Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Eksistensialisme adalah sebuah aliran dalam filsafat yang menekankan pada manusia, di mana manusia dipandang sebagai makhluk yang harus bereksistensi dan meneliti cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Oleh karena itu, eksistensialisme berfokus pada manusia konkret.
Inti dari filsafat eksistensialisme adalah keyakinan bahwa hanya manusia yang dapat bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia untuk ada. Filsafat ini berfokus pada manusia dan karena itu memiliki sifat humanistis; eksistensi harus dipahami secara dinamis. Bereksistensi berarti manusia secara aktif menciptakan dirinya sendiri, bertindak, menjadi, dan merencanakan. Manusia dipandang sebagai "sesuatu" yang masih terbuka, realitas yang belum selesai, yang terus-menerus harus dibentuk. Filsafat ini menekankan pengalaman konkret yang berbeda-beda.
Martin Heidegger (1889–1976) menekankan pada kematian yang menimbulkan rasa cemas karena ancaman ketiadaan yang menyelimuti keberadaan. Menurut Heidegger, dalam kesibukan dan keinginan untuk memelihara hidup, manusia merasa cemas terhadap ketiadaan ini, yang mengancam keberadaannya. Kematian adalah akhir yang selalu ada di depan mata, sehingga eksistensi manusia adalah perjalanan menuju kematian.
Gabriel Marcel (1889–1973) menekankan pada pengalaman keagamaan dan aspek transendental. Ia berbicara tentang "Engkau yang tertinggi," yang tidak dapat dijadikan objek oleh manusia.
Karl Jaspers (1883–1969) menyoroti pengalaman saling bertentangan dalam eksistensi yang sulit untuk didamaikan. Eksistensi mengandung elemen baik dan jahat, benar dan salah. Sifat-sifat esensial ini terutama dialami dalam situasi-situasi perbatasan yang tidak dapat dihindari seperti kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan.
Jean-Paul Sartre (1905–1980) menekankan pada kebebasan manusia. Menurutnya, manusia tidak lain adalah apa yang ia buat dari dirinya sendiri: "Manusia bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri." Maka, manusia benar-benar bebas; ia menciptakan masa depannya sendiri dan oleh karena itu ia bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan orang lain. Tanggung jawab ini tidak dapat dipindahkan kepada orang lain atau kepada Tuhan.
#Eksistensialisme
0 notes
Text
Mereka terlalu familiar untuk diabaikan, namun terlalu berbeda untuk ditoleransi.
Neanderthal
0 notes
Text
Sebenarnya, para mubaligh harus menjabarkan dengan baik aktor utama dalam sejarah idul Adha, selain Ketenangan ismail dan kemantaban Ibrahim. Keikhlasan Siti Hajar juga harus ditekankan. Bagaimana seorang ibu yang ditinggalkan dengan bayinya ismail di padang pasir Makkah, harus tabah hati mengikhlaskan anaknya disembelih sebagai bukti Tauhid sang nabi sekaligus suaminya.
Semoga Allah memuliakan beliau. Aamin
0 notes
Text
8 Juli 2022
Webinar Sosialisasi Ikm
peserta 1200 orang by zoom
0 notes
Text
di masa depan
satu-satunya cara bertahan hidup hanyalah terus belajar sepanjang hidup, dan terus memperbarui diri berulang-ulang.
Noah harari
0 notes
Text
di masa depan
satu-satunya cara bertahan hidup hanyalah terus belajar sepanjang hidup, dan terus memperbarui diri berulang-ulang.
Noah harari
0 notes
Quote
The ability of a meal’s composition to affect the production of brain chemicals distinguishes the brain from all other organs. The crucial compounds that regulate other organs are largely independent of whatever was in the last meal we ate—but not the brain.
Richard Wurtman
0 notes
Text
Prestasi dan Ilmuwan di zaman Dinasti Abbasyiyah
Masa dinasti abasiyyah merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang, khususnya bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada masa ini umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan, sehingga mengalami kemajuan pesat. Pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara menerjemahkan berbagai buku karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti buku-buku karya bangsa Yunani, Romawi dan Persia. Berbagai naskah yang ada di kawasan Timur Tengah dan Afrika seperti Mesopotamia dan Mesir juga menjadi perhatian. Banyak para ahli yang berperan dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan adalah kelompok mawali atau orang-orang non arab, seperti Persia.
Pada masa permulaan Dinasti Abasiyah, belum terdapat pusatpusat pendidikan formal, seperti sekolah-sekolah. Akan tetapi sejak masa pemerintahan Harun Ar Rasyid mulailah dibangun pusat-pusat pendidikan formal seperti Darul Hikmah dan pada masa Al Ma’mun dibangun Baitul Himah yang kelak dari lembaga ini melahirkan para sarjana dan para ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan bagi umat Islam (N Abbas Wahid dan Suratno, 2009). Pada masa Al Ma’mun ilmu pengetahuan dan kegiatan intelektual mengalami masa kejayaanya. Ia mendirikan Baitul Hikmah yang menjadi pusat kegiatan ilmu, terutama ilmu pengetahuan nenek moyang Eropa (Yunani).
Pada masa itu banyak karya-karya Yunani yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Selanjutnya model ini dikembangkan di Darul Hikmah Cairo kemudian diterima kembali oleh barat melalui Cordova dan kota-kota lain di Andalusia (M Abdul Karim, 2007). Khalifah Al Ma’mun lebih lagi melangkah, yaitu mengirim tim sarjana ke berbagai pusat ilmu di dunia, untuk mencari kitab-kitab penting yang harus diterjemahkanya (A. Hasjmy, 1973: 227). Hal inilah salah satu yang menjadikan Islam mengalami kemajuan. Karena umat Islam bis mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang ada di penjuru dunia.
Disamping sebagai pusat penerjemahan, Baitul Hikmah juga berperan sebagai perpustakaan dan pusat pendidikan. Karena pada masa perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku. Dengan demikian buku merupakan sarana utama dalam usaha pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan. (Zuhairi dkk, 1992). Sehingga Baitul Hikmah selain menjadi lembaga penerjemahan juga sebagai perpustakaan yang mengoleksi banyak buku.
Pada masa ini berkembang berbagai macam ilmu pengetahuan, baik itu pengetahuan umum ataupun agama, seperti Al Qur’an, qiraat, Hadits, Fiqih, kalam, bahasa dan sastra. Disamping itu juga berkembang empat mazhab fi qih yang terkenal, diantaranya Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi , Imam Maliki ibn Anas pendiri madzhab Maliki, Muhammad ibn Idris Asy-Syafi ’i pendiri madzhab syafi ’i dan Muhammad ibn Hanbal, pendiri madzhab Hanbali. Disamping itu berkembang pula ilmuilmu umum seperti ilmu fi lsafat, logika, metafi sika, matematika, alam, geometri, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan kimia. Ilmu-ilmu umum masuk kedalam Islam melalui terjemahandi Baitul Hikmah dari bahasa Yunani dan persia ke dalam bahasa Arab, disamping dari bahasa India. Pada masa pemerintahan al Ma’mun pengaruh Yunani sangat kuat. Diantara para penerjemah yang masyhur saat itu ialah Hunain ibn Ishak, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan bukubuku Yunani ke dalam bahasa Arab. Ia terjemahkan kitab Republik dari Plato dan kitab Kategori, Metafi sika, Magna Moralia dari dari Aristoteles (Ali Mufrodi, 1997).
Di Bidang Kebudayaan
Pada masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani, Kebudayaan Hindia dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
Di bidang ilmu pengetahuan umum
Banyak lahir ilmuwan-ilmuwan besar dan sangat berpengaruh terhadap peradaban islam.
• Ilmu kedokteran
1) Hunain ibn Ishaq (804-874 M), terkenal sebagai dokter penyakit mata.
2) Ar Razi (809-873 M), terkenal sebagai dokter ahli penyakit cacar dan campak. Buku karanganya dibidang kedokteran berjudul Al Hawi. Perpustakaan Bayt Al Hikmah, ”The Golden Age Of Islam” (H. Fuad Riyadi) 112
3) Ibn sina (980-1036 M), karyanya yang terkenal adalah al Qonun fi at-Tibb dan dijadikan buku pedoman kedokteran bagi universitas di negara Eropa dan negara Islam.
4) Abu Marwan Abdul Malik ibn Abil’ala ibn Zuhr (1091-1162 M), terkenal sebagai dokter ahli penyakit dalam. Karyanya yang terkenal adalah At Taisir dan Al Iqtida.
5) Ibn Rusyd (520-595 M), terkenal sebagai perintis penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar.
• Ilmu Perbintangan
1) Abu Masy’ur al Falaki, karyanya adalah Isbatul’Ulum dan Haiatul Falaq.
2) Jabir Al Batani, pencipta teropong bintang yang pertama, karya yang terkenal adalah Kitabu Ma’rifati Matlil-Buruj Baina Arba’il Falaq.
3) Raihan Al Biruni, karya yang terkenal adalah at-Tafhim li Awa’ili Sina’atit-Tanjim (N Abbas Wahid dan Suratno, 2009: 50).
• Ilmu Pasti/ Matematika (Riyadiyat)
1) Sabit bin Qurrah al Hirany, karyanya yang terkenal adalah Hisabul Ahliyyah.
2) Abdul Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Abbas, karyanya yang terkenal ialah Ma Yahtaju Ilaihi Ummat Wal Kuttab min Sinatil-hisab.
3) Al Khawarijmi, tokoh matematika yang mengarang buku al Jabar.
4) Umar Khayam, karyanya tentang al Jabar yang bejudul Treatise on al-Gebra telah diterjemahkan oleh F Woepcke ke dalam bahasa Perancis (1857 M). Karya Umar Khayam lebih maju daripada al Jabar karya Euklides dan Al Khawarizmi.
Ilmu farmasi dan Kimia
Salah satu ahli farmasi adalah ibn Baitar, karyanya yang terkenal adalah Al Mugni, Jami’ Mufratil Adwiyyah, wa Agziyah dan Mizani tabib. Adapun dibidang Kimia adalah Abu Bakar Ar Razi dan Abu Musa Ya’far al Kufi
. • Ilmu Filsafat
Tokoh-tokoh fi lsafat Islam antara lain, Al Kindi (805-873), Al Farabi (872-950 M) dengan karyanya Ar-Ra’yu Ahlul Madinah al Fadilah, Ibnu sina (980-1036 M), Al Ghazali (450-505 M) dengan karya Tah- 113 Afut al-Falasifat, Ibnu Rusyid dan lain-lain.
• Ilmu Sejarah Ahli Sejarah yang lahir pada masa itu adalah Abu Ismail al Azdi, dengan karyanya yang berjudul Futuhusyi Syam, al Waqidy dengan karyanya al Magazi, Ibn Sa’ad dengan karyanya at-Tabaqul Kubra dan Ibnu Hisyam dengan karyanya Sirah ibn Hisyam.
• Ilmu Geografi Tokohnya ialah Ibnu Khazdarbah dengan karyanya Kitabul masalik wal Mamalik, Ibnu Haik dengan karyanya Kitabus Sifati Jaziratil- ‘arab dan Kitabul Iklim, Ibn Fadlan dengan karyanya Rihlah Ibnu fadlan (N Abbas Wahid dan Suratno, 2009)
• Ilmu Sastra Pada masa itu juga berkembang ilmu sastra yang melahirkan beberapa penyair terkenal seperti, Abu Nawas, Abu Atiyah, Abu Tamam, Al Mutannabbi dan Ibnu Hany. Di samping itu mereka juga menghasilkan karya sastra yang fenomenal seperti Seribu Satu Malam “Alf Lailah Walailah”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Arabian Night(Ali Mufrodi, 1997).
1 note
·
View note
Text
Dinasti Abbasyiyah
Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: , al-khilāfah al- ‘abbāsīyyah) atau Bani Abbasiyah (Arab: al-‘abbāsīyyūn) adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Menurut (Crane Brinton dalam Mudzhar, 1998), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1. Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
2. Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
3. Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
4. Revolusi itu pada umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal-hal tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang ada.
Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan. Humaimah merupakan 97 kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fi siknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy, 1993). Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany, bergabung dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi berdiri.
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya“. Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain : Perpustakaan Bayt Al Hikmah, ”The Golden Age Of Islam” (H. Fuad Riyadi)
a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
b. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
c. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
d. Kebebasan berfi kir sebagai HAM diakui sepenuhnya .
e. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993).
Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat , kecuali pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya,dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya DaulahDaulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah (Syafi q A Mughni,1997).
Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu: pertama, tindakan keras terhadap Bani Umayah. dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi. Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat. Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
1) Wizaraat Tanfi z (sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah.
2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja.
Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999). Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris 99 negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary almarkazy.
Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman. Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbedabeda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. http:// akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/islam-pada-masadaulah-bani-abbasiyah/.
Periodesasi Pemerintahan Daulah Abbasi
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, ahli sejarah membagi masa pemerintahan Daulah Abbâsiyah menjadi lima periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbâsiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbâsiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbâsiyyah mencapai masa keemasan. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbâs, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Perpustakaan Bayt Al Hikmah, ”The Golden Age Of Islam” (H. Fuad Riyadi) 100 Abu Ja'far al-Manshûr (754-775 M), yang keras menghadapi lawanlawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingannya disingkirkan satu persatu. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya. al-Manshûr memerintahkan Abu Muslim alKhurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hâsyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Manshûr memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbâs berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshûr melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazîr (Perdana Menteri) sebagai koordinator dari kementrian yang ada. Wazîr pertama yang diangkat adalah Khâlid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshûr, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshûr berusaha menaklukkan kembali daerahdaerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan 101 senjata 758-765 M, Byzantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus dan India. Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbâsiyah diletakkan dan dibangun oleh Abul Abbâs as-Saffah dan al-Manshûr, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hâdi (775- 786 M), Harun ar-Rasyîd (786-809 M), al-Ma'mûn (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsîq (842- 847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Popularitas Daulah Abbâsiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun ar-Rasyîd t (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mûn (813- 833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyîd untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Berdirinya Perpustakaan Islam Pertama di Baghdad (Baitul Hikmah)
Baitul Hikmah adalah perpustakaan dan pusat penerjemahan pada masa dinasti Abbasiah. Baitul hikmah ini terletak di Baghdad, dan Bagdad ini dianggap sebagai pusat intelektual dan keilmuan pada masa Zaman Kegemilangan Islam (The golden age of Islam). Karena sejak awal berdirinya kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Itulah sebabnya K. Hitti menyebut bahwa bagdad sebagai profesor masyarakat Islam (Fatah Syukur, 2008) Pada masa Abbasiyah institusi ini diperluas penggunaannya.
Baitul Hikmah, sudah dirintis oleh khalifah Harun al-Rasyid, menjadi pusat segala kegiatan keilmuan. Pada masa Harun al-Rasyid institusi ini bernama khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Di lembaga ini baik muslim maupun non muslim bekerja mengalih bahasakan sebagai naskah kuno dan menyusun berbagai penjelasan (H.Mahmud Yunus, 2008) Tujuan utama didirikannya Baitul Hikmah adalah untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu pengetahuan asing ke dalam bahasa Arab. Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam, yaitu menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada waktu itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Lembaga pendidikan ini didirikan berkat adanya usaha dan bantuan dari orangorang yang memegang kepemimpinan dalam pemerintahan. Sejak 815 M al-Makmun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Baitul Hikmah.
Pada masa Makmun inilah ilmu pengetahuan dan intelektual mencapai puncaknya. Pada masa ini Baitul Hikmah digunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, bahkan Etiopia dan India. Di institusi ini al-Makmun memperkerjakan Muhammad ibn Musa al-Hawarizmi yang ahli di bidang al-jabar dan astronomi dan juga Beliau adalah salah satu guru besar di Baitul Hikmah. Orang-orang Persia lain juga diperkerjakan di Baitul Hikmah. Pada masa itu direktur Baitul Hikmah adalah Sahl Ibn Harun. Di bawah kekuasaan al-Makmun, Baitul Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga 103 sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan matematika. Pada 832 M, al-Makmun menjadikan Baitul Hikmah di baghdad sebagai akademi pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakan, dan lembaga penerjemahan. Kepala akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857), murid Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai ketua ke dua (H.Mahmud Yunus, 2008).
Yang memotivasi berdirinya lembaga Baitul Hikmah yaitu didorong oleh keinginan meniru lembaga hebat yang didirikan oleh orang-orang kristen Nestorians; yakni gondhesaphur yang salah satu tokohnya georgius Gabriel pernah ditunjuk menjadi kepala sebuah rumah sakit pada jaman khalifah al-Mansur. Tokoh ini juga aktif menerjemahkan karya-karya yunani (Albert, 2004) Dan juga yang menjadi motivasi lainnya dalam pembentukan lembaga Baitul Hikmah adalah disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1) Melimpahnya kekayaan negara dan tingginya apresiasi khalifah alMakmun terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan, seperti ilmu fi lsafat, kedokteran, astronomi, dan lain-lain, dan juga kecintaannya terhadap seni musik. Bersatunya dana dengan keinginan ini melahirkan sebuah pemikiran yang positif yaitu mengembangkan pendidikan lebih maju lagi yang ternyata pemikiran ini mendapat sambutan yang positif dari para pembantunya dan dari masyarakat.
2) Adanya apresiasi yang tinggi dari kebanyakan anggota masyarakat (dari berbagai lapisan sosial) terhadap kegiatan keilmuan,yang menyebabkan mereka bisa bekerja bahu-membahu satu sama lain tanpa mengalami beban psikologis yang disebabkan oleh perbedaan etnis, agama, status sosial dan lain sebagainya. Disini profesionalitas dijunjung tinggi dengan sikap terbuka, sehingga tidak mengherankan jika waktu itu orang-orang etnis non arab dan non muslim banyak sekali peranannya dan saling bekerjasama. Mereka bisa menjalankan tugas dengan tenang meskipun yang memerintahkan adalah khalifah orang muslim (Badri Yatim, 2008).
Motif utama berdirinya lembaga Baitul Hikmah dimaksudkan untuk menggalakkan dan mengkoordinir kegiatan pencarian dan penerjemahan karya-karya klasik dari warisan intelektual Yunani, Persia, Mesir dan lain-lain ke dalam bahasa Arab, khusunya umat islam. Salah seorang yang paling berperan, Hunayn bin ishaq, mengadakan perjalanan ke Alexandria dan singgah pula di Syiria dan Palestina untuk mencari karya-karya kuno tersebut. Faktor-faktor yang mendorong umat Islam melakukan kegiatan penerjemah dan transfer ilmu-ilmu kuno adalah :
1. Suasana Persaingan (prestise) antara orang-orang Arab dengan lainnya.
2. Keinginan untuk menguasai ilmu-ilmu yang belum dimiliki.
3. Dorongan ayat-ayat Al-Qur’an (ajran Islam) tentang menuntut ilmu pengetahuan.
4. Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan konsekuensi dari peningkatan kemakmuran dan kemajuan ekonomi. Dengan berdirinya Baitul Hikmah, kegiatan pentransferan ilmu pengetahuan menjadi lebih maju. Khalifah berhasil merekrut para sastrawan, sejarawan dan ilmuwan-ilmuwan terbaiknya. Kemudian mereka dikirim ke kawasan-kawasan kuno kerajaan Bizantium dengan tugas mencari karya-karya ilmuwan/fi losof klasiknya. Melalui kegiatankegiatan inilah pada akhirnya umat islam bisa mengembangkan karyakarya kuno seperti Hypokrates, Euclides , galen dan lain-lain (http/www. Fatkhatul Aliyah: Baitul Hikmah,10/11).
Pesatnya perkembangan lembaga Baitul Hikmah mendorong lembaga ini untuk memperluas peranannya, bukan saja sebagai lembaga penerjemah, tetapi juga meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Sebagai pusat dokumentasi dan pelayanan informasi keilmuwan bagi masyarakat, yang antara lain ditunjukkan dengan berdirinya perpustakaan di kota Baghdad.
2. Sebagai pusat dan forum kegiatan pengembangan keilmuan, sehingga semua perangkat risetnya juga dilengkapi dengan observatorium astronomi.
3. Sebagai pusat kegiatan perencanaan dan pengembangan pelaksanaan pendidikan.
Jatuhnya Kota Baghdad dan Kehancuran Pepustakaan Baitul Hikmah
Faktor yang menyebabkan peran politik Bani Abbâsiyyah menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang Bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbâsiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334- 447 H/l055 M), Daulah Abbâsiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbâsiyah pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan 107 diri, adalah :
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2. Profesionalisasi angkatan bersenjata membuat ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
4. Posisi-posisi penting negara dipercayakan kepada ahli bid’ah, khususnya jabatan wazîr (perdana menteri) dan penasihat yang diserahkan kepada Syi’ah.
5. Penyakit wahan (cinta dunia dan takut mati) yang menguasai para penguasa dan jajarannya.
https://core.ac.uk/download/pdf/297848374.pdf
0 notes
Text
Memahami Sains ala Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr (lahir tahun 1933) adalah cendekia masa kini asal Iran yang menghabiskan lebih banyak waktunya di Amerika Serikat. Ketertarikannya terhadap ajaran spiritual bermula ketika ia menghadiri kuliah Profesor Giorgio de Santillana di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Saat masih duduk dalam program S-1 (1950-1954), Nasr merasa resah dengan fisika yang kosong dengan nilai spiritualitas. Kedatangan Profesor Giorgio de Santillana, sebagai dosen terbang di MIT, yang mengajarkan tentang sejarah sains, membuka cakrawala baru ke dalam pemikiran Nasr. Giorgio de Santillana, seorang filosof Italia yang beragama Katolik, mengajarkan betapa pentingnya metafisika tradisional dan filsafat mistis. Kedua ilmu tersebut selama ini terabaikan dalam dunia modern Barat. Giorgio de Santillana mengkritisi sekularisasi pemikiran Barat modern dan mengagungkan spiritualitas metafisika ajaran Hindu tradisional.
Seyyed Hossein Nasr yang saat itu masih menjadi mahasiswa S-1 di MIT, jurusan matematika, tertarik dengan gagasan dosennya. Ia selanjutnya menghadiri banyak materi kuliah dan seminar-seminar yang disampaikan oleh Santillana. Melalui Santillana, Nasr mulai berkenalan dengan karya Rene Guenon, An Introduction to the Study of Hindu Doctrines dan Man and His becoming According to the Vedanta. Karya-karya Guenon ini kelak membentuk pemikiran Nasr.
Nasr meraih gelar sarjana sains (Bachelor of Science/BS) dalam fisika pada 1954. Gelar Master of Science/MS dalam geologi dan geofisika diraihnya pada 1956 dari Universitas Harvard. Ketertarikannya dengan spiritualisme mendorongnya untuk mengubah jurusan ketika menjadi kandidat doktoral. Ia dengan sengaja mengambil jurusan sejarah sains karena ia ingin menggali sejarah sains Islam dalam rangka mencari solusi alternatif terhadap sains Barat modern sekular. Nasr memilih kosmologi, suatu disiplin ilmu yang secara langsung terkait dengan yang sakral sebagai materi disertasinya. Di sela-sela penulisan disertasinya, Nasr bertalaqqi dengan tokoh-tokoh metafisika tradisional. Pada 1957, ia ke Prancis dan bertatap muka langsung dengan tokoh utama filsafat dan tradisi perenial, seperti Frithjof Schuon, Titus Burckhardt, Marco Pallis, dan Martin Lings. Ketika pada musim panas di Maroko pada tahun yang sama (1957), ia menganut sufisme secara intelektual dan eksistensial dengan mengikut guru dari Aljazair, Shaykh Ahmad al-‘Alawi dan pewarisnya, Shaykh ‘Isa Nur al-Din Ahmad (Frithjof Schuon). Metafisika tradisional menjadi fokus pemikiran Seyyed Hossein Nasr. Disertasinya tentang kosmologi Islam diselesaikannya di Universitas Harvard pada 1958. Disertasi tersebut direvisi dan dibukukan serta diterbitkan oleh Universitas Harvard pada 1964 dengan judul An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines: Conceptions of Nature and Methods Used for its Study by the Ikhwan al-Safa, al-Biruni and Ibn Sina (Pengenalan Doktrin-Doktrin Kosmologi Islam: Konsep-Konsep Alam dan Metode yang digunakan untuk mengkajinya oleh Ikhwan al-Shafa, al-Biruni dan Ibnu Sina).
Mengkritisi Ilmu Pengetahuan dalam Dunia Modern
Seyyed Hossein Nasr mengkritisi pemikiran sekular dan gigih mengajukan sains sakral sebagai solusi terhadap desakralisasi ilmu pengetahuan dunia modern saat ini. Ia menuangkan gagasannya dengan menulis banyak buku, seperti Science and Civilization in Islam (1964), Islamic Science: An Illustrated Study (1976), Knowledge and the Sacred (1981), Religion and the Order of Nature, Man and Nature (1987), The Need for a Sacred Science (1993), dan lainnya.
Menurut Nasr, desakralisasi ilmu pengetahuan di Barat bermula pada masa renaissance (kelahiran kembali), ketika rasio mulai dipisahkan dari iman. Pemisahan tersebut terus terjadi sehingga yang sakral pun akhirnya menjadi sekular. Agama yang justru didekati dengan pendekatan sekular sehingga sekularisasi pun pada akhirnya terjadi dalam studi agama. Visi yang menyatukan ilmu pengetahuan dan iman, agama dan sains, dan teologi dengan semua segi kepedulian intelektual telah hilang dalam ilmu pengetahuan Barat modern.
Nasr mengajukan Sains Sakral (Sacred Science) sebagai jalan keluar dari sekularisasi ilmu pengetahuan. Menurutnya, iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman (credo ut intelligam et intelligo ut credam). Fungsi ilmu adalah sebagai jalan utama menuju Yang Sakral. “Aql artinya mengikat kepada Yang Primordial.” Sama halnya dengan religio dalam bahasa Latin yang artinya mengikat. Bagaimanapun, Seyyed Hossein Nasr menegaskan, Sains Sakral bukan hanya milik ajaran Islam, tetapi dimiliki juga oleh agama Hindu, Buddha, Konfusius, Taoisme, Majusi, Yahudi, Kristen, dan filsafat Yunani klasik.
Gagasan Nasr tentang Sains Sakral merupakan pengejawantahan dari filsafat perenial yang telah dikemukakan sebelumnya oleh para Tradisionalis lainnya, seperti Rene Guenon (1886-1951), Ananda K Coomaraswamy (1877-1947), dan Frithjof Schuon (1907-1998). Semua gagasan mereka dikenal dengan berbagai nama, seperti Tradisi primordial, sanata dharma, sophia perennis, philosophia perennis, philosophia priscorium, prisca theologia, vera philosophia, dan scientia sacra. Semua istilah tersebut bermaksud bahwa kebenaran adalah abadi dan universal, namun sekaligus terejawantahkan dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda.
Pemikiran Nasr tentang Sains Sakral tidak identik dengan Islamisasi ilmu pengetahuan. Di antara keduanya, (Sains Sakral dan Islamisasi ilmu pengetahuan) terdapat persamaan sekaligus perbedaan. Persamaannya terletak dalam mengkritisi sekularisasi ilmu (ilmu yang terpisahkan dari agama). Akan tetapi, di antara keduanya juga terdapat perbedaan. Jika Sains Sakral dibangun di atas konsep semua agama sama pada tingkat esoteris (batin) maka Islamisasi ilmu pengetahuan dibangun di atas kebenaran Islam. Sains Sakral menafikan keunikan hanya milik Islam karena keunikan adalah milik semua agama sedangkan Islamisasi ilmu pengetahuan menegaskan keunikan ajaran Islam sebagai agama yang benar. Seyyed Hossein Nasr memperjuangkan Sains Sakral bukan Islamisasi ilmu pengetahuan.
0 notes
Text
Hudzaifah bin Yaman, Sang Penjaga Rahasia Rasulullah SAW
17 Januari 2021
Hudzaifah bin Yaman ra. adalah sahabat yang menjadi pemegang rahasia Rasulullah saw. Ia mempunyai peran yang besar dan menjadi seorang petualang yang pemberani.
Saat para sahabat bersama Rasulullah saw. dalam perang Khandaq, Rasulullah saw. sudah mengerjakan shalat di tengah malam, kemudian beliau menoleh ke arah para sahabat dan berkata, “Siapa yang mau menyusup ke dalam kamp pasukan musuh (Quraisy dan Ghathafan), mengecek keadaan mereka, kemudian kembali ke sini?” Tak seorang pun yang berdiri, karena udaranya yang sangat dingin, sangat lapar, dan diliputi rasa takut.
Karena tidak ada seorang pun yang berdiri, akhirnya Rasulullah saw. memanggil Hudzaifah bin Yaman, sehingga mau tidak mau Hudzaifah harus berdiri ketika Rasulullah saw memanggilnya. Beliau berkata, “Hai Hudzaifah! Pergilah dan menyusuplah ke tengah-tengah pasukan musuh. Perhatikanlah apa yang mereka lakukan, dan janganlah kau lakukan apapun sampai kau kembali ke kami.”
Rasulullah saw. memerintahkan Hudzaifah agar tidak melakukan apapun yang mengundang perhatian musuh sehingga misinya terbongkar, dan beliau mensyaratkan padanya harus kembali. Semua tugas ini super sulit, ditambah dengan situasi yang sangat sulit.
Hudzaifah pergi, lalu menyusup di tengah-tengah barisan musuh. Saat itu angin berhembus dengan kencang dan tentara-tentara Allah swt. (para malaikat) mengobrak-abrik mereka, hingga tak ada tungku, perapian, ataupun tenda yang bisa berdiri tegak.
Abu Sufyan berdiri lalu berkata, “Hai kaum Quraisy! Masing-masing harus memperhatikan siapa yang ada di dekatnya.” Lantas, Hudzaifah meraih tangan seseorang yang ada di dekatnya, lalu Hudzaifah berkata kepadanya, “Kamu siapa?” Ia menjawab, “Saya Fulan bin Fulan.”
Abu Sufyan kembali mengatakan, “Wahai kaum Quraisy! Demi Allah swt., kalian tidak bisa terus bertahan di sini. Kuda dan unta kita telah binasa, bani Quraizhah telah mengkhianati kita, apa yang tidak kita inginkan dari mereka akhirnya kita hadapi, kita telah diterpa oleh angin kencang seperti yang kalian lihat, hingga tidak ada tungku yang bisa berdiri tegak, perapian pun tidak bisa dinyalakan, dan tenda-tenda tidak bisa berdiri tegak. Maka pulanglah, karena aku akan pulang.”
Setelah itu, Abu Sufyan menghampiri unta miliknya yang terikat, kemudian ia membangunkan untanya dan menungganginya. Tali pengikatnya ia lepaskan saat ia berdiri dan bergerak cepat untuk pergi dikarenakan rasa takut. Saat hendak pergi, Shafwan bin Umayyah berkata kepadanya, “Kau adalah pemimpin kaum. Jangan kau tinggalkan mereka dan pergi begitu saja!”
Namun, Abu Sufyan tidak menggubris kata-katanya dan memberitahukan kepadanya untuk pergi. Ia menempatkan Khalid bin Walid bersama sekelompok pasukan untuk melindungi bagian belakang pasukan Quraisy yang pergi agar mereka tidak diserang dari belakang. Kaum Ghathafan pun bergegas pulang ke kampung halaman mereka.
Andai saja Rasulullah saw. tidak memerintahkan pada Hudzaifah, “Jangan melakukan apa pun hingga kau menemuiku,” tentu Hudzaifah sudah membunuhnya. Setelah itu Hudzaifah kembali kepada Rasulullah saw. saat beliau tengah mengerjakan shalat. Setelah beliau selesai shalat, Hudzaifah memberitahukan informasi yang ia dapat kepada beliau.
Hudzaifah menuturkan, bahwa Rasulullah saw. shalat mengenakan pakaian panjang milik salah seorang istri beliau karena udara pada malam itu sangat dingin, dan beliau menyelimuti Hudzaifah dengan pakaian tersebut karena seluruh tubuhnya menggigil kedinginan, hingga ia merasa hangat kemudian beliau mendengarkan penuturannya.
Saat memasuki waktu Subuh, Rasulullah saw. pulang meninggalkan Khandaq menuju kota Madinah bersama kaum Muslimin, dan mereka meletakkan senjatanya. Ini bukan satu-satunya tugas yang dijalankan Hudzaifah bin Yaman ra.
Masyarakat Mekkah terbagi menjadi dua kubu saat Islam muncul. Kubu yang diberi petunjuk oleh Allah swt. menuju kebenaran dan jalan yang lurus, dan kubu yang tetap loyal pada berhala, serta tetap memegang kekafiran dan kemusyrikan.
Sementara di tengah masyarakat Madinah setelah peristiwa hijrah, muncul kubu ketiga, yaitu kubu orang-orang munafik yang ketika berkumpul dengan kaum muslimin, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kalian.” Mereka ini dipimpin oleh Abdullah bin Ubai bin Salul. Namun, ketika mereka kembali kepada para pemimpin mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok.” Kaum munafik ini menyembunyikan kekafirannya dan menampakkan keislamannya.
Kubu ini yang paling berbahaya bagi Islam dan umat Islam. Rasulullah saw. dan para sahabat menghadapi beban berat dari kubu ini. Untuk itu, kubu ini harus diawasi secara diam-diam. Segala konspirasi, rencana, dan makar yang mereka galang harus diketahui. Dan Hudzaifah bin Yaman ra. adalah orang yang terbaik untuk menjalankan tugas ini. Ia adalah mata yang selalu terbuka dan waspada untuk mengamati segala tindak-tanduk kubu ini dengan sangat rahasia, kemudian menginformasikannya kepada Rasulullah saw. agar beliau mengetahui persoalan mereka dengan jelas tanpa diketahui oleh siapapun.
Saat perang Tabuk, Rasulullah saw. berangkat menuju perbatasan Syam bersama 30.000 sahabat, lokasi di mana beliau mendengar informasi pasukan Romawi berkumpul di sana untuk menyerang Hijaz. Saat itu, sebagian kaum munafik turut berangkat bersama beliau, bukan karena ingin berperang dan berjihad, tapi untuk merencanakan sesuatu yang sangat berbahaya, karena mereka merencanakan untuk membunuh Rasulullah saw.
Dalam perjalanan pulang, kelompok munafik ini tersingkap wajah kelam dan tujuan hina mereka untuk membunuh Rasulullah saw. Namun, Hudzaifah mengikuti mereka dan berhasil menggagalkan rencana tersebut. Hudzaifah menyampaikan nama-nama mereka ini kepada Rasulullah saw., mereka berjumlah 14 orang. Tak seorang sahabat pun mengetahui hal ini, karena hanya diketahui Rasulullah saw. dan Hudzaifah bin Yaman.
Referensi
Ali, Muhammad. 2016. Abthalul fathil Islamy. Terj. Umar Mujtahid. Sunt. Firman Afianto dan Arif Mahmudi. Jakarta: Ummul Qura
Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. 2013. Ar-Rahiiq al-Makhtum. Riyadh: Muntada al-Tsaqafy
Al-Usairy, Ahmad. 2016. Sejarah Islam. Terj. Samson Rahman. Sunt. Harlis Kurniawan. Jakarta: Akbar Media
Ibnu Hisyam, Abdul Malik. 2008. As-Siirotun Nabawiyyah. Kairo: Al-Maktab al-Tsaqafy
Ibnu Katsir, Al-Hafidz. 2010. Sirah Nabi Muhammad. Terj. Abu Ihsan Al-Atsari. Sunt. Ahmad Khatib, Imanudin, dan Handi Wibowo. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia
Yatim, Badri. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
0 notes