Text
"kak, ibuk koma"
langsung beli tiket ya, ada uang ngga? nnti mba kirimi.
dering telpon malam itu, bukan dering telpon biasa. Hari ini masih saja ada geteran dan sedikit trauma kalau ada telpon dari orang rumah, masih selalu waswas, ada apa ya.
Dek, besok pulang langsung beli tiket, nnti mba kirimi""
dikamar aku sendiri, aku merasa ditipu, tidak ada yang memberitahui ku sama sekali. setelah mendengar itu aku langsung solat isya dan baca yasin. "Ga mungkin kan Ya Allah? ibu pasti ada kan? ibu kan hanya sakit aja kan? pasti masih ada. tidak ada yang memberitahuku. sampaiku buka status teman-dan group rumah. Ada apa ini? kok aku dibohongi? rasanya seluruh hidupya runtuh, badanku seprti diangkat lemas sulit mencerna, masih bertanya dan menangis
0 notes
Text
limit
Di hamparan rumput depan balairung, aku duduk merenung. *Tumben, biasanya jarang berpikir sedalam ini, hehe.
Tadi aku baru saja menyaksikan teman-temanku mengucap sumpah sebagai dokter. Ada perasaan bangga sekaligus kagum melihat mereka. Bagaimana bisa ada orang yang begitu gigih, begitu ambisius, hingga mampu menembus batas yang mungkin orang lain anggap tidak terjangkau? Mereka punya keyakinan kuat dan berjalan mantap menuju tujuan yang telah mereka impikan sejak lama. Mereka benar-benar bisa menjadi apa yang mereka mau.
Aku dulu pernah bermimpi jadi dokter. Tapi waktu itu, mimpiku terasa samar. Rasanya aku hanya sekadar ingin tanpa ada keyakinan yang kuat. Ragu-ragu, tak pernah sungguh-sungguh. "Pengen jadi dokter," begitu saja. Sesederhana itu, seolah-olah berharap suatu hari Avatar datang membantuku mengendalikan semua elemen atau mungkin Doraemon muncul dengan mesin waktu dan taraa! aku sudah menjadi dokter. Haha, khayalan kanak-kanak.
Namun, kenyataannya berbeda. Aku merasa tak mampu melewati batas kemampuanku sendiri. Ilmu pengetahuan alam, angka-angka, dan segala hitungan di dalamnya membuatku pusing, bahkan mual. Aku menyerah sebelum benar-benar berusaha. Otakku lemah, pikirku. Aku tak punya tekad sebesar mereka yang kini berseragam putih, bersumpah atas profesi mulia itu.
Di tengah kegundahan itu, seorang teman menghampiriku. "Kenapa kamu pengen jadi dokter?" tanyanya, dengan nada ingin tahu.
"Ya, karena tadi habis lihat sumpah dokter," jawabku sederhana.
Dia tersenyum kecil, lalu berkata, "Kamu juga bisa. Mungkin sekarang kamu belum menemukan jalannya saja."
Kata-katanya terus terngiang di kepalaku. Kalimat itu membuatku merenung lebih dalam. Apakah aku kurang bekerja keras selama ini? Kurang berusaha? Atau mungkin, aku belum cukup mendekatkan diri kepada Tuhan? Mungkin juga ada benarnya bahwa setiap manusia memang diciptakan dengan takdir dan porsi yang berbeda. Setiap orang punya jalannya masing-masing, kan?
Namun, satu hal yang aku pelajari dari perenungan ini adalah bahwa apa pun profesi atau tujuan kita, penting untuk punya clarity to vision—kejelasan dalam melihat impian kita. Cari tahu apa yang sebenarnya kita inginkan dalam hidup ini, dan percaya bahwa kita mampu mencapainya dengan cara kita sendiri. Mungkin bukan jalan yang diambil orang lain, tapi jalan yang memang untuk kita. Dan mungkin, apa yang kita anggap sebagai "limit" sebenarnya adalah awal dari peluang untuk melihat dunia dari sudut pandang yang lebih luas. Tidak ada yang salah dengan memiliki mimpi besar, tapi jangan lupa bahwa perjalanan untuk meraihnya membutuhkan ketekunan, kerja keras, dan yang terpenting, keyakinan pada diri sendiri.
Dan untuk saat ini, itulah yang harus pegang teguh.
Sampai jumpa lagi di perenungan berikutnya.
Sampai jumpa lagi, teman.
0 notes
Text
Pulang kemana?
Aku gundah... Aku ingin pulang.
Tapi, pulang ke mana?
Aku ingin pulang... Pulang ke rumah yang ada ibu, tempat di mana hangatnya selalu ada, di mana segala resahku luruh dalam pelukan ibu.
Ibu, aku rindu...
Aku rindu setiap detik bersamamu— Masih ingin lebih lama menikmati masakan ibu, Merasakan hangatnya pelukan ibu, Pelukan yang seakan bisa menyembuhkan segala luka, bahkan omelan kecil yang dulu sering kuabaikan, sekarang terasa seperti melodi yang kurindukan.
Bu, di sini, di perantauan, semuanya terasa asing. Rumah tak lagi terasa seperti rumah. Baik di rantau maupun halaman tempatku tumbuh, semua tak lagi sama tanpa kehadiranmu. Tak ada tempat yang benar-benar bisa kupanggil "pulang" selain di sampingmu, bu...
Ibu, bolehkah aku ikut pulang bersamamu? Ke tempat di mana aku selalu merasa utuh, tempat di mana rinduku tak lagi berujung.
1 note
·
View note
Text
Karena beberapa orang tidak ditakdirkan untuk tinggal selamanya. Beberapa orang datang ke dalam hidup kita untuk suatu musim, karena suatu alasan, dengan tujuan sederhana yaitu menunjukkan dunia kepada kita dengan cara yang belum pernah kita lihat sebelumnya.
— Heidi Priebe
209 notes
·
View notes
Text
Hanya karena tidak upload foto pekerjaan bukan berarti tidak sibuk
Hanya karena tidak membuat status mengeluh, bukan berarti tidak punya masalah
Hanya karena tidak update status galau, bukan berarti tidak pernah sedih
Hanya karena tidak pernah share foto jalan-jalan, bukan berarti tidak pernah bersenang-senang
Hanya karena tidak update status bahagia, bukan berarti tidak bahagia.
Dunia tidak sesempit dan sesingkat postingan media sosial.
Orang lain punya masalah masing-masing pun punya nikmatnya masing-masing, punya sedih dan bahagianya masing-masing.
:)
405 notes
·
View notes
Text
Ya Allah Aku Ingin Bekerja
Ya Allah, aku ingin bekerja... Dengan segala kerendahan hati, aku memohon kepada-Mu, ya Rabb, agar Engkau luruskan niatku dalam mencari nafkah. Bukan semata-mata untuk kepentingan duniawi, bukan pula untuk memperkaya diri atau mengangkat derajat di hadapan manusia. Tapi agar pekerjaanku kelak menjadi jalan menuju ridho-Mu, sebagai wujud pengabdian dalam ibadah yang terus-menerus.
Ya Allah, aku ingin bekerja... Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan materi, tapi juga sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat kesehatan, kesempatan, dan kemampuan yang Engkau berikan. Sehat fisik, sehat jiwa, serta sehat iman yang Engkau titipkan padaku, ingin kugunakan untuk berbuat kebaikan dan berkontribusi bagi sesama.
Ya Allah, aku ingin bekerja... Yang pekerjaan itu membawa kebaikan bagi agamaku, duniaku, dan akhiratku. Aku memohon kepada-Mu, takdirkanlah bagiku pekerjaan yang mendekatkanku kepada-Mu, yang membuat hatiku tenteram, jiwaku tenang, dan memampukan aku untuk beribadah dengan lebih baik lagi. Mudahkanlah jalanku menuju pekerjaan itu, dan berkahilah setiap langkah yang kuambil di jalan menuju rezeki yang halal dan penuh berkah.
Ya Allah, aku ingin bekerja... Bukan sekadar asal bekerja, bukan sekadar mencari penghasilan. Aku ingin pekerjaan yang bermanfaat, yang memberi keberkahan bagi diriku, keluargaku, dan orang-orang di sekitarku. Sebuah pekerjaan yang memungkinkan aku berkontribusi lebih, yang memberi ruang bagiku untuk membantu sesama, melayani dengan ikhlas, dan membawa manfaat yang lebih luas.
Ya Allah, aku ingin bekerja... Niatku bukanlah untuk menumpuk harta atau mengejar jabatan semata. Aku tidak mencari pengakuan dunia, melainkan mencari rahmat dan ridho-Mu. Aku tidak ingin terjebak dalam ambisi duniawi yang melalaikan, tapi justru ingin tetap teguh di jalan-Mu, di jalan yang Kau ridhoi, hingga setiap detik dalam pekerjaan itu menjadi ibadah yang Engkau terima.
Ya Allah, bantulah aku... Sebagai hamba-Mu yang lemah, aku menyadari bahwa tanpa pertolongan-Mu, aku tidak bisa apa-apa. Hanya kepada Engkaulah aku menyembah, dan hanya kepada Engkaulah aku memohon pertolongan. Engkau Maha Mengetahui apa yang terbaik untukku, maka bimbinglah aku, tuntunlah aku menuju kebaikan, dan berilah aku kekuatan untuk menjalani setiap ujian dan tantangan yang Kau tetapkan.
Ya Allah, jika pekerjaan yang aku inginkan ini baik untukku... Baik untuk agamaku, baik untuk kehidupanku di dunia, dan baik untuk masa depanku di akhirat, maka mudahkanlah jalannya bagiku. Jadikanlah pekerjaan itu sebagai ladang pahala, sumber ketenangan jiwa, dan jalan untuk meraih surga-Mu. Namun jika pekerjaan itu tidak baik untukku, maka jauhkanlah ia dariku dan gantikanlah dengan sesuatu yang lebih baik di sisi-Mu.
Aku percaya, ya Allah, bahwa setiap takdir-Mu adalah yang terbaik. Maka aku berserah diri sepenuhnya kepada-Mu, sambil terus berusaha dan berdoa, dengan harapan Engkau akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Mu yang lemah ini.
Semoga tulisan ini bisa menjadi penguat semangatmu, Eti. Tetaplah berdoa, berusaha, dan percayalah bahwa apa yang telah Allah rencanakan untukmu selalu yang terbaik, meski jalannya mungkin terasa panjang dan penuh tantangan.
*tulisanyangditulissetelahwisuda.
0 notes
Text
Nasihat diri sendiri
Halo Eti,
Saat ini baru menyadari bahwa setiap orang memiliki masanya masing-masing, dan setiap masa pasti ada orangnya. Jangan terlalu fokus pada kesuksesan orang lain atau merasa gagal. Ini masih bagian dari proses, bukan akhir dari segalanya, jadi jangan khawatir.
Jangan biarkan dirimu kehilangan kesabaran, tetapi sekarang adalah waktu yang tepat untuk lebih tekun dan giat dalam segala hal yang kamu kerjakan. Ingatlah untuk tidak menyerah, karena prosesmu hampir mencapai titik akhir.
Selalu bersyukur atas apa yang kamu miliki. Dengan bersyukur, Allah akan menambah nikmatmu, dan teruslah berprasangka baik terhadap-Nya. Kamu tentu ingin menjalani hidup dengan penuh ketenangan, bukan?
Gunakan masa lalu dan kesalahanmu sebagai pelajaran berharga untuk berubah menjadi lebih baik. Jangan berputus asa. Jangan hanya bersyukur karena membandingkan dirimu dengan orang lain yang mungkin berada di bawahmu. Mulailah dengan menyadari apa yang telah Allah berikan kepadamu dan syukuri nikmat tersebut dengan tulus.
Jadilah pribadi yang tenang dalam menghadapi segala hal. Kurangi sifat menggebu-gebu di awal atau meledak-ledak. Dengan sikap yang lebih tenang dan bijaksana, kamu akan menghadapi kehidupan dengan lebih baik.
#pesandaridirisendiri
#untukdirisendiri
#semangatuntukdirisendiri
#lebihsayangterhadapdirisendiri
0 notes
Text
Lelah sekali rasanya jika semua harus soal dunia, selalu perihal untung dan rugi.
Kemarin, ada hati yang sakit oleh keadaan dunianya, entah patah oleh rezeki yang tak kunjung membaik, atau sakit karena jodoh yang tidak tiba padahal usia sudah semakin bertambah.
Dan kini semua membaik, sebab menyerahkan semuanya pada pemilik waktu dan dunia. Hati dan harinya tenang, ia sekarang hanya bisa melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan.
"Perihal waktu dan masa depan, ia serahkan saja pada pembuat skenario terbaik. Allah."
Ternyata, setenang itu menyerahkan segalanya pada Allah, sebab ada bagian dan sisi kehidupan yang tidak bisa kita ikut campur, kita hanya bisa berprasangka baik dan melakukan yang terbaik dari amal-amal yang bisa kita pilih dan kerjakan.
Semoga, Ramadan ini menjadi obat, untuk setiap hati patah dan rapuh tersebab dunia dan keadaannya. Bukankah sebaik-baik obat adalah takdir yang diberikan dan disajikan oleh Allah? Ramadan dan obat terbaik.
@jndmmsyhd
566 notes
·
View notes
Text
bayangkan
bayangkan sebuah pernikahan
yang masing-masingnya tidak perlu khawatir yang lainnya tidak setia. karena kuat agamanya, kokoh komitmennya.
bayangkan sebuah pernikahan
yang jarak separuh bumi pun tidak akan membuat jauh apalagi terpisah. karena rindunya diwujudkan dalam bentuk menjaga. karena hatinya sudah selalu bisa ditata.
bayangkan sebuah pernikahan
yang keduanya tidak perlu khawatir akan hari yang belum datang. karena kesadaran bahwa semuanya adalah titipan. karena keyakinan bahwa rezeki selalu tepat takaran. karena keimanan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.
bayangkan sebuah pernikahan
yang pasangannya tidak perlu khawatir menjadi tua, diuji kesehatannya, menjadi lupa, atau tidak lagi elok rupa. karena cintanya jauh lebih dalam dari yang terlihat, jauh lebih besar dari yang memikat.
bayangkan sebuah pernikahan
yang orang-orangnya hanya khawatir akan perpisahan. khawatir bilamana kehidupan yang selanjutnya tidak mempertemukan mereka. khawatir bilamana bekal mereka belum cukup. sehingga mereka pun berupaya bersama, mencukupkan semua perbekalan.
pernikahan itu bisa saja adalah pernikahan kita.
1K notes
·
View notes
Text
Survive
Seperti halnya anak kecil yang kalo ditanya cita-citanya jadi apa, umumya akan menjawab kalo ngga jadi polisi ya jadi dokter. Dan aku salah satunya. Ingin jadi dokter hehehe.
Walaupun jadi dokter tidak kesampaian, citacita pengen ngerasain pegang stetoskop terus semakin besar. Sampai akhirnya gayungpun bersambut.
"TO HELP THE MOST VULNERABLE PEOPLE AND THE MOST NEGLECTED PEOPLE."
Terketuk, Kalimat yang membuat hati ini terketuk untuk daftar relawan mer-c. Membuka kesempatan bagi non medis untuk gabung.
Aku rasa aku ngga akan bertahan lama, tapi terharu juga bisa survive di organisasi sosial yang luar biasa bertolak belakang dengan backgroundku tanpa ada support teman lama disana
Terimakasih telah di berikan anugerah untuk bisa sedikit berkontribusi kepada banyak orang dengan sebutan "bu dok"
Sampai saat ini aku masih disini,
mungkin jadi relawan memang ga ada pensiunnya.
0 notes
Text
Ramadan #9
"Kesungguhanmu untuk mengejar apa yang sudah dijamin untukmu dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu adalah bukti dari rabunnya mata batinmu."
Al Hikam - Ibn Athaillah
Merenung. Lantas memikirkan, kenapa sesungguh-sungguh itu pada hal-hal yang jelas-jelas telah dijamin sama Allah. Bahkan, muncul kekhawatiran atas apa-apa yang telah jelas-jelas dijamin sama Allah. Muncul perasaan ragu dan tidak percaya, padahal itu sudah dijamin sama Allah.
193 notes
·
View notes
Text
jiwa jiwa yang patah
Sore itu, aku "dimarahi" oleh temanku.
"Relawan lagi?" tanyanya, dengan nada yang terdengar jengah. Sekilas memang cuma pertanyaan biasa, tapi kali ini terdengar seperti ada sedikit lelah dan sinis di dalamnya.
"Dapat apa sih? Kenapa selalu effort sekali?”
Nah, Pertanyaan kedua ini membuat langkahku sejenak terhenti. Sebelumnya aku bersemangat, sibuk beres-beres untuk segera pergi, tapi mendadak pikiranku dipenuhi dengan keraguan yang menari-nari.
Jujur saja, aku sedikit tidak suka. Mengapa harus dilarang-larang? Memangnya, apa salahnya kalau aku melakukan sesuatu yang kusenangi? Apakah alasan sederhana bahwa aku merasa senang melakukannya tak cukup jadi alasan?
Namun, saat itu adalah momen yang membuat aku menyadari dan meninjau ulang niatku. Teringat masa-masa awal ketika pertama kali bergabung, keinginan utamaku memang hanya sekadar menambah relasi dan mengisi hati yang sedang patah ditinggal teman pergi, eh malah menemukan makna pengabdian yang lebih dalam di sini.
Bukan berarti aku orang yang paling aktif di komunitas ini, namun di sinilah aku menemukan diriku berada di tengah-tengah jiwa-jiwa yang mungkin pernah terluka, yang mungkin juga patah, tapi masih bisa peduli dan berhati besar untuk membantu sesama. Ini lebih dari sekadar relasi baru; ini tentang menemukan makna dalam memberi.
0 notes
Text
For other people, they see me as a clown, but for you, i show you the human
0 notes
Text
Marah
Sesak di dada ini semakin menekan, merayap hingga terasa panas di punggung dan keras di tenggorokan. Kepala seakan ingin meledak, namun tertahan oleh gigitan yang begitu kuat—rahang rapat, tak memberi celah bagi amarah yang ingin keluar.
Di luar, aku diam. Semua tampak tenang, rapat terkendali. Tapi di dalam, tubuh ini bergejolak seperti badai, setiap serat terasa menggema dengan rasa yang tertahan. Aku diam, terperangkap tanpa penyelesaian.
Yang lebih menyesakkan adalah saat aku menahan diri, ketika hati ini seperti ingin memberontak. Menahan ini lebih sulit daripada mengungkapkannya—lebih berat daripada sekadar melampiaskan.
Tapi ada ketakutan, ketakutan bahwa saat amarah ini keluar, kata-kata yang tak pantas akan terucap, wajahku akan mengeras, dan seluruh tubuhku akan melawan, mengeluarkan emosi yang mungkin akan kusesali nantinya.
Sebenarnya, aku tahu memendam ini perlahan-lahan menyakitiku, membuat tubuh ini menjadi bom waktu, siap meledak tanpa aba-aba.
Jadi, aku harus bagaimana? Aku berdiri di antara dua pilihan: membiarkan ini meledak, atau terus menahannya dan merasakan luka yang makin dalam. Adakah cara yang lain—cara yang bisa membantuku meluapkan ini tanpa menyakiti orang lain, tanpa merusak diriku sendiri? Aku hanya ingin lega, ingin beban ini menghilang, tanpa ada penyesalan di belakang.
0 notes
Text
Merantau
Mengingat momen pertama kali merantau, saat itu aku baru saja lulus SMP, siap untuk melanjutkan pendidikan ke SMA. Aku memutuskan untuk melangkah lebih jauh dari yang pernah aku bayangkan, meninggalkan kenyamanan rumah, kehangatan keluarga, sahabat-sahabat sedari kecil, dan lingkungan yang terasa begitu aman. Perjalanan ini membawaku ke Jogja—kota pelajar yang kini, setelah bertahun-tahun, telah menjadi rumah keduaku, kota yang nyaman dengan keramahannya.
Ini bukan pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Jogja. Tahun 2014 adalah kunjungan keduaku ke kota ini, namun berbeda dengan sebelumnya. Di tahun 2009, waktu masih kelas 5 SD, aku pernah mengunjungi Jogja sekadar liburan. Namun kali ini, aku datang dengan niat untuk menetap dan menuntut ilmu.
Kala itu, umurku baru 15 tahun ketika aku memutuskan untuk merantau. Perjalananku bukanlah perjalanan yang sederhana; dari kampung halaman ke Jogja, Jaraknya jauh, bukan hanya ratusan kilometer, tapi juga melewati laut dan berbagai kota. Aku harus menempuh waktu 3 hari 2 malam dengan bus. Atau, jika lebih cepat, dengan pesawat yang juga masih butuh beberapa jam transit, perjalanan ini cukup jauh untuk anak seusiaku. Belum lagi jika harus membayangkan berjalan kaki, yang mungkin bisa sampai 13 hari! Hahaha, sepertinya aku langsung bisa tipes kalau mencoba itu.
Bukan perjalanan fisik yang membuat segalanya terasa berat, tetapi perjalanan emosional yang membuat langkah ini menjadi sungguh-sungguh bermakna. Tekadku sudah bulat dan hatiku penuh keyakinan. Aku tidak terlalu memikirkan apa yang akan terjadi nanti di Jogja. Apakah aku akan punya teman? Bagaimana aku akan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru? Yang penting bagiku saat itu hanya satu: bisa sekolah di Jogja.
Momen yang paling menyentuh hati adalah saat-saat perpisahan dengan ibuk. Belum pernah aku melihat ibuk begitu sedih. Wajahnya penuh kekhawatiran, dan matanya berkaca-kaca. Padahal aku anak yang keras kepala, sering bikin jengkel, dan malas beres-beres ini, tapi ibu pasti tau aku tidak bisa jauh darinya.
Saat mobil travel yang akan menjemputku datang, papa, kakak, dan adikku berseru memberitahuku. Mereka membantu mengemasi barang-barangku ke bagasi mobil, sementara aku bersiap di ruang depan. Ketika melewati kamar ibuk, aku melihat punggungnya yang bergetar dan suara isak tangisnya yang tertahan. Sungguh, aku ingin menenangkan ibuk, tapi kata-kata tak mampu keluar dari mulutku. Bahkan saat ibuk menyadari aku berada di belakangnya, aku hanya bisa berkata singkat, "Buk, mobilku sudah datang," sebelum akhirnya melangkah ke luar.
Langkahku terasa berat, tapi di dalam hati aku menyimpan doa dan harapan. Momen ini, momen di mana ibuk mengantarku dengan doa dan air mata, menjadi pengingat bagi perjalanan yang baru dimulai.
Aku menulis ini pada 11 November 2018, bukan sekadar sebagai kenangan, tapi sebagai pengingat. Pengingat bahwa perjuangan, cinta keluarga dan tekad yang kuat telah membawaku sejauh ini.
0 notes