saya: gadis kecil yang bercita-cita ingin jadi penyihir saja punya kata, punya mantra
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
When You Sad, Pray.
Semalam tiba-tiba sedih sendiri, tiba-tiba merasa punya banyak alasan untuk tidak apa-apa menangis. Mungkin karena sudah kuat terlalu lama, mungkin karena emang lagi menstruasi dan cengeng aja dari sananya.
Belakangan ini lagi mempertanyakan banyak hal, meragukan banyak hal. Katanya bertanya dan ragu-ragu adalah hal yang baik. Tersesat mungkin cara yang baik untuk bisa sekali lagi merindukan rumah. Tapi aku juga sedang mempertanyakan dan meragukan definisi rumah. Aku nggak tahu mesti pulang pada siapa atau apa. Jadi gatau deh, ini ngomong apaan dah. Mungkin cuma lagi kurang sayang sama diri sendiri aja.
Mungkin kurang me-time.
Belakangan ini tiba-tiba sadar kalau aku nggak suka banyak hal. Aku nggak suka bau rokok yang terkurung, bikin sesak. Aku nggak suka gatal-gatal, bikin frustrasi. Musim hujan dan nggak punya jaket gini bikin aku punya cukup alasan untuk gatal dan frustrasi. Aku nggak suka lingkaran hitam di mata aku, aku nggak suka perut aku yang gendut. Aku nggak suka atensi, tapi juga nggak suka merasa terasing. Nggak suka kesepian, tapi suka sendirian. Aku nggak suka orang nggak menggubris yang aku omongin. Aku merasa nggak dihormatin aja gitu, I deserve to be heard. Aku nggak suka disuruh-suruh, nggak suka orang yang suka ngatur. Aku nggak suka orang bilang ini itu anu karena aku perempuan, sementara mereka enggak melakukan ini itu anu padahal mereka laki-laki. Tapi aku diem aja karena aku perempuan baik-baik. Aku nggak suka orang nasihatin soal sesuatu yang aku udah tahu, apalagi kalau aku tahu betul orang-orang ini butuh lebih banyak nasihat. They keep telling me to doing something that THEY think good, sementara mereka sendiri jauh banget dari kata good. Anjing ngaca lah, pengennya bilang gitu. (Kalau orang-orang ini baca, mereka pasti akan berdesis, “Astagfirullah, masa perempuan ngomongnya kasar.” sementara mereka pakai kata anjing, goblok, sia, aing, untuk percakapan kasual. This is something I was talking about; this is the shit I hate.)
Aku nggak suka orang marah-marah, jadi aku juga nggak mau marah.
Aku sangat menyadari sekarang, aku dan kemarahan punya hubungan yang rumit. Andai kepala aku dibedah, aku yakin bagian anger aku temenan baik sama sad. Kalau lagi ingin marah, aku malah nangis. Kayak sekarang. Padahal kalau bisa ngamuk, ngata-ngatain orang tanpa mikir, trus ngilang tiga-empat hari sendirian. I would definitely do that.
Trus penginnya disusulin, dipeluk, dimengerti.
Duh, jadi kangen oppa-oppa drama Korea.
Mungkin aku cuma kebanyakan nyayangin orang lain, akunya lupa sayang sama diri sendiri, orang lainnya keenakan disayangin trus lupa sayang sama aku. Tapi ya udah sih, berharaplah pada sesuatu yang bisa diharapkan, kata Muslim Coki juga gitu.
25 November 2018, @nawangrizky
Sementara jiwa raga lagi nggak sehat kayak gini, aku juga sadar betul ini sudah November 2018. Kepala aku cerewet untuk hal lain-lain, inget target, inget cita-cita, inget doa ibu bapak, inget UN dan SBMPTN, inget nabung, inget umur, inget keinginan duniawi, inget harapan surgawi. Ya Allah gusti, ottoke?
Apakah kesedihan ini memang mesti ada biar aku rajin-rajin berdoa?
0 notes
Text
Hulk
Dari sekian banyak perasaan dan emosi,
saya paling nggak suka sama perasaan menyesal.
Kalau saya tidak salah mengingat, waktu saya SMP (kelas 1? 2?) adalah pertama kalinya saya menimbang-nimbang, “Apa ada hal yang saya sesali?”
Ingatan itu menggiring saya ke suatu hari di kelas 6 SD.
Waktu itu saya punya LKS dengan judul Fajar, baru banget dibeli untuk latihan persiapan ujian. Waktu itu kami ditugaskan untuk mengerjakan LKS. Guru yang bolak-balik keluar kelas bikin kami santai ngerjain tugas.
Saya ingat, kami lagi bercanda-bercanda nyumputin barang-barang. Saya nyembunyiin tempat pensil temen, dia nyembunyiin pensil saya, teman kami yang lain menyembunyikan jaket, yang lain lagi ngambil topi, dan demikianlah. Kami sudah ditegur guru karena kebanyakan bercanda, tapi saya yang jahil masih saja bercanda nyembunyiin barang orang, sampai sadar alat tulis saya sudah jauh disembunyikan orang.
Sambil tertawa, saya menyerah, udahan. Lalu saya berjalan mengambil alat tulis saya di meja ujung. Setelah menemukan alat tulis saya, saya kembali ke tempat duduk. Kemudian saya tersadar, LKS saya hilang. Saya langsung sibuk mencari LKS saya yang hilang, tapi sejauh mata memandang, LKS saya nggak ada. Guru datang, lalu teman-teman saya semuanya diam, sok sibuk ngerjain tugas.
Saya yang kesal waktu itu, marah. Kesal luar biasa. Saya sudah mengembalikan semua barang yang saya sembunyikan, kenapa LKS saya belum kembali?! LKS itu tidak kembali sampai mata pelajaran berubah, tidak kembali sampai keesokan harinya, tidak kembali sampai saya lulus sekolah. Fotokopi? Saya dimarahi guru. Beli buku baru? Saya dimarahi ibu. Sebagai ganti, setiap kali diberi tugas untuk mengerjakan LKS, saya harus mencatat soal dan jawaban yang ada di buku itu. Semuanya. Saya punya salinan LKS Fajar sialan itu di buku tulis saya.
Andai saat itu saya tidak beranjak pergi dari meja demi menjemput alat tulis, peristiwa itu mungkin nggak akan saya ingat sampai sekarang.
Jadi bila ada yang saya sesali, jawabannya adalah hari itu. Saya sering membayangkan punya mesin waktu dan kembali ke hari itu, sekadar ingin tahu LKS saya sebetulnya di mana. Saya punya berbagai teori konspirasi tentang hilangnya LKS itu, mungkin sebetulnya LKS itu tidak pernah disembunyikan teman saya, saya aja yang tidak teliti mencari, mungkin ada yang menyembunyikan, tapi ia lupa mengembalikan atau terlalu takut mengembalikan karena melihat saya sudah marah bersumpah serapah.
Jika ada emosi yang paling tidak saya sukai,
menyesal akan menjadi peringkat nomor satu.
Marah akan menjadi nomor dua.
Banyak hal-hal di benak saya ketika membayangkan perasaan marah. Fragmen ingatan-ingatan yang berloncatan, teriak dan sentakan yang terngiang, pukulan yang kemudian menimbulkan perasaan berani dan marah yang lebih lagi. Semua yang menghadirkan marah selalu jadi ingatan yang paling tidak saya suka.
Marah selalu mengubah seseorang, jadi hulk.
Menyaksikan orang-orang yang saya sayang berubah menjadi hulk adalah peristiwa yang paling ingin saya lupakan. Tatapan menghunus, urat-urat yang bersembulan di leher dan lengan, suara yang melengking tinggi, gerakan tangan yang tiba-tiba, gerak-gerik yang tanpa kontrol. Saya punya daftarnya: sapu ijuk yang menyapa kulit, pesawat telepon yang dibenturkan di kepala saya, kaca meja ruang tamu yang diinjak, cermin meja rias yang ditonjok.
Tentu, segala yang sakit bisa disembuhkan, segala yang rusak bisa diperbaiki, tapi ingatan ini melekat dan menetap. Sialnya, saya bukan orang yang mudah lupa, apalagi yang melibatkan emosi. Ada kalanya, saat diam, kepala saya memutar lagi suara-suara itu.
Trauma, sebut saja.
Apa saya pernah marah?
Pernah. Didominasi rasa marah dan berubah jadi hulk pun pernah. Dan saat itu terjadi, saya juga ketakutan atas fakta bahwa saya kehilangan kontrol pada tubuh saya.
Ada satu hari saat saya KKN, saya PMS, sakit perut luar biasa. Ketua KKN kami membagi tugas, saya diberi tugas untuk mengajar anak TK di tempat yang nun jauh di RT seberang, sementara kawan saya yang sehat dan rupawan diminta bertugas di rumah, tanam bibit. Saya minta keringanan, satu hari saja, saya mau istirahat. Saya mau bertukar tugas supaya saya bisa di rumah saja. Dengan alasan ini itu anu, dia menolak.
Kawan saya yang sehat dan rupawan itu punya basic Kimia, bisa diminta tanam bibit. Saya kan cuma anak bahasa, lebih baik jika mengajar anak TK. Alasan yang bijak luar biasa. Cerdas. Solutif. Alasan yang bahkan menghilangkan hasrat saya untuk berdebat, saya berdoa saja dalam hati: sungguh, saya ingin dia merasakan sakitnya PMS suatu hari.
Dengan rasa sakit yang tidak bisa dipahami lelaki bijak itu, saya berangkat. Satu-satunya alasan saya pergi adalah karena saya nggak mau bertugas dengan lelaki secerdas dia, apalagi mesti liat wajahnya yang tanpa dosa tiap kali papasan di kontrakan. Lagi sakit dan saya ngajar anak TK. Lagi sakit dan saya digelendotin anak-anak itu. Lagi sakit dan saya mesti jalan kaki naik turun gunung.
Gapapa, saya kuat.
Begitu segala tugas selesai, saya ambruk. Keringat dingin, menstruasi banyak banget hari pertama, nggak enak badan, kesel. Saya ingin sendirian. Si ketua yang bijak itu tiba-tiba merasa bersalah, ngetok kamar tempat saya bergelung sendirian, minta maaf. Saya bilang iya dan dengan nada sopan saya minta dia keluar. Rasa bersalahnya membuat dia tetap di kamar, ingin bicara ini itu anu, saya bilang iya, dan dengan nada sopan saya minta dia keluar. Rasa bersalah tak melepaskannya begitu saja, merasa belum dimaafkan, ia memberi penjelasan soal alasan-alasan itu lagi, dan saya meledak.
Saya yakin ketua yang bijaksana itu tak menyangka ada kata-kata kasar yang keluar dari mulut saya waktu itu. Saya yakin tak pernah terbayang di benaknya, perempuan penurut yang baik hati dan iya-iya saja bisa sebegitu murka.
Hubungan kami tak pernah sama lagi,
sialnya, saya tak peduli.
Pernah satu hari, saya sedang berada di konflik hidup yang intens. Klimaks. Orang yang saya percaya mempertanyakan soal hidup saya, keluarga saya, masalah-masalah hidup saya. Mungkin tidak ia sadari, ia baru saja membuka kotak besi yang berisi luka lama penuh kebencian yang selalu berusaha saya sembunyikan.
Saat itu saya sedang senang-senang. Meski mood saya rusak, saya menahannya dalam hati demi menjaga senang-senang. Saya pulang pukul 10 malam, masih berusaha baik-baik saja. Tapi begitu sampai rumah, saya menemukan luka lama itu sedang asyik dikorek-korek. Orang yang saya percaya itu berpesta di atas luka saya. Saya ingat malam itu saya becermin dan sekelebat punya pikiran jahat. Sekelebat yang langsung saya usir dengan istigfar.
Keesokan paginya, saya dengar orang yang menyakiti saya itu masuk rumah sakit. Semalam setelah menyakiti saya, ia dilarikan ke UGD.
Jika sekarang diingat, saya merasa tidak mengenali perempuan yang memekik kesal, mengusir, bahkan mengancam ketua KKN saya waktu itu di kamar kontrakan. Yang saya lihat di cermin malam sebelum ia dilarikan ke UGD itu juga bukan saya. Seorang perempuan yang matanya diliputi benci, sakit hati, dan dendam yang sudah dipendamnya lama. I was a monster. Saya juga takut menghadapi diri saya yang marah. Ia suka sesumbar, mengutuk sembarangan.
Lalu saya belajar,
Apa hal yang dapat dihasilkan dari marah yang meledak-ledak coba? Perasaan lega karena ekspresif? Lalu, setelahnya? Menurut saya, marah tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali citra diri yang rusak karena lepas kendali, munculnya kemungkinan saya menyakiti orang-orang di sekitar saya atau saya yang merusak segala macam, baik barang maupun hubungan. Yang kemudian, saat kembali sadar, saya hanya akan dilingkupi rasa bersalah dan penyesalan.
Menyesal dan marah menjadi dua hal yang paling tidak saya sukai.
21 Maret 2018, @nawangrizky
Sejak itu, saya sangat berusaha agar marah saya tidak meledak-ledak, agar saya tetap punya kendali meski sedang emosi. Saat saya kesal, saya bisa sangat menyebalkan, tapi tentu saja itu masih dengan kendali. Sadar. Seringnya kesal karena saya punya pertanyaan dan tak ada yang bisa memberikan jawaban yang memuaskan atau kesal karena pendapat saya tidak dipahami orang lain. Itu juga kesal aja, bukan marah.
Tapi saya tetap manusia yang bisa marah. But if I did, I go silent.
Saya nggak mau jadi hulk.
Ledakan-ledakan itu saya redam di dalam, paling juga ujung-ujungnya nangis. Tapi nggak apa-apa, nangis nggak akan menyakiti orang lain. Lagipula, energi untuk marah lebih baik dikelola, lumayan dijadikan tulisan.
Kayak gini.
5 notes
·
View notes
Text
Masa Depan
Pernah nggak sih ngebayangin, gimana rasanya Nobita yang tahu nasib dia di masa depan? Dia tahu akan nikah sama siapa, akan seperti apa saat dewasa, bahkan ketemu anak cucunya waktu dia masih kelas 5 SD.
Saya pernah.
Tapi berhubung laci meja belajar saya isinya buku diary doang dan nggak ada mesin waktu, jadi perjalanan ke masa depannya lewat ngelamun.
Saya yang dewasa: punya badan agak gendutan (dulu kurus banget dan nggak bisa gendut cuy!) nan sehat, pakai kacamata, outfit favorit sweater dan kaos-kaos kebesaran, rambut ikal sering dicepol asal-asalan. Saya punya rumah sederhana catnya kuning, kebun kecil yang ada pohon tomat dan cabai, beberapa pohon buah, mobil New Beetle jika sesekali ingin ke kota, kesibukan saya sehari-hari mungkin cuma berkebun, menjadi ibu rumah tangga, lalu sisanya menulis.
Sialnya khayalan dan kenyataan memang seringnya agak nggak sinkron. Cita-cita yang saya khayalkan jauh di depan itu nggak punya manual book-nya, nggak ada step-step how to becoming-nya.
Sekarang, belasan tahun setelah pikiran itu ditelurkan pertama kali, saya berkaca dan menemukan: badan gendutan iya, tapi malah nggak bisa dikontrol kegendutannya; sehat? I dont think so; kacamata iya, minus lima dan malah nyesel kenapa punya keinginan pakai kacamata; outfit favorit tidak berubah; rambut masih lurus aja dan belom berani dikeritingin; masih tinggal di rumah ibu; nggak punya kebun, nggak punya waktu untuk berkebun; boro-boro punya mobil, pakai motor juga nggak bisa; masih sibuk cari uang dengan jadi pegawai orang; berusaha curi-curi waktu (kalau mau jujur sih, lebih bener kalau dibilang cari-cari mood) untuk menulis dan ngikutin passion di sela-sela delapan jam me-time.
Time flies, lalu saya jadi berpikir mungkin khayalan itu memang mesti jadi khayalan saja. Saya yang beranjak dewasa makin sadar, hidup enggak se-selow itu. Terima aja, Ki.
Nanti, menjalani hidup yang begitu mah di kehidupan selanjutnya aja.
Kalau ada.
Belakangan ini, murid-murid saya yang kelas XII lagi sibuk-sibuknya milih jurusan buat SNMPTN. Mereka yang asalnya belom kebayang mau lanjutin kuliah ke mana, mulai kepikiran masa depan. Sebelum memilih jurusan untuk SNMPTN atau SBMPTN itu, mereka dianjurkan untuk konsultasi.
Saya, orang yang hidupnya lebih sering gimana entar aja ini, jadi salah satu orang yang membimbing mereka memilih jurusan.
Ada anak-anak yang dari awal udah tahu mau kuliah kedokteran, bebas di mana aja yang penting jadi dokter, yang lain ingin kuliah di ITB atau UI, bebas jurusan apa aja selama di ITB atau UI. Motifnya macem-macem: ada yang ingin mengabulkan cita-cita orang tuanya, ada yang ingin kuliah gratis, ada yang udah punya rencana karier dan ingin punya uang banyak, ada yang ingin ngekos dan kuliah di luar kota, ada yang nggak tahu apa-apa asal gaya aja.
Yang kadang-kadang bikin saya ingin ngepuk-puk mereka adalah saat mereka bicara soal rencana masa depannya: "Aku pengin jurusan ini kan biar nanti kerja di Pertamina", "Katanya kalau kuliah jurusan ini soalnya nanti susah cari kerja.", "Katanya kalau kuliah di situ nanti lama lulusnya, nanti malah nggak nikah-nikah", "Aku nggak mau jadi guru ah, Bu. Nanti gajinya dikit." dan blablabla.
Duh nak, you know nothing :')
Biasanya setelah itu saya bilang, "Anggaplah nggak ada yang tahu masa depan akan seperti apa, nggak ada yang bisa menjamin karier dan besaran penghasilan kalian setelah kalian lulus, apa kalian bakal tetap bahagia kalau kuliah di jurusan itu?" Saya ngomong gitu untuk memastikan aja mereka beneran yakin atau enggak. Kepikiran gitu atau engga. Keputusan saat itu bisa saja disesali dan bisa saja diubah sambil jalan, tapi pasti merepotkan. Ya merepotkan mereka, ya merepotkan orang tua.
Lalu hening. Pada mikir.
"Jika benar nggak ada yang tahu masa depan akan seperti apa, nggak ada yang bisa menjamin karier dan besaran penghasilan saya setelah lulus kuliah nanti, apa saya bakal tetap milih kuliah di jurusan ini? Apa saya akan tetap bahagia?
Apa saya nggak akan menyesal?"
Seenggaknya itu yang saya pikirin waktu seumur mereka. Saat di persimpangan jalan dan nggak ada yang bisa membimbing saya milih jurusan. Yang saya tahu, cita-cita saya tetap mau jadi penulis meski tentu saja waktu itu saya sadar bahwa saya nggak bisa (belum dan nggak akan langsung bisa) mengandalkan tulisan sebagai satu-satunya mata pencaharian.
Waktu SBMPTN, pIlihan pertama saya HI-UNPAD dan Bahasa Indonesia-UPI. Alasan HI karena asa gaya aja, alasan Bahasa Indonesia karena saya suka. Lolos di pilihan kedua. Nggak saya ambil, dengan berbagai pertimbangan, saya lebih memilih coba lagi tahun depan. SBMPTN kedua, saya pilih Bahasa Inggris-UPI dan Bahasa Indonesia-UPI. Dua-duanya karena saya suka. Lolos di pilihan kedua. Merasa sudah berjodoh dan demikianlah takdir, saya ambil.
Lalu kuliah, lalu ternyata susah, tapi tetap bahagia karena emang suka.
Perasaan bahagia itu yang bikin saya mikir serupiah dua rupiah nggak ada apa-apanya dibanding kepuasan punya ilmu yang kepake untuk mewujudkan cita-cita saya. Saya dikelilingi orang-orang yang suka buku, suka baca, saya punya ilmu untuk menulis juga untuk ngedit yang pasti kepake buat tulisan saya, saya punya ilmu psikologi kependidikan yang tentu saja kepake kalau suatu hari saya jadi ibu. Positive vibes banget.
Meski lulus bergelar S.Pd. saya nggak pernah punya bayangan akan jadi guru. Nggak pernah ingin. Trus PPL, trus makin nggak mau jadi guru. Bukan karena ngajarnya, bukan karena siswa-siswi yang gemesin itu, tapi segala tetek bengek administrasi dan senioritas di sekolah itu nggak cocok banget sama saya. Nggak, nggak mau.
Setelahnya tetep aja mikirin bayar listrik beli kuota biaya foya-foya, jadi tetep aja ngajar karena ilmu pendidikan bahasa indonesia itu satu-satunya kompetensi yang saya punya untuk kerja.
Lyfe ya.
Demi bisa makan enak besok, demi bisa meringankan sedikit beban orang tua, demi beli tas baju sepatu baru, demi kuota yang dipake youtubean sama nontonin ig stories orang yang lagi liburan, cita-cita minggir dulu bentar. Pikirin yang sekarang dulu aja lah, yang penting bertahan hidup. Besok mah gimana besok. HAHAHHAHAHAHHAAANJIRPATHETICKIEU.
Tapi ya gitu deh,
Belum ada Doraemon yang datang dari masa depan lewat laci meja belajar kita. Ngasih pintu ke mana saja, baling-baling bambu, atau mesin waktu. Nggak ada yang tahu nanti akan seperti apa.
Jika waktu benar linier, masa depan adalah jalan dengan kabut tebal. Nggak ada yang tahu itu lurus atau berkelok, mulus atau jeblok. Nggak ada jaminan kita akan baik-baik saja. Kitalah yang bisa ngasih jaminan buat diri kita sendiri, apa kita akan tetap bahagia bagaimanapun keadaannya? Jadi anggap aja ini tiket sekali jalan, mumpung masih ada waktu, pikirin dulu aja sebelum sesumbar teriak yakin mau apa di masa depan.
Oleh karena itulah, kemudian, "Bismillah, kita jalanin dulu aja", menurut saya, menjadi kalimat yang bijak apa adanya.
4 Maret 2018, @nawangrizky
Andai, ini mah, andai. Andai sekarang kita tahu masa depan kita akan seperti apa, apa kita akan se-selow ini sekarang?
Kayaknya sih, enggak.
Kalau masa depannya enggak terlalu menyenangkan, kita pasti akan bekerja keras lagi demi masa depan yang lebih menyenangkan. Kalau masa depannya menyenangkan, kita pasti sadar bahwa masa depan yang menyenangkan itu pasti karena kita yang bekerja keras sekarang sehingga tentu saja, kita akan lebih semangat bekerja keras.
Jadi, daripada riweuh mikirin masa depan kayak gimana mending kita jalanin dulu aja yang ada, bismillah. Lakukan yang terbaik sekarang, syukuri apapun hasilnya, nggak menyerah dan nggak berhenti belajar. Selow, santai aja.
Demi masa depan yang berkabut misteri, Hakuna Matata!
7 notes
·
View notes
Text
Behind The Scene
Disclaimer: Ada kalanya saya berpendapat bahwa karya sebaiknya tidak dijelaskan. Karya mestinya tidak butuh penjelasan karena kalau ia sudah dilempar ke dunia, dia jadi milik dunia. Tafsirnya, tentu manasuka, sebebas-bebasnya. Kalau yang membuat karya itu tiba-tiba memberi penjelasan, nanti tafsirnya akan jadi punya koridor, akan jadi punya pagar pembatas.
Dan bagi saya, itu kurang elok.
Yang saya tulis di bawah ini adalah cerita mengenai tulisan saya di #SuratUntukFebruari2018. Proses kreatifnya. Behind the scene. Saya harap tidak mengaburkan tafsir apapun, tidak membatasi apapun. Tentu, ia juga milik pembaca, terima kasih sudah mengapresiasi. Jangan klik keep reading kalau kalian berpikir untuk menikmati hasilnya aja tanpa perlu tahu drama dibalik proses pembuatannya.
Tapi saya tetap ingin cerita, gimana atuh?
Belakangan ini ada monster di kepala saya. mungkin karena pascamens aja, mungkin karena kecapekan, tapi monster itu bertumbuh tiap hari. Kalau saya ngeluh, yang ada monsternya kesenengan, jadi paling nangis kalau udah nggak ketahan.
Klimaksnya waktu memutuskan cuti karena nganter ibu berangkat umroh. Lepas bentar dari kerjaan, lalu waktu yang ada saya gunakan untuk me-time. Menulis. Ada saat-saat sunyi waktu menulis, and that monster keep talking. Dia bilang saya nggak cukup baik, saya nggak bisa nulis, sok-sokan aja nulis padahal bengong doang, nulis enggak-mikir engga, pengen jadi penulis apaan, nulis aja nggak bisa.
Cukup.
Saya mau pergi aja. Jalan-jalan, belanja. Nanya temen-temen, tapi pada nggak bisa, sibuk. Dito nggak sibuk sih, tapi nggak ada motor di rumah, dia nggak bisa kemana-mana. Ngobrol juga enggak, nggak tau sibuk main mobile legends nggak tau tidur. Lalu saya merasa sendirian, kesepian, ngerasa nggak dibutuhin, ngerasa nggak disayangin. Stres, monster kenyang dikasih makan sama perasaan-perasaan negatif itu.
And that's it. I burst out.
Waktu punya kesempatan buat cerita sama Dito, saya ngeluh panjaaaaang banget, sambil nangis sendiri ngabisin tisu. Saya sendiri nggak yakin apa yang saya keluhkan, apalagi dia barangkali. Dia juga cuma bisa ngirim stiker peluk aja, bingung juga mau gimana. Cuti itu berakhir dengan saya bermata bengkak.
At the time, I let the monster win.
"Kalau biasanya dia yang ninggalin aku tidur dan aku sabar nungguin dia, nggak bisa ya kalau sekarang aku yang tidur dan dia yang sabar nungguin? Ngepuk-puk, meluk, meyakinkan kalau dia sayang aku. That i'm matter. Aku lagi butuh perasaan bahwa aku juga disayangi. Bahwa aku juga penting."
Tanganku mengulur, ingin mengelus pundaknya, tapi panjang tanganku hanya menggapai lengannya. Sudah ada 'sorry, but i don't do hope' di ujung lidahku, ada 'jangan berharap pada orang lain yang bukan dirimu', tapi aku tahu percuma. Perempuan di depanku sudah berusaha keras menahan-nahan air matanya, tapi air mata itu tetap terbit. Ia terisak menangis.
[Bagian dari #GirlTalk terbaru, tapi dibiarkan jadi draft]
Sore itu, Dito ngasih tau Pecandu Buku ngadain event #SuratUntukFebruari2018.
Dengan segala kesibukan kepala ini, dia pikir saya bisa menulis untuk event ini? Boro-boro. Saya skip aja. Perasaan negatif ini perlu diolah dan pengolahannya butuh waktu, monster ini butuh ditatar dan diajak ngobrol. Besok saya kerja lagi, sibuk lagi dan saya nggak punya waktu buat melihara monster ini di kepala saya.
Hari-hari berlalu.
Saya kena flu, demam. Bapak juga sakit, Rian sibuk sendiri. Ibu lagi nggak di rumah untuk ngurusin kami. Jadi saya nguat-nguatin diri buat jadi orang yang bisa diandalkan Bapak, diandalkan ibu buat ngurus rumah selama ibu pergi, dan diandalkan diri sendiri. Saya nggak punya waktu untuk ngurusin monster ini. Di saat yang sama, saya dapet kabar ada ibu kawan saya meninggal setelah seminggu dirawat, kawan saya ini juga lagi hamil muda dan sempet drop sampai kandungannya turun, kawan saya yang lain bilang kalau ayahnya masuk rumah sakit, nggak sadar dan sedang diobservasi.
Bagaimana saya bisa mengeluh hanya karena saya flu? Bagaimana saya bisa mengeluh sama Dito karena saya capek kerja sementara dia mungkin lagi capek cari kerjaan? Bagaimana saya bisa mengeluhkan monster yang tumbuh dan terpelihara di kepala saya, sementara dia ciptaan saya sendiri?
Sedang mengolah perasan itu,
Dito ngepost #SuratUntukFebruari2018 punya dia.
Itu buat saya.
Gimana ceritanya saya bisa nggak ngerasa disayangi dia selama ini?
Lalu saya tergerak untuk menulis. Monster di kepala saya masih ngomong, tapi saya nggak punya waktu untuk ngedengerin dia, kepala saya sibuk.
Saya menulis surat untuk saya sendiri.
Dari saya yang sangat sabar menemani diri ini menangis, dari saya yang tabah membereskan tisu-tisu sisa tangis semalam tanpa mengeluh, dari saya yang beranggapan bahwa mata bengkak memudahkan saya pakai eyeliner, dari saya yang ingin ngepuk-puk diri sendiri, dari saya yang ingin meluk diri saya sendiri, dari saya yang ingin noyor diri saya sendiri, lalu ngajak diri saya ketawa sama-sama. Dari saya yang ingin bilang, "Kamu ngerasa kesepian, Nawang? Kan ada aku. Nggak apa-apa kalau mau ngeluh, aku dengerin. Semuanya bakal baik-baik aja, kita kuat kok."
Dari saya yang memaklumi segala konflik batin ini.
Untuk saya yang dari kemarin drama.
Trus ternyata suratnya menang.
Jadi tiga terbaik.
Waktu ngeh, tahu-tahu ada banyak notif di IG. Dito yang waktu itu lagi di depan saya langsung senyum dari telinga ke telinga. Setelah saya ngepost di IG stories, Mbak Tya ngerepost di ig storiesnya dikasih catatan "beyond proud" dan nyuruh aku nulis novel, Rian pulang trus ngasih jempol, "kata Irhas tulisan kamu bagus," dia bilang, Dito meyakinkan lagi bahwa aku mestinya udah nerbitin novel, dicie-ciein temen-temen, difollow orang-orang baru trus pada komen kalau tulisan itu pantas jadi surat terbaik.
And i'm speechless.
Bengong.
Overwhelm.
20 Februari 2018, @nawangrizky
Hari ini, empat hari setelah pengumuman, saya baru bisa mencerna. Baru bisa mikir. Dan setelah diolah, sisanya cuma keinginan buat senyum sama Allah. Ini, ya Allah? Segala konflik batin dan drama kemarin tu buat perasaan ini ya?
Alhamdulillah :")
3 notes
·
View notes
Text
Menjadi Perempuan
"Disitu gw lihat seorang perempuan keras yang punya tekad. Demi suaminya yang lagi terpuruk, dia harus bangkit. Demi anak-anaknya dia harus terlihat kuat. Walaupun ada kemunduran besar dalam ekonomi keluarga, Ibu tetap mengusahakan yang terbaik buat anak-anaknya. Dan suaminya.
Ibu adalah istri yang luar biasa. Semarah-marahnya beliau sama Bapak, akan selalu ada teh manis hangat di meja waktu pagi dan sore. Baju Bapak tetap bersih dan disetrika rapi. Paling kalau lagi marah besar, Ibu pindah ke kamar anak-anaknya. Kadang menangis dalam tidur.
Entah berapa kali gw lihat Ibu ngangkat galon seorang diri, ganti gas sendiri, ganti bohlam lampu atau benerin tirai. Ibu selalu bilang sama gw, jangan pernah jadi perempuan yang bergantung di kaki laki-laki. But more than that she shows me that she’s Dad’s strength. Nggak peduli semarah apapun, Bapak ya pulang ke rumah. Minum tehnya dan pakai baju setrikaan Ibu."
Kalimat-kalimat di atas itu adalah tulisan kakak saya, lengkapnya bisa dibaca di part 1 dan part 2 ditulis dalam rangka Hari Kartini. Thank god, kami punya Kartini kami sendiri, kami punya Wonder Woman kami sendiri: Ibu.
Sebagai perempuan yang dibesarkan menjadi perempuan dengan role model seperti ibu, saya selalu tahu bahwa menjadi perempuan adalah berkah. Menjadi anak perempuan dengan segala jepit, ikat rambut, dan rok tutu warna-warni, menjadi remaja perempuan dengan payudara yang tumbuh dan drama menstruasi, menjadi wanita dewasa dengan sepatu tinggi atau lipstik merah muda yang mesti senantiasa menjaga harga diri, menjadi istri yang patuh dan berbakti pada suami, menjadi ibu yang penyayang sekaligus tangguh dan kuat untuk anak-anak adalah tahapan yang indah bagi saya. Saya amini dan saya syukuri.
Saya bangga saya perempuan.
Itu prolog doang, yang mau saya ceritakan yang ini.
Sebulan yang lalu, kalau saya tidak salah mengingat, saya sedang nongkrong dengan kawan-kawan. Kami yang kehabisan obrolan kemudian disodori bahasan tentang video porno yang sedang viral. Yang kawan kami soroti saat itu adalah mengapa lebih banyak orang yang mencela si perempuan, bahkan oleh sesama perempuan?
(Fyi, dari 6 atau 7 orang yang nongkrong waktu itu, perempuannya cuma dua: saya dan Mia, dedek gemes yang seringnya iya iya aja *jitak*)
"Jelas, karena dunia ini patriarki," kata salah satu lelaki itu. Lantang.
Menurut kawan saya ini, yang banyak diamini oleh kawan-kawan saya yang lain, dunia ini berjalan dengan sistem patriarki. Lelaki yang memegang kendali. Lelaki yang mendominasi. Makanya si laki-laki dalam kasus tadi bukanlah hal yang mesti dicela, perempuannya aja yang nggak bisa jaga diri. "Salah satu contohnya," kata dia, "perempuan yang berdandan atau pakai baju seksi kan buat apa kalau enggak untuk menarik perhatian laki-laki. Sebenernya itu efek dari patriarki." ujarnya dengan nada bangga.
Kalimat itu kemudian saya sembur dengan ketawa, e-nggak-per-nah-a-da-hu-bu-ngan-nya. Pakai baju yang terbuka atau tertutup sama halnya seperti lelaki hari ini pakai topi besok pakai dasi lusa pakai sepatu tanpa kaus kaki. Tidak pernah untuk orang lain selain diri sendiri. Hari ini panas, lalu pakai yang terbuka, hari ini dingin, lalu pakai yang tertutup. Ya terus? Kenapa GR amat itu buat lelaki? Perempuan yang berdandan, apalagi. Saya kenal banyak orang yang dandan, bahkan, hanya agar gak ngantuk. Sulit dipercaya, tapi beneran. Pakaian dan make up semata-mata hanya alat yang bikin perempuan lebih percaya diri. Orang tua saya bahkan bilang pakaian adalah salah satu bentuk kita menghargai diri sendiri. Yang artinya, BUKAN dan ENGGAK pernah buat orang lain.
"Laki-laki suka perempuan yang kulitnya putih, lalu perempuan berlomba-lomba pakai produk pemutih wajah. Waktu di satu masa laki-laki suka perempuan yang rambutnya lurus, perempuan langsung rebonding. Waktu di satu masa laki-laki suka perempuan yang pakai behel, perempuan langsung behelan," tambah kawan saya yang lain.
"Oh, laki-laki enggak beli Wak Doyok karena perempuan suka cowok brewokan?" saya bertanya, "laki-laki enggak rajin ngegym karena perempuan suka cowok kekar?"
"Enggaklah, laki-laki mau brewokan karena liat laki-laki lainnya. Ada laki-laki yang kekar brewokan, lalu tampak gagah, lalu laki-laki ini ingin kayak gitu, jadi rajin ngegym, rajin pakai wak doyok. Bukan karena perempuan."
"Terus kenapa kamu pikir perempuan mau cantik karena laki-laki dan bukan karena ngeliat perempuan lain?"
"Kan emang kayak gitu," ujar kawan saya, "padahal aslinya laki-laki nggak suka cewek yang dandan ya? Yang natural aja." lalu mereka tos ditambah haha hihi cekikikan.
"KALO FAKTANYA LAKI-LAKI ENGGAK SUKA PEREMPUAN DANDAN DAN PEREMPUAN MASIH DANDAN. ENGGAK PEDULI LAKI-LAKI SUKA ATAU ENGGAK. KENAPA NGANA PIKIR PEREMPUAN DANDAN UNTUK LAKI-LAKI, HAH?!" teriak saya dalam hati.
Dalam hati saja karena saya sadar patriarki yang mereka bahas itu berangkat dari kepala mereka. Keyakinan mereka. Demi kebanggan mereka jadi lelaki, mereka meyakini bahwa perempuan diciptakan, tumbuh, hidup semata-mata untuk lelaki. Saya menyimpulkan, demikianlah dunia yang ingin mereka yakini.
Fix, mereka dari Mars dan saya dari Venus. Kami beda dunia. Akan percuma menjelaskan seperti apa sudut pandang perempuan, sedangkan patriarki yang berparasit di kepala mereka tidak peduli sudut pandang perempuan. Saya kan HANYA perempuan.
Saya melipat tangan di dada, duduk menyandar kursi, undur diri dari perdebatan itu, membiarkan laki-laki ini merasa benar. Maskulinitas mereka sebagai laki-laki membutuhkan kerendahan hati perempuan untuk menerima dan memaklumi ego dan arogansi mereka. Jadi saya diam saja, saya siram ego lelaki-lelaki ini. Subur sana! Yang subur!
"Kalo Teh Nawang enggak ngerasa berpakaian atau dandan karena laki-laki, ya bagus," ujar kawan saya lagi, menyadari kekesalan di wajah saya barangkali, "Teh Nawang udah sadar berarti. Ini mah perempuan kebanyakan, yang berpakaian atau dandan dengan niatan untuk menarik perhatian laki-laki."
"Tau dari mana? Gimana cara ngukur niat?" saya bertanya, "Kamu tahu dari mana perempuan itu pakai baju warna merah muda dan lipstik merah NIAT-nya untuk menarik perhatian laki-laki?"
Pertanyaan saya dijawab haha hehe.
Keluar dari konteks kasus video porno sih ya bahasannya, tapi jiwa patriarki-patriarki yang nongkrong sama saya malem itu bener-bener mengganggu. Ini cerita gini doang aja masih kerasa keselnya. Mereka semua bukan perempuan, tapi sok paham kenapa perempuan pakai baju, sok paham kenapa perempuan pakai make up.
Buat laki-laki? Yeah, rite. Situ pikir situ surga?
Sadly, but yes, dunia ini patriarki. Saya tidak menyangkal bahwa patriarki sudah berbudaya. Warisan penjajah yang masih disiram, dipupuk, dipanen dengan senyum lebar lelaki. Budaya yang menempatkan lelaki di strata sosial paling tinggi dan perempuan di bawahnya. Budaya yang menjadikan lelaki dan perempuan punya hubungan yang vertikal, bukan horizontal. Budaya yang membuat lelaki punya kuasa atas perempuan, anak-anak, harta benda, dan segalanya. Budaya yang menjaga ego dan arogansi terpelihara subur di kepala lelaki. Menguntungkan lelaki, dan di saat yang sama menyisihkan perempuan. Menjadikan anggapan "lelaki kuat-perempuan lemah, lelaki memilih-perempuan dipilih, lelaki dilayani-perempuan melayani" adalah lumrah.
Again, saya juga tidak akan menyangkal bahwa di dunia yang oksigennya penuh patriarki ini ada juga perempuan-perempuan yang mengamini anggapan itu (bahwa perempuan lemah dsb, dst), memanfaatkan bahkan. Mereka-mereka ini yang mencari keuntungan dengan dalih, "kan aku perempuan *puppy eyes*".
Beruntung, saya punya ibu seperti ibu. Kuat dan menonjol dengan perannya sebagai perempuan, sebagai ibu. Saya melihat sendiri, jadi saksi betapa kuat dan mandirinya ibu. Ibu adalah perempuan yang punya tekad, berpendirian kuat, tahu betul apa yang ia mau dan apa yang ia lakukan. Kuat, tapi lembut di saat yang sama. Perempuan hebat, istri yang mendukung dan menghormati suaminya, ibu yang baik dan penuh cinta. Ibu saya menjadi ketiganya tanpa melepaskan jati dirinya sebagai manusia yang merdeka.
Saya nggak akan diaku anak kalau manja dan hobi merengek.
Saya tahu, ini, saya ngomong begini mungkin akan memberkahi wajah saya dengan cap feminis. Jika itu artinya saya mendukung perjuangan perempuan untuk tidak lagi termarginalkan, saya amini, saya feminis. Tapi jika cap feminis di wajah saya ini kemudian menerbitkan anggapan bahwa saya menolak kodrat saya sebagai perempuan, apalagi dikait-kaitkan dengan agama, wait a sec.
Kefeminisan yang saya pahami tidak berusaha menggusur lelaki dari fungsi dan tugas sosial atau agamanya sebagai imam dan kepala keluarga. Enggak. Silakan, tuan-tuan.
(Saya nggak tahu feminis apa dan bagaimana, tapi) Bagi saya, di dunia yang saya yakini, di dunia yang ingin saya huni, lelaki dan perempuan hidup dalam harmoni. Saya enggak bilang sama, tapi seimbang dengan tugasnya sendiri-sendiri.
Lelaki tumbuh besar dinasihati ayah agar kuat dan pintar, kelak akan menjadi kepala keluarga sehingga mesti bertanggung jawab, mesti bijak, mesti bisa mengambil keputusan. Yang perlu diingat, ayah tak pernah menasihati anak lelakinya untuk merasa tinggi sehingga dapat memandang rendah perempuan. Ayah menasihati anak lelakinya untuk menjaga ibu, keluarganya, istrinya, anak-anaknya, bukan karena orang-orang itu lebih lemah, tetapi karena lelakilah yang diberi tanggung jawab sebagai imam. Itulah tugas seorang imam.
Seperti halnya perempuan yang dinasihati ibu agar cerdas, cantik lahir batin, jago memasak, menjahit, hemat dan jago berhitung, kelak akan menjadi istri dan ibu sehingga mesti penyayang, mesti punya banyak cinta, dan punya hati selapang-lapangnya. Yang perlu digarisbawahi, ibu tak pernah menasihati anak perempuannya untuk menjadi manja sehingga dapat semena-mena meminta perlakukan istimewa dari lelaki. Ibu menasihati anak perempuannya untuk menghormati ayah, menghormati suaminya, menyayangi keluarganya, anak-anaknya, melayani mereka bukan karena ia lebih rendah, tapi karena perempuan punya cinta dan kasih sayang yang berlimpah untuk dibagi-bagi.
Bagi saya, hal itu adalah indah. Nasihat yang baik dan tidak pernah salah.
Maskulin dan feminim yang hidup harmoni.
Merdu.
Saya meyakini laki-laki dan perempuan adalah setara, hanya punya fungsi dan tugas yang berbeda. Perempuan punya sel telur dan lelaki punya sperma, perempuan punya rahim dan payudara jadi perempuan akan bisa hamil dan menyusui, sehingga, tentu saja, lelaki akan lebih banyak bekerja. Dalam hidup rumah tangga, organisasi paling sahih yang melibatkan peran keduanya, lelaki dan perempuan bekerja sama sesuai fungsi dan tugasnya. .
Harmonisasi yang indah.
Saling menghormati, saling menghargai, saling menyayangi. SALING. Laki-laki dan perempuan. Manusia dan manusia. Hubungan itu akan niscaya dan itu bisa dimulai dari hal yang paling sederhana: tidak menunjukan sikap yang merendahkan, melemahkan, atau mengecilkan satu sama lain.
Menjadi perempuan di tengah patriarki adalah sebuah perjuangan. Bagaimana tidak, perempuan berpakaian dan berdandan aja disebut usaha ingin menarik perhatian. Perempuan ingin sekolah tinggi dibilang nggak usah, toh ujug-ujungnya kasur dan dapur. Perempuan menyuarakan pendapat disebut sembrono, ngelawan, nggak patuh. Perempuan pulang larut disebut murahan. Video porno yang dibahas tadi aja lebih banyak perempuan yang kena getahnya padahal dosanya berdua. Belum lagi kasus pemerkosaan yang disalahin rok pendek, otak cabul lolos dari bahasan. Mendeklarasikan diri sebagai feminis aja, dianggap benci laki-laki, jauh dari agama, dianggap nolak kodrat.
Jadi perempuan mah diem ajalah. Nurut.
Eek.
Lepas dari segala label yang lingkungan ini tempelkan pada vagina dan payudara sebagai identitas kami sebagai perempuan, kami juga manusia biasa. Yang punya kekuatan pun kelemahan, yang juga ingin maju dan pintar demi diri kami demi orang-orang yang kami sayangi, yang punya keinginan, yang punya harapan. Kami juga ingin dihormati dan dihargai seperti halnya kami menghormati dan menghargai orang lain.
Itu doang.
Tapi kawan-kawan saya itu barangkali tidak akan mengerti bagaimana perasaan saya saat mereka bilang perempuan pakai baju seksi dan bermake up adalah untuk memancing perhatian. Bahkan saat mereka sok tahu jalan pikiran dan alasan-alasan sikap seorang perempuan, mereka tak akan mengerti.
Mereka bukan perempuan.
Mereka tak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi perempuan.
22 Desember 2017, Selamat Hari Perempuan! Kalian tahu kan, kita istimewa.
Oh, dan tanggapan saya soal video yang sedang viral itu? "Jadi kenapa ketika ada video porno, si perempuan yang paling banyak dicela, bahkan oleh perempuan juga?"
Karena lingkungan--yang katanya patriarki itu--memberi pilihan untuk perempuan: kau perempuan baik-baik atau perempuan nakal? (dan video itu membuktikan si perempuan tidak lagi baik-baik), sedangkan lelaki diberi pilihan: situ brengsek atau homo? (dan video itu membuktikan si laki-laki tidak homo).
Hail, patriarki!
12 notes
·
View notes
Text
Yass!
Attachment (again)
Gue kayaknya udah sering banget ngomongin attachment (dan betapa parnonya gue sama benda ini). Hari ini gue kembali belajar satu hal penting tentang attachment, dan gue pengen menuliskannya untuk diri sendiri, sehingga jika kelak ini terjadi pada gue, gue bisa membaca ulang apa yang gue pernah tulis untuk menampar diri sendiri pada masanya nanti.
Tersebutlah salah seorang kenalan gue di sebuah tempat yang baru banget gue temui hari sabtu lalu. Sejak perjumpaan pertama, dia sudah sebegitunya bercerita banyak tentang hidupnya ke gue, padahal gue bahkan belum tau namanya siapa, dan dia juga belum tau nama gue siapa.
She’s a widow. Her husband has just passed away months ago due to chronic illness. She’s widely known as a desperate and stressfull wife, even rumours said that she has been going crazy. She talked to me like a demotivated human being. Gloomy all the time. It’s like she’s surrounded by dementors. She acted like so, due to her loss. But she kept talking about her husband, their memories, how he was gone, etc. She stopped talking about it just when I brought a topic about… lipstick.
Asli. Kalo lagi gini, gue bersyukur banget bokap selalu ngajarin buat mengembangkan wawasan dalam bidang apapun demi membangun komunikasi yang baik dengan banyak orang. Because if you know me long enough, kalian akan tau betapa benci sekaligus butanya gue terhadap dunia lipstik. But I can casually talk about it like I know everything. I successfully distracted her anyway.
Highlite dari segenap cerita beliau tentang kehilangannya adalah, betapa hancur leburnya dia secara fisik dan mental begitu suaminya meninggal. Her husband was that kind of mr. Mcdreamy. Semua keinginan dipenuhi, dimanjakan bak princess, semua kebutuhan diurusi, sampe rasanya tuh the only thing you need to do by your own is only breathing. Karena yang lainnya akan sedia simsalabim by the service of your husband. Segitu cintanya, segitu sayangnya, segitu overprotective-nya, segitunya, pokoknya.
Dia lupa kalo dia adalah individu merdeka, yang seharusnya mengurus dan mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri. Dia kebiasaan diurusin. Dilayanin. Sehingga hampir sepenuh hidupnya bergantung. Nempel. Attach. Ke suaminya. Mungkin ini terdengar wajar, karena bisa aja ada yang berpendapat bahwa seperti itulah rumah tangga bekerja. Memang itulah tugas suami. TAPI, setelah suami mulai sakit-sakitan dan akhirnya meninggal, ada satu nyawa lagi yang terancam, yaitu nyawa istrinya, yang kadung lupa caranya mengurus dan mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri.
Persetan dengan segala teori pujangga yang bilang kau separuh aku, separuh napasku, belahan jiwaku, kau darahku, jantungku, hidupku. NO. Karena begitu lo menganggap hidup lo bergantung kepada hidup orang lain, maka lo akan mati tidak lama setelah orang itu mati.
Ya kalo lo merasa itu worth it sih silakan. Ngga masalah.
Dia kemudian mengajarkan kepada gue bahwa, tidak ada salahnya bagi perempuan untuk mandiri. Untuk belajar hal-hal dasar bertahan hidup, lalu menggunakannya, bahkan ketika ada orang yang berjanji atas nama agama, untuk menjamin hidup lo. Dia mengingatkan gue untuk tidak pernah menyerahkan seluruh hidup. Karena seluruh itu terlalu banyak.
Sebenernya nyokap gue sendiri adalah living proof dari nasihat itu. Tanpa ketemu widow ini pun, nyokap gue sudah menanamkan nilai-nilai itu di gue. Guenya aja yang kadang masih suka manja (atau oportunis memanfaatkan akal modus lelaki demi keuntungan pribadi HAHA).
I used to close with somebody, yang lebih concern mengajarkan gue rute angkot untuk menuju tempat tertentu, dibanding mengantarkan gue kemana-mana. Dia sadar bahwa dia ngga akan selamanya ada di sisi gue, dan dia ngga mau ketika dia ngga ada, gue ngga bisa apa-apa. Sayang yang pengen dia tunjukkan, adalah dengan menjamin gue tetap bahagia dan baik-baik saja, sekalipun dia tidak ada. Karena dia paham betul, selalu dan selamanya itu mitos belaka. Kurang lebih contohnya begini.
Gue bicara ini untuk semua orang, tapi mungkin lebih spesifik bagi kaum perempuan yang akan menjadi istri atau pasangan dari seseorang.
Please, tetaplah menjadi manusia merdeka yang punya basic skills untuk bertahan hidup, tanpa harus bergantung dengan siapapun. Si a pa pun. Belajar nyetir, masak, ngurusin administrasi, cari uang, nabung, nyalain api, nyari air bersih, ngangkat galon, benerin genteng bocor, benerin wc mampet, ngangkat belanjaan, mindahin barang berat, ganti ban, dll. Ngga harus sampe pro, minimal tau dasar-dasarnya. Atau minimal tau kontak tukang atau orang2 expert yang bisa dihubungi for paid service.
Lo bisa aja punya pasangan legal yang secara hukum sudah bersumpah akan mendampingi dan memenuhi kebutuhan lo. Tapi itu bukan excuse buat lo act like a prince or princess, santay kek di pantay, menunggu pasangan menyajikan semuanya in the name of love. No, man. Lo gatau masa depan. Lo gatau kapan pasangan lo akan bosen terus tiba-tiba ninggalin atau nyelingkuhin lo. Lo gatau kapan pasangan lo akan sakit keras terus tiba-tiba mati. Kalo udah gitu, lo yang udah keburu bergantung ini mau apa? Cari pasangan lagi? Gitu aja terus sampe via vallen cover lagu bohemian rhapsody versi dangdut koplo.
Attachment tuh serem sih, hal kedua yang gue takutin setelah laba-laba.
Attachment bisa bikin buta aja gitu. Menyerahkan segenap kemerdekaan diri tanpa sadar. Terus giliran detach, hancurnya kayak meteor nabrak bumi jaman dinosaurus punah. Pait banget kan, sekalinya lagi attach merasa sebagian masalah hidup terjawab, ada kebutuhan yang terpenuhi, tapi begitu ditinggal, grafiknya langsung curam gitu turun ke bawah. Berantakan luar biasa. Nyembuhinnya makan waktu menahun. Bahkan mungkin men-dekade.
Gue ngga setuju sih dengan teori ‘treat her like a princess’ or 'treat him like a prince’. Mendegradasi sih itu. Banyak banget, nyet, bukti cinta lain selain melayani sepenuh hati. Lo pasangan, apa budak?
Serius deh, tetaplah belajar hal-hal yang lo ngga bisa, sekalipun lo punya orang yang mau melakukannya dengan sukarela buat lo. Atau minimal, cari tau dan simpan kontak paid service yang bisa memenuhi kebutuhan lo. Jangan pernah ngebiarin diri lo terlayani sepenuhnya, sampe lo taunya cuma terima beres aja. Bahaya, njir. Itu kalo pelayan lo udah resign, lo bisa apa?
Nih si widow yang gue ceritain di awal, doi sampe ngga tau jenis-jenis SK PNS apa, karena yang ngurus selama ini adalah almarhum suaminya. Dan dia menyesal sekali membiarkan suaminya melakukan itu semua tanpa melibatkan dia, even if it for the sake of…love.
Ya gue tau sih, naturally, people love to be adored, and be treated like they were a fragile plate that needs to be handled with extra care. Tapi ngga sampe bikin dia lupa bahwa dialah yang bertanggungjawab atas dirinya sendiri juga, dong. Cinta ya cinta aja. Jangan ngerusak atau ngehambat orang buat menggunakan atau menghambat skill-nya juga. Kecuali lo edward cullen yang bisa hidup thousands years and thousand more, sehingga lo yakin nggabakal ninggalin duluan.
Sebagai pasangan yang dimanjakan setiap saat, sudah waktunya lo sadar bahwa ini melenakan dan menjerumuskan. Lo harus tetap ingat bahwa lo tetep bertanggungjawab atas diri lo sendiri. Bahwa lo tetep harus bertahan hidup ketika dia sudah tiada. Jangan mau didegradasi.
Lo ngga harus jadi wonder woman atau wonder man. Lo ngga perlu jadi super kuat yang bisa segalanya. Tapi minimal, ketika lo membutuhkan sesuatu, lo tau lo harus apa dan harus gimana, sekalipun si dia tidak ada.
Because at the end of the day, you’ll be alone anyway.
97 notes
·
View notes
Text
Nilai Identitas
Ada yang meresahkan saya belakangan ini. Well, enggak juga sih, ini keresahan yang selalu ada, memencar-meredup, tergantung situasi.
Sebelum saya berkeluh kesah di catatan ini, biar saya definisikan siapa saya. Nama saya Rizky Nawang Diandini, lahir di Ambarawa dari orang tua yang kampung halamannya di Temanggung, Jawa Tengah. Darah saya Jawa, kedua orang tua saya Jawa, budaya dan paham yang mereka ajarkan pada saya adalah budaya dan paham Jawa. Katanya sih, kami keturunan Brawijaya V, namanya ada pada silsilah keluarga di Kaloran, rumah keluarga besar Mangunsudirjan. Seseorang yang membuat ibu masih punya gelar Raden Roro and so am I.
Saya belajar dan percaya bahwa gelar raden adalah warisan penjajah, jadi saya nggak terlalu suka dengan gelar yang ‘raden? ya terus?’ itu. Tapi bapak bilang raden berarti rah kang adi, Rah dari kata ruh atau darah, kang artinya yang, dan adi yang berarti bagus, baik, indah, besar, luhur, dan mulia. Yang artinya saya nggak bisa semena-mena bertingkah laku. Gelar raden itu harus bisa mencerminkan siapa saya. Saya harus memiliki pribadi yang bagus, baik, luhur, dan mulia.
That.
Identity.
Beban yang berat dari nama yang bahkan saya nggak ngerti asal-usulnya.
Keep reading
6 notes
·
View notes
Photo
0 notes
Text
Bicara (2)
Dari kecil dulu, saya adalah orang yang pendiam. Sebelum berani ngomong atau memulai percakapan, saya menganalisis situasi, dan biasanya menjadi penyimak aja. I'm a good listener. Saya baru berani ngomong panjang lebar ke sahabat deket saya, itu pun dari orang segeng aja paling cuma 1-2.
Saking sedikitnya, saya masih inget. Waktu SD ke Dissy, Ica, trus ke Gina. SMP ke Nurul, Dita, dan buku curhat, lalu Ica again, temen SD yang sekelas waktu SMP. SMA ke Pepi, temen SMP yang se-SMA, nulis diary most of the time, trus ke Olin, Pipit, sama Phira. Kuliah ke Olin, temen SMA yang sekampus, trus ke Inar, Agil, Tresna, dan Muti. Oh, ada saatnya ke Tanti, mantannya sepupu. Trus KKN nemu Dhita sama Nissa.
Yang masih bertahan sekarang? Gina, kalau ketemu. Pepi, kalau ketemu. Olin, kalau ketemu. Tresna, berhubung doi di Tangerang, kadang kalau niat sampai teleponan curhat bukan cuma chat. Dan semuanya udah sibuk ngurusin suami. Yang intens sampai sekarang, Dhita sama Nissa, dan nulis di tumblr.
Dan cerita ke Dito, he's one of my inner circle now.
Waktu sekolah dulu, saya bukan termasuk orang yang terang-terangan ngungkapin pendapat, biasanya karena malu, atau ngajuin pertanyaan, saya males kalo nanya cuma biar keliatan aktif atau untuk dapet nilai. Kalau emang enggak ngerti, saya nanya ke temen atau cari sendiri. Saya memang terlalu pendiam dan pemalu.
Yang paling menyebalkan menjadi seseorang yang pendiam dan pemalu kayak gini adalah nyesel. Saya sering banget enggak bisa tidur karena keingetan kata-kata yang pengen saya omongin tapi malah saya telen lagi. Hal-hal yang enggak saya ungkapin dan malah ngeganjel itu numpuk-numpuk dan bikin penyakit.
Dan saya benci banget perasaan itu.
Sampai suatu hari,
Waktu kelas XII pelajaran PKN, kami disuruh debat soal globalisasi. Gurunya mempersilakan kami mau pro atau kontra. It's easier kalau pro, tapi saya yang waktu itu duduk sebaris sama cowok-cowok bandel yang males semua dipaksa gabung sama mereka jadi tim kontra. Ceweknya cuma berempat, cowoknya sepuluh lah kalau enggak salah, sementara tim lawan ada sekitar dua puluh orang, lebih malah. Kami yang udah kalah jumlah enggak ingin kalah bahan, jadi waktu itu beneran belajar dan cari bahan.
Dan kami menang.
Kemudian saya menemukan, saying your opinion is such refreshing.
Waktu kuliah, pelajaran Bahasa Inggris didosenin sama dosen yang menurut saya sama sekali enggak kompeten. Doi suka nyuruh kita tebak-tebak tenses, yang seringnya juga beliau enggak tau tenses apaan itu. Kalo bisa, kami dikasih bintang. Saya lebih sering ngetawain daripada jawab, berasa anak TK. Tenses doang atuh euy. Saya rasa berkali-kali ibu dosen itu ngeliatin saya, beliau tau saya dan Agil banyak ngetawain beliau. Gimana enggak ketawa, pernah ada saatnya beliau enggak tahu cara nulis continuous. Waktu UAS aja, temen-temen saya banyak nanya ke saya. Kemudian waktu pembagian nilai semua orang nilainya B, saya doang yang C. Yes. Saya. Doang.
Enggak terima, saya sendirian nyamperin dosennya. Saya nanya kenapa nilai saya C, apa hasil UAS saya jelek? Kalau iya, saya mau minta kertas UAS saya untuk lihat salahnya yang mana. Karena menurut saya, saya bisa. Saya bahkan enggak keberatan kalau ibu dosen mau tes lisan saya sekarang, di sini. Beliau yang enggak bisa jawab, langsung nyuruh saya ke akademik dan minta form penggantian nilai.
Such a moment.
Ternyata kita bisa mendapatkan yang kita mau, as simple as talk.
Sejak saat itu saya memutuskan untuk selalu menyampaikan apa yang saya maksud. Yang paling utama, saya menghindari perasaan menyesal. Iya, memang ada kalanya ketika maksud itu diungkapkan dan diterima dengan kurang baik, saya juga menyesal. Tapi tetep aja beda, menyesal karena sudah mencoba dan menyesal karena sama sekali nggak mencoba menjelaskan.
Bicara dan Konflik
Berhubung saya anak bahasa, saya tahu betul kebanyakan konflik terjadi karena omongan. Ketika salah pilih kata, salah ambil nada, salah tempat, atau salah waktu, maksud kita sering sekali disalahpahami. Inget kan kenapa Ahok dipenjara? Rekaman video pidato yang viral itu? Demo-demo itu?
Lebih buruk lagi kalau percakapan itu via chat yang sama sekali enggak punya nada, lebih buruk lagi kalau percakapan itu via chat dan orang kedua sebagai penerima maksud enggak deket sama kita sehingga mereka kesulitan menangkap nada yang kita maksud dan salah paham.
Namun bicara memang cuma satu hal dari semesta komunikasi.
Bicara dilakukan oleh si orang pertama setelah melalui proses berpikir, maksud tersebut dicerna, dan disampaikan, lalu si orang kedua sebagai pendengar menerima pesan itu, terjadilah proses menangkap maksud, mencerna, menafsirkan, mengerti, memahami, lalu--jika perlu--membalas.
Kalau komunikasi terjadi dengan baik, tak akan ada konflik yang terjadi. Beda halnya jika si orang pertama salah pilih kata, salah ambil nada, salah tempat, atau salah waktu, kemudian disalahpahami (dalam hal ini sebab konflik adalah si orang pertama) atau kalaupun si orang pertama sudah benar pilih kata, ambil nada, di tempat dan waktu yang tepat masih ada kemungkinan si orang kedua salah paham (dalam hal ini, sebab konflik adalah orang kedua) sehingga membalas dengan pilihan kata yang salah, nada yang salah, di tempat dan waktu yang salah.
Terus gelut deh. Konflik. Salah paham.
Fyi, memahami tidak hanya berarti mengerti, tetapi juga memaklumi.
Konflik-konflik itu tidak akan terjadi kalau si orang kedua memahami kesalahan orang pertama memilih kata atau mengambil nada lalu memaklumi. Tapi yah, kita sebagai orang pertama tak bisa selalu mengandalkan pemakluman orang kedua. Bila si orang kedua salah paham lalu membalas pesan-baik kita dengan tidak baik, coba ditelusuri lagi, kalau tahu kita yang salah bicara, ya bicara lagi, minta maaf, luruskan maksud.
Bersosialisasi dan komunikasi susah ya?
Tapi ya, memang gitu, bahasa yang dijadikan alat komunikasi bisa jadi jembatan agar manusia menyampaikan atau bertukar maksud, bisa jadi pedang untuk melukai satu sama lain, bisa juga jadi perisai atau benteng untuk melindungi diri. And this is why, komunikasi harus selalu disertai sikap bijak dan seringnya hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa.
Kalian paham kan ya, bahwa dewasa di sini tidak bicara usia.
Biarkan saya mengakhiri tulisan ini dengan quote. Before you speak, T.H.I.N.K.
Is it True?
Is it Helpful?
Is it Inspiring?
Is it Necessary?
Is it Kind?
28 September 2017, @nawangrizky
Tapi ada kalanya kita perlu diam, meredam segala peluru kata-kata yang menyakiti dan melukai kita.
Katanya,
sometimes when people you love hurt you the most, it's better to stay quiet because if your love wasn't enough, do you think your words will matter?
Beri diri kita waktu untuk berpikir dan menerima dengan bijak, beri mereka waktu juga untuk meredakan segala badai yang ada. Mereka yang melukai biasanya adalah orang-orang yang terluka.
Lalu bicara lagi saat mereka siap untuk mengerti.
1 note
·
View note
Photo
1 note
·
View note
Text
Bicara (1)
Suatu hari dalam hidup saya, saya pernah diajak teman ke rumah kerabat keluarganya. Waktu itu, saya yang masih polos dan tak tahu apa-apa percaya saja, toh yang mengajak saya itu sahabat saya, toh saya juga kenal banyak orang dari keluarganya. Siapa yang tahu, sore yang habis hujan itu kita nggak ke rumah nenek ini, atau silaturahmi ke rumah bibi yang itu, atau ketemu om yang anu, kami datang ke rumah kerabat keluarganya.
Kerabat keluarga yang saya nggak tahu siapa.
Waktu pergi, kawan saya cuma bilang dia mau menemui mamanya di rumah si nyonya ini, let's call her Nyonya from now on. Kalau saya enggak salah, kawan saya menyebut-nyebut soal komentar Nyonya tentang foto, apalah, saya tak menyimak betul, saya pikir itu bukan bagian yang perlu saya ingat. Sampai saya menginjakkan kaki di rumah besar bercat putih di sebuah kompleks perumahan, sampai saya disuguhi minum dan kue-kue ditambah dengan tatapan menyelidik memindai si Nyonya, sampai kawan saya ini menyodorkan sebuah foto lalu bertanya, "kata Mamah"--saking akrabnya kawan saya dan si Nyonya, ini panggilan akrab ia bagi si Nyonya--"cowok ini gimana? Dia ngedeketin Neng udah seminggu lah barangkali", sampai sebelum menjawab, si Nyonya memandangi saya lagi, barangkali bertanya, "ini seriusan mau dibahas di depan orang asing ini?" dan berhubung kawan saya menunggu tanpa merasa terganggu dengan keberadaan saya, si Nyonya menjawab, "Dia baik tapi kayanya punya masalah sama keluarga, dia bisa sukses tapi Neng harus sabar"--apalah apalah.
Saya nggak tahu bahwa kerabat keluarganya ini adalah dukun.
Or I must say "orang pintar kepercayaan keluarga" so it less dramatic?
Saya datang tanpa tendensi apa-apa, berhubung saya emang nggak tahu saya diajak ke mana, tapi setelah Nyonya menjawab pertanyaan kawan saya begitu, saya cuma merasa konyol. Saya merasa buang-buang waktu ada di situ, tau gini saya pulang aja tadi. Nggak lama, mamanya kawan saya ini datang beserta papa dan adiknya. Mereka konsultasi soal masalah keluarga, sesuatu yang kayanya saya nggak perlu tahu tapi berhubung saya nggak bisa kemana-mana jadi saya diem aja ngedengerin.
Di sela-sela konsultasinya sama kawan saya, si Nyonya berkali-kali ngelirik saya, merasa terganggu atau terintimidasi (?) barangkali, dan saya bales tatapannya dengan pandangan "i don't judge, keep going anything you do". Si Nyonya ini berkali-kali juga bisik-bisik sama adiknya (?) dan si adiknya ngelirik saya lalu elus-elus punggung Nyonya. Yang kemudian bikin saya merasa yang dibisik-bisikin adalah saya.
Sampai di satu titik, saya bisa denger apa yang dibilang Nyonya ini ke forum, "maaf saya nggak bisa nahan lagi." dan beliau teriak-teriak, something that i thought i can only see in Dunia Lain. Kemasukan. Sampai akhirnya Nyonya diem, merem, dan dengan napas kasar, Nyonya ini ngomong panjang lebar pakai bahasa Sunda.
Thank god saya nggak ngerti bahasa Sunda.
Dari penggalan-penggalan kalimat yang samar-samar saya pahami (dan samar-samar saya ingat sekarang), Nyonya ini bilang, "Jadi perempuan jangan suka ngomong apa yang dipikirin. Suka jadi masalah! Nggak usah banyak ngomong perempuan mah, manut-manut aja, laki-laki mana ada yang suka kalo kamu lebih pinter dan banyak ngomong!" and so on and so on. Saya yang cengo karena shock waktu itu enggak merasa kalimat itu buat saya sampai saat Nyonya mulai tenang dan kembali normal, adiknya Nyonya ini senyum ke saya minta dimaklumi, mamanya kawan saya malah terang-terangan nepok punggung trus bilang, "Nggak apa-apa ya ki, anggep aja nasihat orang tua."
Dan rasanya saya pengen nyaut, "Bentar, Bu, barusan itu buat saya?" Tapi enggak saya omongin karena saya khawatir Nyonya teriak-teriak lagi dan ngomong, "ELO ANAK GADIS ENGGAK PEKA AMAT!"
Di jalan pulang, kawan saya cerita panjang lebar soal backgroundnya si Nyonya, asal-usulnya, perjalanan hidupnya beserta apa aja yang udah beliau dapatkan dengan kemampuannya: menikah dengan orang kaya raya yang punya usaha sukses sehingga beliau lebih kaya raya lagi. Dan satu-satunya yang nempel di pikiran saya adalah apa tujuan hidupnya cuma itu? laki-laki, menikah, kaya raya? Apa itu alasannya beliau bilang karakter saya yang suka ngomongin segala yang saya pikirin adalah kebiasaan buruk karena laki-laki enggak suka?
HOW. CHEAP.
RECEH.
Pertama, saya suka menulis. Isi tulisan saya? tentu saja yang saya pikirkan, jadi coba beritahu saya, dear orang pinter, gimana caranya menuruti nasihat Nyonya tanpa perlu pensiun dari kegiatan menulis?
Dua, bagi saya, disukai laki-laki bukan sebuah tujuan. Saya kaya gini sekarang, bukan karena saya pengen cari laki-laki. Dan kalau Nyonya pikir saya akan nurut sama nasihat Nyonya cuma karena saya khawatir saya tidak akan disukai laki-laki, HAHAHA saya juga nggak akan suka laki-laki yang enggak suka pikiran saya keles. Saya akan suka sama laki-laki yang suka mendengarkan serandom-randomnya kepala saya. Dia enggak harus sepakat dengan segala pikiran saya, nggak apa-apa. Saya lebih suka kalau dia merespons dengan memberi sudut pandang baru. Artinya dia lebih pinter. Bagaimana dia bisa menarik kalau bahkan dia jiper cuma gara-gara saya lebih pinter? I don't see it attractive at all.
Sejak saat itu saya punya dendam, ingin membuktikan bahwa yang Nyonya itu omongin salah. Nggak ada yang buruk dari bicara apa adanya. Nggak ada yang buruk dari mengatakan segala yang saya pikirkan. Nggak akan ada masalah yang muncul karena omongan saya.
Dendam yang kemudian mengubah saya.
Saya jadi lebih hati-hati bicara.
26 September 2017, @nawangrizky
Kemudian tiba-tiba kawan saya yang ngajak saya ketemu Nyonya waktu itu ngechat, setelah lama banget nggak ada kabar dan kehilangan kontak. What? Apa ini bagian dari bukti bahwa Nyonya itu memang sakti?
Sorry, I still don't judge.
3 notes
·
View notes
Text
Harga dan Nilai
Semua orang punya harga diri: kesadaran akan berapa besar nilai yang diberikan kepada diri sendiri. Barangkali memberi harga dan nilai pada segala sesuatu itu memang sifatnya manusiawi sehingga diri sendiri pun dinilai dan diberi harga. Sialnya, kadang nilai yang kita beri buat diri sendiri itu tak sebanding dengan yang orang lain beri.
Lalu dengan angkuhnya kita bilang,
manusia tak semestinya menilai orang lain!
Saat itu terjadi, biasanya karena harga diri kita terluka. Kita pasang harga, lalu mereka menilai dan menghargai lebih rendah atau lebih murah. Tak sopan, memang, kualitas diri kita dinilai dengan harga tak seberapa. Tapi bagaimana bila ternyata kitalah yang memasang harga terlalu tinggi? Bagaimana bila kita yang tak sadar kualitas diri kita? Bagaimana bila kesakithatian itu lebih karena kita tertampar disadarkan.
Kita tak seberharga yang kita pikir.
Saya pernah tertampar demikian. Sakit hati, berubah angkuh dan egois, lalu saat sendiri, saya menangis, merasa kata-kata yang menyakiti itu ada benarnya.
Bukan saya namanya bila pengalaman emosi sebesar itu tak ditulis.
orkestra di ujung jantungku sudah pergi, desir-desir di hatiku menguap tanpa kompromi.
aku ditemani sakit hati menginjak harga diri di jalan setapak, dihujani air dari mata sendiri. detik ini, aku merasa tak ada gunanya lihat cahaya hanya akan menyakiti semua indera. aku lelah dan sekarang aku menyerah. hatiku patah dan harapanku pecah.
sejak hari itu, tak ada hari kuhabisi tanpa merasa rendah
*
aku terbangun di suatu pagi, cahaya matahari menyambutku tanpa basa-basi. tampaknya hanya aku yang tersakiti oleh cara matahari mengintimidasi, jadi aku menepi.
kupandangi bayanganku sendiri: ada airmata di sudut mataku mataku rasanya seperti telah berhari-hari jadi kamar kecil kecoa dan ratusan jenis serangga lainnya, entahlah sudah berapa hari kuhabiskan mencari sisa-sisa ceria, tapi yang lagi-lagi kutemui hanya putus asa
segaris senyum getir tergurat di sana, lalu terngiang satu retoris di kepalaku sendiri mestikah aku semenyedihkan ini, di sini? hanya karena dia yang harga dirinya juga patut dipertanyakan?
HAHAHAHAHAHA
Yang menyelamatkan saya waktu itu juga adalah harga diri saya sendiri. Saya yang jatuh, berpegangan pada tingginya harga diri saya, lalu bangkit lagi. Satu-satunya yang saya ingat saat itu adalah harga itu perlu saya beri isi, perlu saya beri nilai. Biar saya tak perlu lagi angkuh dan egois untuk sekadar membuktikan diri, biar saja orang lain punya penilaiannya sendiri, saya akan membuat mereka tak punya kesempatan untuk menilai saya rendah dan murah.
Dengan meningkatkan kualitas diri saya sendiri.
Kita harus bekerja keras, menggali potensi yang kita yakin kita miliki. Kita perlu berusaha untuk tidak bergantung pada orang lain. Kita harus berusaha untuk selalu menjadi lebih baik, untuk selalu jujur, untuk selalu bisa dipercaya, untuk menjadi lebih mengerti orang lain bila ada kalanya orang lain tak mengerti kita. Jangan pernah berhenti menabung bahagia, jaga-jaga bila sewaktu-waktu kita membutuhkannya.
Kita perlu menerima segala hal-hal buruk dalam diri kita, menaruhnya dalam kotak, menjaganya tetap di dalam, menjaganya agar mereka tak pernah melukai orang-orang di sekitar kita. Jangan bunuh keangkuhan dan ego itu, simpan baik-baik, rawat, sewaktu-waktu kita pasti membutuhkannya. Mereka akan menjaga kita agar tetap kuat.
Kita perlu menjalin hubungan dengan diri kita sebelum menjalin hubungan dengan siapa pun di luar. Kita akan mengenali dan menyayangi diri kita sendiri sebelum mengenali dan menyayangi orang lain.
Lalu kita akan sadar, saking bernilainya diri kita, kita berhenti memberi harga.
Kemudian penilaian orang-orang itu menjadi tak lebih penting
dari suara kita sendiri.
1 September 2017, @nawangrizky
Saya mengenali diri saya sendiri seperti taman. Pohon-pohon dan bunga-bunga itu saya rawat dengan cinta dan kasih sayang. Kadang-kadang ada pergantian musim di dalam sini sehingga, bila daun-daun itu gugur, duri dan semak tumbuh liar, serta bunga-bunga enggan mekar, saya menerimanya seperti saya menerima musim semi.
Ada kalanya saya mengundang orang lain masuk. Bila ia menganggap taman saya ini biasa saja dan tak berharga, saya memakluminya, memang tak semua orang punya selera bagus. Bila ia menganggap taman saya indah lalu ia memetik bunga-bunga saya, saya juga memakluminya, memang tak semua orang tahu cara yang tepat untuk menyayangi. Bila ia melihat taman saya dan menyadari betapa berharganya taman ini minimal bagi saya sendiri, ia akan turut merawatnya dengan cinta dan kasih sayang.
Maka ia boleh tinggal.
6 notes
·
View notes
Text
Kebiasaan Buruk
Katanya, kita punya prefrontal cortex, bagian dari otak kita yang membuat kita beda dari hewan. Katanya, bagian itu yang membuat kita bisa memilih dan mengambil keputusan, membuat kita tahu baik dan buruk, membuat kita mampu paham diri kita sendiri, punya moral, dan punya empati.
Sialnya, kita, manusia, meski lebih baik dari hewan, tidak pernah ditakdirkan sempurna.
Kadang-kadang kita memilih hal-hal buruk.
Dengan sadar.
Dan sengaja.
Kita tahu minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang mampu merusak prefrontal cortex, mengubah kita, membuat kita menjadi egois dan berbuat hal-hal buruk, tapi perasaan salah itu kita kubur jauh-jauh dengan dalih kebutuhan atau kalimat gak apa-apalah, sekali-kali. Kita mengakses konten-konten negatif, pornografi, segala drama dan isu-isu SARA, mencela dan menghina orang lain tanpa merasa punya dosa. Tanpa merasa telah mengundang banyak sekali aura negatif ke dalam hidup kita.
Ke dalam hidup orang-orang sekitar kita.
Iya, iya, hal-hal buruk yang saya paparkan itu barangkali satu dua di antara seribu. Bukan saya, bukan kita, melainkan mereka--yang entah siapa.
Tapi kita merokok di tempat umum tanpa merasa bersalah pada tubuh kita, tanpa merasa menodai udara segar milik bersama. Kita batuk dan bersin tanpa menutup mulut atau membuang sampah di mana saja tanpa merasa melukai lingkungan sekitar kita. Kita memandang orang asing dari bawah sampai atas seolah kita punya hak untuk menilai tanpa merasa telah menyinggung.
Kita juga mengonsumsi mie instan dan vetsin yang tak baik buat tubuh kita tanpa merasa zolim pada tubuh titipan ini. Kita jarang makan sayur dan buah, jarang minum air putih, nggak cuci tangan sebelum makan, nggak sikat gigi atau cuci muka sebelum tidur, baca buku sambil tidur dengan cahaya seadanya, nonton TV terlalu dekat, bahu membungkuk sampai leher dan tulang punggung kita sakit-sakit.
*langsung duduk tegak*
Dan segala jenis kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya yang kita keluhkan, kita sesali, lalu kita lakukan lagi, dan lama-lama secara sadar kita pelihara.
Saya juga punya daftar kebiasaan-kebiasaan buruk yang ingin sekali saya perbaiki, seperti tidur terlalu larut dan malas bangun pagi, makan makanan tak sehat dan jarang olahraga, malas beres-beres, malas menyetrika pakaian, terlalu banyak bicara, menyukai drama, sering merumitkan masalah sederhana lebih sering lagi menggampangkan masalah sulit, suka sekali menulis, tapi lebih suka melamun, lebih suka lagi bila terdistraksi.
Ada juga kebiasaan-kebiasaan buruk yang sudah saya terima berparasit di dalam diri saya, seperti menyayangi seseorang sampai lupa menyayangi diri sendiri.
Ah, tidak, tidak, itu juga ingin sekali saya ubah.
Saya juga nggak paham kenapa saya masih melakukannya meski itu buruk. Barangkali prefrontal cortex saya juga udah error, barangkali karena inti dari kehidupan ini adalah menjadi seimbang: yin dan yang, hitam dan putih, baik dan buruk, barangkali selain beribadah, Tuhan juga menugaskan manusia untuk melawan kebiasaan-kebiasaan buruk itu, bertarung melawan kejahatan itu mungkin maksudnya pada diri sendiri, atau barangkali memang ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang memang mestinya terpelihara.
Seperti kita, sekarang.
25 Agustus 2017, @nawangrizky
Dari segala hal-hal yang tersedia dan ada di dunia ini, Kadang-kadang kita memilih hal-hal buruk dengan sadar dan sengaja.
Barangkali, agar kita tetap tak sempurna,
agar kita tetap manusia.
11 notes
·
View notes
Photo
0 notes
Text
Detachment.
Setiap patah hati, setiap sakit hati, setiap kesedihan, setiap kesepian, setiap kejadian yang berjalan tidak sesuai dengan yang kita mau mengajarkan kita banyak hal. Salah satunya adalah bahwa kita belajar bagaimana menghadapi patah hati, sakit hati, sedih, sepi, dan kejadian-kejadian yang tidak kita mau. Salah lainnya--tentu saja--adalah peristiwa-peristiwa itu membuat kita lebih kuat lagi. We are no longer perfect since then.
Salah satu metode yang saya gunakan adalah being bodo amat.
Bodo amat itu menemukan istilah baru, detachment.
de·tach·ment (noun) the state of being objective or aloof; the action or process of detaching; separation.
hal melepaskan; ketidakterikatan
Menyadari fakta bahwa banyak hal di dunia ini yang lepas dari kendali kita, tak bisa kita apa-apakan lagi sehingga berontak dan menyesal jadi hal yang ngabisin waktu dan energi, bikin saya jadi menerima. Nrimo bikin langkah kaki saya selanjutnya jadi lebih ringan. Terlebih lagi, perasaan menyesal adalah satu hal yang paling-paling-paling (harus diulang biar drama) saya benci dan saya hindari.
Saya selalu menganggap diri kita, these bone and blood, jadi semacam ruangan yang punya pintu. Otak atau hati kita kadang-kadang terjebak di sana sehingga tak bisa berpikir jernih atau tak bisa merasa dengan sungguh-sungguh. Apa yang mestinya kita lakukan adalah tenang dan mencari pintu, lalu pergi dari kerumitan dan kesumpekan itu. Melihat masalah-masalah itu dari sudut pandang baru lalu bebas berpikir dan berperasaan jernih.
Menurut saya, itu satu tahap detachment.
Kalau masih ada celah untuk membuatnya lebih baik, di depan pintu kita siapkan segala senjata dan perisai, lalu masuk lagi dalam keadaan siap berjuang. Tapi memang bila tak ada yang dapat kita lakukan lagi untuk mengubah segala yang tidak membahagiakan itu, itulah saatnya pergi.
Detachment.
And it's okay being bodo amat.
Now I'm walking again to the beat of a drum And I'm counting the steps to the door of your heart Only shadows ahead barely clearing the roof Get to know the feeling of liberation and relief
Hey now, hey now Don't dream it's over
22 Agustus 2017, @nawangrizky
Tapi ini, hanya bisa dilakukan bila kita mengenali diri sendiri. Kita mesti tahu mana yang baik, mana yang buruk; mana yang sebaiknya dilepaskan, mana yang harus dipertahankan; mana yang kita mau, mana yang kita butuhkan.
mana yang Tuhan inginkan.
9 notes
·
View notes