catatansianginlaut
Angin Laut
19 posts
Hello 😊. An evidence from archaeology student.
Don't wanna be here? Send us removal request.
catatansianginlaut · 7 years ago
Text
Bukan jingga pada senja yang membuatku jatuh cinta, melainkan ketenangan saat melihatnya. Bukan lelah pada menunggu yang membuat aku berhenti, melainkan kamu yang lebih dulu pergi.
715 notes · View notes
catatansianginlaut · 7 years ago
Photo
Tumblr media
Museum MACAN tanpa macan. Yaps, MACAN itu akronim dari Modern and Contemporary Art in Nusantara. Buat gue sih, museumnya bagus hehe. Harga tiket masuk sesuai dengan apa yang diberikan dan pengawasan yang ketat banget itu bikin pengunjung jadi tertib. Favorite gue adalah globe yang miring itu, quotes dan salah satu lukisan yang gambarnya buku dan pena. Infinity room jadi daya tarik tersendiri sih buat museum ini. Buat kalian yang mau liburan, sabi banget ke sini. Lokasinya yang strategis dan transport yang mudah juga jadi nilai plus buat museum ini. Tapi jangan cuma foto-foto doang yaa karena banyak banget informasi yang bisa kalian dapat disini. Jadi sambil jalan-jalan, refreshing, dan senang-senang bisa dapat banyak pengetahuan juga. 8/10 lah buat museum ini, menurut gue hehehe. (di Museum MACAN - Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara)
0 notes
catatansianginlaut · 7 years ago
Text
Doa Seorang Pendosa
Pintaku satu.
Biar ia tau.
Entah apa kabar setelah itu.
Pantaskah Kau kabul?
Orang ini banyak mau.
Minta ini minta itu.
Dasar tak tahu malu.
Inginnya begitu.
Beberapa hari menunggu
disepertiga malam kelabu.
Seringnya memang berlalu.
Terlalu lelah hingga mendengkur.
Doa pendosa ini satu.
Tuhan,
Biar ia tau.
Entah apa kabar setelah itu.
1 note · View note
catatansianginlaut · 7 years ago
Text
September
Seperti lagu yang biasa orang-orang putar.
Sudahkah kamu terbangun?
September telah habis, Tuan.
Ditutup dengan hadirmu.
Kehadiran yang bermakna.
September telah habis, Tuan.
Tapi tidak dengan kita yang masih terus berlanjut.
Biar apa kata mereka tentang kita.
Biar ini jadi rahasiaku dan kamu.
September telah habis.
Meski begitu, kuharap hadirku sama dengan hadirmu untukku.
0 notes
catatansianginlaut · 7 years ago
Text
Amanah. Tanggungjawab.
Seringkali banyak orang lupa bahwa amanah yang dibebankan padanya tidak ia tanggung sendiri. Seringkali banyak orang ingin mengendurkan bahkan melepas tanggungjawabnya dengan menuntut orang lain melakukan sesuatu untuknya. Tidak masalah selama orang lain itu sanggup. Tapi tak jarang, kesanggupan orang lain itu disalahgunakan. Kalau aku jahat. Mungkin aku sudah pergi meninggalkan semua hal disini. Jika aku jahat. Aku bisa langsung meninggalkan saja semua tugasku. Mengikuti keegoisanku untuk bersenang-senang sendiri. Melepas semua tanggungjawab yang diserahkan padaku. Andai aku jahat. Tanpa mempedulikan apapun. Aku bisa sudah berhasil menuntaskan ambisiku. Memuaskan hasrat diri menjadi ini itu tanpa harus memikirkan bagaimana kalian menjalankan amanah kalian. Aku punya tanggungan lain juga. Aku ingin apatis saja. Tapi semua hanya sebatas kalau, jika, dan andai. Walaupun hanya marah yang bisa kulakukan disini. Walaupun aku tak bisa membantu apapun. Aku mungkin nyatanya hanya bisa membuat yang kacau menjadi tambah kacau. Aku mungkin hanya bisa merusak suasana. Tapi aku akan berusaha membantu jika aku masih sanggup. Teman. Terkadang kamu menuntut orang lain terlalu banyak tanpa pernah mau berkorban sama banyaknya. Terkadang kamu hanya mengeluhkan segala hal tanpa mau terjun langsung memberi solusi. Terkadang kamu tidak sadar bahwa masih banyak diluar sana yang memberikan lebih dari sekadar jiwa raganya tapi masih tak dihargai. Mereka rela. Kenapa? Pernahkah kamu terpikir apa alasan mereka masih rela mengorbankan segalanya padahal tak ada yang peduli? Pernahkah kamu pikir apa alasan mereka bersedia melakukannya walaupun tak ada yang mau tau?
1 note · View note
catatansianginlaut · 7 years ago
Text
Ah, sudahlah.
Terentang resah Keluh yang hanya tersampai lewat desah Ah sudahlah Hujanku tertahan di pelupuk mata Memendam entah apa Batin menggumam kata Ini sudah diluar kuasa Aku sudah lama berhenti Menaruh harap pada jiwa yang bisa mati Atau pada si waktu yang keji atas segala janji yang tak pernah ditepati Untuk segala kecewa Untuk segala gejolak rasa Kamu aku ingin membisik sesuatu Aku juga begitu Terentang resah Keluh yang hanya tersampai lewat desah Ah sudahlah
0 notes
catatansianginlaut · 8 years ago
Text
Obliviate
Untuk beberapa alasan, aku memilih bertahan dan menunggu sambil merapal doa-doa kemudian berharap itu terbang menuju kamu. Untuk alasan yang lain, aku memilih menyerah dan pasrah ragaku lelah menanti seraya mereka apa didalam pikirmu. Walau sulit untuk lepas dari segala kekangan memori yang semua tentangmu, tentang kita yang salah diwaktu lalu. Jika nantinya kamu membaca ini. Kita anggap begitu. Aku sudah kehabisan akal mengenai cara menyampaikannya. Percayalah, ini bukan rasa yang seperti itu. Obliviate.
0 notes
catatansianginlaut · 8 years ago
Text
Bagaimana Rasanya Menjadi Kamu
Suatu waktu, aku ingin menginap di jantung dan paru-parumu. Mendengar tiap degup, tiap resah, ketika aku rebah di dalamnya. Mungkin selama ini aku terus menjauh darimu. Mencipta jarak di mana kau tak menemukan aku. Tapi suatu waktu, aku ingin dekat denganmu.
Aku ingin menjelma menjadi udara. Setiap hari kauhirup, berarti kau butuh aku. Lalu, aku membayangkan jika suatu waktu aku berlari-lari di sepanjang pembuluh darahmu. Menyelusuri jejak-jejak sifatmu, barangkali di antara perbedaan yang sebelumnya pernah kuketahui, kutemukan persamaan. Barangkali pula, aku bisa terus merasai hangat dalam tubuhmu.
Aku ingin pula sesekali singgah di dalam pikiranmu. Aku penasaran seperti apa bentuk ruang-ruang pikiranmu itu. Apakah sempit dan berantakan seperti kamarku? Apakah luas dan nyaman? Jika memang luas, pantas saja kau takpernah menyadari keberadaanku sebelum aku benar-benar menjauhimu. Mungkin aku hanya meringkuk sendirian di salah satu sudutnya, sementara kamu sibuk bermain-main di sudut lainnya.
Entahlah, malam ini aku hanya ingin memikirkan tentangmu. Suatu waktu nanti, ketika (mungkin) aku akan mengatakan perihal perasaanku, kau takperlu tahu bagaimana bisa aku tahu segala tentangmu. Kau hanya perlu tahu, jika aku sedari dulu di sini berusaha menautkan perasaan padamu. Sialnya, kesendirianku jauh lebih besar dibandingkan keinginanku untuk memilikimu.
Aku hanya ingin bermain-main di seluk beluk tubuhmu. Bukan untuk merasaimu, tidak. Tapi untuk mengerti bagaimana rasanya menjadimu.
Bogor, 7 Desember 2016
227 notes · View notes
catatansianginlaut · 8 years ago
Text
Dibatasi Ruang dan Waktu
Tumblr media
Perjalananku dibatasi ruang dan waktu. Tak sepertimu: bebas berkelana dan menggapai apa pun yang kamu mau. Satu-satunya dari diriku yang mampu mencapaimu hanyalah perasaan yang semayam di dalam dada.
Aku terbelenggu oleh detik-detik yang berjalan di tengah hujan. Terkadang ia datang sebagai teman, terkadang ia menjauh seperti deburan ombak yang bergerak melawan kehendak semesta. Berbeda denganmu yang bebas dan lepas untuk berlarian di kaki langit.
Pertemuanku begitu terbatas oleh ruang-ruang kosong dan senyap. Tidak banyak. Berbeda denganmu yang dengan sesukanya bisa memilih mana saja yang mau kamu diami atau banjiri oleh air mata. Kita takpernah mencapai satu titik temu. Ada dinding yang membatasi kita. Tunggu, maksudku aku.
Kamu adalah segala kebebasan yang takpernah memilih hatiku sebagai tempat yang ingin disinggahi. Di dalam semestamu, kamu pelan-pelan membangun kehidupan bersama orang-orang dan tak ada namaku di dalamnya.
Di antara batas-batas yang meliputiku, aku sadar betul bahwa segala yang kulalui pada akhirnya akan menemukan akhir. Memudar. Langit-langit yang hidup di dalam dadaku kelak akan memburam dan taklagi mengenal dingin dan kehangatan. Yang tersisa hanyalah sebuah perasaan tak terdefinisi. Pada saat itulah, mungkin aku akan menemukan jawaban yang selama ini menghilang.
Perihal kita yang ingin saling mengetahui namun terpisah oleh batas-batas yang tak diingini oleh kedua hati kita. Aku berani berkata karena aku suka berasumsi. Seperti tulisan ini yang hidup di dalam asumsi bahwa suatu hari nanti akan sampai ke peraduanmu.
Ending cerita yang kuinginkan bukanlah happy ending atau sad ending. Akhir cerita yang kelak kutulis adalah saat diriku berhenti berasumsi dan percaya bahwa pada suatu ruang dan waktu, segala yang kutulis ini tidak lagi hidup menjadi fiksi; alih-alih ia menemukan tempatnya sendiri: di dalam hatiku.
| Djakarta, 2 April 2017 |
103 notes · View notes
catatansianginlaut · 8 years ago
Text
SAPATHA
Mentari sudah lama menghilang ketika aku dan tim ku menapakkan kaki di sebuah pulau di bagian barat Indonesia. Penerangan yang remang menemani perjalanan menuju sebuah desa di pedalaman pulau. Arya selaku ketua kami berjalan di depan memimpin tim. Ada yang berbeda pada ekspedisi kali ini, entah itu hanya firasat ku saja atau bukan. Sampai disini semua mendadak menjadi pendiam. Setelah kurang lebih satu jam berjalan karena mobil yang ditumpangi tak bisa masuk lebih jauh, akhirnya kami tiba di lokasi tujuan.
“Bagaimana perjalanan kalian?” Tanya Rakai, pemuda asli desa yang melaporkan temuannya.
“Lumayan juga. Jadi apa prasasti itu letaknya di dekat desa ini?” Kata Arya.
“Tidak. Masuk lebih jauh ke dalam hutan disana.” Jawab Rakai sambil menunjuk ke arah kegelapan jauh di belakang desa, “Mari saya antar ke balai pertemuan untuk bertemu Tetua desa.”
Aku dan tim berjalan lagi mengikuti arah pemuda desa bertubuh tinggi tersebut, sampai akhirnya kami tiba di balai pertemuan yang terletak di pusat desa. Balai pertemuan itu adalah sebuah rumah panggung dengan satu ruangan besar. Ruangan itu diterangi obor-obor dan lampu templok, sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu disana. Satu tetua desa yang duduk di tengah membuat ku agak segan. Tatapan mata tajamnya menatap kami satu per satu.
“Jadi, kalian ingin melihat batu bertulis yang ditemukan anak itu?” Tanya tetua yang duduk ditengah, sambil melirik Rakai.
“Ya, Pak. Kami mohon izin.” Jawab Arya.
“Batu itu sakral, leluhur kami pernah bercerita kalau ada sebuah batu bertulis di dalam hutan belakang desa yang berisi kutukan-kutukan yang akan membahayakan warga desa. Kami tidak pernah tau dimana letak batu bertulis itu karena hutan belakang desa juga merupakan hutan terlarang.” Katanya jelas dan tegas, “Lebih baik jangan diusik.”
“Kami hanya ingin mengetahui apa isi prasastinya dan setelah mendapat data-data tersebut kami akan pergi.”
“Bagaimana jika kami melarang kalian?” Tanya tetua yang duduk di ujung sebelah kanan.
“Kita sudah membicarakan ini dan kalian sudah mengizinkan di awal.” Jawab Rakai.
“Kamu tidak tau Rakai, itu berbahaya.” Kata tetua lainnya.
Bahkan mereka harusnya menjalani rangkaian upacara suci terlebih dulu sebelum masuk hutan itu.
“Upacara?” Sahut ku bingung.
“Ya. Kalian orang kota terlalu so…”
“Cukup tetua, saya bersama mereka dan saya sudah pernah menjalani upacara itu.”
“Tidak bisa hanya kamu saja Rakai. Mereka juga harus melakukannya.” Teriak tetua yang lain. Suasana di dalam balai pertemuan memanas.
“Kalian, mari saya antar ke tempat penginapan.“ Ucap Rakai lalu mengajak kami keluar dan mengantar kami ke tempat penginapan. Aku rasa ini akan menjadi penelitian yang tidak mudah.
Pagi-pagi sekali aku dan tim sudah bangun. Setelah sarapan dan pamit kepada ibu dan bapak Rakai yang merupakan kepala desa disini, aku dan tim kemudian bersiap untuk penelitian hari pertama kami. Aku memperhatikan teman-teman ku di sela-sela persiapan. Mereka tampak tegang dan gelisah. Sepanjang perjalanan dari desa menuju hutan, aku selalu berusaha menyapa dan tersenyum pada penduduk desa. Tapi, mereka menatap ku dengan tatapan yang sulit di artikan dan beberapa membuang muka. Aku jadi khawatir sendiri. Sementara teman-teman ku, mereka juga tampak tidak biasa. Pada setiap penelitian kami, teman-teman satu tim ku sekarang adalah orang-orang yang ramah dan bersahabat. Seminimal mungkin biasanya mereka menyapa warga yang mereka temui. Tapi, sejak berangkat tadi semua membisu. Hanya sesekali Arya memberi instruksi dan yang lain bertanya, setelah itu tak ada celoteh riang mereka seperti penelitian-penelitian terdahulu. Aku hanya bisa tersenyum miris saat lelucon ku hanya ditanggapi dengan tatapan dingin dari mereka.
Sampai di dalam hutan tempat prasasti itu berada, semua langsung menuju tugas masing-masing. Arya dan Ilona membantu Eril melakukan pemetaan, Danar mendokumentasikan gambar, dan aku membuat laporan. Prasasti itu berbentuk tiang batu dengan tinggi sekitar satu setengah meter, berwarna coklat. Hari itu adalah hari pertama penelitian dan semua berjalan dengan lancar.
Hari kedua dengan keadaan yang masih sama. Aku masih berusaha menyapa warga yang kali ini terang-terangan menunjukkan penolakan. Kami kembali melaksanakan tugas ketika sampai ditempat. Setelah selesai melakukan pengukuran, kami mendekati prasasti tersebut. Huruf-hurufnya masih terbaca menurutku, hanya perlu dibersihkan sedikit. Usai dibersihkan, aku dan Eril lalu mencoba membaca prasasti. Aku menekuni dua baris di salah satu sisi prasasti yang ku yakini merupakan baris pembuka. Ku sentuh prasasti tersebut, beberapa menit kemudian semua terjadi secara tiba-tiba. Petir menyambar pohon tak jauh dari tempat kami berpijak. Pohon itu tumbang. Kami sontak terdiam mencoba mencerna keadaan. Belum selesai sampai disitu, kekagetan kami ditambah dengan angin yang berhembus kencang menerbangkan kertas-kertas. Panik dan bingung, aku dan teman-teman ku berusaha mengumpulkan kertas-kertas tersebut dan membereskan peralatan lalu beranjak pulang. Hujan deras menemani perjalanan pulang menuju penginapan. Seluruh desa sepi. Hanya suara petir yang bersahutan di atas kepala.
"Tuh kan benar kata ku Ya. Aku tau pasti akan terjadi hal yang buruk. Dari awal firasat ku udah gak enak.” Suara Ilona meninggi.
“Ketakutan kamu gak beralasan Lon. Ini cuma hujan badai biasa.” Sahut Arya.
“Kalau bukan gimana? Aku gak mau nerus. Aku mau pulang aja.” Tangis Ilona pecah. Mengakhiri teriakan histerisnya, Ilona berlari masuk ke kamar.
“Ilona.” Panggil ku lalu menyusul Ilona ke kamar.
“Ya, gimana kalau firasat Ilona emang benar?” Tanya Eril pelan.
“Enggak Ril. Ini cuma hujan badai biasa.”
“Tapi…“
"Udahlah Ril, mending kita periksa data-datanya.” Danar menengahi.
Hujan badai berlangsung tak hanya sehari. Beberapa hari disini tak ada yang bisa kami lakukan karena hujan hampir tidak pernah berhenti. Ketukan terdengar di pintu penginapan. Rakai membuka pintu, Tetua desa dan warga sudah menunggu.
“Orang kota itu harus tanggungjawab.” Kata seorang warga. Aku dan teman-teman ku langsung berlari ke depan. Arya berdiri di samping Rakai.
“Tenang-tenang, semua bisa dibicarakan baik-baik.” Ucap Arya.
“Kalian mengancam keamanan desa kami. Kalian harus pergi dari sini dan jangan kembali.” Kata warga lainnya.
“Tak ada gunanya mereka pergi.” kata salah satu Tetua desa, “Mereka harus bertanggungjawab. Bawa mereka.”
“Kami mau dibawa kemana?”
Tanpa menjawab, orang-orang itu menyeret kami. Membawa Arya, Rakai, Danar, Eril, Ilona, dan Aku. Aku yang panik kemudian memberontak. Mereka memegangku semakin erat. Sepanjang jalan gelap tanpa penerangan. Hujan masih deras, aku sudah basah kuyup dan menahan isak. Tanpa tahu kemana mereka akan membawa ku dan teman-teman ku. Mungkinkah kami akan dibunuh? Inikah akhir dari kisah ku sebagai seorang arkeolog? Pasrah adalah satu-satunya kata yang ada dalam benakku, sampai kami berhenti di kegelapan. Aku dilempar ke tengah-tengah lingkaran warga. Begitu juga dengan Danar, Arya, Eril, Ilona, bahkan Rakai.
“Tunggu. Apa yang ingin kalian lakukan?” Tanya Danar. Ada getar dalam suaranya.
“Kalian sudah mengganggu keamanan desa kami. Kalian melanggar hukum adat.”
“Bohong. Kami tidak melakukan apa-apa. Rakai bilang semua sudah diurus.”
“Anak tak tahu diri. Lihat apa akibat dari perbuatan mu Rakai?”
“Saya… Saya..”
“Diam kamu bocah. Biar kami selesaikan urusannya.”
Kerumunan warga mendekat. Salah seorang pria bertubuh kurus memegang pisau. Kilatan pisau diterpa cahaya bulan purnama. Hujan sudah reda sejak tadi tanpa aku sadari. Burung hantu beruhu pada dahan pohon menyaksikan akhir dari riwayat kami. Aku panik. Ilona mengencangkan genggamannya pada ku. Arya membisu. Danar dan Eril pasrah. Tenggelam dalam ketakutan, aku mencicit, “Tolong, jangan bunuh kami. Kami tidak bermaksud buruk. Aku mohon, percayalah pada kami.”
“Ah, tidak nak. Kami tidak akan membunuh mu. Hanya sedikit goresan kecil pada telapak tangan mu.”
“Untuk apa?” Selidik Ilona.
“Hutan terlarang, hanya bisa dimasuki ketika kalian sudah melakukan upacara suci. Kalian harus mempersembahkan beberapa tetes darah kalian.”
“Baiklah, akan kami lakukan.” Kata Arya yakin. Aku tau Arya selalu menyukai tantangan, dan hal ini membangkitkan hasratnya.
“Tapi, ini harus kalian lakukan setiap kalian ingin memasuki hutan. Jika kalian keluar dan ingin masuk lagi, kalian kembali harus melakukan itu.”
“Apa? Kalian gila?” Bentak Danar.
“Kalau kalian tidak mengikuti aturan, maka desa akan terkena akibatnya lagi. Selalu ada akibat dari setiap perbuatan yang dilakukan di hutan ini, Nak. Itu mengapa leluhur kami menyebut hutan ini sebagai hutan terlarang.”
“Akan kami lakukan. Dan kami tidak akan keluar dari hutan ini sampai penelitian kami selesai. Tapi, kalian harus membantu kami.” Kata Arya bersungguh-sungguh.
“Kami sudah berusaha membantu sejak awal, Nak.”
Malam itu, diterangi sinar purnama akhirnya aku, Arya, Ilona, Danar, Eril, serta Rakai melakukan upacara suci. Menggoreskan tangan kami pada pisau. Tak ada lagi kejadian aneh sejak hari itu. Kami benar-benar tidak keluar hutan hampir dua minggu dan ajaibnya penelitian kami berjalan lancar. Warga desa juga menepati janjinya dengan membantu mengirimkan makanan dan minuman yang diantar sampai batas pintu masuk hutan. Sesekali, tetua desa dan pak kepala desa masuk hutan menemui kami untuk menanyakan sudah sejauh mana pekerjaan kami atau kapan kami keluar hutan.
Aku menikmati hari-hari di desa setelah lama terkurung dalam hutan. Semua berubah jelas sekali. Teman-teman ku kembali menjadi pribadi asli mereka yang riang dan bersahabat. Warga desa pun sangat ramah. Sampai tiba saatnya hari terakhir kami disini dan mereka bersama-sama mengantar kepergian kami hingga batas desa. Hanya Rakai yang mengantar kami sampai kota.
“Terimakasih banyak atas semua yang kalian lakukan.” Kata Rakai di menit terakhir kebersamaan kami, “Maaf, harusnya dari awal saya jujur. Saya hanya merasa hal itu merepotkan.”
“Bukan salah kamu. Kamu hanya tidak ingin menyulitkan kami. Kami juga akhirnya sadar bahwa dimana pun kami berada, kami tetap pendatang yang harus mematuhi hukum adat setempat. Apapun bentuknya.” Ujar ku.
“Iya. Maafkan saya juga karena tidak bisa memimpin perjalanan kali ini dengan baik.” Kata Danar pelan.
“Bukan tidak, tapi belum.” Sahut Ilona.
“Terimakasih banyak Rakai, pengalaman yang luar biasa sekali.” Kata Eril sambil mengajak Rakai berjabat tangan.
“Luar biasa gila.” Danar menimpali sambil tersenyum.
Kami saling mengucapkan kata perpisahan. Akhirnya, tibalah saatnya mempertanggungjawabkan hal lain di tempat lain. Hal yang sudah menunggu di Jakarta.
0 notes
catatansianginlaut · 8 years ago
Text
In Frame
Langit disana masih sama pekatnya seperti yang sudah lalu. Seolah tak ada warna lain selain hitam yang ia punya. Sama seperti aku. Tak ada tempat selain sunyi yang bisa ku tuju. Sendiri bergelut dalam gelap yang tak berujung. Tanpa celah. Tanpa cahaya. Aku sudah memutuskan untuk tenggelam ke dalam imajinasi. Membiarkan khayal menembus nyata yang tak bisa ku kenal lagi. Tidak ada kamu atau siapapun di kisah baru ku ini. Hanya ada aku. Aku dan duniaku. Duniaku dan aku. Berputar-putar semakin lama semakin cepat merusak akal sehatku. Raga ku baik sayang. Jiwa ku tidak. Hati ku hilang. Apa hakekat hidup, jika aku hanya sebuah cangkang kosong? Kau tau sesuatu yang tidak siapapun tau. Tapi kau masih membisu. Menyimpan hingga nanti sesal hasilmu. Ah, aku sudah terlalu lama bergelung dalam kelam ternyata.
0 notes
catatansianginlaut · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Dear rider kuning, Apa kabar? Aku harap tetap baik walau kenyataan terkadang tak berjalan sesuai keinginan. Apa semangat mu untuk berjuang bersama masih membara? Untung rindu bukan dosa karena aku selalu merindukan mu setiap saat. Aku rindu pada senyum mu. Senyum yang selalu ingin ku lihat sebelum dan sesudah tidur ku. Senyum yang menularkan kebahagiaan. Maret sudah tiba lagi. Hadiah apa yang kamu inginkan kali ini? Apapun itu ku harap terwujud. Jika hadiah ku adalah menjadi dreamcatcher mu lagi, apa masih boleh? Kali ini aku akan berusaha lebih keras menangkap semua mimpi buruk mu. Agar tak ada lagi pengganggu dalam tidur mu. Agar mimpi indah hadir menjadi penawar keletihan hari mu. Kamu tak harus berjuang sendiri. Karena di suatu tempat ada orang-orang yang bersedia membantu mu berdiri saat kamu terjatuh. Ada orang-orang yang bersedia merangkul mu. Ada orang-orang yang mencintai mu tanpa kamu ketahui. Mereka akan berjuang bersama mu. Seperti katamu, orang hebat gak harus terlihat karena mungkin dia hebat tapi dia ada di tempat yang salah, dia hebat tapi gak match sama tempat dia berada. Dan kamu sudah membuktikan kehebatan dengan cara mu sendiri. Mungkin aku hanya satu dari sekian banyak penggemar mu. Tak masalah bagi ku jika kamu tidak mengingat ku. Tapi ketahuilah rider kuning, aku bangga bisa bertemu orang seperti kamu. Orang yang keabsenannya selalu dirindu. Orang yang kehadirannya selalu dinanti. Orang yang memberi inspirasi untuk banyak orang lainnya. Orang yang semangatnya tak berujung. Orang yang senyumnya tak pernah absen dari bibirnya. Orang yang selalu sabar dan kuat serta percaya bahwa kebahagiaan punya waktunya sendiri, bahwa tak ada mimpi yang terlalu tinggi dan perjuangan yang sia-sia. Terimakasih karena telah hadir menjadi sesosok idola yang memang pantas di idolakan. Jadi, tahun ini kita siap berjuang bersama lagi kan?
0 notes
catatansianginlaut · 8 years ago
Photo
Absolutely likes this pic
Tumblr media
283 notes · View notes
catatansianginlaut · 8 years ago
Quote
Tak ku dapati tempat semenarik kamu selain laut. Saat waktu mengizinkan aku menyelami hati mu. Tenang dipermukaan oleh badai di palung. Sedetik yang ku hargai dengan maut.
0 notes
catatansianginlaut · 8 years ago
Text
MALU
Masih teringat kejadian saat tubuh ku mencium lantai kayu. Dilempar telur dan terigu. Tidak. Ini bukan perayaan ulang tahun. Ini hanya satu dari sekian hari biasa untuk ku. Tak ada lagi hari sial jika selalu seperti ini rutinitas ku. Tamparan itu membekas bukan hanya di pipi ku, tapi juga di hati ku. Aku marah, bukan pada mereka, melainkan pada ketidak berdayaan ku. "Bodoh." "Dasar tolol. Lemah. Kenapa kamu sungguh tidak berguna?" Kalimat-kalimat umpatan itu selalu ku tujukan pada diri ku sendiri. Aku benci diri ku. Aku benci hidup ku. Setiap malam tak ada aktivitas lagi selain meratapi nasib ku. Tertidur bersama emosi yang hanya ku simpan sendiri. Mimpi indah pun tak bisa ku nikmati. Aku dijajah bahkan hingga di alam bawah sadar ku. Ku sambut pagi dengan menjadi tempat sampah lagi. Tomat busuk mengecup ku penuh cinta. Menggeser posisi telur dan terigu yang sudah menemani dua tahun terakhir. Aku masih diam. Mematung menyaksikan tingkah liar mereka. Kewarasan mereka sudah diambang batas kah? Atau memang selera humor mereka serendah itu? Ingin rasanya ku sumpal mulut lebar mereka dengan tomat-tomat ini. Ah, sayangnya itu hanya sebatas ingin. "Tuhan, mau ditaruh dimana lagi muka ku ini?
0 notes
catatansianginlaut · 8 years ago
Photo
Cinta pun menghilang seperti buih
Tumblr media
234 notes · View notes
catatansianginlaut · 8 years ago
Text
Tanpa Kesalahan
Suatu ketika di hari yang basah. Dia yang ku kagumi karena kekuatan tekadnya, ku temukan dalam kondisi mengenaskan. Ia menangis. Tanpa suara memang, tapi aku tau dia sedang menangis. Bahunya yang selalu terlihat kokoh pun bergetar. Aku bertanya dalam hati, apa kiranya yang membuat ia serapuh itu. Ingin rasanya ku abaikan ia. Tapi kaki ini menuntun ku mendekatinya. Ia lalu menghapus air matanya dan bertanya pada ku, "sedang apa kamu disini?" "Ada apa dengan mu?" tanya ku padanya. "Sedang apa kamu disini?" katanya lagi mengulang pertanyaannya. "Ada apa dengan mu?" sahut ku. Ia terdiam, lalu menepuk sisi kosong di bangku sebelahnya. Satu jam yang kami habiskan tanpa kata. Ia hanya diam, sesekali menghela nafas. "Menangislah." "Untuk apa?" "Karena kamu butuh itu." Ia tak mau menurut. Anak nakal itu tidak mau menangis. "Apa yang salah dengan kesalahan?" tanyanya pada ku. "Tak ada." Ia menatap ku. Ada tanya pada manik mata hitamnya. "Tak ada yang salah dengan kesalahan karena tanpanya tak akan ada maaf."
2 notes · View notes