช๐ฅ๐ฆ ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐ด๐ฆ๐ฆ๐ฌ ๐ฉ๐ข๐ด ๐ซ๐ถ๐ด๐ต ๐ฃ๐ฆ๐จ๐ถ๐ฏ
Benar, rasanya aku seperti bermain petak umpet dengan si bocil dari alam ghaib tersebut. Dan jujur saja, ini pertama kalinya aku bermain dengan hal-hal mistis seperti ini.
Apa yang membuatnya mengajakku bermain seperti ini? Padahal, sebelumnya ia tak pernah mengganggu.
Apa permainan jelangkung tadi, yang membuatnya begini?
Seolah-olah, aku mengajaknya untuk bermain petak umpet di tengah malam begini.
Namun, kenapa hanya aku?
Apa karena hanya aku yang bisa melihat sosoknya?
๐ ๐ฉ๐ฆ๐ข๐ณ ๐บ๐ฐ๐ถ๐ณ ๐ง๐ฐ๐ฐ๐ต๐ด๐ต๐ฆ๐ฑ๐ด
๐๐ฉ๐ถ๐ฎ๐ฑ๐ช๐ฏ๐จ ๐ญ๐ฐ๐ถ๐ฅ๐ญ๐บ ๐ต๐ฉ๐ณ๐ฐ๐ถ๐จ๐ฉ ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐ฉ๐ข๐ญ๐ญ๐ธ๐ข๐บ๐ด
๐ ๐ค๐ข๐ฏ ๐ฉ๐ฆ๐ข๐ณ ๐บ๐ฐ๐ถ๐ณ ๐ด๐ฉ๐ข๐ณ๐ฑ ๐ฃ๐ณ๐ฆ๐ข๐ต๐ฉ๐ด
๐ ๐ฐ๐ถ'๐ณ๐ฆ ๐ฏ๐ฐ๐ต ๐ท๐ฆ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๏ฟฝ๐บ ๐จ๐ฐ๐ฐ๐ฅ ๐ข๐ต ๐ฉ๐ช๐ฅ๐ช๐ฏ๐จ
Dari tempatku bersembunyi, aku seperti mendengar sebuah langkah kaki menaiki tangga. Jarak dari kamarku dan tangga sebenarnya cukup jauh, terpisah tiga kamar di sebelah kiri. Kamar yang kutempati dengan Lucas, ada di paling ujung. Dekat pintu yang mengarah ke balkon.
Apa karena suasana malam ini cukup sepi, dan hanya aku yang masih terjaga, sampai hanya aku yang dapat mendengar langkah kaki itu?
Namun aneh, tak biasanya suasana kost malam hari cukup sepi. Biasanya ada saja satu dua penghuni yang masih nyebat di balkon atau halaman, atau bapak kost yang begadang nonton tv di ruang tengah.
Namun saat aku ke dapur tadi, suasana ruang tengah cukup sepi.
Kenapa timing-nya bisa pas?
๐๐ถ๐ด๐ต ๐ธ๐ข๐ช๐ต, ๐บ๐ฐ๐ถ ๐ค๐ข๐ฏ'๐ต ๐ฉ๐ช๐ฅ๐ฆ ๐ง๐ณ๐ฐ๐ฎ ๐ฎ๐ฆ
๐'๐ฎ ๐ค๐ฐ๐ฎ๐ช๐ฏ๐จ
๐๐ฏ๐ฐ๐ค๐ฌ ๐ฌ๐ฏ๐ฐ๐ค๐ฌ
๐ ๐ข๐ฎ ๐ข๐ต ๐บ๐ฐ๐ถ๐ณ ๐ฅ๐ฐ๐ฐ๐ณ ๐ฏ๐ฐ๐ธ
๐ ๐ข๐ฎ ๐ค๐ฐ๐ฎ๐ช๐ฏ๐จ ๐ช๐ฏ
๐๐ฐ ๐ฏ๐ฆ๐ฆ๐ฅ ๐ง๐ฐ๐ณ ๐ฎ๐ฆ ๐ต๐ฐ ๐ข๐ด๐ฌ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฎ๐ช๐ด๐ด๐ช๐ฐ๐ฏ
Tok... Tok...
Terdengar suara pintu diketuk, tak salah lagi, pintu kamarku-lah yang diketuk. Aku refleks menahan napasku, sambil menutup mulutku dengan kedua tanganku.
Aku tak akan berteriak, tentu saja. Namun tetap saja, kalau aku refleks mengeluarkan suara, bagaimana?
Hanya dua kali ketukan, terdengar suara pintu kamarku dibuka. Dan aku, semakin merapat pada sesuatu, dalam tempatku bersembunyi.
Dan dari tempatku sembunyi, terlihat jelas sosok yang mulai masuk ke dalam kamarku, yang bisa kulihat melalui sebuah celah.
Sosok itu nampak tengah mencari-cari sesuatu.
Mungkinkah ia mencariku?
๐๐ฏ๐ฐ๐ค๐ฌ ๐ฌ๐ฏ๐ฐ๐ค๐ฌ
๐'๐ฎ ๐ช๐ฏ๐ด๐ช๐ฅ๐ฆ ๐บ๐ฐ๐ถ๐ณ ๐ณ๐ฐ๐ฐ๐ฎ ๐ฏ๐ฐ๐ธ
๐๐ฉ๐ฆ๐ณ๐ฆ ๐ช๐ด ๐ช๐ต ๐บ๐ฐ๐ถ'๐ท๐ฆ ๐ฉ๐ช๐ฅ?
๐๐ถ๐ณ ๐จ๐ข๐ฎ๐ฆ ๐ฐ๐ง ๐ฉ๐ช๐ฅ๐ฆ ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐ด๐ฆ๐ฆ๐ฌ'๐ด ๐ข๐ฃ๐ฐ๐ถ๐ต ๐ต๐ฐ ๐ฆ๐ฏ๐ฅ
๐'๐ฎ ๐ค๐ฐ๐ฎ๐ช๐ฏ๐จ ๐ค๐ญ๐ฐ๐ด๐ฆ๐ณ
๐๐ฐ๐ฐ๐ฌ๐ช๐ฏ๐จ ๐ถ๐ฏ๐ฅ๐ฆ๐ณ๐ฏ๐ฆ๐ข๐ต๐ฉ ๐บ๐ฐ๐ถ๐ณ ๐ฃ๐ฆ๐ฅ ๐ฃ๐ถ๐ต
๐ ๐ฐ๐ถ'๐ณ๐ฆ ๐ฏ๐ฐ๐ต ๐ต๐ฉ๐ฆ๐ณ๐ฆ, ๐ ๐ธ๐ฐ๐ฏ๐ฅ๐ฆ๐ณ
๐๐ฐ๐ถ๐ญ๐ฅ ๐บ๐ฐ๐ถ ๐ฃ๐ฆ ๐ช๐ฏ๐ด๐ช๐ฅ๐ฆ ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐ค๐ญ๐ฐ๐ด๐ฆ๐ต?
Ia pun melihat ke bawah meja belajar Lucas, lalu meja belajarku. Tentu saja tidak ada siapapun disana.
Dan ia pun mengecek di bawah kasur....
Kosong.
Bawah tempat tidur, kosong.
Karena aku tak bersembunyi disana.
Dan ketika si bocah itu menoleh...
Pandangan kami kembali bertemu.
Gawat!!! Ia menemukanku!!!!!
๐๐ช๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐จ
๐ ๐ฉ๐ข๐ท๐ฆ ๐ง๐ฐ๐ถ๐ฏ๐ฅ ๐บ๐ฐ๐ถ
๐๐ช๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐จ
๐ ๐ฐ๐ถ ๐ธ๐ฆ๐ณ๐ฆ ๐ฉ๐ช๐ฅ๐ช๐ฏ๐จ ๐ฉ๐ฆ๐ณ๐ฆ
๐๐ฐ๐ธ ๐บ๐ฐ๐ถ'๐ณ๐ฆ ๐ช๐ต
Dia menemukanku, dan perlahan-lahan berjalan ke arah tempatku bersembunyi.
Panik gak? PANIK LAH JELAS!!!! Mau kabur, juga nggak bisa. Karena aku bersembunyi di dalam lemari pakaianku.
Dengan menyunggingkan senyum menyeramkan, ia pun perlahan-lahan mendekat ke arah lemari. Semakin langkah kakinya terdengar, detak jantungku pun semakin cepat berpacu.
Seolah memberi sinyal pada anak itu, untuk segera mendekat.
Tubuhku memang tidak bisa diajak kerja sama.
Satu....
โ โ Dua.....
โ โ โ โ Tiga....
Brak!!!
Pintu lemari pun dibukanya, dan wajahnya yang menyeramkan itu kini menatapku. Seolah berhasil menemukan apa yang ia cari.
Matanya yang kosong itu, seolah memancarkan cahaya kemenangan karena telah berhasil menemukanku. Pun, senyum lebarnya, yang memamerkan deretan giginya semakin menambah kesan atas kemenangan telak darinya.
Mampus aku. Sekarang, aku tak bisa lari!!!
๐๐ช๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐จ
๐๐ช๐ฏ๐ข๐ญ๐ญ๐บ ๐ง๐ฐ๐ถ๐ฏ๐ฅ ๐บ๐ฐ๐ถ, ๐ฅ๐ฆ๐ข๐ณ
๐๐ฐ๐ธ ๐บ๐ฐ๐ถ'๐ณ๐ฆ ๐ช๐ต
๐๐ช๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐จ
๐๐ฐ๐ฐ๐ฌ๐ด ๐ญ๐ช๐ฌ๐ฆ ๐ ๐ฉ๐ข๐ท๐ฆ ๐ธ๐ฐ๐ฏ
๐๐ฐ๐ธ ๐บ๐ฐ๐ถ'๐ณ๐ฆ ๐ช๐ต
"Kak... aku yang menang... hihihi..." bocil hantu itu berujar, yang ditutup dengan tawanya yang menyeramkan.
"Sekarang... Kakak ikut aku ya?"
Aku hanya mematung, saat gadis itu menyeretku keluar dari lemari.
๐๐ช๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐จ
๐๐ข๐บ ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐ค๐ฐ๐ฏ๐ด๐ฆ๐ฒ๐ถ๐ฆ๐ฏ๐ค๐ฆ
0 notes
Text
#008
Bermodal gitar pinjaman Rizal, teman kost-ku yang tinggal di kamar sebelah, aku menggalau di pekarangan kost sederhana di daerah margonda. Mood ingin menggalau, pasca pengakuanku ke Valerie beberapa hari yang lalu.
"๐๐ถ๐ช๐ฏ๐จ๐ช๐ฏ ๐ฌ๐ข๐ถ ๐ต๐ข๐ฉ๐ถ, ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช๐ฌ๐ถ ๐ฅ๐ช๐ด๐ช๐ฏ๐ช. ๐๐ฆ๐ฏ๐ข๐ฏ๐ต๐ช ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช๐ฎ๐ถ..."
Bait demi bait kulantunkan, diiringi petikan gitar seadanya karena aku tidak begitu mahir.
"Les!" sebuah suara memanggil namaku, ditambah dengan sebuah tepukan di pundak. "Galau aja. Kenape lo?"
"Gapapa," jawabku pendek. Aku pun menoleh ke sumber suara, ternyata si empunya gitar. "Lo mau pake gitarnya, Zal?"
"Enggak," jawab Rizal pendek. "Anak-anak pada mau main jelangkung, lo mau ikut kagak?"
Jelangkung? Permainan memanggil arwah itu.
Jujur saja, aku tertarik dengan tawaran itu. Apalagi sebagai indigo, aku ingin mencobanya.
"Mau deh," jawabku pendek.
Kami lantas pergi ke ruang tanu kost, dan sudah ada beberapa anak yang berkumpul disana.
Permainan jelangkung pun, dimulai.
0 notes
Text
#007
Pulang kuliah, iseng kupegang jemuranku yang tadi subuh kucuci. Karena uang bulan ini pun juga ngepas banget, akhirnya uang untuk laundry kualihkan untuk beli mie, dan baju-bajuku kucuci sendiri.
"Anjir, udah kering aja. Depok emang beda," ujarku sambil mengambil jaketku di jemuran itu.
Mau kaget, tapi kayak udah biasa. Depok kan, panasnya udah kayak simulasi neraka. Walau aku sendiri belum pernah masuk neraka sih. Amit-amit.
Setelah kuambil semua jemuranku, kutaruh diatas kasur. Dan entah kerasukan apa, rasanya aku ingin menyetrika baju-bajuku. Terutama kemeja, yang kelihatan gampang kusut itu.
Aku pun meminjam setrikaan dari ibu kost (yah, anak kost cowok siapa coba yang punya setrikaan? Mereka lebih memilih laundry daripada nyuci setrika sendiri). Si ibu agak kaget, tapi dipinjami juga.
Dan, agar tidak sepi, kunyalakan lagu agar di kamar. Tak lupa, ponsel kuhubungkan dengan speaker bluetooth, agar suaranya makin menggema di kamar.
"Cikini ke Gondangdia, ku jadi begini gara-gara dia~" sambil menyetrika satu kemeja, aku pun turut bernyanyi.
Hingga... Lagu pun berganti, ke lagu yang sangat 'aku banget'. Sambil nyetrika, aku menyanyikan lagu itu keras-keras.
"JADIKANLAH AKU PACARMU. KAN KUBINGKAI SLALU INDAHMU~ JADIKANLAH AKU PACARMU. IRINGILAH KISAHKU WAHAI VALERIE XYLIA~"
Kan. Malah halu. Kehaluanku makin menjadi, kala aku membayangkan aku sudah berumah tangga dengan Valerie.
Aku menyetrika baju kami, sementara Valerie tengah beristirahat karena sedang mengandung anak kamiโ
"Woi Charles!" sapa seorang temanku, yang tinggal di kamar sebelah. "Lo karaokean sambil nyetrika?"
Kehadiran temanku ini otomatis membuyarkan lamunanku.
"Iya hahaha. Galau produktif. Lo mau pinjem apa?" todongku.
"Santai bro! Anu... Mau minta udud dong."
"Ambil aja tuh, di laci meja," jawabku sambil menunjuk ke arah mejaku, sama sekali tak berniat mengambil untuknya karena aku sedang sibuk menyetrika.
Temanku itu hanya mengangguk, lantas masuk ke kamarku dan berjalan menuju mejaku.
"LES!!! INI PACARLO? Yang tadi namanya lo sebut di lagu?!"
Mampus. Mading 'Valerie Corner' -ku ketahuan. Jawab apa ya?
"Haha, bukan pacar, belom lebih tepatnya. Masih HTS-an," jawabku.
Temanku lantas memperhatikan madingku. "Cakep juga. Agak mirip Valoโ anak fasilkom."
"Itu kembarannya si Valoโ LAH LO KENAL VALO FASILKOM?!"
"Lah gue kan juga anak fasilkom, Les!!" sahut temanku.
Oiya. Aku lupa akan fakta itu.
"Tapi gue baru tahu si Valo punya kembaran. Anak mana deh?" tanya temanku sambil membuka laci mejaku.
"Sasina," jawabku singkat.
"Oh pantes, satu fakultas sama elo."
Aku tak menanggapi, karena fokus melipat baju yang selesai kusetrika.
Setelah mengambil sekotak rokok, ia pun pamit.
"Semoga cepet jadian sama kembarannya Valo ya!!!"
Dalam hati, aku hanya bisa mengamini, lalu kembali menyetrika.
0 notes
Text
#006
๐๐ฆ๐ต๐ช๐ฌ๐ข ๐๐ถ๐ฉ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฎ๐ฃ๐ช๐ญ ๐ด๐ฆ๐ด๐ถ๐ข๐ต๐ถ ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐จ๐ฆ๐ฏ๐จ๐จ๐ข๐ฎ๐ข๐ฏ๐ฎ๐ถ, ๐ช๐ข ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฉ๐ถ๐ฌ๐ถ๐ฎ๐ฎ๐ถ.
Apa benar begitu?
Apa saat Tuhan mengambil orangtuaku dari genggamanku, Tuhan tidak sedang menghukumku?
Kalau itu bukan hukuman, mengapa Tuhan mengambil kedua orangtuaku sekaligus dan membiarkanku hidup sendirian di dunia ini?
Apa di kehidupanku sebelumnya, aku ini anak yang durhaka?
Aku bahkan tak punya kerabat. Karena baik ayah maupun ibuku sama-sama anak tunggal.
๐๐ถ๐ฉ๐ข๐ฏ ๐ต๐ข๐ฌ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฏ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ช ๐ค๐ฐ๐ฃ๐ข๐ข๐ฏ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ช๐ด๐ข ๐ฅ๐ช๐ต๐ข๐ฏ๐จ๐จ๐ถ๐ฏ๐จ ๐ฉ๐ข๐ฎ๐ฃ๐ข๐ฏ๐บ๐ข.
Jujur saja, aku agak meragukan kalimat tersebut.
Bagaimana anak yang baru berusia 11 tahun menghadapi dunia seorang diri, tanpa sosok orangtua? Bagaimana?
Tapi, walau pernah sekilas terbesit untuk menyusul orangtuaku, aku tak benar-benar melakukannya.
Aku masih berjuang untuk hidup, bagaimanapun caranya. Berusaha tumbuh besar, hidup mapan, demi membahagiakan orangtuaku di surga.
๐๐ถ๐ฉ๐ข๐ฏ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฉ๐ถ๐ฌ๐ถ๐ฎ๐ฎ๐ถ, ๐๐ฉ๐ข๐ณ๐ญ๐ฆ๐ด ๐๐ข๐ฑ๐ถ๐ต๐ณ๐ข. ๐๐ฆ๐ณ๐ญ๐ฆ๐ฑ๐ข๐ด ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ฅ๐ฐ๐ด๐ข๐ฎ๐ถ ๐ฅ๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ฉ๐ช๐ฅ๐ถ๐ฑ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฃ๐ฆ๐ญ๐ถ๐ฎ๐ฏ๐บ๐ข. ๐๐ข ๐ฉ๐ข๐ฏ๐บ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฌ๐ข ๐ต๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ๐ฎ๐ถ, ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ฆ๐ณ๐ช๐ฎ๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ช๐ฉ ๐ฃ๐ข๐ช๐ฌ.
Seharusnya, aku lebih bersyukur. Karena masih ada orang yang baik hati, mengadopsiku sebagai anak mereka.
Mereka bukan keluargaku, bukan pula kerabatku. Hanya seorang teman lama ayah, yang kebetulan memiliki kehidupan yang lebih dari cukup.
Orangtua angkatku membesarkanku layaknya aku ini anak kandung mereka. Memberiku fasilitas mewah, yang belum tentu orangtua kandungku mampu membelikannya untukku.
Bahkan menyekolahkanku hingga jenjang kuliah.
Namun tetap saja... Orangtua kandungku adalah yang terbaik. Karena kami memiliki hubungan darah yang tak bisa diputus.
Mengeluh itu mudah,
Bersyukur itu sulit.
Meratapi itu mudah,
Ikhlas itu sulit.
Lebih baik, aku lekas mengikhlaskan kepergian orangtua kandungku, dan bersyukur dengan kebaikan orangtua angkatku.
0 notes
Text
#005
23:30
Aku baru saja pulang ke rumah kost-ku, setelah 12 jam yang lalu aku bertengkar dengan Lucas. Beberapa teman kost-ku bertanya, aku habis darimana? Seharian nggak kelihatan, dan jam segini baru pulang. Kujawab pertanyaan mereka sekenanya, lalu segera pergi ke kamarku.
Kamar yang kutempati bersama Lucas tampak gelap; mungkin sahabatku itu sudah tidur. Kubuka pintu perlahan-lahan, agar tak membangunkan Lucas.
Namun betapa terkejutnya aku, melihat Lucas tertidur di meja belajar.
"Kebiasaan. Pasti keasikan baca buku," simpulku sekenanya. Mungkin karena suasana gelap, aku tak melihat barang apapun diatas meja belajarnya.
Kuambil selimut miliknya yang terlipat rapi di kasur, lantas menyelimuti tubuhnya yang masih tertidur dengan posisi kepala di atas meja itu. Tak tega membangunkannya.
Aku pun melepas jaketku, menaruhnya asal di kursiku sendiri, lantas membuka ponsel sambil rebahan. Beberapa pesan masuk kubaca, tanpa kubalas. Bahkan chat Valerie yang biasanya selalu kutunggu, hari ini cukup kubaca saja.
12 jam yang lalu, usai bertengkar dengan Lucas, kuputuskan untuk pergi ke rumah Valerie. Untung saja saldo kartu transportasiku masih lebih dari cukup.
Namun saat kereta yang kunaiki berhenti di stasiun Duren Kalibata, aku ragu.
"Harus banget gue ketemu Valerie? Pacar gue bukan, masa' gue seenaknya curhat sama dia?"
Akhirnya hingga pintu kereta kembali tertutup, aku tetap tak bergeming. Hingga kereta tiba di stasiun akhir, yaitu stasiun Jakarta Kota, barulah aku turun.
Aku menghabiskan waktu sekitar tiga jam dengan berjalan-jalan di sekitar Kota Tua. Tidak ada adegan memotret tentunya, karena aku tak membawa ponselku, apalagi kameraku.
Puas berkeliling Kota Tua, aku pun kembali ke stasiun. Namun alih-alih kembali naik kereta jurusan Bogor atau Depok, aku malah naik kereta jurusan Tanjung Priok. Saat kereta itu berhenti di stasiun terakhir pun, aku hanya bergerak untuk pindah gerbong, hingga kereta kembali berjalan.
Namun, ketika kereta berhenti di stasiun Kampung Bandan, aku turun dan berganti kereta tujuan Cikarang. Sama seperti sebelumnya, sampai stasiun Cikarang aku hanya berpindah gerbong, lalu menunggu kereta kembali berjalan.
Kali ini saat kereta tiba di stasiun Duri, aku turun dan berganti kereta tujuan stasiun Tangerang.
Sama seperti tadi, di Stasiun Tangerang aku hanya pindah gerbong, hingga kereta kembali ke stasiun Duri.
Aku lantas pindah kereta, lalu turun di stasiun Tanah Abang dan berganti kereta tujuan stasiun Rangkas Bitung.
Tidak seperti sebelumnya, tiba di Rangkas bitung, aku pun turun dari kereta. Namun aku tidak keluar staisunโdemi menghemat saldo kartu transportasiku, tentunya.
Aku hanya duduk merenung di stasiun, memandangi orang-orang yang berlalu lalang. Tubuhku belum terisi makanan maupun minuman sejak pagi, namun anehnya aku tak merasa lemas atau apa. Aku sama sekali tak berselera untuk makan.
Aku melirik jam yang ada di stasiun, waktu menunjukan pukul 20:07. Kuputuskan untuk pulang, dengan kembali naik kereta jurusan Tanah Abang.
Dari Tanah Abang, aku turun di stasiun Manggarai, lalu berpindah ke jalur Bogor. Namun sampai di stasiun Pondok Cina, stasiun terdekat dari kost-ku, aku belum ada niat untuk turun. Aku tetap pada tempatku, hingga kereta berhenti di stasiun Bogor.
Aku turun dari kereta, berjalan-jalan di sekitar stasiun, lalu naik kereta terakhir yang menuju stasiun Jakarta Kota.
Dan kali ini, saat kereta tiba di staisun Pondok Cina, aku benar-benar turun.
Hingga sekarang, tubuhku berada di atas kasur. Lelah, letih, hingga pusing dan mual-mual kini mulai singgah di tubuhku.
Efek aku belum makan apapun, kah?
"Paling besok juga ilang, mending sekarang tidur," ujarku pada diri sendiri, sambil memejamkan mata.
1 note
ยท
View note
Text
#004
็ธ็ธ๏ผๅฆๅฆ๏ผๆๅฏไปฅ่ท็ไฝ ไปฌๅ๏ผ
Aku menghela napas, sambil membuka bungkusan permen kesukaanku. Duduk di atap kost, sambil menatap langit malam kota Depok yang suram. Tanpa bintang, hanya ada bulan.
"Kenapa ya? Hidup gue gini banget?"
Entah kenapa, semakin hari, hidup semakin berat saja. Tapi ya, namanya hidup ada aja cobaannya, kan?
Tapi kalo cobaannya kayak begini, apa nggak keterlaluan?
Perutku keroncongan, sejak siang aku belum makan apapun karena harus berhemat. Aku tak punya uang, uang di dompet sisa lima puluh ribu untuk bertahan sampai akhir bulan.
Sementara tabunganku, aku tak berani memakainya. Itu investasiku, untuk bisa segera melepas status sebagai anak pungut si beban.
Jadi ya, aku hanya makan permen saat malam, dan makan mie goreng instan saat sarapan.
"Kalo papa sama mama masih hidup..." gumamku, sambil menatap ke arah langit. Apa orangtuaku tengah menatapku dari surga?
Bagaimana reaksi mereka, kalau tahu anak yang mereka tinggal sendirian di dunia ini hanya makan permen sebagai makan malam?
"Gue sih, nggak mau bikin papa mama khawatir, tapi gimana? Gue nggak mungkin malak teman-teman gue cuma buat makan, kan?"
Permen di mulut sudah habis, dan kini aku membuka bungkusan kedua.
"Gak apa. Tunggu aja sampe bulan depan."
Sekilas terbesit dalam pikiranku, untuk menyusul kedua orangtuaku ๐ฅ๐ช ๐ด๐ข๐ฏ๐ข.
Lagipula, toh aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Aku tak punya siapapun untuk bergantung lagi.
Dan yang paling penting: ๐ข๐ฌ๐ถ ๐ณ๐ช๐ฏ๐ฅ๐ถ ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ๐ต๐ถ๐ข๐ฌ๐ถ.
"Lompat dari sini, bisa gak yaโ" buru-buru aku menepuk pipiku dengan kencang.
"Bego!!! Kalo lompat mah, yang ada badan gue malah remuk!! Dasar t*l*l!!!" makiku pada diri sendiri, saat kewarasanku sudah kembali.
"Kalo mau nyusul mah, terbang gak sih? Hahahaha. Kan di atas tuh. Rasanya pengen punya baling-baling bambu."
Pikiranku mulai random, berawal dari ingin punya baling-baling bambu untuk terbang sampai ke surga, hingga nyasar di kahyangan. Bertemu Dewi Langit, lalu mereka memberiku makan.
"Lo aneh kalo lagi laper, Les," komentarku pada diri sendiri. "Dah ah, mending tidur!"
Aku pun segera turun dari genteng, lalu kembali menuju kamarku.
Namun sebelumnya, aku belok sebentar ke kamar mandi. Sekadar untuk mencuci muka, agar bekas tangisku di genteng tadi hilang.
0 notes
Text
#003
Bangun tidur, dan saat aku lihat jam....
"ANJIR?!?! JAM 7.45?!?! Mampus, hari ini kan ada kelas Pak Adri jam 8!!"
Buru-buru aku menyambar peralatan mandiku, lantas pergi ke kamar mandi.
Dan sialnya, antrian kamar mandi pun udah panjang banget.
Maka dengan tak ambil pusing, aku pun mencuci muka dan gosok gigi di keran depan, yang biasa digunakan penghuni lain untuk cuci motor mereka atau bapak kost menyirami tanaman.
Aku pun kembali ke kamar, dan segera memgganti baju. Gapapa nggak mandi, yang penting sudah cuci muka dan sikat gigi, agar wajahku tetap tampan dan mulutku nggak bau naga.
Begitu selesai merapikan diri, aku baru sadar kalau Lucas sudah tidak ada. "Cih, dia nggak bangunin aku."
Jam kini menunjukan pukul 7.50, dan segera aku memesan ojek online, agar tidak terlambat sampai ke kampus.
0 notes
Text
#002
Suatu hari, saat aku masih duduk di kelas 1 SMA.
"Oh, Charles udah pulang? Mana Jo?" sapa ibuku, saat aku baru saja membuka pintu saat pulang sekolah.
"Ada kerja kelompok sama temennya Ma," jawabku sambil melepas sepatu.
Ibuku hanya mengangguk, lantas menyimpan majalah yang tengah dibacanya. "Kamu dapet paket tuh."
"Paket?" tanyaku tak mengerti, karena seingatku, aku belum check out apapun karena lagi miskin.
"Iya," ibuku menjawab sambil menujuk sebuah kotak di atas meja, sebelum akhirnya bangkit menuju dapur. "Sana ganti baju, abis itu makan."
Aku hanya mengangguk, lantas membawa paket tersebut ke kamar.
Terheran-heran, aku mulai unboxing paket tersebut setelah mengganti seragamku dengan baju rumah. Dan betapa terkejutnya aku, mengetahui isi dari paket tersebut.
Kotak paket itu berisi sampah botol plastik, dan juga beberapa catatan yang cukup membuatku shock.
Hei anak pungut! Gak usah sok deh!! Cuma numpang tinggal aja belagu!!! Beban lo!!!!
Gak usah sok nempel sama Lucas, dasar anak pungut beban!!!!
Gue heran kenapa keluarga si Jovanka mau mungut elo. Padahal lo cuma jadi beban buat keluarga itu.
Deg!
Aku hanya terdiam membaca tulisan-tulisan itu. Sebenarnya masih ada banyak, namun aku tak berani membacanya.
Siapa yang sebenarnya mengirimkan ini padaku?
"Charles!!" suara ibuku sukses membuat kesadaranku akhirnya kembali. "Makan dulu nak!!"
"Iya Ma!!"
Aku berusaha mengatur mentalku, menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan, sebelum keluar kamar untuk pergi makan.
<>
Selesai makan, aku kembali ke kamarku dan merenungi paket yang baru saja kuterima itu. Berbagai pertanyaan pun muncul di kepalaku.
Siapa yang mengirim ini?
Kenapa dia tahu alamat rumahku? Apa dia kenalanku?
Dan, kenapa dia membawa nama Lucas?
Aku bingung, apa yang harus kulakukan?
Menanyakan pada Lucas? Nggak, aku nggak mau membuat Lucas khawatir dengan masalah ini. Walau ia terlihat cuek, tapi sebenarnya ia cukup care dan peka. Aku tahu hal itu karena dia sahabatku.
Berkonsultasi pada Jo? Ini sih, jelas nggak mungkin. Sudah lima tahun aku diadopsi di keluarganya dan menjadi adiknya. Sudah lima tahun pula aku tinggal satu rumah dengannya. Aku tahu betul sifatnya. Kakakku itu pasti akan langsung mengamuk, mengadukan pada orangtua kami, atau yang paling parah, memukuli oknum yang bersangkutan tanpa ampun.
"Arrghhh!!! Gue harus apaaa?!?!" aku mengacak-acak rambut, frustrasi akan langkah yang harus kuambil selanjutnya.
Namun aku jadi kepikiran.
Benarkah aku ini beban bagi keluarganya Jo?
<>
Keesokan paginya, saat aku baru menginjakan kaki di kelas, seisi kelas pun berbisik-bisik sambil mencuri pandang ke arahku.
"Eh, Charles tuh anak pungut ya? Tapi kelakuannya kok gak kayak anak pungut."
"Kirain dia sepupu si Jo, soalnya tinggal bareng di rumah Jo. Ternyata cuma anak pungut?"
"Bahkan, katanya keluarga dia sama Jo tuh gak ada hubungan saudara. Literally dipungut."
Apa-apaan ini?
Aku dan Jo memang tidak merahasiakan kalau aku adalah anak adopsi, tapi kami juga tidak mengumbar sembarangan statusku sebagai anak adopsi. Jika ada yang bertanya, kami akan menjawab jujur. Tapi jika tidak ada yang tanya, untuk apa kami bilang?
Kepalaku seketika pusing. Aku segera berjalan menuju mejaku, lalu menengggelamkan kepalaku di meja. Berusaha menahan tangis yang akan meledak.
Mama, Papa, kenapa kalian pergi ke surga tanpa mengajakku?
<>
Kupikir bisik-bisik itu akan hilang setelah seminggu. Namun sampai aku hampir lulus, bisik-bisik itu tak kunjung hilang.
Maka dari itu, dimanapun aku kuliah nanti, aku bertekad untuk keluar dari rumah itu.
Aku tahu, kedua orangtua angkatku serta Jo menyayangiku, layaknya aku ini anggota keluarga kandung mereka.
Namun, pikiran tentang aku ini si anak pungut beban keluarga tak juga hilang. Aku harus tahu diri, dengan hidup sendiri meninggalkan rumah itu. Puji syukur jika aku bisa menemukan kerja sambilan yang tak mengganggu jadwal kuliahku.
Seorang Charles Saputra memikirkan masa depan, ini adalah suatu hal yang langka. Namun demi berhenti menjadi beban keluarga, aku harus memikirkannya.
Dewi Fortuna pun berpihak padaku. Aku diterima di Universitas Indonesia, jurusan Sastra Cina. Dan sahabatku, Lucas, juga diterima di jurusan yang sama. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengajaknya untuk menyewa rumah kost bersama, dan ia pun setuju. Bahkan dia juga setuju untuk jadi roommate-ku.
Dan inilah kesempatanku untuk keluar dari rumah.
Walau rumahku di daerah Pasar Minggu, yang hanya berjarak beberapa stasiun dari UI, namun aku memilih untuk kost saja walau Jo tidak.
Semata agar aku tidak lagi menjadi si anak pungut beban keluarga. Aku harus bisa mandiri.
0 notes
Text
#001
Jakarta, 24 Desember 2013
"Charlie, pulang sekolah jangan mampir kemana-mana ya. Langsung pulang!"
Begitulah ucapan ibuku, pada diriku yang kala itu baru berusia 11 tahun dan hendak berangkat sekolah.
"Iya Mama!!" aku menyahut dengan riang, lantas seger berangkat menuju sekolah.
Ada alasan mengapa ibuku berkata demikian. Biasanya, ibu tak pernah membatasi kapan aku harus pulang. Asal aku memberi tahu alasan keterlambatan pulangku dengan jujur, ibu akan mengerti.
Namun, hari itu berbeda.
Karena itu malam natal.
Keluargaku adalah keluarga bahagia yang terdiri dari tiga orang. Ayahku adalah pemilik salah satu studio foto di Jakarta, sementara ibuku hanya ibu rumah tangga biasa.
Setiap malam natal sampai tahun baru, keluarga kami akan pergi berlibur. Walau keluarga kami bukan penganut kristiani.
Itulah alasan kenapa hari itu, ibu menyuruhku untuk pulang cepat. Karena pulang sekolah, keluarga kami akan pergi ke Bali untuk berlibur.
Namun, kebahagiaan keluargaku hanya bertahan sampai hari itu.
Bahkan, hari itu merupakan agenda liburan terakhir kami.
Pulang sekolah, sesuai pesan ibu, aku pun langsung pulang ke rumah. Aku ingat betul, pakaian yang dikenakan ayah dan ibuku, percakapan antar kami selama dalam perjalanan. Aku juga ingat, perjalanan hari itu, hujan lebat pun mengguyur kota Jakarta, menemani perjalanan kami sepanjang jalan tol.
Hingga...
Bruk!!!!
Sebuah truk tergelincir, kala hendak menyalip mobil sedan yang dikendarai ayahku. Truk itu menabrak mobilku, menciptakan suara yang membuat gendang telingaku hampir pecah. Aku bahkan tak tahu lagi bagaimana menuliskan keadaan saat itu. Karena dalam hitungan detik, tubuhku terasa tertimpa sesuatu, menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Aku pun tak dapat menahan pusing di kepalaku, dan untuk memanggil ibuku saja, aku tak sanggup.
Hingga perlahan-lahan, kesadaranku pun mulai hilang.
<>
Aku tak tahu berapa lama aku kehilangan kesadaranku. Karena saat membuka mata, aku melihat ada banyak sekali selang di tubuhku, dan juga alat bantu pernapasan terpasang di wajahku.
Mereka bilang, aku tertidur selama satu bulan lebih. Aku bahkan melewatkan pesta tahun baru.
Dan yang lebih parah, aku melewatkan upacara pemakaman orangtuaku. Mereka meninggal di tempat, saat kecelakaan hari itu. Sementara aku, berada dalam masa kritis saat dilarikan ke rumah sakit.
Aku bisa selamat.Apakah ini sebuah keajaiban?
"Kasian ya, anak itu. Kedua orangtuanya meninggal di tempat..."
"Kudengar, anak itu sekarang tinggal sebatang kara. Kakek nenek dari pihak ibu dan ayahnya sudah meninggal semua."
"Dan yang lebih parah, baik ibu maupun ayahnya sama-sama anak tunggal. Jadi dia benar-benar nggak punya keluarga lagi."
Begitulah, kudengar bisik-bisik para perawat ketika mereka melewati kamarku. Aku hanya menghela napas.
"Papa Mama, kenapa aku gak diajak? Kenapa kalian pergi meninggalkanku sendirian di dunia?"
0 notes
Text
Namaku, Charles Saputra. Kalo kata orang-orang sih, aku ini chindo karena orangtuaku ada keturunan Tionghoa. Maka dari itu, aku kuliah di jurusan Sastra Cina di Universitas Indonesia. Aku tertarik untuk mempelajari budaya leluhurku.
Namun semua tidak berjalan seindah bayanganku.
Dari semester satu aja, aku udah dibuat mabok sama yang namanya hanzi. Kalo kalian nggak tahu, hanzi itu nama huruf cina. Ya, mirip kanji di Jepang. Ditambah, pinyin ada nadanya. Pinyin itu romaji Beda nada, beda arti gais.
ASTAGA TUHAN SAYA PUSING.
Kalo kalian tanya padaku: orang cina kok gak bisa bahasa cina?
Jawabannya: BAHASA CINA ITU PUSING GAIS. SERIUS! BEDA NADA BEDA ARTI.
Misal, kata ai. Kalo ฤi yang ada garis diatas. Ini artinya sehat. Tapi kalo ร i yang garisnya begini, artinya cinta.
Pusing? Sama.
Oke, mari lupakan bahasa mandarin dan fokus pada perkenalanku.
Walau mental terbantai karena hanzi, untungnya aku masih bisa bertahan sampai di semester 7 ini. Iya, sebentar lagi lulus. Walau selama kuliah, ngerjain tugas selalu sambil nangis. Ini semua demi mama papa yang mendukungkuโdari surga.
Iya, aku nggak punya orangtua lagi. Tapi aku diadopsi oleh tetanggaku, yang punya anak perempuan seusiaku. Nama anak itu Sherina Jovanka. Aku juga punya sahabat namanya Lucas Pramana, jadi ya, hidupku nggak sedih sedih amat kok. Psst, aku juga punya gebetan, namanya Valerie Xylia. Aku naksir dia sejak semester 1, tapi sampe sekarang, aku belum berani confess, ehe.
Oh, aku bisa lihat hantu, karena kecelakaan waktu umurku 10 tahun. Kecelakaan ini juga yang menewaskan orangtuaku. Tapi ya, walau aku bisa lihat hantu, belum sekalipun aku melihat arwah orangtuaku. Mungkin mereka udah tenang di surga?
Idk. Semoga aja begitu.
Tambahan: Hal Kecil Tentang Diriku
โ Tanggal lahirku adalah 15 April 2002
โ Aku menganut kepercayaan Konghuchu, walau ke klenteng bisa dihitung jari
โ Aku suka mendengarkan musik dari negara manapun dan berbagai macam genre. Namun genre favoritku tetap dangdut koplo
โ Suka makan permen, terutama yang merk relaksa (bukan endorse)
โ Fotografi dan menulis adalah hobiku
โ Jarang top up game, kecuali untuk membeli beberapa item favorit. Game favoritku adalah identity v dan cookie run kingdom
โ Memiliki hubungan love hate relationship dengan hanzi
โ Walau mengaku nggak bisa bahasa mandarin, tapi setiap UAS nilai-nilaiku selalu diatas B+. IPK ku? Sejauh ini sudah menginjak angka 3,7. Aku juga punya sertifikat HSK 4. Flexing dikit
โ Sedang dalam life crisis dimana lulus kuliah bingung mau jadi apa
โ Bisa melihat hantu, terkadang berkomunikasi dengan mereka
โ Suka mengoleksi succulent
1 note
ยท
View note