catatangerimis
Hanya Berbagi Sudut Pandang
34 posts
Mencoba Menyukai Tulis Menulis dan Foto
Don't wanna be here? Send us removal request.
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Tentang ingatan masa kecil dan secangkir kopi #komik #coffeetime #coffee #coffeadict #read #photooftheday (at Ponpes Al-Munawir Krapyak)
2 notes · View notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Last night #coffeadict #coffee #cahkopi #like4like
0 notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Masjid Besar Ponpes Al-Munawwir Krapyak #krapyak #almunawwir #masjid #alasantri (at Ponpes Al-Munawir Krapyak)
1 note · View note
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Selamat akhir pekan, mari cari lapak untuk pindah tempat tidur. Jangan lupa jaga kebesihan #idpendaki #instagunung #prau #wonosobo
0 notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Semangat baik... #book #story #latepost
0 notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Kerinduan pada hening... #latepost #kamerahpgw #mataponsel
0 notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Tetep Sederhana dan bersahaja...
0 notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Menunggu Kabut Turun #explorejogja #parangtritis #bantul #marijalan #kamerahpgw_jogjakarta #kamerahpgw (at Daerah Bantul)
0 notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Nyore santai #coffeetime #coffeebean #coffeaddict #muffin #anakkopi
1 note · View note
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Nyore santai #anakkopi #coffeetime #coffeaddict #coffeebean #muffin (at PP al-Munawwir Komplek Q Krapyak Yogyakarta)
0 notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Heritage place... #photooftheday #vintagestyle #vintage #old #heritage
0 notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Happy Sunday... #coffeetime #coffeeaddict
0 notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Semua hanya masalah sudut pandang... #latepost #lawangsewusemarang #photooftheday #exploresemarang #semarang #jalanjalanterus #ayodolan
0 notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Selalu ada secercah cahaya dalam tiap kegelapan #exploresemarang #lawangsewusemarang #old #semarang #jalanjalanterus #ayodolan #indonesia (at Rumah Sakit Roemani Semarang)
0 notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Selamat ber-akhir pekan, syukuri apapun yang telah kalian dapatkan, tak perlu rumit mengartikan sebuah kebahagiaan, tak perlu jauh melangkah untuk mendapatkan arti sebuah kebahagian. Segelas teh panas dan gorengan sambil bercengkrama dengan kolega mungkin lebih indah dari melangkah ke tempat wisata nan elok. Ya takaran kebahagiaan tiap orang berbeda, tak perlu berdebat. (at Lempuyangan railway station)
0 notes
catatangerimis · 9 years ago
Text
Menj(adi ja)mur di Atas Aspal*
Mungkinkah mengenal orang-orang yang hanya kita lihat dari balik jendela mobil saja?
Tumblr media
/1
Tidak mudah menikmati kesenian di Jakarta.
Kemarin (10/9/2015) saya pergi ke Galeri Nasional di Gambir untuk menyaksikan pameran tunggal Java Script karya Eddy Susanto. Berangkat dari Senayan jam 2 siang, sampai di lokasi jam 3 sore. Sekitar pukul 4.30 sore, saya bergerak pulang ke Pasar Minggu. Sepanjang jalan, dengan tubuh yang sedang meriang, dan istri yang terpaksa mengambil oper setir, kami merutuki kemacetan dari Cikini-Menteng-Kuningan-Mampang-Pejaten. Sampai di rumah sekitar jam 7.30 malam dengan pikiran dan perasaan yang sudah tak menyisakan tempat untuk sensasi keindahan karya-karya rupa yang kami nikmati tiga jam sebelumnya.
Kesenian akhirnya menjadi sekadar, dalam kata-kata Mz Sukab, eh Seno Gumira Ajidarma, penulis kita yang hadir sore ini, ‘tisu pewangi’[1]: menyapu bau dan keringat yang asam di permukaan kulit, setidaknya di wajah, leher dan tangan – pendeknya bagian-bagian tubuh yang terbuka– secara instan, dengan cepat, dan gampang, namun tak bisa menuntaskan kondisi lembab di sekujur tubuh.
Dalam situasi demikian, rasanya amat mustahil ‘menjadi bunga di atas aspal’ – istilah yang diplesetkan dari metafora Walter Benjamin tentang Paris pada abad 19. Bunga, sesuatu yang menyenangkan dan indah, sulit tumbuh di atas aspal Jakarta yang hiruk pikuk dan centang perenang.  Alih-alih menjadi bunga, agaknya jauh lebih mungkin ‘menj(adi ja)mur di atas aspal’.
Jamur, sesuatu yang tumbuh sebagai parasit dalam lingkungan (bisa kayu atau nasi atau kulit) yang lembab, busuk, dan/atau lapuk. Menjadi jamur juga berarti menjelmanya sesuatu yang tidak dikehendaki pada awalnya: mulanya menanak nasi atau membuat pagar kayu; ealah kemudian muncul begitu saja yang namanya jamur.
Mulanya memimpikan kehidupan yang lebih baik (di Jakarta), pendeknya memimpikan bunga-bunga di hari tua, pada akhirnya menjadi jamur di senja hari. Jamuran sampai mati.
Dalam kata-kata Seno: “…menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambar ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”[2]
/2
Sulit untuk menghindari pesimisme saat membaca esai-esai Seno tentang Jakarta dan/atau kehidupan urban, termasuk yang terhimpun dalam buku Tiada Ojek di Paris. Hampir semua stereotipe tentang Jakarta dan kehidupan urban bisa ditemukan di buku ini: kemacetan, premanisme, ketidakjujuran, copet, curiga mencurgai, kemunafikan, keterasingan,  konsumerisme, rutinitas, ketakutan dan kecemasan…
Dan esai-esai di buku ini jarang sekali menyodorkan jalan keluar – sebab memang bukan itu tujuannya. Esai-esai di buku ini, rasa-rasanya, lebih tepat diperlakukan sebagai ajakan untuk ngobrol ngalor-ngidul perihal pengalaman menjadi manusia urban, entah itu sebagai Jakartanensis atau Bandoenger atau warga di kota mana pun yang sedang menghadapi persoalan-persoalan serupa.
Ngobrol ngalor-ngidul, pendeknya ngobrol yang tak tentu tuju, diseliweri kecamuk pikiran yang seringkali tak tertata, karena tata memang kelewat luhung untuk kota-kota besar di Indonesia (komentar ini juga bernada stereotipikal, agaknya), boleh jadi memang menjadi salah satu penawar untuk kehidupan sehari-hari yang telanjur sesak oleh tenggat, kelewat pengap oleh target dan rudin oleh kecemasan serta ketakutan.
Ngobrol ngalor ngidul, mungkin seperti percakapan kita sore ini, mungkin justru menjadi lebih berharga.  Ngobrol ngalor ngidul, per se, memang tak diniatkan untuk menyodorkan sesuatu yang solid, tuntas, utuh dan menyeluruh. Yang dicari dari ngobrol ngalor ngidul justru kesantaiannya, ketidakseriusannya, bahkan ketidakmutuannya. Justru di situlah letak berharganya percakapan ngalor ngidul di tengah kehidupan yang begitu serius.
Kelak ketika sudah menjadi tua dengan pensiun yang tak seberapa,  di antara timbunan kenangan tentang kemacetan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat dan kehidupan yang seperti mesin, semogalah kita masih bisa menemukan secarik ingatan tentang percakapan-percakapan yang ringan dan menyenangkan, obrolan tak bermutu namun penuh tawa, juga celotehan yang mengolok-olok diri sendiri.
Dengan itulah hari demi hari yang dilalui di antara kemacetan, tenggat, target dan agenda tak sepenuhnya menjelma mesin yang selalu berhasil menghisap segenap-ganjil kemanusiaan kita. Barangkali ‘pada akhirnya kita menyerah’,[3] tapi dalam proses panjang bertarung dengan waktu-urban sesekali kita berhasil menghindar atau meloloskan diri dari terkaman ‘rezim guna’, yang selalu menuntut siapa pun untuk melakukan hal-hal yang berguna (baca: ada uangnya). Betapa menyedihkannya jika kita harus selalu melakukan hal yang berguna.
Toh setiap hari, sesungguhnya, kita sering melakukan hal yang tak berguna: melirik mbak-mbak kantoran yang mengenakan rok selutut dengan bokong yang aduhai di pintu busway, mengintip bulu dada pria paruh baya keren yang kancing paling atas kemejanya dibiarkan terbuka, mengetuk-ngetukkan jari saat menunggu laptop menyala sepenuhnya, mengunduh bokep Jepang di sesela rapat mingguan, bersiul sambil boker di toilet kantor usai makan siang, mengamati binatang liar di jalan tembus perumahan (esai “Bajing Melintas di Kabel Listrik”)[4], memandangi neon sign bar-bar (cerpen “Taksi Blues”)[5], menikmati pemandangan yang dihamparkan spion mobil di jalan tol (cerpen “Senja di Kaca Spion”)[6], dll., dsb.
Amat disayangkan jika hal-hal tak berguna itu luput begitu saja dari ingatan dan kenangan. Esai-esai Seno, juga banyak cerpen-cerpennya, seringkali memberi tempat kepada hal remeh temeh yang tak berfaedah di hadapan ‘rezim guna’. Untuk aspek ini, di tengah cekikan kehidupan urban yang lebih banyak ditentukan oleh ‘rezim guna’ ini, bisalah dikatakan tulisan-tulisan Seno tentang Jakarta dan kehidupan urban sebagai sebuah ikhtiar untuk:
…mencoba memberi harga pada sesuatu yang sia-sia. Sebab spion pada mobil, bajing pada kabel, mungkin akan tetap juga di sana – apa pun maknanya.[7]
/3
Pertanyaan Seno dalam esai “Mengenal Orang Jakarta: Mungkinkah?”[8] akhirnya dijawab sendiri olehnya: mungkin!
Pertanyaan itu mustahil dijawab “mungkin” jika pertanyaannya dikembangkan menjadi: “Apakah di kota seperti Jakarta ini, kita bisa betul-betul mengenal seseorang begitu dalam, sehingga bisa dianggap layak untuk menuliskan kehidupannya sebagai sebuah dunia yang utuh?”
Alih-alih menuliskan sosok-sosok urban dalam dunianya yang utuh, Seno sendiri memilih menuliskan sosok-sosok urban itu dalam semangat obrolan ngalor ngidul, yang selintas-pintas, yang sekilas-kilas, yang seliweran begitu saja, yang sedang main kejaran dengan kemacetan, yang ditangkap sosoknya dalam semenit dua menit perjumpaan di loket pembayaran jalan tol.
Dalam modus penggambaran urban yang demikian itulah Seno menjelma menjadi pejalan yang tak punya kemampuan untuk menangkap kota sebagai pemandangan panoptikon yang menyodorkan kota sebagai keseluruhan yang utuh. Sebagai pejalan-urban, Seno hanya menggambarkan potongan-potongan dan cukilan-cukilan yang tentu saja berwatak fragmentaris.
Pada esai-esainya yang fragmentaris seperti itulah Seno berhasil menjadi seorang pejalan iseng yang (seperti) punya banyak waktu untuk menikmati hal-hal tak penting. Deskripsinya hidup, pemeriannya seringkali detail. Ia kadang terlihat seperti pengangguran yang keren. A professional time waster.
“Membuang-buang waktu” merupakan salah satu karakter yang dinisbatkan Walter Benjamin kepada orang-orang yang senang melakukan flaneur: keluyuran tak tentu tuju, mengamati berbagai hal yang melela di hadapannya di sudut-sudut Paris abad-19 yang modern, dengan sensibilitas seorang penyair yang mampu menangkap berbagai hal sepele sebagai sesuatu yang hidup, menarik, dan menggugah.
Charles Baudelaire, penyair Prancis yang hidup pada abad 19, yang dikaji dengan seksama oleh Walter Benjamin, memerikan seperti apa watak para pengeluyur itu melalui sosok pelukis Constantin Guys: “Kerumunan orang banyak adalah elemen (penting bagi pengeluyur) yang berperan tak ubahnya seperti udara bagi burung atau air bagi ikan. Gairah dan kerjanya adalah untuk menyatu dengan orang banyak.”[9]
Tentu saja Seno tak seperti Baudelaire atau Guys yang ke mana-mana berjalan kaki dengan pakaian dandy menelusuri lorong-lorong melengkung (arcade) atau berjalan di depan deretan façade toko-toko di Paris. Seno sering melakukannya dengan mobil (dalam buku ini setidaknya ada tiga esai yang ditulis tentang mobil atau ditulis melalui pengamatan dari dalam mobil: “Manusia Jakarta Manusia Mobil”, “Meski Hanya Rp. 500” dan “Mobil Sebuah Mitos”).
Sejumlah cerpen Seno yang berlatar urban pun banyak memuat adegan-adegan di dalam mobil, seperti “Sepotong Senja untuk Pacarku”, dan dua cerpen yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Dan di dalam mobil itulah Seno mengolah situasi urban yang tidak mudah menjadi sesuatu yang akrab, intim, dan kadang melankolis (misal: cerpen “Taksi Blues” atau “Senja di Kaca Spion”). Pembaca yang berjiwa sendu, usai membaca cerpen-cerpen Seno yang berisi pemerian ngerinya kemacetan Jakarta, bisa saja ada yang akan berpikir: “Keindahan Jakarta justru terletak pada kemacetannya.”[10]
Tapi di buku ini, Seno tak hanya tampil sebagai pejalan-pengeluyur. Di beberapa esai, Seno juga tampil sebagai seorang katografer yang mencoba merumuskan Jakarta.
Berbeda dengan pejalan-pengeluyur yang tahu diri betapa terbatasnya pemandangan yang bisa ia sesap, seorang katrografer justru mengandaikan ruang yang utuh, solid dan tercandra sebagai benda yang bisa digenggam. Jika pejalan melata di trotoar, seorang katrografer berdiri di menara yang tinggi, dengan cakrawala panoptikon di pelupuk matanya. Ia meringkus kota ke dalam tanda demi tanda, legenda demi legenda, garis demi garis – pendeknya: peta.
Esai “Tiga Kota Kontemporer”, “Keberdayaan Gosip”, “Gresik United, Real Mataram, Tangerang Wolves”, “Jakarta-Bandung, Bandung-Jakarta”, misalnya, menampilkan Seno yang berusaha merumuskan kota dalam perspektif seorang katografer. Dan esai-esai Seno yang demikian, apa boleh bikin, rasanya tidak sememuaskan sebagaimana saat menulis esai-esai dari perspektif seorang pejalan-urban: agak tergopoh-tergopoh menyimpulkan, kurang clear saat menafsirkan kota melalui sebuah teori yang dipilihnya…
Tapi kecenderungan, atau katakanlah ‘godaan’, menjadi kartografer memang sering tak  bisa ditolak saat kita sedang ngobrol ngalor ngidul. Amat biasa di sesela obrolan yang tak tentu tuju tentang harga pecel lele yang naik tiba-tiba saja menyeruak analisis tentang merosotnya nilai mata uang dan gerutuan perihal buruknya kinerja menteri perdagangan dalam mengendalikan harga daging.
Dengan itulah, barangkali, esai-esai Seno yang ‘serius’ di buku ini bisa menjadi lebih bisa dipahami. Alih-alih melemahkan, jangan-jangan justru itu meneguhkan watak obrolan ngalor ngidul. Namanya juga ngobrol ngalor ngidul, sesekali wajar saja jika berbelok menjadi obrolan ngulon-ngetan.
/4
Citraan Jakarta dalam esai-esai Seno, juga cerpen-cerpennya, tentu tidak mewakili atau menggambarkan Jakarta sepenuhnya. Citraan Jakarta dalam kebanyakan esai-esai di buku ini bersifat fragmentaris dan seringkali justru situlah letak kekuatan buku ini. Untuk melengkapi fragmen-fragmen lainnya, tentu saja, pembaca bisa menemukannya dari tulisan-tulisan orang lain.
Hingga hari ini, mungkin juga sampai kapan pun, citraan Jakarta yang riang dan ceria dalam ingatan saya sepenuhnya disodorkan oleh cerita-cerita Lupus yang saya baca ketika remaja. Citraan tentang Jakarta, dalam sejarah ingatan saya, mula-mula dibentuk oleh kelucuan dan kekonyolan Lupus. Sampai sekarang, misalnya, saya selalu merindukan bisa menikmati pemandangan Jakarta dari atas bus tingkat sebagaimana pernah dituliskan oleh Hilman.  Kecerahan cara pandang remaja memandang ruang hidup urban nyaris tidak ada dalam tulisan-tulisan Seno tentang Jakarta.
Citraan tentang Harmoni bagi saya, untuk misal yang lain, sukar untuk dilepaskan dari cerpen super-realis “Kota Harmoni” yang ditulis Idrus. Deskripsi Idrus tentang suasana berdesak-desakan di dalam trem, yang kerinciannya sangat menakjubkan itu, seringkali melintas dalam pikiran begitu saja saat sedang menaiki Trans Jakarta. Kebetulan shelter busway terbesar memang berada di Harmoni. Sehingga pernah saya dengan sengaja membaca cerpen “Kota Harmoni” itu sambil berdiri di dalam shelter Harmoni.
Seno memang banyak menuliskan orang-orang kebanyakan, rakyat jelata, dan kaum miskin kota. Namun rasa-rasanya, penggambaran rakyat jelata dalam tulisan-tulisan Seno tidak semeyakinkan sebagaimana sosok-sosok yang dikisahkan dalam tulisan “Nah Ini Dia” di harian Pos Kota yang dulu saya baca dari angkot-angkot yang sedang dicuci di pencucian mobil tak jauh dari rumah saya di Cirebon.
Betapa pun simpati dan komitmen Seno kepada jelata yang terpinggirkan itu juga terlihat jelas, namun terasa benar Seno bukan bagian dari mereka. Penggambaran Seno tentang mereka adalah penggambaran yang tidak terlalu menukik-mendalam, betapa pun kuatnya simpatinya kepada mereka.
Tidak heran jika bukan tulisan Seno yang dapat direkomendasikan untuk mereka yang hendak mencoba memahami orang-orang Betawi dan kesehariannya. Tulisan-tulisan S.M. Ardan, dan terutama cerita-cerita Firman Muntaco, tentu lebih sanggup menggambarkan ‘dunia-dalam’ orang Betawi dan rakyat jelata pendatang yang sedang numpang hidup di Jakarta.
Dalam tulisan-tulisan Firman Muntaco, juga tulisan-tulisan “Nah Ini Dia” di Pos Kota, sumpek dan rudinnya kehidupan urban jarang berakhir menjadi melankolia. Tulisan-tulisan itu tidak mentransendir keruwetan dan kepengapan ibu kota menjadi keindahan-keindahan yang muram, sebagaimana tampak dalam sajak “Malam Terang di Jakarta” karya Sobron yang dikutip utuh Seno di esai “Jakarta, Rembulan dan Keterasingan”.[11] Semua hal sulit di Jakarta, juga bencana-bencananya (dari kecurian/kecopetan hingga anak gadis yang dihamili), diceritakan dengan cara yang sering kocak; dan dengan itulah, melalui humor yang walau pun pahit, kehidupan urban di Jakarta diterima seperti tanpa gerutuan yang dicanggih-canggihkan.
Dibandingkan dengan tulisan-tulisan tersebut, tulisan-tulisan Seno tentang Jakarta dan kehidupan urban  tidak bisa tidak akhirnya terlihat sebagai pandangan kelas menengah (paruh baya) yang masih punya pilihan dalam menikmati Jakarta namun pilihan itu tidak banyak-banyak amat – tidak sebanyak pilihan yang dimiliki para miliarder yang bisa menyewa helikopter untuk mengatasi kemacetan demi menghadiri beberapa rapat genting dalam sehari atau para pejabat yang dikawal para patwal bersirine.
Justru karena itulah kita semua, pada sore hingga senja ini, rela dan senang hati memutuskan datang ke acara ini. Sebab ada sepotong (tulisan) Seno pada setiap kita yang rutin menembus kemacetan sembari membaca sebait puisi atau berkicau melalui telepon genggam yang koneksinya putus-nyambung itu perihal berbagai hal yang tak sepenuhnya kita ketahui…
Mari berbahagia, dengan seadanya.
Bandung, 11 September 2015
Catatan Kaki
[*] Esai ini ditulis untuk acara meet and great with Seno Gumira Ajidarma sekaligus diskusi buku “Tiada Ojek di Paris” yang berlangsung sore hari di Kineruku, Bandung, pada 11 September 2015.
[1] Esai “Jakarta Tanpa Indonesia” dalam Tiada Ojek di Paris, hal. 99
[2] Esai “Menjadi Tua di Jakarta” dalam Kentut Kosmopolitan, hal. 40
[3] Sajak “Derai-Derai Cemara” karya Chairil Anwar, yang kepasrahan nadanya menjadikan sajak itu seperti antitesis dari sajak “Aku” yang serba gagah menyambut berbagai hal dalam hidup, bahkan walau harus menghadapinya untuk seribu tahun lagi sekali pun.
[4] Esai “Bajing Melintas di Kabel Listrik”, dalam Tiada Ojek di Paris, hal. 39.
[5] Cerpen “Taksi Blues”, dalam Iblis Tidak Pernah Mati, hal. 55.
[6] Cerpen “Senja di Kaca Spion”, dalam Linguae, hal. 123.
[7] Diplesetkan dari sajak “Pada Sebuah Pantai: Interlude” karya Goenawan Mohamad.
[8] Tiada Ojek di Paris, hal. 86.
[9] Charles Baudelaire, The Painter of Modern Life and Other Essays,  Phaidon Press: 1995, hal. 9.
[10] Diplesetkan dari kalimat Ahmet Rashim, “Keindahan sebuah kota terletak pada kemuramannya”, yang dijadikan Orhan Pamuk sebagai ‘kata mutiara’ yang membuka/mengantarkan roman-biografis, Istanbul.
[11] Halaman 33.
13 notes · View notes
catatangerimis · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Ngreyen alat nang @houseofcoffeeshop karo tempat baru #coffeeholic #kopi #coffee #rockpresso #anakkopi #dukungkopiindonesia
0 notes