Don't wanna be here? Send us removal request.
Photo
[Siang tadi di depan kampus FK]
DUA PULUH DELAPAN TAHUN BERSEPEDA KELILING INDONESIA
“Ini dekan paling unik yang pernah saya temui.”
Adalah kalimat pertama Pak Ismail (demikian beliau memperkenalkan dirinya) membuka percakapan setelah kira-kira 15 menit yang lalu ketemu pak dekan tercinta dengan sepeda tuanya. Saya hanya tersenyum menanggapi dan sudah bisa menyimpulkan. Pak dekan kami –tarcinta– memang unik orangnya, hahaha, sy tidak akan tulis di sini karena butuh satu halaman khusus kalau mau membahasnya. :)
Kembali ke Pak Ismail yg asli Indramayu (Jawa Barat), beliau menghabiskan lebih dari separuh usianya untuk berkeliling Indonesia dengan sepeda. Dua puluh delapan tahun lamanya, dimulai dari Pulau Bali – NTB – Timor-timur – NTT – Papua – Maluku – Sulawesi – Kalimantan – Sumatera – Jawa (dari 1989 – Sekarang) dimulai sejak usia 20 tahun. Dan masih akan melanjutkan perjalanannya sampai ke Bali. Kembali ke titik nol dimulainya perjalanan.
Agar diskusi lebih lama, saya ajaklah si bapak ke warung burjo depan kampus untuk melanjutkan cerita sambil ngopi. :D
Sebagai bukti bahwa beliau sudah berkeliling Indonesia dengan sepeda bututnya (yang sudah 33x ganti) beliau menunjukkan buku catatan –jumlahnya puluhan– berisikan tanda tangan orang/tokoh penting di kota atau perkampungan yang pernah dilaluinya. Otomatis Pak Dekan kami termasuk orang penting menurut beliau. Hehe.. di halaman terakhir itulah ada tanda tangan Pak Dekan kami tercinta, DR. dr. EM Sutrisna, M.Kes, yg memberikan statementnya: “Kok masih ada ya, di zaman sekarang, orang yang mau menyusahkan dirinya.” Demikian Pak Ismail menuturkan kembali ucapan beliau sambil tertawa.
Banyak cerita yang dibagikan beliau yg menurut saya hampir unik semuanya. Salah satunya pengalaman beliau yg tidak terlupakan saat berada di Papua, di perbatasan antara Indonesia dan Papua New Guinea. Di sana beliau harus menjalani hukuman adat berendam di air selama tiga hari karena sudah menabrak babi milik penduduk setempat sampai patah kakinya. Kata beliau, di kampung ini lebih baik membunuh manusia dari pada membunuh babi yg dijadikan dewa dan disembah oleh mereka. Yang terakhir ini agak berlebihan menurut saya tapi cukup terhibur juga mendengarnya harus tiga hari direndam di rawa yang ada buayanya. :’)
Satu info lagi yg tidak ketinggalan untuk saya tanyakan. Beliau menginjakkan kaki di Kabupaten Poso (kampung halaman saya) pada tahun 1994. Saat itu belum terjadi konflik. “di sana banyak ikannya, hampir tiap saat mau makan pasti ada ikan.” Demikian kesan beliau mengenai Sulawesi Tengah secara keseluruhan.
Terakhir, ada satu pertanyaan di akhir pertemuan yang jawabannya di luar dugaan saya, “siapa tokoh yg paling berkesan yang bapak pernah temui selama 28 tahun perjalanan?”
“Ahok.” Jawabnya.
“Apa membuat bapak berkesan?”
“Pak Ahok ngasi kebun kelapa sawit di daerah Banyuasin (Sumetera Selatan) untuk anak cucu saya, kata beliau: ini buat anak cucumu di masa mendatang, kamu sudah membuang waktumu yg seharusnya untuk anak cucu. Jangan dijual pemberian saya. Awas, saya cari kamu kalau sampai kamu jual.”
Demikian kenang Pak Ismail, tersenyum bangga.
*Btw, sampai hari ini Pak Ismail belum berkeluarga. 28 tahun waktunya hanya dihabiskan untuk perjalan keliling Indonesia. Adapun cerita ini, saya sudah mendapat izin dari beliau untuk dipublikasi. Jika ingin mengetahui kisah beliau lainnya, sudah beliau ceritakan di Kick Andy tahun 2016 silam. Silahkan browsing di youtube dengan kata kunci: “Kick Andy – Indoensia dari Atas Roda”.
**Selamat melanjutkan perjalanan, Pak Ismail, semoga selamat sampai di Bali. Dan tidak lagi menabrak babi. :D
20-02-2018
rpJ�SU�`��2
1 note
·
View note
Photo
KEMEJA KENANGAN
Kemeja yg aku kenakan saat ini memang penuh kenangan. Kemeja pemberian kepala sekolah saat itu Drs. Abd. Chair A. Mahmud (kami memanggilnya 'Aba) sebagai ganti pakaianku yg ludes dicuri maling.
Jadi ceritanya, dua tahun sebelum lulus SMA, aku resmi jd penghuni sekolah sampai lulus. Aba menawarkan aku untuk jadi penjaga masjid sekolah yg baru dibangun. Aku dibuatkan kamar di bekas musholla yg dijadikan gudang sekaligus tempatku tidur.
Suatu saat aku menjemur pakaian termasuk seragam sekolah di malam hari (karena tidak mungkin mencuci dan menjemur pakaian di lingkungan sekolah siang hari) :p tiba2 saat bangun pagi seluruh pakaian hilang kecuali sempak dan seragam. Alamak, ternyata aku baru saja kemalingan. Jaket organisasi, kemeja, kaos dan celana hilang semua. Untunglah si maling masih berbaikhati meninggalkan seragam sekolah dan celananya, kalau tidak mungkin aku sudah pake sarung aja di sekolah. 😂
Beberapa hari kemudian datanglah pakaian bekas se-kardus, jumlahnya cukup banyak, diantarkan langsung oleh anak asuh kepala sekolah ke kamar kecil tempat tinggalku di pojokan sekolah. Betapa senangnya dapat kiriman pakaian ini (walaupun semua kebesaran 😂) mengingat hampir semua pakaianku hilang.
Hari ini, hampir sepuluh tahun berlalu, ternyata aku masih menyimpan salah satu kemeja pemberiannya. Kalau dulu kebesaran, sekarang justru mulai kekecilan.
Demi mengenang manisnya sebuah kenangan, sepuluh tahun yg akan datang, insya Allah kemeja ini akan aku museumkan di perpus pribadiku. :)
#Memorable #SmansaPalu #SulawesiTengah
1 note
·
View note
Photo
#HariAyah #RepostCeritaAyah # TITIP RINDU BUAT AYAH # Hari ini hari ayah. Aku ingin mengenang lagi tentang ayah. Ayahanda bukanlah siapa-siapa. Ayahanda tercinta bukan orang yg berpendidikan tinggi, ijasah SD pun ia tak punya. Tapi ada satu pembelajaran berharga yg ia berikan: selalu melibatkan anaknya dalam setiap aktivitas pekerjaannya sehari-hari. Mulai dari menyiangi rumput di hutan sawit miliknya, mengumpulkan berondolan (biji buah sawit) dengan motor butut, mencari kayu bakar di hutan dengan kapak, mengumpulkan kakao, sampai mengambil kayu lapis dengan rakit di hulu sungai. Jarang2 (zaman itu) sy mendapat uang saku sampai 50rb ke sekolah, momen ini hanya terjadi jika sy mau diajak kerja. Tidak ada dalam kamus ayahanda: “biarlah cukup sy yg menderita, anak sy harus bahagia.” Saya awalnya malu, apalagi kalo dilihat teman2 (SD sampai SMP saat itu). Tapi pada akhirnya, memang dari sinilah pelajaran prihatin dan mandiri bisa didapatkan. Bukan sekedar nasehat yg kadang cepat sekali hilang. Ini cerita sy bersama anak2 kampung di pelosok Sulawesi, sy melihat, beginilah rata2 orang tua di sana mengajarkan anaknya mandiri. Mau upah yg besar, ya kerja benar. #Ayah yg membesarkanku (31 Desember 1960 - 25 Mei 2012). Doaku selalu untukmu, meski bukan siapa-siapamu. I Love You.
0 notes
Quote
Realitas kehidupan ini akan terlihat dengan sangat jelas, justru saat kau pejamkan matamu.
Iwan Mariono
0 notes
Text
POLIGAMI
[Saya sebenarnya berat sekali menulis 7 poin ini, saking berat sy hanya berani posting di sini, untuk mereka yg membully kasar pelaku poligami] 1. Isu perselingkuhan atau lgbt, atau hamil di luar nikah, dia akan diam dengan alasan toleransi dan urusan rumah tangga orang lain. Beda lagi kalau urusan poligami... Paling nyolot sendiri. 2. Kalau tokoh nasional yg poligami, dia akan bilang: ini beda, beliau tidak bawa bawa dan mengatasnamakan agama dan sunah rasul. Dari mana situ tahu? Emang sudah pernah wawancara? atau minimal baca bukunya? 3. Urusan tafsir, dia paling benci sama ustad atau kiai yg dianggapnya merasa paling benar sendiri. Padahal kalau dia yg menafsir... Paling benar sendiri. Apalagi jika penafsiran itu terkait poligami. Lihat saja gaya bicaranya, perhatikan cara membully-nya. 4. Buku buku tentang kontra poligami (yg pernah sy baca) ditulis oleh orang yg justru hati hati sekali kalau mau bicara tentang ini, tapi yg bahasanya jorok dan kasar ini malah tidak (sy pribadi belum menemukan) menghasilkan satu buku saja ditulisnya yg bahas lengkap tentang poligami, apalagi kitab tafsir. 5. Kadang yg suka nyinyir itu wanita, dan ini bisa dimaklumi secara emosi mereka lebih dekat dengan wanita yg dipoligami, tapi entah kenapa akhir2 ini di timeline justru banyak lelakinya, mereka inilah sebenarnya yg layak diberi gelar sebagai pria berdaster dari pada orang2 yg selama ini mereka tuduhkan sebagai kaum berdaster. 6. Yang pro-poligami belum tentu berniat untuk poligami. Apakah yg kontra sudah ada jaminan ke depan tidak akan berpoligami? Tidak ada jaminan bagi kita semua. Bahkan lebih memilih berselingkuh pun juga tidak ada yg tahu ke depannya. Jadi biasa sajalah menanggapi. 7. Tidak ada yg lebih baik kecuali mendoakan mereka yg sudah mantap dengan pilihan hidupnya, semoga tetap samawa dan dijauhkan dari segala prahara rumah tangga, termasuk orang yg bahagia cukup dengan satu istri saja. Doa ini berlaku untuk kita semua, termasuk yg masih jomblo alias belum bertemu dengan pasangannya. 8. Silahkan isi sendiri... 101017
0 notes
Photo
PACARAN DAN MEMENDAM PERASAAN
*Repost catatan lama
Adik-adikku, kalian remaja putri yang akan beranjak dewasa. Ketahuilah dalam hidup ini ada satu benda berharga yang paling harus dijaga oleh seorang wanita, apa itu? Kehormatannya. Dialah benda yang lebih berharga dari sekedar harta (yang bisa hilang dicuri orang) atau pun kecantikan (yang bisa pudar oleh waktu). Kabar buruknya, sekali kehormatan itu hancur, akan turun drastis nilai seorang wanita di mata pria. Kabar baiknya, tidak ada seorang pun yang bisa merampas kehormatan wanita selama dia mau menjaganya. Kalian adalah pemegang kuncinya. Jika pria dilihat dari masa depannya, maka wanita sebaliknya. Dalam perjalanan kakakmu ini mengenal seorang gadis (kakak-kakak kalian), ada dua alasan yang mendorong mereka ingin berpacaran. Yang pertama karena mereka takut kehabisan ‘stok’ jodoh atau orang yang dinaksir keburu digebet wanita lain (huh, sadis). Yang kedua karena tidak ada hiburan, hidup jadi sepi, tidak ada yang menanyakan kabar, sudah makan, sudah tidur belum, atau sudah shalat belum (upss). Kalau hanya masalah itu adik-adikku, percayalah, Tuhan tidak pernah salah menukar jodoh manusia. Adapun jika kau merasa kesepian dan tidak ada hiburan, hei, lihatlah di luar sana masih banyak orang yang lebih nestapa hidupnya dari kita. Sebenarnya masih ada satu lagi: tidak bisa menolak ajakan cowok yang mengajaknya berpacaran –apakah cowok itu baik atau tidak. Terlebih cowoknya itu memang baik, gagah, calm, kaya, dan ah.. Pokoknya perfect dah (ngalahin kerennya personil boyband). Tapi biarkan ini jadi pembahasan kita di akhir, supaya kalian bisa menyimpulkan sendiri bagaimana seharusnya kita menjaga kehormatan perasaan. Adapun kalian yang putra (saya sendiri putra, hehe). Ketahuilah, tanggungjawab dan kepastian itu adalah kebanggaan setiap gadis –terlebih orang tuanya si gadis. Jika belum siap memberikan kepastian, jangan malah mengajak meraka main-main. Sebagian besar dari mereka ini paling suka dirayu, sebagian dari mereka juga paling suka dimanja. Kalau kau sudah tahu kelemahan mereka di situ, maka jangan lagi kau serang kelemahan itu. Karena jika jurus gombal itu sudah kau gunakan sementara kau belum bisa memberikan kepastian, hanya untuk senang-senang, berarti kau (saya juga seandainya demikian) memang bukan orang yang bertanggungjawab. Itulah yang disebut pemain cinta –penikmat nafsu dunia (ada lagunya). Dalam perjalanan kakakmu ini, kalau dia mau merefleksikan dirinya kenapa laki-laki memilih jalan pacaran sebenarnya sama juga dengan 2 alasan wanita tadi. Hanya ada tambahannya: ingin tahu kedalaman perasaan seorang gadis. Keinginan inilah yang kadang tidak sedikit membuat lelaki kebablasan jika tidak ada filter-nya. Karena dia sudah tahu kelemahan orang yang sudah menjadi pacarnya, kadang apapun akan dia usahakan agar keinginan tertingginya ini tercapai. Mau tahu keinginan tertinggi orang yang sedang pacaran? Ah, saya rasa bukan di forum ini kakakmu harus menjawab, nanti yang sedang pacaran bisa marah. Hehehe. Okelah, saya yakin kau sudah dewasa, jika kau ingin tahu, orang pacaran itu ingin kehidupan mereka ya tidak ada bedanya dengan kehidupan suami-istri. Kalau pun tidak menjurus sampai ke situ, yang pasti angan-angan itu tetap ada. Nah, adik-adikku (baik putra maupun putri), sekarang kalian sudah mulai mengerti kan? Oke kita lanjutkan. Oh, ya, tadi saya sempat menyinggung kata filter ya? Ya, filter. Filter yang dimaksud di sini adalah pemahaman agama. Ada orang yang pacaran sekalipun dia paham agama (nah lho,). Kenapa dia tetap memilih pacaran? Itu karena 2 alasan yang sudah kita singgung sebelumnya (tuh di atas, baca lagi sendiri). Sayangnya, sekalipun filter (pemahaman agamanya) seseorang kuat (harusnya kalau uda kuat malah gak pacaran ya, hehe) kadang masih bisa kebablasan. Penyebabnya tidak lain adalah: 'Situasi dan Kondisi'. Ada yang menunggu bertahun-tahun, ada juga yang hanya beberapa bulan (ah, kalau ini mah barangkali emang gak punya filter). Ingat, sekuat apapun iman seseorang, atau sekuat apapun seseorang memendam hasrat, kalau terpapar ‘antigen’ terus-menerus, ‘antibodi’ itu bisa kalah juga akhirnya. Dan ketahuilah, berat sekali menolak ketika seseorang dalam kondisi terjepit mendapat penawaran seperti itu. Jangankan kita (yang manusia biasa) teman-teman, Nabi saja (Yusuf, as) mengakui, jika bukan karena pertolongan Allah, mungkin perbuatan zina itu sudah terjadi. Silahkan baca sendiri kisahnya di QS. Yusuf. Jadi, bagi adik-adikku yang belum pacaran, tidak perlu mencoba. Jika sampai menikah kalian tidak pernah melewati jalan ini, itu adalah kado spesial yang luar biasa buat kalian dan pasangan. Adapun yang sekarang sedang terjangkit Virus Merah Jambu akut (istilah orang pacaran), segera sembuhkan jika target menikah kalian masih panjang, sebelum semuanya terlambat dan menjadi kronis. Adapun yang sudah kronis, segeralah menikah (atau kembali berteman seperti biasa), jangan menunda-nunda, jangan menambah dosa yang sudah ada. Sampai kapan pun kita tidak akan pernah tahu Situasi dan Kondisi yang menghampiri kita, sebagaimana kita tidak pernah tahu masa depan. Dan yang pasti, penyesalan selalu di belakang. Nah, kembali ke adik-adikku, mari kita menjaga kehormatan perasaan. Cinta itu suci, perbuatan kitalah yang kadang mengotori. Sejak pemahaman ini bersarang di otak kakakmu ini, ingin sekali dia menulisnya, tapi belum sempat. Alhamdulillah sudah tercurahkan sekarang. Mari ambil pemahaman baik ini, itulah cara belajar hidup yang paling mulia, tidak menunggu harus terjangkit virusnya. Karena itu menyakitkan. Terakhir, jika kau masih bertanya; lantas bagaimana solusi jika badai ‘cinta dan perasaan’ itu datang? Yang kakakmu lakukan selama ini hanyalah: memendam perasaan. Kalau pun khalayak ternyata akhirnya tahu, maka cukuplah itu menjadi rasa suka, suka-sama-suka; biarkan waktu yang menjawab, apakah rasa suka itu semakin membesar, atau sebaliknya, memudar. Tidak perlu dilanjutkan menjadi pacaran.
1 note
·
View note
Photo
Rinai hujan sore tadi, aku berteduh di bawah payung milik penjual ketoprak (belain hujan2an demi pengen makan ketoprak, hehe). Sembari menunggu si bapak penjual yg sedang shalat, nampak olehku gerobak sendal di seberang jalan yg jg sedang berteduh karena kehujanan. Pemilik sepeda dengan gerobak sendalnya itu tidaklah asing bagiku, seorang bapak paruh baya, yg setiap hari menjajakan dagangan sendalnya di sekitar kampus UMS, bahkan di lain waktu aku pernah menjumpainya di sekitar Manahan. Ada sedikit cerita yg pengen aku bagi. Aku sudah lupa kapan terakhir beli sendal ke bapak itu, yg aku ingat adalah sudah 3x aku beli sendal ke bapaknya. Entah kenapa, beli sendal di sini jauh lebih berkesan bagiku dari pada beli di toko apalagi di mal. Berkesan karena harga sendal di toko maupun mal jarang ada diskonan. Hahaha.. Di waktu yg sama, masih kuingat dulu, seorang ibu ditemani suaminya turun dari mobil, tanya harga, kemudian menawar sampe hampir setengahnya, yg menurutku di luar batas sewajarnya.. ujung2nya pun tidak jadi beli. Memang sih hak pembeli mau beli apa tidak, tapi ya mbok kasian dikitlah sama bapaknya, kalo memang tidak niat, tidak perlu nawar harga sampe segitunya dan berharap --aji mumpung-- si bapak pasrah melepas dengan harga yg murah. Padahal bicara harga, sandal yg dijual oleh bapak ini juga relatif lebih murah dibanding tempat lainnya. Itu yg membuatku segan untuk menawarnya. Bahkan saat beli sendal sengaja tidak aku tawar, eh, malah bapaknya sendiri yg menurunkan harga. Betapa senangnya aku saat itu, kukatakan: "Pak, sy nggak menawar lo ya, bapak sendiri yg menurunkan harga." Si bapak dengan ikhlas tersenyum. Dari sini aku menarik kesimpulan, oh, ternyata dalam berdagang, bapak ini mengambil keuntungan sewajarnya. Beliau sengaja menaikkan harga di awal mungkin sebagai kompensasi dari kebiasaan pembeli yg menawar secara tidak wajar. Demikian sedikit cerita.. semoga kita bisa memetik hikmah dalam hal bermuamalah. 25012017
0 notes
Photo
Budaya “makan minumnya teh” di Pulau Jawa
Jawa, pulau dengan penduduk terpadat di dunia. Konon kehidupan di sini sudah ada sebelum zaman Sulaiman AS. Kalau menakar sesuai kaidah antropologi, peradabannya dimulai sejak 10.000 tahun SM (Sebelum Masehi). Usia kronologis yang tentulah sudah sangat tua. Bangsa-bangsa Eropa boleh saja berbangga dengan kemajuan teknologi dan informasinya, tapi secara kronologis maupun biologis peradabannya masihlah terbilang belia apabila disandingkan dengan peradaban Bangsa Asia, yakni Indonesia, walbi khusus Pulau Jawa.
Sekira 7 tahun tinggal di pulau ini, terutama Jogja dan Solo untuk waktu yang paling lama, cukuplah buat saya untuk memahami sebagian besar kebiasaan penduduknya, tanpa terkecuali yang bukan orang jawa. Dan di antara keunikan yang tidak saya temukan di tempat lain kecuali di Pulau Jawa (dari Jawa Timur sampai Jawa Barat), adalah budaya minumnya. Beda tempat beda juga budaya makan dan minumnya. Khusus minum, hanya di Pulau Jawa kita dapatkan pertanyaan: “Minumnya apa?” dan lazimnya kalau tidak es jeruk ya es teh, atau dengan pertanyaan yang lebih spesifik, “Teh anget nopo es (Teh hangat apa es teh), Mas?” yang membuat kita seperti disisakan oleh hanya dua pilihan saja. Ini juga berlaku di Jawa Barat, bedanya, kalau di Jawa Tengah dan Timur tehnya pakai gula sementara di sana tehnya teh tawar. Ini saya amati ketika beberapa tahun lalu jalan-jalan ke Bandung dan Karawang. Sehingga untuk memesan teh versi penyediaan orang jawa, kau harus pesan khusus sedari awal ke penjualnya: “Mang, tehnya pakai gula ya…”, sementara kalau di Jawa Timur dan Jawa Tengah atau Jogja sebaliknya, “Teh tawar, Mas.” Sama-sama teh, hanya beda di manis atau tidaknya. :)
Bisa anda bayangkan, kebiasaan minum di sini sudah diarahkan sejak kita pertama kali masuk rumah makan atau ketika nongkrong di angkringan, bahkan saat bertamu di rumah orang. Adapun di Sulawesi dan beberapa tempat di luar Jawa lainnya yang pernah saya kunjungi, tidak pernah saya dapatkan pertanyaan seperti itu. Apalagi Sulawesi yang merupakan kampung halaman penulis, umumnya tidak menanyakan mau minum apa karena air minum di ceret serta gelasnya sudah berjejer rapi di atas meja, sedang yang di kota besar disediakan air kemasan mineral di mejanya. Karena sesuai kebiasaan orang sana: yang namanya minum ya air minum (putih/bening), tinggal mau yang dingin apa yang tidak dingin. Kecuali anda memesan khusus agar dibuatkan minuman jenis ini atau itu. tapi tidak akan ditawari pertanyaan: “Mau minum apa, Daeng?” atau “Minum teh hangat apa es jeruk, Pace’?”. Tidak, tidak ada pertanyaan yang seperti itu.
Maka tidak heran, beberapa waktu lalu sahabat saya yang orang jawa jalan-jalan untuk pertama kali ke Tanah Toraja bercerita, saat makan kok tidak disuguhi minum bahkan ditawari mau minum apa –pun tidak, setelah cukup lama canggung akhirnya dialah yang meminta sendiri kepada pemilik warung agar minumnya dibuatkan teh hangat. Dari cerita teman saya ini, pelayan rumah-makannya terlihat sedikit berkerut aneh mendengar permintaan itu, mungkin ini pelanggan yang pertama-tama yang minta, walau akhirnya dibuatkan juga teh hangatnya. Teman saya ini baru sadar kalau air mineral yang disediakan di atas meja itulah sebenarnya air minumnya.
Justru ini terbalik kondisinya saat saya minta minumnya air putih biasa atau banyu petak kalau kata orang jawa. Cobalah perhatikan pemilik warung (mungkin tidak semua, tapi beberapa kali sering saya alami); ketika saya makan dan ditawari “mau minum apa, Mas?” lantas saya jawab “petak” kok ada ekspresi yang sedikit berbeda dari pemilik warungnya, tidak se-semangat kalau saya pesan es teh, es jeruk atau setegah berteriak: jus melon. Saya hanya bisa tertawa dalam hati, tenang Wan, ini hanya masalah bisnis jual-beli makanan. Dua tahun yang lalu bahkan saya pernah mendapat ucapan seperti ini dari penjual angkringan yang pernah saya singgahi: “Oalah, Mas, wis 2015 kok ngombene jik banyu putih (walah, Mas, sudah tahun 2015 kok minumnya air putih.” Kali ini justru saya yang tidak tahan untuk tidak mengerutkan dahi. Kejadian ini juga yang membuat saya selanjutnya menjadi sungkan kalau pesan makan dan minumnya ‘hanya’ air putih. Hehehe..
***
Waktu begitu cepat berlalu sehingga banyak hal yang mulai berubah dalam kehidupan saya. Dulu, sebelum menginjakkan kaki untuk pertamakali di Pulau Jawa, makan nasi minumnya teh adalah suatu hal yang tidak lazim saya temukan di kampung halaman. Setelah sekian lama beradaptasi kondisinya kini terbalik, saat pulang ke kampung halaman ada yang kurang jika es teh dihilangkan atau makan minumnya hanya dengan petak doang.
Dari sini juga saya belajar banyak hikmah, terkait transformasi budaya dan interaksi sosial, bahwa kultur dan kebiasaan kita itu dibentuk oleh tempat di mana kita tinggal. Awalnya kita mencoba beradaptasi seperti kata peribahasa, “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”, tapi kemudian kita akan menjadi bagian dari apa yang sering dipaparkan. Kita merasa kehilangan jika kebiasaan-kebiasaan yang sudah terlanjur melekat itu dicoba kembali untuk dihilangkan.
Sekiranya demikian. Dan ini berlaku dalam segala hal dan bidang. “Makan minumnya teh” ini hanya contoh kecil yang luput dari perhatian orang.
*Iwan Mariono
**Sukoharjo, 06 Oktober 2017
1 note
·
View note
Photo
2 notes
·
View notes
Photo
4 notes
·
View notes
Photo
[Nemu ini kok jadi pengen buat caption yg baperan dikit, jangan ditertawain] :) "Nak bapak sudah belikan kamu sendal baru yg lucu dan imut bahkan jauh sebelum bapak ketemu sama ibumu." ^^
0 notes
Photo
1 note
·
View note
Photo
Sebagai pengingat diri...
Hmm, idealnya aku posting screen shoot gini setelah nikah ya, biar lebih afdol.. *haha, tapi biarlah, ini sebagai pengingat diri. Apalagi memang, akupun sebenarnya tidak pandai-pandai amat meng-gombal, hanya pandai mem-bujuk dan merayu. *Ckckck.. *podo wae.. ^^
1 note
·
View note
Text
Demokrasi
Tuan-tuan pun tak usah berkecil hati, dengan tanggungannya demokrasi itu negara-negara yang terpisah dari agama di dalam undang-undang dasarnya tidak menutup pintu kepada badan perwakilan buat mengambil wet-wet (undang-undang) yang setuju dengan syariat Islam, asal ada demokrasi itu. Tuan misalnya ingin wet yang melarang orang memelihara babi? Atau wet melarang peminuman alkohol? Ah, apa sukarnya mengadakan wet yang demikian itu, asal sebagian terbesar dari wakil-wakil rakyat di dalam badan-perwakilan itu antibabi dan dan antialkohol!
Kalau jumlah utusan-utusan yang antibabi dan antialkohol masih kurang? Itu suatu tanda bahwa Tuan punya rakyat belum “rakyat Islam”! Gerakkanlah Tuan punya propaganda di kalangan rakyat Tuan itu dengan cara yang sehebat-hebatnya, supaya rakyat Tuan itu mengirimkan sebanyak mungkin wakil-wakil Islam ke dalam badan-perwakilan itu. Gerakkanlah semangat Islam di kalangan rakyat Tuan, sehingga tiap-tiap hidung menjadi hidung Islam, tiap-tiap otak menjadi otak Islam, dari si Abdul yang menyapu sampai seorang kaya yang putar kota di dalam mobilnya –dan badan-perwakilan itu akan dibanjiri dengan utusan-utusan yang politiknya Islam, hatinya Islam, darahnya Islam, segala bulu-bulunya Islam! Maka dengan banjir itu semua kehendak syariat Islam akan menjelmalah dengan sendirinya di dalam segala putusan-putusan badan-perwakilan itu, segala kehendak Tuan akan terlaksanalah di dalam badan perwakilan itu. Maka Negara itu dengan sendirinya menjadilah bersifat negara Islam, zonder (tanpa) harus dikatakan bahwa ia adalah negara agama.
Maka nyatalah pula bahwa rakyat yang demikian itu betul-betul rakyat yang berjiwa Islam, dan bukan suatu rakyat yang nama saja negaranya Islam , tetapi batinnya adalah batin yang adem (dingin) terhadap kepada Islam, atau ingkar kepada Islam.
Islam tidak minta satu formele verklaring (pernytaan resmi) bahwa negaranya adalah negara Islam, ia adalah minta satu negara betul-betul menyala satu api ke-Islam-an di dalam dadanya umat. Ini api Islam yang menyala betul-betul di seluruh tubuhnya umat, inilah yang menjadikan negara menjadi negara Islam, dan bukan satu keterangan bahwa di atas secarik kertas bahwa “negara adalah berpedoman kepada Agama”.
Buat apa kita takut akan satu constitutionele wijsheid (kebijaksanaan hukum negara) bahwa “negara dipisah dari agama”? Negara yang “dipisah dari agama, asal ada demokrasi”, dengan sepenuh-penuhnya bisa menjadi negara Islam yang sejati! Buat apa takut akan constitutionele wijsheid itu? Tidakkah lebih laki-laki kalau kita terima dan pakai constitutionele wijsheid itu secara ujian, secara tantangan dari modern demokrasi kepada ia punya ke-Islam-an sendiri? Tidakkah lebih baik, tidakkah lebih laki-laki, kalau kita berkata: “Baik kita terima negara dipisah dari agama, tetapi kita akan kobarkan seluruh rakyat dengan apinya Islam sehingga semua utusan di dalam badan-perwakilan itu adalah utusan Islam, dan semua putusan-putusan badan-perwakilan itu bersemangat dan berjiwa Islam.”
[Sukarno, dalam “Panji Islam”, 1940 | Tulisan di atas adalah beberapa (tidak semua) paragraf yang saya ketik kembali dari buku “Dibawah Bendera Revolusi”, jilid I, edisi 2015, lebih lengkapnya bisa dibaca sendiri di bab “Saya Kurang Dinamis” h. 499-508 | Ini adalah satu pelajaran berharga kenapa generasi pemuda Islam harus melek politik | Seruan ini, seperti halnya seruan Hasan Al-Banna di dalam “Risalah Pergerakan”-nya.]
��
1 note
·
View note
Photo
Seminggu lalu menjelang lebaran, sempat diminta tolong oleh bapak yang pernah jadi tetangga kontrakan waktu masih tinggal di Solo untuk mengisi jadwal kultum shubuh beliau, si bapak kebetulan sedang di rumah sakit menemani anaknya.
Tidak banyak persiapan, bermodal satu ayat yang pernah coba saya tadaburi, saya berkesimpulan bahwa taqwa itu seperti halnya ikhlas atau sabar, ia butuh perjuangan. Belum tentu kita menjadi bertaqwa hanya karena sudah menjalankan segala kewajiban. Begitu juga puasa dan hubungannya agar kita menjadi bertaqwa, parameter yang bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan puasa kita justru setelah kita meninggalkan bulan ramadhan.
Selepas ramadhan, kita yang biasa membaca Qur’an apakah tetap istiqomah membacanya selepas ramadhan. Apakah bapak-bapak sekalian tetap shalat berjamaah di masjid, seperti shaf yang penuh sebagaimana saat ini. Dan apakah pola hidup kita benar-benar berubah selepas ramdahan, baik pola kesehatan jasmani maupun kontrol emosi dan kepekaan rasa yang berhubungan dengan kehidupan sosial.
Ibarat pesantren, maka bulan ramadhan itu bagaikan sebuah pesantren kilat dimana kita semua adalah santrinya. Dan keberhasilan seorang santri tidaklah dilihat ketika ia masih menjalani masa penggemblengan sebagai santri, tapi setelah meninggalkan pesantren dan kembali ke kehidupan masyarakatnya. Demikian jugalah puasa, satu bulan ini kita digembleng dan ditempa, sampai akhirnya berpisah menunggu lagi setahun lamanya. Maka tidak heran jika kita melihat ada orang yang begitu sedih ketika harus berpisah dengan bulan ramadhan.
Saya mengajak hadirin sekalian, terutama pada diri saya pribadi sebagaimana saya katakan saat itu, mari kita evaluasi diri kita masing-masing. Seberapa jauh puasa menjadikan kita hamba yang bertaqwa.
Orang lain hanya melihat kulit luarnya, kitalah yang bisa mengukur diri kita sendiri dan tentunya Allah yang Maha Tahu segalanya.
25062017
2 notes
·
View notes