Hanya sebuah memoar dari keresahan hati seorang yang mencita-citakan kebebasan.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Tak peduli tidak berharganya dirimu, tak bermaknanya hidupmu dan seberapa banyak kegagalan yang kamu buat, bertahanlah! teruslah hidup!
0 notes
Text
Maaf bila aku terlalu keras pada diriku sendiri dan terima kasih telah bertahan hingga saat ini. Ini hanya a bad life tidak lebih, aku percaya kita dapat melewati semua ini. Tidak peduli sebanyak apa pun kegagalan yang kau produksi bumi akan tetap berotasi pada porosnya so, life must go on!
0 notes
Text
Orang bisa menjanjikan perbuatan, tetapi tidak dengan perasaan, karena perasaan tidak bisa kita kontrol. Hanya orang bodoh yang mendambakan kesetiaan seseorang dan hanya seorang penipu yang menjanjikan kesetiaan.
1 note
·
View note
Text
Cinta adalah penyakit. Ia membuat orang lemah di hadapan insan yang dicintainya. Ia menyebabkan candu kehidupan, seakan-akan hidup tak punya arti tanpanya, dan seseorang harus memiliki kebergantungan dengannya. Oleh sebab itu, aku tak mau terjerat cinta, dan tidak akan menoleransi diriku terjebak cinta untuk selama-lamanya. - Friedrich Nietzsche.
1 note
·
View note
Text
Apabila ada yang bertanya, "kenapa masih betah sendiri?". Kan ku jawab "karena hati ini masih belum utuh untuk di hancurkan berkeping-keping lagi".-Dieng, Jawa Tengah.
1 note
·
View note
Text
Alter Ego
Akhir-akhir ini aku lihat kamu begitu kacau. Arus kehidupmu benar-benar berantakan. Tak pernah aku jumpai kamu membacai buku, apalagi menulis. Sekarang kamu telah berubah drastis, kamu mudah sekali kepayahan. Tak ada lagi tawa lepas yang terpancar di wajahmu, kamu begitu murung seperti awan mendung. Seolah kamu telah kehilangan semangat hidup! Apa sebegitu terkoyaknya hati dan jiwamu, hingga merasa hidup tak lagi berarti? Bersabarlah alter egoku, kita pasti dapat melewati kesukaraan ini bersama-sama.
1 note
·
View note
Text
"Tidak ada satu pun makhluk, tidak juga orang yang paling kita cintai dan yang paling memcintai kita, pernah menjadi milik kita. Dalam dunia yang tidak manusiawi ini, di mana para pecinta mati sendirian dan selalu dalam keadaan berpisah, pemilikan total atas makhluk lain, suatu komuni absolut untuk selama hidup adalah permintaan yang mustahil. Mencintai berarti mengkebiri yang di cintai".
- Albert Camus
1 note
·
View note
Text
Sudah lama kau tak menulis, aku rindu membacai tulisan-tulisan tanganmu. Semoga alasanmu tidak menulis bukan karena kau sudah engan untuk menulis ya!
5 notes
·
View notes
Quote
you harm if only i could cut my soul let that river flow maybe then you’d understand how empty i’ve been feeling how numb i’ve become how alone that i am if i only i could pierce my mind let you see the inside the darkness and the emptiness how disconnected i’ve been feeling how lost i’ve become how confused i am maybe if everyone could see inside me they’d finally have the nerve to actually try and help
@existential-words (via existential-words)
1K notes
·
View notes
Photo
Dalam penelitian hukum terdapat dua pandangan yang berbeda. Penelitian juridis normatif dan penelitian empiris. Sudah lama pewacanaan ilmu hukum menjadi bagian dari cabang ilmu sosial digalangkan. Disinilah letak kesalahannya, ilmu hukum berbeda dengan ilmu sosial meskipun tidak dapat di pungkiri ada pertalian dengan ruang sosial. Menurut pendapat Prof Peter hal ini terjadi sebagai akibat salah tafsir dari pernyataan Roscoe Pound terkait pernyataan monumentalnya yang menyatakan "Law as a tool of social engineering". Masih menurut Prof Peter kesalahan tafsir inilah yang selanjutnya melahirkan sosiologi hukum. Munculah pertanyaan dalam benak saya apabila ilmu hukum dapat dihampiri dengan pendekatan sosiologi maka apakah memungkinkan untuk dilakukan penelitian hukum dengan metode kuantitatif seperti pada penelitian sosiologi? Dan apabila memungkinkan (seharunya memungkinkan) apakah tidak menjadi rancu? Yang berakibat batas-batas demakarsi antara ilmu hukum dan ilmu sosial menajdi kabur. Mengingat nasab metode penelitian sosial berasal dari ilmu alam yang diadopsi oleh Comte. Menurut pandangan Prof Peter tujuan penelitian hukum adalah mencari kebenaran korehensi sedangkan penelitian dalam ilmu alam dan ilmu sosial bertujuan mencari kebenaran korespondensi. Sengitnya pewacanaan ilmu hukum inilah yang menjadikannya selalu terlihat sexy dimata saya. Dan bagi kawan-kawan yang hendak menempuh mata kuliah metode penelitian hukum atau yang hendak melakukan penelitian hukum sebagai syarat akademis demi memperoleh gelar Sarjana Hukum Buku ini sangat saya rekomendasikan untuk dimiliki dan layak konsumsi tanpa mendisikreditkan buku metode penelitian hukum yang lai . Dan kebetulan di semester depan juga penulis akan menempuh mata kuliah metode penelitian hukum. Salam Fiat Justitia Ruat Coelum.
0 notes
Text
Sekapur Sirih
Sulit membayangkan impian Icharus menjadi kenyataan pada masa itu. Impian manusia untuk bisa terbang. Mitologi Yunani ini kerap menginspirasi khayalan manusia untuk terbang keluar angkasa. Tak ubahnya dongeng Bandung Bondowoso, membangun candi sewu atau candi roro jongrang dalam waktu satu malam. Dia juga menginspirasi pembangunan mega proyek berdiri dalam hitungan hari. Baik Icharus maupun Bandung Bondowoso mungkin akan tersenyum jika lahir di abad ke-21. Semangatnya, impiannya telah terwujud.
Imajinasi itu akhirnya pupus bersamaan dengan lahirnya filsafat rasionalisme modern. Yang mensaratkan takaran rasional, dan menolak bermacam mitos, khayalan, takhayul, bahkan imajinasi itu sendiri. Bagi Rene Descartes percaya pada hal itu tak ubahnya membonsai kemerdekaan rasio. Selain dia, dokmatika agama pun berpendapat sama. Meyakini hal itu sama dengan bid'ah, sesat. Karena kepercayaan itu tidak merujuk pada kebenaran kitab suci.
Sejak jaman modern, pemberangusan terhadap mitologi dilakukan dengan ajeg oleh keduanya. Agama atas nama Tuhan dan pengetahuan atas nama validitas ilmiah. Baru setelah abad 20, saat strukturalisme menjadi populer di Prancis, ditemukan bahwa humanisme dan validitas ilmiah tak ubahnya seperti dogmatika agama. Persamaannya sama-sama picik saat melihat pengetahuan lokal, primitif, dan pinggiran. Mitos merupakan sebentuk anti tesis dari realitas. Mitos merupakan pengetahuan yang tak kalah validnya dengan ilmu-ilmu modern. Bukan sekedar takhayul, mitos punya setumpuk pesan yang berisi beragam panduan untuk kehidupan di masing-masing lokalitas.
Bila pengetahuan Eropa telah mengalami pergulatan pewacanaan sejak abad 16 dan hasil validitasnya berulang-ulang mengalami peremajaan. Namun jika Rene Descartes, datang ke Indonesia pasti dia akan kebingungan. Karena iklim berfikir disini masih lebih gelap dari masa dokmatika di Eropa. Bagaimana tidak, akademisi serta praktisi yang dibesarkan dalam iklim pendidikan di Indonesia masih mengafrimasi dimensi dokmatika ortodok. Hitung-hitungan rejeki, hari, jodoh, karir dan mempercayakan nasib pada dukun, paranormal, kyai dst. Seolah-olah mereka diyakini memiliki bocoran dari langit (ilham) tentang perubahan, perkembangan hingga sepak terjang kehidupan kita. Sampai-sampai untuk maju sidang skripsi mahasiswa juga menggunakan jasa dukun agar ujiannya berjalan lancar. Kasus mahasiswa ini juga terjadi pada praktisi politik. Tak ayal saat musim kampanye dukun, kyai, serta paranormal kebanjiran order. Mulai meminta jimat, minta tolong penggalangan massa, hingga mencari petuah buat keberhasilan kampanye. Walaupun juga menempuh jalan mutahir. Seperti pengiklanan di media elektronik, bagi-bagi sembako, hingga bagi-bagi uang saat pencontrengan. Tapi yang tidak bisa ditampik, bahwa melibatkan dimensi metafisika menjadi piranti yang terus lekat hingga kini.
Descartes akan lebih binggung, ternyata filsafat dipahami sebagai hakikat kebenaran dibalik yang wadak. Tak ubahnya seperti melihat bendera merah putih. Bahwa merah bermakna berani dan putih berarti suci. Pemaknaan semacam ini sering disebut-sebut sebagai penanda/makna filosofis. Tak ayal filsafat identik dengan rumit, jelimet, diawang-awang bahkan aneh-aneh. Padahal filsafat lahir sebagai anti tesis dari praktik dominasi oleh dokmatika agama. Rezim kebenaran yang mengeram pada kognisi Eropa selama 1.500 tahun. Yang praktik pewacanaannya berdampak pada tuduhan, streotipe, hingga vonis bakar, penggal dan pengasingan pada masyarakat, cendikia, seniman dst.
Maka belajar filsafat, seperti menapaktilasi perjalanan pendobrakan pada rezim-rezim pewacanaan disetiap babakan peradaban. Dan menginventarisir manusia-manusia korban pewacanaannya. Filsafat maupun dokmatika agama memang punya perjalanan gelap tetapi pewacanaan di bangsa ini masih berkutat pada soal-soal klenik itu juga harus diakui*.
* : Artikel ini kali pertama dipublikasikan sebagai pengantar dalam silabus pelatihan Filsafat se-Surabaya yang diselenggarakan oleh UKPIM pada tahun 2009.
1 note
·
View note
Text
Dialog Sewaktu Senja
Di suatu sore yang mendung saat itu salah seorang kawan bertanya kepadaku "Mas sebenarnya kamu pro atau kontra sih sama pak Jokowi?" Tanyanya.
"Kenapa kamu bisa bertanya demikian?" Balasku datar, sembari jari jemari sibuk mengscroll layar smartphone.
"Ya, aku lihat di statusmu terkadang kamu mengkritik kinerja pak Jokowi terkadang kamu membela kebijakan beliau, kan aku jadi bingung mas, kamu hendak berpijak dimana? Sebagai seorang yang pro atau kontra dengan pemerintah".
"Contohnya?" Jawabku singkat sambari jari jemari masih asik sendiri mengscroll layar smartphone.
Dengan cepat ia melontarkan jawaban atas pertanyaanku tadi. "Pas beliau mengeluarkan perppu ormas misalnya, saat kebijakan beliau ditentang banyak kalangan salah satunya oleh kelompok bumi datar. Kamu dengan sigap memasang status di semua sosmedmu memberi dukungan terkait kebijakan tersebut. Seolah kamu megaskan diri bahwa kamu pro dengan pemerintah". "Tetapi..." ia meneruskan, "tetapi apa?" Selaku. "Tetapi di lain waktu kamu mengkritik kebijakan pemerintah. Seperti kebijakan terkait kouta import garam, contohnya".
"Mengkritik bukan berarti tidak mendukung bukan?" Jawabku asal-asalan.
Sepertinya ia tidak puas atas jawabanku yang asal-asalan tersebut. Sehingga ia mencoba mengorek lebih dalam jawabanku tadi. "Maksudnya bagaimana itu mas?" Tanyanya lagi.
"Kamu ingatkan waktu pilpres dulu aku pernah berikhrar bahwa aku mendukung 100% pak Jokowi maju sebagai presiden (meski pilihan politikku jatuh kepada pak Prabowo sih). "Iya, ingat" jawabnya singkat. "Lalu...?" Ia mencoba meneruskan.
"Bentuk dukungan tidak harus selalu sepakat dengan pemerintah kan? Kritik juga merupakan sebuah bentuk dukungan agar pemerintah bisa mengintopeksi diri atas kinerjanya". "Ini kritik loh bukan ujaran kebencian". Candaku. "Tapi kiritikmu terkadang terlalu sarkas sih mas". Sanggahnya.
"Mana ada sih kritik yang "manis"? Meski pun pahit tapi tujuannya kan untuk membangun. Jawabku sembari memberi senyuman kepadanya. "Bukankah orang-orang yang mengatakan yang "manis-manis" justru berkehendak untuk kita jatuh dan orang-orang yang mengatakan yang "pahit-pahit" justru menyelamatkan kita!". "Ironis memang". Meneruskan argumentasiku. "Bukankah untuk mengetahui rasa manis kita perlu tau dahulu rasanya pahit bukan?".
"Jadi kamu pro atau kontra mas?" Tanyanya lagi penasaran. "Jangan terjebak pada dikotomi tersebut". "Bukankah dengan tidak menjadi pro atau kontra kita lebih bebas memilih sikap? Lebih jernih dalam menilai? Bayangkan kalau kita memilih salah satunya! Tentu kita tidak dapat bebas bersikap dan malah terbebani sehingga tidak dapat jernih lagi dalam menilai". Jawabku sambil aku suguhkan senyuman terbaik sebagai penutup argumentasiku.
-Fin-
1 note
·
View note
Text
Namanya juga mulut, terkadang suka sesukanya sendiri berucap dan acap kali yang diucapkan tak sesuai dengan perbutan. Ya, sudahlah di maklumi saja toh ini juga bukan kali pertama kan! Naif juga diri ini begitu mudahnya percaya dengan ucapan seseorang.
0 notes
Photo
My first event, pameran foto indie dengan tema "Membangun Pemuda Sadar Budaya Sebagai Benteng Perlawanan Terakhir". Sebetulnya tema awalnya adalah Save Our Culture tapi kena veto oleh Ayatullah-nya UKPIM 😂. Butuh waktu tiga bulan untuk menyiapkan ini semua, sampai-sampai rela "gembel" dikampus demi terealisasinya event ini. #Trowback #UKPIM #LaskarPengetahuan #UBHARASurya #Budaya #PameranFoto (at Universitas Bhayangkara Surabaya)
0 notes
Text
Ada banyak hal yang tidak dapat dihapus oleh waktu, salah satunya adalah kamu.
0 notes
Text
Ketika aku sedang membelah jalanan waktu pulang kerja tadi sekilas teringat insiden di kota Malang tempo lalu yang mengharuskanku berjalan cukup jauh dan tidak sengaja pikiranku melayang jauh dimasa lalu kalau aku pun sebelum tragedi di Malang tersebut aku juga pernah mengalaminya. Hal ini sengaja aku cerita karena aku ingin menceritakannya (lagi gabut saja) haha 😂.
Kali pertama saya jalan jauh karena sebuah tragedi kala itu aku masih kelas 2 SMP. Cerita tersebut berawal saat kami sepulang berenang dari GOR dan kami sedang menunggu angkot lewat untuk mengantar kami pulang. Tak selang lama suara klakson mobil berbunyi sembari sang sopir menawarkan kami untuk naik di angkotnya. Aku pun beranjak untuk segera naik angkot tersebut, nait itu aku urungkan karena teman-temanku masih tidak beranjak dari tempatnya. Aku pun mengatakan kepada sopir angkot tersebut "maaf pak ngak jadi" dan akhirnya angkot itu pun melenggang pergi meninggalkan kami.
Sembari balik badan aku bertanya kepada mereka "kenapa ngak naik?" Salah seorang menjawab "sory bro uangku ngak cukup buat naik angkot". Akhirnya yang lain pun juga bersuara. Senada dengan temanku tersebut mereka juga mengatakan hal yang sama. Akhirnya aku mengintrogasi mereka satu persatu "uangmu sisa berapa?" tanyaku "seribu rik" jawab temanku, "kamu?" "Sama tinggal seribu juga" timpal temanku yang lain "lah kalau kamu tinggal berapa?" Tanyaku pada temaku yang lain "udah habis rik hehe" jawab temanku sambil cekikikan.
Dengan sedikit masgul aku tanya kepada mereka "loh kenapa ngak sisain buat ongkos pulang?" Mereka dengan kompaknya menjawab "habis renang tadi laper jadi aku jajankan uangnya". "Terus kalian pulangnya gimana?" Balasku pada mereka. "Numpang kendaraan orang (pick up atau sejenisnya) rik". Dengan sedikit geram aku menyetujuhi ide mereka "ya sudah kita tunggu sampai tumpangan kita lewat". Karena aku sendiri tidak mungkin bisa mensubsidi kekurangan mereka mengingat ongkos dari GOR hingga rumah kami sekitar 2.500/orang sedangkan uangku sendiri cuma tersisa 4.000 perak.
Sudah hampir dua jam kami menunggu tapi tumpangan kami harapkan tak kunjung datang. Akhirnya aku putuskan untuk berjalan kaki dari pada menunggu "ayo kita jalan aja dulu sambil cari tumpangan". Tak seorang pun dari mereka yang berdiri "sudah menjelang maghrib kalau kalian mau menunggu disitu sampai malam silahkan aku tak jalan, toh percuma kalian menunggu ngak bakal ada yang mau kasih tumpangan didepan sana ada polisi mereka semua takut kena tilang kalau kasih tumpangan kepada kita". Akhirnya aku melenggang pergi dan tak selang lama mereka mengikuti aku juga untuk jalan kaki. Sudah jauh kami berjalan tetap tak ada satu pun kendaraan yang bersedia kami tumpangi dan pada akhirnya kami tetap berjalan kaki sampai didepan rumah kami masing-masing haha 😂.
-Fin-
Sebenarnya masih ada satu kisah lagi berhubung daku sudah malas ngetik daku urungkan niatan untuk menceritakannya.
1 note
·
View note
Photo
"The laws of celestrial mechanics dictate that when two object collide there is always damage. Of a collateral nature. Exempli gratia, two gentlemen find themself at cross purpose... Now are your sure play this game? If you attempt to bring destruction down upon me. I shall do the same to you".-Prof James Moriarty-
0 notes