Biarlah awan malam melindungi cahaya bintang. Sehingga terlindung dari setiap mata yang mencuri keindahannya. Dan cahaya bintang hanya dapat dimiliki sang awan.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Dan kami pun berpisah...
Entah sejak kapan mereka menjalin komunikasi, tapi yg aku dapatkan mereka berkomunikasi dengan bahasa yg lebih dalam dan tidak selayaknya utk pasangan yg telah berpisah mengatakan hal-hal tersebut. Bahkan tidak menganggap kedekatanku dengannya. Benar-benar tak pantas dan sangat tidak menghargai apa yg telah kulakukan.
Tepat 17 April, aku mengakhirinya. Benar-benar mengakhiri hubungan dengan seorang perempuan yang tidak bisa menjaga kehormatan dirinya, tidak bisa menghargai pasangannya, dan yg masih ingin melakukan banyak hal. Berat untuk dia, ringan untukku.
Apa yg telah ku dapatkan dari smartphone-ku satunya. Sebuah informasi yg sangat berharga, yg menyatakan dengan jelas, tanpa konotasi, tanpa majas. Lengkap, sempurna. Tak ku tanggapi tangisannya yg menderu-deru, ucapan maafnya yg tak henti-henti, dan permohonan ampunannya yang bercampur dengan isak tangis antara ketakutan dan kesedihan. Mungkin dia tidak ingat apa yg aku lakukan selama ini, bahkan mencoba sedikit melawan orang tua. Tapi itu akhirnya terbayar lunas, dengan apa yg aku dapatkan. Lengkap, sempurna. Ku kirim semuanya dan dia menangis sejadi-jadinya, kaget sekaget-kagetnya.
Aku telah mengetahuinya sejak sebelum bulan Ramadhan, tepatnya 25 Maret. Semenjak aku mengetahuinya, aku sudah tidak peduli sama sekali dengan dia. Memang sempat sedikit bertengkar, tapi dengan bukti yg aku dapatkan, semakin menguatkanku untuk berpisah. Dan ini adalah salah satu petunjuk terkuat yg pernah aku dapatkan. Pernah juga aku di bantu istikharah oleh seorang pimpinan Pondok Pesantren, tapi karena aku masih mbanggel, ngeyel, aku masih susah untuk menerimanya.
Sejak aku mengetahui barang bukti yg tak perlu diragukan lagi, di tambah sedikit pertengkaran, aku semakin tidak memperdulikannya.Dan dia terpontang-panting mencari solusi ke internal lingkaran pertemanan kami, termasuk salah satu sahabatku sejak SMA, Jojo. Benar-benar selayaknya orang yg tenggelam di tengah lautan dan tidak ada benda yg digunakan sebagai pengapung, tongkat kayu saja dijadikan pegangan.
Semuanya mengatakan bahwa apa yg dilakukannya adalah salah besar, tapi dia tetap ngeyel bahwa aku akan memaafkannya. Tapi tidak, ini sudah bendera hitam yg tidak bisa aku toleransi. berkomunikasi dengan mantan as if nothing happpened between him and her, dan no respect of what I am doing here. Tidak bisa menjaga diri terhadap hubungan di masa lalu, dan tidak menghargai dengan mengatakan “lha gk ada apa-apa kok. Pacaran juga enggak. Selama aku wis di lamar baru aku wis di-cup, wis gone wong liyo.”. Dia tidak menganggap kedekatan kami. Luar biasa, sangat luar biasa.
Mungkin ini adalah bukti yg luar biasa yg telah ditunjukkan oleh Allah kepadaku. Allah masih sayang kepadaku. Allah Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang. Dan semenjak itu, kisah hidupku kembali berubah.
Akhirnya banyak misteri yg terjawab mengenai dia yg tidak bisa menjaga diri. Termasuk yg sudah diperingatkan orang tuaku, sahabatku, teman-temanku, dan aku sendiri yg sudah menganalisis banyak hal mengenai dia. Banyak poin-poin yg bahkan diriku sendiri telah mengiyakan. Tapi aku masih berusaha utk bisa mengarahkan.
Semakin kesini, semakin banyak hal yg telah ku konfirmasi. Termasuk informasi dari saudara iparku, orang tuaku, banyak hal yg akan dilakukannya, termasuk hal-hal yg seharusnya tak boleh keluar pintu kamar rumah tangga. Karena istri adalah palang pintu rumah tangga, maka harus ada batasan dan istri juga harus menjaga diri serta rumah tangganya. Dan dia mungkin tidak melakukannya.
Alhamdulillah, Maha Suci Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yg tidak aku ketahui.
2 notes
·
View notes
Text
Sebuah tamparan
"Bukankah sebaiknya wanita seperti itu? Kalau dari aktivitasnya, dia bukan tipe yg terlalu pendiam."
Kalimat itu membuatku termenung sembari menghadap kiblat. Merenungi setiap kriteria pasangan yg aku harapkan. Dan memang, aku kehilangan arah iman selama ini. Entah sejak kapan. Entah bagaimana perhitungan dosa-dosaku di catatan malaikat. Aku juga mulai lupa cara untuk menundukkan pandangan, kata-kata, dan perbuatan.
2 notes
·
View notes
Text
“Mau kemana habis ini?” “Ke pantai, yuk.” Ajakku setelah kami menutup pembicaraan di resto. Sangat lama kami di sana. Tepatnya sejak pukul 19.00 hingga para kru resto membersihkan ruangan bebas asap rokok, sekitar 21.30. Aku menuju kasir sembari menunggu dia beranjak dari kursi.
Kami mencari sekotak amplang di salah satu pusat oleh-oleh, dan melanjutkan perjalanan ke arah utara. Dia hendak cuti esok hari ke kota asalnya, jadi kami memutuskan untuk jalan-jalan membuka tabungan rindu. Dan 3 hari setelah dia cuti, aku yang akan ikut cuti ke kota asalku. Dan selain urusan pekerjaan, ada urusan yang tidak kalah pentingnya, kembali meyakinkan orang tuaku agar lebih yakin dengan dia. Tugas utama.
Kami telah memutuskan untuk lanjut ke jenjang selanjutnya, tanpa hubungan berpacaran. Kami sama-sama berpegang bahwa kami telah siap, sudah bukan untuk bermain-main, yang kami cari adalah pasangan hidup, garwa. Sudah banyak yang kami bicarakan, kami rencanakan, semoga bisa terpenuhi dan terealisasi.
“Mau turun?”, tanyaku setelah tiba di tepi pantai. Laut sedang pasang, ombak berkejar-kejaran, menabrak pondasi bangunan di sana.
“Enggak, disini aja.”, tangannya memeluk tubuhku dari belakang.
“Tenang ya di sini. Suara ombak, suara burung-burung, dedaunan, dan kesunyian jalan.”
“Iya, tenang.”
“Tidak terasa ya, kita sudah sedewasa ini. Sudah melalui banyak hal, melakukan banyak hal, banyak pelajaran yang kita ambil.”
“Kadang merasa seperti anak kemarin sore. Masih menginginkan ini-itu. Tapi waktu tidak berbohong.”
Kami diam sejenak.
“Kamu gk mau cium aku?”
Aku menoleh ke kiri, sembari menatapnya lembut. Tapi dia menempelkan pipinya ke leherku, sambil mengendus wangiku. Sambil melirik spion, melihat ke arah belakangnya untuk memastikan tidak ada kendaraan dari arah belakang.
“Yakin kamu?”.
Dia memundurkan kepalanya, bersiap.Bibirnya mengecup pipi kiriku, hangat dan lembut. Aku bersiap membalasnya, dan bibirnya lebih siap dari aku.
Di tepi pantai itu, di iringi deburan ombak, terangnya rembulan yang bersembunyi di balik gunung Bamega, dan kilau gemintang, bibir kami berpagutan. Sama-sama merasakan kelembutan, kehangatan, ketenangan, dan kenyamanan. Tidak berlangsung lama, tapi kami sangat menikmati momen ini. Penuh cinta tanpa nafsu berlebih hingga beberapa menit kedepan.
Ku kecup keningnya sebelum kami sepakat untuk segera kembali ke tempat tinggal masing-masing. Tapi belum usai, aku masih mengecup bibirnya beberapa kali, tak terhitung, dan mencium kedua pipinya. Aku tarik tangannya untuk lebih erat memelukku. Kami kemudian berputar balik menuju pulang.
Jalanan tiba-tiba gelap gulita, hanya lampu kendaraan yang menerangi. Beberapa pengendara motor di depan kami berjalan beriringan, aku masih membuntutinya hingga ada kesempatan untuk mendahului mereka. Beberapa menit kemudian, ada pengendara tanpa penerangan yang baik mendahului kami. Kami membuntutinya hingga merasa aman.
Leherku tidak di diamkan saja olehnya. Bibirnya terus menciumi leherku yang wangi. Dia lebih senang wangi ini dibanding sebelumnya. Jika waktu itu hanya di endusnya, kali ini dia menciuminya hingga puas, hanya saja jalan yang masih rimbun dengan pepohonan, berkelok dan gelap ini tidak memberi kesempatan untukku membalasnya. Dia terus menciumi leherku hingga sampai di tempat tinggalnya. Entah membekas atau tidak leherku, aku tidak peduli. Aku memilih fokus memperhatikan jalan agar kami tidak tersesat ke ‘kota lain’.
Hanya di kota ini kami masih bisa berkendara tanpa helm dengan nyaman sambil bercumbu. Pengalaman pertama bagi kami bisa seperti ini. Aku semakin mencintainya, begitupun dia.
0 notes
Text
"Tuh, kan!?! Kamu tuh tiap abis wudhu atau abis sholat, selalu jadi lebih ganteng! Heran deh!", pujimu.
Obrolan singkat setelah menunaikan sholat fardhu tadi sore. Udara dingin pasca hujan lebat selama 2 jam, ditambah tersebarnya berita fenomena aphelion, menjauhnya matahari dari bumi akibat revolusi bumi, membuat udara sore ini makin dingin. Namun menatapmu sejenak telah membuatku hangat.
Gelak tawamu, celotehanmu, keceriaanmu, membuat setiap hati merasa hangat, tapi hanya denganku kau mau membagi kehangatan. Sesungguhnya aku adalah yang beruntung bisa mengenalmu lebih jauh, lebih dalam. Semoga kamu juga merasa beruntung bisa mengenalku lebih jauh, lebih dalam. Semoga keluarga kita, dan kita berdua, bisa bersatu dalam pernikahan.
0 notes
Text
"Mas, kamu nggak mau nyulik aku ta?", tanyamu sebelum melewati rambu perusahaan dengan logo tiga warna itu. Mengejutkan, setiap hendak melewati rambu ini, dan aku hendak "menculikmu", biasanya kau protes
"Yuk tak culik", jawabku. Tidak banyak yg bisa dilakukan di kota ini. Disini kami belajar qona'ah, menerima dan mensyukuri apa yang ada di kota ini. Dengan segala kesederhanaan, keterbatasan, dan serba apa adanya. Tidak jarang kami bertemu dengan orang-orang yang bekerja di terminal BBM ini, apalagi saat hanya kami berdua. Entah pagi hari untuk jogging, bahkan malam hari saat selesai makan di warung penyetan favorit kami.
Tangan kirinya mulai mencari jemariku, berusaha menggenggam. Badannya membungkuk mendekat, kepalanya bersandar di pundak kananku, tangan kanannya bersandar di paha kananku, sesekali mencubit lengan kananku, gemas.
"Mas?", tanyanya dengan suara mendayu.
"Dalem, yang?"
"Kamu sayang nggak sama aku?"
Tanpa ragu, tentu saja kujawab dengan jawaban pasti, "Mas sayang sama kamu. Mas cinta sama kamu."
Kami ngobrol santai dengan tangan kiri yg masih menggenggam erat, saling menghangatkan. Ku lontarkan pertanyaan dan cerita-cerita ringan, sembari menghadapi hawa dingin jalanan remang ini.
Hanya saja, bulan kali ini hanya percaya diri dengan sinarnya. Semburat seolah menunjukkan di mana awan berada. Sedangkan sang rembulan bersembunyi di balik gumpalan awan. Tapi, gumpalan awan itu tidak mampu menyembunyikan perasaan kedua insan yang sedang ber-"bucin" ria. Dua insan ini sedang dalam keterbatasan waktu dan tempat, tapi selalu menyempatkan. Jalanan malam, udara dingin, rimbun pohon dan rimbun rerumputan-lah kali ini yg menjadi saksinya.
Mereka terheran-heran kenapa bisa se-"bucin" ini. Sedangkan hubungan mereka dengan mantan masing-masing, tidak seperti saat ini. Rasa cinta kadang tak berbentuk, tak bersyarat, langsung hinggap dalam sanubarinya setelah terbang dan melayang melawan dan mengikuti arah angin.
Semoga rasa cinta dan kasih sayang ini bisa terus berlanjut dalam jenjang pernikahan yang senantiasa mendapat ridho Ilahi. Aaamiiinnn
P.S.
Satu kecupan terpotret indah malam ini, dalam memori mereka
0 notes
Text
“Mana ya mereka? Tadi di depan kan, harusnya sudah tiba duluan.”, ujarmu. Aku di sampingmu menyapu pandangan, mencari-cari teman kami dengan pakaian yang sangat kami kenali. Sejak di parkiran motor aku juga mencari-cari motor matic putih dan motor maxi warna biru gelap milik teman kami, juga belum ketemu.
Sambil menaiki tangga lebar, aku masih menyapu pandangan ke arah lapangan luas ini. Lapangan ini dengan luas sekitar 1 hektare yang bangun di atas perairan, menjadikan lapangan ini yang paling pas untuk acara-acara pertunjukkan besar. Dengan monumen dua ikan todak yang menyemburkan air menjadi ikon kabupaten ini. Beberapa group band dan penyanyi papan atas ibukota pernah manggung di sini. Tentu saja, tidak hanya penduduk lokal yang hadir meramaikan, tapi juga warga “kota seberang”.
Tibalah kami di warung, tempat kami akan nongkrong. Ada sekitar 10 bangku yang di susun di sekitar warung. Aku masih menyapu pandangan ke area lesehan, belum menyadari ada rombongan yang sangat mengenali kami.
“Tirta!”, sontakmu dan langsung berbalik arah. Tanpa babibu aku langsung ikut berputar, mengikutimu.
Dia melihat beberapa orang yang kami kenali di lokasi kerja. Bukannya kami membenci, hanya saja kami sedang berdua dan kami sedang mencari teman-teman kami. Bukan untuk mengobrol dengan mereka. Ada satu-dua hal yang kami kurang senangi, tapi kami tetap berhubungan dalam senyap, tidak ingin ada omongan yang kurang baik bahkan hubungan kami menjadi sorotan banyak orang. Terlalu banyak berita tidak sedap yang sering di besar-besarkan di lokasi kerja kami. Ada istilah lambe combe di daerahku untuk orang yang sedikit2 membocorkan bahkan membesar-besarkan suatu berita. Di sini ibarat angin, satu kalimat saja yang salah terucap, bisa di besar-besarkan layaknya api di beri kayu bakar, yang lalu di siram minyak dan dedaunan. Salah seorangnya juga, sangat pandai bersilat lidah dan membalik omongan.
Kami akhirnya memilih untuk duduk sebentar di gazebo untuk menunggu teman-teman dan memikirkan langkah selanjutnya. Kami mengobrol sebentar untuk memastikan ada siapa aja yang kami lihat barusan. Dua menit kami duduk, dan kami melihat-lihat lagi ke arah mereka, dan benar penglihatan kami. Kami memutuskan untuk mengelilingi lapangan ini sambil ngobrol santai.
Kami berjalan berdampingan, masih membicarakan teman-teman kami yang belum datang. Dengan santainya, dia menggandeng lenganku. Kota ini kecil, sangat besar kemungkinannya untuk bertemu dengan orang yang kami kenal. Kali ini dia berani, mungkin karena lapangan ini kurang pencahayaan, sehingga tidak banyak yang bisa mengenali kami dalam gelap.
“Tau kah kamu, saat-saat yang membahagiakan itu kapan?”, tanyaku.
“Kapan?”
“Di saat kita bersama. Di waktu kita tertawa menangis merenung, oleh cinta.”, jawabku sambil menyanyi. Dia tertawa renyah, dan melanjutkan . Ah, sungguh menyenangkan sekali malam ini
.
Langit memang gelap, tapi hatiku cerah
Awan meneteskan gerimis, semoga tiap tetesnya dengan malaikat yang ada di dalamnya, mengaminkan doaku
Semoga kami bersatu dalam pernikahan, keluarga kami juga bisa bersatu dan bahagia dengan pernikahan kami
0 notes
Text
Wahai Sang Maha Cinta, tiada ucapan yang lebih indah selain mengagungkan Namamu yang Maha Agung. Tiada rasa yang lebih indah selain bersyukur atas anugerah yang Engkau limpahkan pada kami.
Tiada yang lebih berkuasa atas kami selain Engkau, Sang Maha Kuasa. Tiada yang lebih indah selain yang Engkau hiasi, Wahai Sang Maha Indah. Dan, tiada yang lebih Mengasihi lagi Penyayang, selain Engkau, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Apa yang Engkau anugerahkan pada kami, adalah nikmat yang tak terukur. Nikmat menerima kekurangan satu sama lain, nikmat menerima kelebihan satu sama lain, nikmat menerima watak dan perilaku satu sama lain, nikmat kelapangan dada dan kelapangan hati. Sesungguhnya, Engkau adalah Sang Pemilik Hati, dan Engkau yang memberi nikmat atas akal, hati, dan perasaan kami.
-
Tangannya merangkulku dari belakang. Kami berboncengan menyusuri jalan poros kota ini. Beruntung tidak banyak yang lalu lalang, hanya lampu kendaraan menuju kota yang menyilaukan.
"Maukah engkau menerima Mas yang punya masa lalu demikian? Mas bukan orang sempurna."
"Aku terima kok, Mas. Tapi, beneran Mas gapapa aku seperti ini. Aku pun, juga gk sempurna."
"Mas terima Tika apa adanya. Mas orang nriman."
"Eemmmm makasih ya, Mas."
"Kalo mau peluk, peluk aja. Selama bukan ujung jari yang nyentuh perut, Mas gk geli. Aman.", sambil ku genggam tangan kirinya.
"Enggak, ah. Mas gelian kok.
"Beneran deh, coba aja.", aku melepas genggamanku.
Kali ini, kedua telapak tangannya menggenggam, merangkulku dari belakang. Aku bisa merasakan kedua pundaknya menyentuh punggung atasku. Dan kedua tangannya erat memelukku dari belakang. Sebagai balasannya, tangan kiriku bergerak memegang punggung tangannya. Unsafe action. Menyetir motor dengan satu tangan. Degupan jantungku semakin menderu, tapi berirama.
Jantungku terasa seperti hidup kembali. Paru-paruku yang mencium aroma pepohonan, kini juga mencium wangi parfum favoritnya. Hatiku, kini semakin menyayanginya, semakin mencintainya, wahai Tika.
0 notes
Text
Keesokan harinya, dia kembali lagi ke tempat kerjaku. Kali ini hendak memfotokopi surat-surat. Kegiatan kerja kami ditemani seorang staff lokasi. Berbincang-bincang mengenai giat HUT kota ini beberapa hari kedepan.
"Saya mau keliling dulu. Ditunggu lah undangannya, hahaha.", ucapnya sambil mendoakan.
"Iya, Pak. Tunggu saja undangannya.", dia mengaminkan, aku juga menyahut mengiyakan.
Selang beberapa waktu, aku mulai menginisiasi untuk berpelukan. Kali ini berbeda, jauh lebih nyaman, lebih sejuk, lebih menenangkan.
"Ya Allah, inilah orang yang aku sayang Ya Allah."
"Lalu, kenapa mas? Apa ada orang lain yang kamu sayang?"
"Iya, ada. Ibukku, Ayahku, kakakku, keluargaku."
Ku ulangi lagi doa yang sempat terputus. Ya Allah, ini lah orang yang aku sayangi, yang aku cintai. Ridhoilah kami untuk berjodoh, Ya Allah."
"Aamiinnnnn."
"Ridhoilah kami untuk berjodoh. Limpahkanlah, curahkanlah rezeki yang halallan thoyyibban untuk kami, jauhkanlah kami dari marabahaya, mudahkanlah jalan kami, langkah kami, untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat .... "
"Aamiiinn.... lho?"
"... dalam pernikahan yang sakinah, mawaddah, warrahmah."
"Aaamiiiiinnnnnn", kami sama-sama mengaminkan doa sederhana yang aku lantunkan, masih berpelukan erat, dengan rasa sayang yang mendalam. Saling menerima kekurangan, saling menerima kelebihan, bersama dalam satu tujuan. Ya Allah, kabulkanlah doa tulus kami. Aamiinn Ya Robbal 'alamin.
0 notes
Text
“Aku kangen banget”, ucapku sejak beberapa hari kita sama-sama cuti bekerja, dan selama cuti bekerja.
_____
“Udah mas istirahat aja, jangan masuk kerja dulu. Habis perjalanan juga.”. Dan aku memutuskan untuk tidur setelah selesai beberes kamar tidur, namun tidur di dekat meja kerja.
“Karena W sakit, pagi kamu yang ke lokasi, siang ganti aku yang ke lokasi.”, ucap bosku untuk bergantian menjaga rekan kami yang sedang di infus, rawat inap di mess kami. Sebelum berangkat ke Surabaya, dia sudah merasa tidak enak badan.
Berangkatlah aku ke lokasi kerja, menyapa dan menyalami rekan-rekan di lokasi kerja, masih dalam suasana bulan Syawal. Datanglah orang yang sangat kurindukan.
“Kok nggak dinyalain?”. Ritme harianku sedikit terganggu karena sudah 2 minggu berbeda kegiatan. Masih terbawa kebiasaan dari kota asalku yang tidak mudah menyalakan pendingin ruangan. Mesin cetaknya sedang bermasalah, sehingga dia meminta tolongku untuk mencetak berkas yang dia butuhkan.
“Tolong cetak ini juga dong. Kamu kenapa sih kok lemes gitu. Mmmmmm sini sini.”, ujarnya dengan nada yang menyenangkan hatiku, sambil menjulurkan kedua tangannya ke arahku.
“Kangen ya? Aku juga kangen.” Kami berpelukan, erat. Aku menikmati setiap detiknya, setiap berjalannya waktu, setiap tarikan nafasnya, setiap ucapannya. Tak ingin kulepas, sungguh.
Aku merindu. Sangat rindu. Merindukan seorang kekasih, seolah tidak bertemu setelah 15 tahun (semoga tidak terjadi). Lenganku melingkari tubuhnya, lembut. Sesekali mengelus baju merahnya, seolah ruangan ini benar-benar milik kami. Aku memastikan tak ada yang boleh mengganggu, sepenting apapun itu. Tapi rindu ini benar-benar nyata, tak boleh siapapun mengganggu. Entah telah berapa lama aku tidak merasakan rindu, cinta, sayang. Tapi dengannya, aku merasa kembali hidup.
Jantungku berdegup, berirama, senyumku terpatri, mataku memandangnya dengan penuh rasa syukur. Entah kalimat apa saja yang muncul dari kedua bibir kami. Hingga akhirnya kuberanikan diri. Aku tahan wajahnya, dia sangat aktif, aku tatap dia sejenak, bersyukur, dan kudekatkan bibirku, ke keningnya, dan ku kecup.
“Ah, cium kening.”, dia tersipu.
Sekitar dua puluh menit kami berpelukan tak lepas. Tabungan rindu kami, lunas. Tak ingin berhenti. Seandainya waktu di luar ruangan ini dapat aku hentikan.
Aku ingin menikmati sejuk suaranya
Merasakan lembut degup jantungnya
Menghitung desah nafasnya
Rileks akibat meningkatnya endorfin dalam diri kami
Sungguh, aku mencintainya
Dan, aku melihat, merasa, dia mencintaiku
1 note
·
View note
Text
"Gapapa ya aku berangkatnya kayak gini. Aku males banget naik travel ke Kotabaru.", ujarmu sambil merengek. "Tapi aku juga mager balik, Yang."
"Ingat." , "Ingat apa, Yang?" , "Ingat ada ponakan yg di kasih sangu."
"Iyaaaa!!! Ingat butuh biaya nikah"
"Ingat, Labuan Bajo dua jutaan per orang. Belum tiketnya."
"Ingat butuh buat tabungan"
"Ingat butuh banyak uang"
"Semangat ya sayaangggg"
"Semangat juga ya sayaanggg. Untuk tujuan mulia!"
0 notes
Text
"Mas kita kemana?"
"Udah, ikut aja, kita keliling."
Di awali dari Masjid Raya, sedikit mengelilingi kota kecil nan tenang ini, lalu meluncurlah ke arah selatan.
Ini bukan motor pribadiku, tapi motor inilah yang paling nyaman digunakan. Motor matik hijau legendaris yang dibeli dua tahun lalu di Bima.
Jalanan ini sepi, hanya satu-dua motor atau mobil yang mendahului kami. Tentu saja sepi. Sudah lewat pukul sembilan malam untuk jalan poros provinsi. Sebagai informasi, jalan poros ini satu-satunya jalan utama yang menghubungkan kota dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Bisa dibilang, hanya butuh 7-8 jam untuk mengelilingi pulau ini dalam sekali jalan, melewati jalan poros ini dan kembali ke titik berangkat, jalan melingkar.
Saat kami melewati area bandara, gemintang mulai bermekaran. Entah berapa kali aku mengucap syukur telah melihat pemandangan ini. Pemandangan yang aku rindukan dua tahun lamanya. Namun baru kali ini, aku menikmatinya denganmu. Iya, kamu. Salah satu wanita spesial di hatiku, yang pertama tetap Ibuku, kedua kakak perempuanku.
"Munduran dikit, yang. Biar aku gak keliatan kecil kamu gonceng."
Ku mundurkan sedikit badanku, dagumu langsung melekat di pundakku. Rangkaian kata seolah tak berhenti di ucap. Sesekali bersyukur melihat transformasi langit yang semakin bertaburan bintang sejumlah pasir di gurun.
Wahai Allah Yang Maha Cinta, seindah ini langitmu, seindah ini juga rasa bahagia yang kau turunkan kepada kami, sepasang makhluk yang si deru rasa nyaman, rasa sayang. Tak lama berselang, masih mengagumi ciptaan Allah Yang Maha Indah, muncul selarik cahaya dari arah kiri. Cepat, seperti berekor.
"Lihat nggak tadi? Kayak bintang jatuh"
"Iya, Mas!! Aku lihat. Di sebelah kiri kan??"
"Iya benar. Dari sebelah kiri."
"Cepet berdoa, Mas!!"
Aku kuatkan, teguhkan, serta meyakinkan lisan dan hatiku. Dan kulantangkan doa, sejelas-jelasnya.
"Ya Allah, jika Engkau ridho, jodohkanlah aku, Aris Styawan Prayogi dengan Diah Kartika, gadis yang aku gonceng ini."
"AAAMIIIINNN!!"
"AAAMIIINNN!!"
Kami meng-amin-kan doa tersebut, sepenuh hati, lantang dan jelas. Aamiin ya Robbal Alamin. Semoga Allah mendengar dan mengabulkan doa yang kulantunkan setiap seusai sholat, dan di waktu-waktu ijabah.
"Berdoanya tetap ke Gusti Allah, lho ya.", aku mengingatkan.
"Loh, iya mas. Tetap berdoanya ke Gusti Allah. Oh, iya. Soalnya kata orang-orang kayak gitu mas."
"Iya, aku tahu itu, kok."
---
Sudah dua kali ini, aku bersamanya bersama-sama melihat hal-hal yang langka. Sebelumnya, kami melihat pelangi yang sangat besar dan dekat, saat hendak naik ke Hutan Meranti. Dan sekarang, kami bersama-sama menyaksikan bintang jatuh. Semoga tanda-tanda kekuasaan-Mu ini, adalah isyarat yang baik untuk kami. Aamiinn.
0 notes
Text
"Kamu tuh masuk di waktu yg tepat, Mas. Aku lagi runtuh, kamu yg membangun lagi."
0 notes
Text
"Lu sebenarnya kapan sih terakhir jatuh cinta, kasmaran? Lu baru inget caranya jatuh cinta apa ya?", protes W ke aku yang sedari tadi tersenyum menatap layar ponsel.
Yang aku lihat memang kata-kata saja, tapi pengirim kata-kata itu lah yang membuat otot senyumku terangkat.
Dan malam ini, terjadi lagi
Otot senyumku terangkat, dan pita suaraku mengirim gelombang tawa. Hanya dari kalimat sederhana saja, "Seandainya aku mimpi di patok ular, tapi ularnya dari kotamu.". Dalam hatiku, semoga itu aku. Aamiin
0 notes
Text
"Si Mas wajahnya jadi lebih bersih ya. Dan kayaknya kurusan deh. Kamu apain?", ujar G, rekan kerjamu
"Aku nggak apa-apain. Aku cuman kasi saran untuk potong rambut. Dia kelihatan lebih bersih abis cukuran juga mungkin.", jawabmu
Dari dua jawaban itu, adalah akibat. Sebabnya adalah, Kamu. Yang setiap hari bisa mengangkat otot senyumku. Hingga wajahku nampak lebih bersih, dan badanku nampak lebih kurus.
0 notes
Text
"Oh, please. Say to me.
You let me be your man.
And please, say to me.
You want me hold your hand.
You let me hold your hand.
I want to hold your hand."
0 notes
Text
Menyesal mengabarinya kembali
Tapi bom waktu tetap harus dijinakkan
0 notes