Photo
Sejak tahun 2013, UNY menerapkan sistem UKT. Minim transparansi dan masih banyak yang terbebani sistem tersebut. Saatnya protes!
0 notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/b76bb4f73a4eeb84d95793df76137e89/tumblr_odrupjdODR1uvwepso1_540.jpg)
Aksi Aliansi Mahasiswa FIS UNY menanyakan transparansi anggaran terhadap dekanat terkait FIS sebagai tuan rumah Dies Natalis UNY ke-52. Birokrat pun bingung!!!
0 notes
Photo
Apa kabar mahasiswa kampus pergerakan? Inikah julukan yang pantas untuk FIS UNY?!! #MabaKecewa
0 notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/e7c59f9e5527a1868a459190d4197191/tumblr_o9wxa44l3Q1uvwepso1_540.jpg)
Perampasan tanah merajalela mengintai KAUM TANI. LAWANLAH!
0 notes
Text
Globalisasi : Ilusi Tatanan Sosial dan Kebudayaan Masyarakat (Bagian 1)
Novri Sihite Dunia berkembang secara dinamis, terus mengalami perubahan tanpa ada yang mampu mengontrol gerak lajunya. Perkembangan yang dimaksud kini memasuki era, dimana dunia terasa menjadi semakin kecil, dunia hari ini menjadi desa global, di mana segala bentuk informasi, modal dan kebudayaan bergerak begitu cepat, tanpa halangan batas-batas kedaulatan. Kemajuan inilah yang kita sebut globalisasi. Banyak manusia melihat secara optimis kapitalisme global yang bernaung di balik panji globalisme, menganggapnya sebagai sebuah tatanan yang mempersatukan segala masyarakat dalam berperang melawan kemiskinan dan kemelaratan. Optimisme yang tanpa dasar ini ternyata berbenturan dengan kenyataan dalam masyarakat hari ini, dimana jurang pemisah antara masyarakat kaya dan miskin semakin lebar. Kini dunia terbagi dalam kutub negara-negara kaya dan pemodal di sisi utara, dan kutub negara-negara miskin dan peminjam modal di sisi selatan. Pada dirinya sendiri, tatanan dunia penuh dengan ketimpangan karena kemajuan yang digembor-gemborkan ternyata tidak bisa dinikmati secara merata oleh semua orang. Selain itu, dengan dunia yang semakin disatukan oleh berbagai kemajuan teknologi dan pasar bebas, terdapat kecenderungan berkembangnya masyarakat konsumen, seperti yang dialami oleh beberapa negara berkembang hari ini, termasuk Indonesia. Saat ini, pasar membutuhkan dan menciptakan masyarakat sejalan dengan agenda kapitalisme global, seakan-akan kita dijadikan sebagai sapi perahannya, dan mereka yang menikmati hasilnya. Singkatnya, kini dunia menjadi semakin berada pada situasi yang beresiko. Berangkat dari kenyataan ini, berbagai pertanyaan kritis seputar kapitalisme global kini terus bermunculan. Misalnya, apa yang dimaksud dengan kapitalisme global? Bagaimanakah hubungan antara globalisasi dengan kapitalisme global? Sejauh mana kapitalisme global, dalam dirinya sendiri mempunyai mekanisme untuk menyatukan dan mensejahterakan masyarakat? Apa saja dampak-dampak dari kapitalisme global? Apa hubungan Kapitalisme global dengan masyarakat konsumen?. Globalisasi Globalisasi atau yang sering kita dengar Westernisasi merupakan suatu proses penting yang dengan sengaja dihembuskan oleh para pengampu kapitalisme global dengan tujuan utama yaitu untuk menimbulkan efek perubahan sosial yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang maupun satu negara saling dihubungkan dan saling membutuhkan. Kata globalisasi mempunyai hubungan yang erat dengan istilah kapitalisme global atau ekonomi pasar bebas, globalisasi kebudayaan, pasca-modernisme dan pasca-modernitas. Istilah-istilah ini mempunyai arti atau merepresentasikan realitas yang saling berkaitan. Namun, dalam bagian pertama ini penulis hanya akan menjelaskan secara lebih mendetail mengenai definisi dari globalisasi. Hal-hal lain yang berkaitan dengannya akan dibahas di bagian-bagian edisi selanjutnya. Mendefinisikan istilah ini secara mendasar bukan hal yang mudah. Hal itu terjadi karena banyaknya bidang kehidupan yang mengalami proses ini. Bidang-bidang itu antara lain, kebudayaan, ekonomi-kapitalisme global, politik, komunikasi multimedia, dan lain sebagainya. Definisi yang paling sederhana dan singkat mengenai globalisasi pernah dikemukakan oleh Etienne Perrot yang memahaminya sebagai hasil penggabungan atau akumulasi antara internasionalisasi dan homogenisasi (Perrot dalam Concilium 2001/5: 17). Definisi seperti ini sepertinya menjadi jalan keluar dari perdebatan seputar distingsi antara internasionalisasi, transnasionalisasi dan globalisasi. Kata internasionalisasi di sini kiranya dipahami sebagai proses penyebaran paham-paham global ke seluruh dunia. Kata ini juga dipahami sebagai masuknya dimensi global dalam setiap masalah. Artinya, sekarang, di era globalisasi, satu masalah atau tindakan individu mempengaruhi orang lain di mana saja. Dengan demikian, tindakan seorang ibu membeli sayur di sebuah pasar tradisional di Semarang mempengaruhi orang lain di mana saja. Hal ini mungkin agak membingungkan bagi orang awam. Akan tetapi jika kita cermati secara lebih teliti, nampaknya contoh tersebut mempunyai suatu kebenaran, terutama jika kita menganalisanya dari segi perputaran uang dalam era globalisasi. Sementara homogenisasi adalah proses penyamaan berbagai bagian kebudayaan di antara bangsa-bangsa. Globalisasi juga bisa dipahami dari konsep time-space distinction. Pemikiran Anthony Giddens kiranya berada dalam ranah ini. Kata globalisasi tidak hanya menyangkut masalah ekonomi tetapi juga menyangkut informasi dan transportasi (Wibowo dalam Giddens,1999: xv). Globalisasi adalah suatu kondisi di mana tak satupun informasi yang dapat ditutup-tutupi, semua transparan. Akibatnya, pola hubungan manusia menjadi semakin luas, bukan saja pribadi dengan pribadi, melainkan juga semakin terbukanya komunikasi yang simultan, mengglobal sehingga dunia menjadi—meminjam istilah Marshall McLuhan—‘desa besar’atau global village. Hampir semua hal di dunia ini mempunyai dua sisi yang selalu hadir bersama, yakni sisi negatif dan sisi positif. Demikian pula dengan globalisasi. Secara positif, globalisasi telah membantu manusia untuk dapat berkomunikasi secara lebih cepat dengan jangkauan yang luas. Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang canggih tidak bisa ada tanpa pengaruh globalisasi. Demikian pula terhadap perkembangan sains dan teknologi dewasa ini yang semakin mempermudah segala pekerjaan manusia (Sobrino & Wilfred dalam Concilium 2001/5: 11). Dalam era teknologi yang serba canggih ini, berbagai pekerjaan berat, berbahaya dan rumit yang seharusnya dikerjakan manusia bisa diwakilkan pada jasa baik mesin-mesin berteknologi tinggi. Kecurigaan terhadap Globalisasi Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh mesin-mesin berteknologi tinggi dan perangkat komunikasi dan informasi multimedia dalam era globalisasi ternyata tidak hanya dilihat dari sisi positif. Berbagai kecurigaan juga muncul beriringan dengan fakta-fakta di atas. Dengan kemajuan di bidang komunikasi yang kelihatannya bisa menghapus segala perbedaan dalam masyarakat dunia, ternyata globalisasi gagal membuat masyarakat bersatu dalam satu solidaritas yang lebih besar dari sebelumnya (Sobrino dan Wilfred dalam Concilium 2001/5: 11-12). Dalam perspektif ini homogenisasi globalisasi dilihat sebagai ilusi. Dunia yang disatukan adalah ilusi terbesar globalisasi, karena yang terjadi khususnya pada manusia adalah kebalikannya. Alih-alih menciptakan dunia yang satu, globalisasi malah menciptakan manusia-manusia yang terfragmentasi (Sobrino dan Wilfred dalam Concilium 2001/5: 12). Secara fisik, tampaknya dunia semakin bersatu, homogen dengan payung globalisasi. Akan tetapi dunia yang homogen itu tidak termasuk kemanusiaan. Dalam bidang ekonomi, kapitalisme global yang bernaung di bawah globalisasi telah memisahkan manusia dalam jurang perbedaan yang sangat signifikan, antara si miskin dan si kaya atau antara orang Utara/Barat sebagai pemodal yang kaya raya dengan orang Selatan/Timur sebagai para buruh kasar yang miskin. Globalisasi dan Pascamodernisme Pascamodernisme tumbuh subur dalam kerangka globalisasi. Pascamodernisme sendiri adalah suatu kecenderungan pemikiran yang menekankan lokalitas dan keragaman penafsiran dan dengan demikian menolak segala klaim universalitas pengetahuan dan kebenaran, menolak segala dogmatisme metode. Intinya pascamodernisme menolak baik dogmatisme religius abad pertengahan dan ‘narasi agung’ abad pencerahan yang berpuncak pada utopia positivisme logis. Pascamodernisme merupakan kritik akan pemikiran Pencerahan (Enlightenment) yang sangat menekankan adanya subyek yang sadar diri dan otonom. Seperti yang kita ketahui pemikiran Pencerahan sangat yakin bahwa ilmu pengetahuan dan otak manusia akan mampu menangkap realitas seperti apa adanya atau yang sebenarnya. Dengan kata lain meyakini bahwa ilmu pengetahuan akan bisa menjadi “cermin yang baik.” Pascamodernisme menolak semua utopia itu. Bagi kaum pascamodernis yang paling penting adalah penghormatan akan pluralitas pemikiran dan multikultural. Pluralitas pemikiran dan pluralitas kebudayaan ataupun lokalitas kebudayaan berhubungan dengan relativisme pemikiran dan relativisme budaya yang menolak klaim universalitas pengetahuan dan kebenaran. Relativisme, yang berakar pada tradisi kaum sofis zaman Yunani klasik, secara umum ingin menghargai keragaman budaya dan keragaman pemikiran. Relativisme bisa berupa relativisme subjektif yang menyatakan bahwa kebenaran bersifat relatif terhadap subyek yang bersangkutan, dan relativisme budaya yang menolak klaim kebenaran obyektif dan universalitas serta memberikan tempat seluas-luasnya bagi budaya-budaya lokal untuk menyatakan kebenaran versi mereka sendiri. Untuk yang terakhir ini kebenaran dicari dengan memperhatikan konteks sosio-budaya suatu wilayah. Selain dari sisi subyek dan budaya, relativisme juga menyangkut keragaman paradigma yang menjadi dasar dari proses mengetahui (Sudarminta, 2002: 55-56). Globalisasi Kebudayaan Globalisasi kebudayaan berkembang seiring dengan perkembangan kapitalisme global dan transparansi informasi. Sebagai proses homogenisasi dan internasionalisasi, globalisasi bisa dilihat secara negatif. Dalam bidang kebudayaan globalisasi dituduh gagal dalam menciptakan dan mempertahankan keanekaragaman budaya. Cita-citanya untuk menghargai perbedaan dan tercapainya keadilan bagi semua umat manusia ternyata tidak sesuai dengan realitas yang sedang terjadi, karena justru kecenderungan globalisasi adalah homogenisasi dan penyeragaman. Karena itu, keanekaragaman budaya dan masyarakat hanya tinggal konsep tanpa realitas (Sobrino dan Wilfred dalam Concilium 2001/5: 12). Globalisasi tidak hanya mempengaruhi sisi luar kebudayaan, yakni keanekaragaman budaya, akan tetapi juga menyangkut hakikatnya, yakni cara pandang kita tentang kenyataan dan kebenaran. Menurut J. Baudrillard, dalam globalisasi kebudayaan, kebenaran dan kenyataan menjadi tidak relevan dan bahkan lenyap. Contohnya bisa dilihat dalam dunia hiburan di mana kebudayaan direduksi/maknanya dipersempit menjadi sebatas iklan dan tontonan media massa. Bagi Giddens, globalisasi terjadi manakala berbagai tradisi keagamaan dan relasi kekeluargaan yang tradisional berubah mengikuti kecenderungan umum globalisasi, yakni bercampur-aduk dengan berbagai tradisi lain. (Giddens, 2000: 4). Proyek homogenisasi dalam globalisasi tidak bisa dibatasi pada keidentikkan dengan hegemoni budaya Barat terhadap budaya Timur. Logika globalisasi memungkinkan munculnya situasi chaos, over-laping, kesimpang-siuran mengenai asal budaya. Hak milik ataupun identitas kelompok bukanlah masalah yang krusial, karena yang diutamakan adalah bagaimana identitas itu diangkat menjadi identitas global, milik masyarakat global. Globalisasi juga bisa dilihat sebagai suatu tatanan sosial yang penuh dengan ilusi; menciptakan dunia di mana manusia senang untuk tinggal di dalamnya. Kapitalisme pun menjadi kapitalisme global yang mempengaruhi masyarakat dunia lewat berbagai strategi ekonomi. Bahkan hal yang sama bisa dimanfaatkan secara luar biasa untuk mengubah realitas secara radikal (Sobrino dan Wilfred dalam Concilium 2001/5: 11). Benjamin R. Barber menyebut globalisasi yang didukung oleh transparansi dan ekspansi informasi ini sebagai “satu tema dunia”, di mana negara diikat secara bersama dengan tali komunikasi, hiburan, dan yang paling berpengaruh yakni perdagangan, baik perdagangan barang dan jasa maupun perdagangan saham dan uang atau valuta (Barber, 1996: 4). Analisa lain menghubungkan globalisasi dengan istilah “Mc World”. Sebagaimana fenomena McDonald’s, maka sebagai McWorld, globalisasi identik dengan dunia yang “serba-fast” Ada yang namanya fast food atau McDonald itu sendiri, ada “fast-music” yang diwakilioleh MTV dan “fast-computer” seperti Macintosh, IBM, dan seterusnya. (Barber, 1996: 4). Dengan demikian globalisasi dapat didefinisikan dengan beragam cara tergantung pada bidang kehidupan tertentu seperti antara lain bidang kebudayaan, ekonomi–kapitalisme global, politik, komunikasi multimedia, dan lain sebagainya. Globalisasi dapat juga dilihat baik secara positif maupun negatif. Secara positif berdasarkan teknologi canggih ia menghasilkan komunikasi yang transparan dan luas jangkauannya. Namun dari sisi lain globalisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang negatif karena usahanya dalam upaya homogenisasi. Padahal di era pemikiran pascamodernisme yang sedang digandrungi oleh ‘kaum intelektualis muda’ saat ini justru menggarisbawahi atau yang artinya menekankan kepentingan mereka dalam mengangkat lokalitas kebudayaan, keragaman interpretasi, pluralitas pemikiran yang semuanya itu serba relatif. Kapitalisme Global Globalisasi, dalam taraf tertentu, selalu identik dengan globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi ini pada pada kenyataannya merupakan istilah lain dari ekonomi pasar bebas ataupun kapitalisme global. Kapitalisme global mulai berkembang pesat, segera setelah ‘Perang Dingin’ yang berakhir tahun 1980-an. Hal-hal tersebut merupakan pemicu utama berkembangnya kapitalisme global atau globalisasi ekonomi yang diawali dengan pertemuan General Agreement on Trade and Tarrif (GATT) di Maraquesh, Maroko, 1993. Robert Heilbroner dalam bukunya 21st Century Capitalisme (1993) menyatakan bahwa dalam diri kapitalisme itu sendiri ada daya gerak atau pembangkit yang selalu bekerja menghasilkan perubahan yang konstan dengan tujuan yang jelas (Heilbroner, 1993: 41). Kapitalisme global sebenarnya merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari kapitalisme klasik yang telah dikritik oleh Karl Marx. Kalau dalam kapitalisme klasik ruang lingkup atau jangkauan kekuasaannya hanya dalam satu negara, maka dalam kapitalisme global dunia seakan tidak mempunyai sekat-sekat kedaulatan lagi. Munculnya berbagai perusahaan multinasional merupakan bentuk nyata kehadiran kapitalisme global di dunia. Ekonomi tidak lagi menyangkut urusan dalam negeri, tetapi sudah berkembang menjadi ekonomi sejagad. Pasar berkembang menjadi pasar bebas yang tidak hanya memperdagangkan barang dan jasa, tetapi juga menyangkut pasar mata uang (valuta) dan pasar modal. Dengan berkembangnya paham-paham global dan semakin terintegrasinya warga dunia dalam satu desa-global, maka globalisasi ekonomi atau pasar bebas akan semakin dapat terwujud. Pasar bebas ini secara niscaya diyakini akan membuat kemakmuran semakin meningkat dan pada gilirannya akan bermuara pada terciptanya masyarakat liberal yang demokratis. Akan tetapi di sisi lain kita menyaksikan adanya ketimpangan antara negara maju dengan negara miskin. Harus diakui sistem kapitalisme global mutlak membutuhkan adanya negara-negara berkembang untuk dijadikan sapi perahan. Memang tidak dapat dielak, dalam ranah tetentu masalah seperti ini lebih cenderung bersifat subjektif, tergantung pada pengidentifikasian diri pengkritik terhadap kemajuan kapitalisme global. Sebagian pemikir, terutama Francis Fukuyama, melihat bahwa perkembangan dunia tidak dapat dielakkan akan mengarah pada terciptanya masyarakat sejahtera yang sempurna dengan sistem demokrasi liberal dan kapitalisme global sebagai payungnya (Wibowo dalam Wibowo & Herry-Priyono, 2006: 136). Dunia sedang berkembang secara deterministis menuju bentuk final yang ideal, yakni kapitalisme global dan demokrasi liberal. Kedua tatanan tersebut diyakini sebagai akhir dari pencarian manusia sepanjang sejarah untuk menemukan bentuk yang paling sempurna. Secara umum globalisasi ekonomi menyangkut lalu-lintas perdagangan barang dan jasa serta modal secara internasional. Dalam hal ini kapitalisme global identik dengan pasar bebas, di mana modal dari suatu negara atau dari suatu badan usaha bebas berpindah ke mana saja, ke tempat modal tersebut yang paling menguntungkan (Soros, 1998: 168). Lalu-lintas modal tersebut tidak berjalan sendirian, tetapi membawa serta pengaruh, kekuasaan yang bersifat hegemonis. Pasar bebas merupakan istilah yang bisa mewakili kapitalisme global. Dengan pasar bebas maka kekuasaan negara dalam bidang ekonomi semakin diperkecil, bahkan kalau bisa dihilangkan sama sekali. Pasar diyakini mempunyai mekanisme sendiri untuk mensejahterakan masyarakat, tanpa campurtangan negara. Pasar uang internasional mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menata perekonomian suatu negara (Soros, 1998: 167-168). Dalam hal ini kapitalisme global mirip dengan sebuah “kerajaan abstrak” atau imperium yang punya kecenderungan ekspansi kekuasaan, bukan hanya sebatas memperluas wilayah kekuasaan melewati batas-batas teritorial suatu negara, tapi juga menyangkut perluasan cakupan usaha dan pengaruh. Kapitalisme global dewasa ini tidak hanya terbatas pada perdagangan komoditi, tetapi lebih merupakan perdagangan jasa dan keuangan serta saham; yang pada hakikatnya merupakan entitas abstrak (Soros,1998: 171-172). Maka, globalisasi dapat diidentikkan dengan kapitalisme global yang menuntut perubahan konstan dan tujuan jelas. Dengan adanya kapitalisme global ini maka pasar berkembang menjadi pasar bebas yang tidak hanya menyangkut komoditas dan jasa tetapi juga pasar valuta dan pasar modal. Dalam situasi itu masyarakat terkondisi sebagai masyarakat yang liberal dan demokratis karena kapitalisme global hanya dapat berkembang dalam ranah seperti itu. Bersambung… Sumber Acuan : Barber, Benjamin R. 1996. Jihad vs. McWorld: How Globalism and Tribalisme are Rheshaping the World. New York: Ballantine Books. Baudrillard, Jean. 1997. System of Objects (trans. James Benedict). London: Verso. ----------------------1998. The Consumer Society; Myths and Structures. London: Sage Publications. du Gay, Paul, et. al. 1997. Doing Cultural Studies; The Story of the Sony Walkman. London: Sage Publications. Giddens, Anthony. 1999. Jalan Ketiga: Pembaharuan Demokrasi Sosial (terj. Ketut Arya Mahardika). Jakarta: Gramedia. ----------------------- 2000. Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives. London: Profile Books. Heilbroner, Robert. 1993. 21st Century Capitalisme. New York: W. W. Norton Company Inc. Perrot, Etienne. 2001. “The General Dimension of Globalization and Its Critics: The Ambiguitas of Globalization” dalam Concilium 2001/5. London: SCM Press. Sobrino, John & Felix Wilfred (2001), “Introduction: The Reason for Returning to This Theme” dalam Concilium 2001/5. London: SCM Press. Soros, George. 1998. Open Society: Reforming Global Capitalism, New York: Public Affairs™. Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius. Wibowo, I. dan B. Herry-Priyono (ed.). 2006. Sesudah Filsafat; Esei-esei untuk Franz Magnis-Suseno, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
0 notes
Text
PETISI MASYARAKAT SADAR SEJARAH Peristiwa 1998 merupakan titik kulminasi (puncak tertinggi) kekecewaan rakyat dan mahasiswa terhadap Presiden Soeharto dan sistem politik ORBA. Sejumlah tuntutan pun menggema ke permukaan seperti yang terjadi di berbagai daerah, hal ini memaksa Soeharto untuk menyatakan berhenti dari jabatan Presiden Indonesia, yakni 21 Mei 1998. Sekalipun Soeharto telah berhenti dari kursi kekuasaan, bukan berarti persoalan-persoalan kejahatan atau pelanggaran yang pernah dilakukannya harus berhenti. Amanat Reformasi salah satunya adalah untuk mengadili kejahatan Soeharto dan Kroni-kroninya. Sejak Reformasi bergulir, terdapat sejumlah usaha atau tuntutan hukum yang dilakukan oleh negara, kelompok masyarakat atau LSM, untuk mengadili Soeharto. Proses peradilan (hukum) atas sejumlah kejahatan atau pelanggaran Soeharto tidak berjalan sebagaimana mestinya, bahkan seperti hilang ditelan bumi. Hal ini terlihat dari belum adanya wujud nyata ketegasan negara (lembaga pengadilan) untuk mengadili Soeharto, sehingga bertolak belakang dengan Amanat Reformasi itu sendiri (mengadili Soeharto). Ironisnya, ketika proses peradilan tersebut belum juga diwujudkan, sekarang malah muncul wacana untuk mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Rencana pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional hendaknya perlu kita sikapi secara kritis dan tegas. Banyak pertanyaan dan polemik yang muncul, terutama dikalangan pemerhati sejarah, aktivis anti korupsi, HAM, dan aktivis pro demokrasi. Pertanyaan mendasarnya, Pantaskah Soeharto diangkat sebagai Pahlawan Nasional? Rezim ORBA yang berkuasa selama 32 tahun telah menimbulkan banyak kasus korupsi dan HAM, yang sampai saat ini belum terselesaikan diantaranya Kasus 1965, Tanjung Priok, Talangsari, Penghilangan aktivis, dan masih banyak lagi kasus HAM Berat lainnya. Tidak cukup sampai disitu, Rezim ORBA juga menjadi gerbang masuknya modal Asing dan perampasan SDA Indonesia oleh Asing yang sampai saat ini masih menindas rakyat. Pemerintahan yang KORUP dan Otoriter menunjukkan bahwa Rezim Soeharto sangat anti Demokrasi. Selain bertolak belakang dengan Amanat Reformasi, pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional juga tidak sesuai dengan visi-misi pemerintahan Jokowi Widodo, yakni menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Pasalnya, selama berkuasa di era ORBA, Soeharto telah banyak melakukan kejahatan atau pelanggaran HAM berat. Jika pemerintah Joko Widodo mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, itu merupakan wujud ketidakseriusan dan pengingkaran pemerintah atas janjinya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi. Maka dari itu atas nama Masyarakat Sadar Sejarah, kami menuntut kepada PEMERINTAH JOKO WIDODO UNTUK TIDAK MENGANGKAT MANTAN PRESIDEN SOEHARTO SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL. Yogyakarta: 7 Juni 2016
0 notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/3f0ad6e7779641aaa811895ec969ff39/tumblr_o2t2e4r2Fn1uvwepso1_540.jpg)
#TragediUNY #SalutGNP #AyoBeraksi #AparatBuas pada 30 Januari 2016 di Universitas Negeri Yogyakarta
0 notes
Text
Adilkah UKT?
Dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT), benarkah biaya pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) akan turun? Ditilik kembali sejarahnya, yaitu ketika status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berubah menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) pada 2000, biaya pendidikan di PTN meroket. PT BHMN diberi keleluasaan menarik dana dari masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sejak itu, muncul berbagai macam biaya seperti uang pangkal, SPMA, SPP, dan BOP. Lebih memprihatinkan, biaya pendidikan di PTN lain yang bukan PT BHMN juga ikut-ikutan naik. Celakanya, biaya pendidikan SD, SMP, dan SMA pun ikut naik. Sepertinya pemerintah tak berdaya mengendalikannya. Jadilah biaya pendidikan tidak terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya di PT.Dengan berubahnya PT menjadi PT BHMN, adanya upaya pengalihan beban finansial pemerintah dan menyerahkan sektor pendidikan dalam arena pasar. Pemerintah keberatan untuk mensubsidi terus-menerus PT dan memilih untuk ‘membebaskan’ PT dalam mengutip biaya. Ide ini bergulir searah dengan otonomi PT untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang saat itu adalah Muhammad Nuh sadar ternyata banyak dana yang dikutip oleh PT. Maka, untuk mengurangi banyaknya biaya yang tak jelas yang dikeluarkan oleh mahasiswa dan agar hanya satu pintu aliran dananya, diberlakukanlah Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT adalah sebuah sistem pembayaran dimana biaya kuliah mahasiswa selama satu masa studi di bagi rata per semester (jadi tidak ada lagi uang pangkal). UKT ini diibaratkan kita beli motor pake cara kredit, tapi tidak ada uang DP awal. Bayarnya rata per semester. Khas dari UKT, ada mekanisme pengelompokan pembayaran. UKT telah dibuat dalam permendikbud no 55 tahun 2013, ada beberapa daftar Universitas dengan rincian biayanya.
Dimulai dari tahun 2013, tiap awal tahun ajaran baru, semua PTN menghitung besaran UKT yang kemudian hasilnya diserahkan ke Ditjen Dikti untuk mendapat persetujuan dan ditentukan besaran Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang akan diberikan kepada masing-masing PTN. Besar kemungkinan UKT yang dihitung PTN tak banyak berbeda dengan biaya yang sudah berjalan sebelum adanya UKT. Kemungkinan PTN akan menghitungnya berdasarkan pembiayaan pendidikan tahun sebelumnya yang sudah telanjur mahal. Uang pangkal yang nilainya besar bisa saja diratakan untuk delapan semester sehingga kelihatan kecil. Jadi apa bedanya dengan sistem pembayaran sebelum UKT? yang jelas sama-sama masih terasa mahal.
Kuliah dengan sistem kredit tak sesuai dengan biaya pendidikan yang tetap sepanjang masa studi. Misalnya, uang kuliah Rp 3 juta per semester. Seorang mahasiswa di semester akhir yang tinggal mengerjakan tugas akhir dengan bobot 4 SKS akan keberatan jika harus membayar Rp 3 juta. Sebab itulah yang membuat banyak mahasiswa yang enggan masuk organisasi, biar lulus tepat waktu, lalu jadi pengangguran baru. eh, emang yang ikut organisasi terjamin gak ngganggur nantinya? *** Data BPS tahun 2015 menunjukkan, jumlah penduduk miskin—seseorang yang pengeluarannya kurang dari Rp248.707 per bulan— 28,59 juta orang (11,22 persen), bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 yang sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen). Pengeluaran (yang hanya) sebesar itu adalah untuk biaya makan, perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Apabila ditambah dengan orang hampir miskin yang pengeluarannya kurang dari Rp1.2 juta, jumlahnya lebih dari 55 juta jiwa. Biaya pendidikan yang mahal sih tak masalah bagi golongan kaya dan raya untuk bisa menyekolahkan anaknya. Namun, bagaimana dengan golongan ekonomi lemah?
Kondisi perekonomian masyarakat di Indonesia sangat bervariasi. Ada warga miskin, sedang, menengah, kaya, dan sangat kaya raya. Kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan anak-anaknya juga beragam. Bagi warga miskin, ada kesempatan mendapatkan beasiswa, antara lain beasiswa Bidik Misi. Namun, beasiswa Bidik Misi itu hanya bagi warga miskin yang berprestasi untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Nah, yang gak berprestasi bagaimana? Statistik peraih Bidik Misi tiap tahunnya adalah 30.000 siswa. Jumlah lulusan SMA/ MA tahun 2015 sebanyak 1.62 juta siswa ditambah jumlah lulusan SMK sebanyak 1.17 juta siswa.
Namun, bagi warga dengan kondisi perekonomian sedang dan menengah yang tak masuk kriteria untuk mendapat beasiswa, UKT yang nilainya sama untuk semua mahasiswa dirasa tak adil dan memberatkan. Seorang PNS golongan IV dengan gaji dan tunjangan sebesar Rp5 juta per bulan akan kesulitan untuk menyekolahkan anaknya di PT. Apalagi, kalau jumlah anak yang kuliah lebih dari satu. Gaji Rp5 juta per bulan habis untuk biaya hidup yang semakin tinggi. Sebagai orangtua, mereka punya harapan untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya agar kehidupan mereka bisa lebih baik di kemudian hari meski dengan berbagai cara, termasuk utang sana utang sini. Kalau PNS golongan IV saja kesulitan untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya, bagaimana dengan masyarakat yang pendapatannya lebih rendah, tetapi tidak termasuk miskin?
Karena itu, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir menginstruksi para rektor untuk turun langsung mengecek ke lapangan akurasi data mahasiswa untuk menetapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) agar tidak menimbulkan ketidakadilan dan merugikan mahasiswa yang tidak mampu. Nasir mengatakan tujuan pelaksanaan sistem ini sangat baik, yakni untuk memberikan keadilan kepada mereka yang tidak mampu agar dapat menikmati pendidikan yang sama. Namun, kok ada saja masih banyak mahasiswa tiap tahun sejak dimulainya sistem UKT yang mengeluh tidak tepat sasaran dan menghendaki penurunan harga? Alasannya bermacam-macam. *** UNY sendiri pada awal adanya sistem UKT, yaitu tahun 2013 menerapkan 5 kategori pembayaran, dari Rp500.000 yang paling murah hingga Rp4.9 juta berlanjut hingga tahun ajaran 2014. Selanjutnya pada 2015, menjadi 7 kategori pembayaran, dari Rp500.000 hingga Rp6.4 juta. Sistem UKT di UNY dan di kampus lainnya juga adalah sistem ala Robin Hood, yaitu subsidi silang. Yang kaya dirampok untuk dibagi-bagikan pada yang miskin. Semua pengurus PT pasti bersikeras bahwa walaupun PT-nya mahal tapi telah menunjukkan ‘jiwa-sosial’-nya, ya padahal itupun untuk upaya komersialisasi pendidikan. Agar nantinya, dalam brosur kampus yang nantinya disebar bagi calon mahasiswa, terlihat bahwa PT ini telah banyak membantu warga miskin.
Harapan UKT lebih murah hanya tinggal bertumpu pada kebijakan Mendikbud dan Dirjen Dikti dalam memutuskan UKT. Ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan. Pertama, menyetujui usulan UKT PTN dengan cara hitungan yang dilakukan PTN, yang berarti UKT mahal. Kedua, pemerintah memberikan BOPTN dalam jumlah besar sehingga UKT terjangkau. Ketiga, pemerintah berani menghapus pos-pos pembiayaan dengan prioritas rendah yang diusulkan PTN.
Dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) pada tiap tahunnya selalu naik, pada tahun 2015 saja ada kenaikan sebesar Rp787 miliar. Dengan penambahan ini, dipastikan uang kuliah tunggal (UKT) tahun 2016 pun aman dari kenaikan. BOPTN tahun 2015 menjadi Rp4,550 triliun. Eits, tunggu dulu, sebelum mempurnakan kata ‘murah’, dalam mekanisme pembentukan UKT tiap mahasiswa, rumusnya itu begini, Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dikurangi BOPTN dari pemerintah, dari hasil pengurangan itulah terbentuk berapa nominal UKT.
Perhitungan BKT sendiri diserahkan pada PT masing-masing. Dalam penentuan BKT, ada banyak variabel yang mempengaruhinya. Ada indeks kemahalan dari daerah asal PT, indeks mutu PT, dan indeks program studi yang ditempuh. Perhitungan BKT memakai formula tertentu yaitu:
BKT= C x K1 x K2 x K3
C= Biaya kuliah basis (dihitung dari data yang ada di PTN)
K1= Indeks program studi
K2= Indeks mutu PTN
K3= Indeks Kamahalan.
Dalam pembentukan BKT inilah disinyalir banyak terjadi penggelembungan angka. Lho kok berburuk sangka? Karena memang akses untuk membuka BKT dan BOPTN yang diterima tiap mahasiswanya sulit untuk dilakukan. Kata teman saya dari UIN Kalijaga, bila tak bisa membuka transparansi biaya seorang diri, mungkin dengan 150 orang, kemungkinan besar akan bisa terbuka kan?
Menurut Eko Prasetyo, dalam bukunya “Orang Miskin Dilarang Sekolah!”, kebijakan mahal pendidikan ini memang sangat merisaukan karena akan mengubur impian mobilitas kelas sosial bawah untuk memperbaiki status kelasnya. Melalui sistem ini maka yang bisa diserap dalam lingkungan pendidikan adalah mereka yang memiliki kecukupan modal. Sekolah (PT) kian menjadi lembaga elite dan malahan menjadi kekuatan yang menghadang arus mobilitas vertikal kelas sosial bawah. Jika diusut penyebab semua ini semua, tentu kebijakan neo liberalisme adalah biang keladi. Neo Liberalisme berangkat dari keyakinan akan kedigdayaan pasar serta pelumpuhan kekuasaan negara. PT tidak perlu menjadi tanggungan negara, cukup diberikan pada mekanisme pasar.
Lembaga pendidikan di Indonesia menerapkan hukum naik angkutan umum, ya, jika ingin pelayanan dan fasilitas terbaik harus bayar mahal. Toh, nantinya akan timbul pertanyaan, apakah fasilitas yang mahal itu bisa membuat mutu pendidikan lebih baik? Membikin kualitas lulusan menjadi lebih baik?
Bambang Triatmodjo, Guru Besar Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM, dalam esainya mengenai UKT berpendapat perlunya orang atau institusi PT yang berani berkorban dengan menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Kemudian, dibarengi evaluasi bersama apakah dengan biaya pendidikan murah kualitas pendidikan akan menurun. Memang, ini tantangan untuk berani melawan arus dan membuktikan bahwa PT mampu memberikan yang terbaik bagi kemajuan bangsa.
Atau, sebelum melangkah jauh, setelah bayar kuliah mahal, apakah fasilitas (seperti buku, ruangan) dan pelayanan dari UNY sudah memuaskan? Adakah ketransparasian UKT kalian mengalir kemana? Buat apa? Mungkin hal-hal seperti ini yang saat harus dipikirkan oleh kita yang sudah membayar uang kuliah dengan sistem UKT.
oleh: Arci Arfrian
@arcibob
0 notes
Text
Senangnya Rektor Kita Terpilih Sebagai Koordinator FRI 2016
Halo-halo civitas Universitas Negeri Yogyakarta. Apa kabar semuanya? Liburan memang menyenangkan, ya. Jauh dari hiruk pikuk kampus, tidak bertemu dengan tumpukan buku dan tugas. Kita mahasiswa UNY menyentuh buku jika ada tugas saja, kan? Ah, lupakan dulu buku, tugas dan semua yang berhubungan dengan kampus. Nikmati saja dulu liburannya.
Hei, mahasiswa UNY. Sementara kalian menikmati liburan yang sebentar ini, Kami mau menyampaikan berita gembira dari kampus kita. Katanya ada yang bilang bahwa UNY kampus yang biasa-biasa saja? Cuih! Itu sindiran yang tidak bermutu. UNY bukan kampus biasa. Buktinya, Rektor kita, Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A, terpilih sebagai coordinator Forum Rektor Indonesia (FRI)! Bayangkan, Rektor se-Indonesia yang tergabung di FRI, dipegang oleh Bapak kita, Rektor kita, Rochmat Wahab! Masih percaya kampus kita biasa-biasa saja?
Nah, untuk merayakan pengangakatan Bapak kita menjadi koordinator, akan diadakan Konfrensi Forum Rektor Indonesia. Tempatnya dimana? Di kampus kita! Dan acara konfrensi ini juga akan di hadiri Presiden Joko Widodo dan M. Nasir selaku Menristekdikti. Hebat sekali.
Kita selaku warga UNY patut berbangga hati bisa menampung kegiatan rektor se-Indonesia dan juga dikunjungi presiden dan mentri. Ini juga membuktikan bahwa fasilitas rektorat dan auditorium UNY sangat memumpuni untuk acara sekelas nasional. Pesan untuk Bapak Presidan dan Mentri, serta peserta konfrensi, kalau ada waktu, coba deh kunjungi fasilitas untuk mahasiswa. Seperti kelas, perpustakaan, serta pusat kegiatan mahasiswanya. Tapi kalau mau berkunjung ke pusat kegiatan mahasiswa, jangan lebih dari jam sepuluh malam. Karena pasti dilarang satpam, ada jam malam, Pak!
FRI itu apa, sih? FRI apakah bagian dari Kementrian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi? Duh, kalau itu, kami juga tidak tahu. Tapi yang jelas, FRI dibentuk untuk mendukung kegiatan mahasiswa. Sejak pertama kali dibentuk pada 7 November 1998 di Bandung, FRI sangat membela gerakan mahasiswa yang saat itu, sangat dikikis habis-habisan oleh pemerintah dan ABRI. Saat itu FRI sadar, bahwa mahasiswa adalah motor gerakan reformasi dan intelektual. Sikap FRI saat itu meminta agar ABRI melindungi mahasiswa dalam melakukan gerakan reformasi.
Senang rasanya jika semua rektor tetap konsisten pada niat awal pembentukan FRI. Mahasiswa akan lebih dinamis dalam belajar. Mahasiswa tidak akan takut untuk belajar selain di kelas, tidak akan takut jika mendiskusikan ideologi tertentu, tidak akan takut mengkaji permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia. Rektor saat ini sangat tidak friendly dengan mahasiswanya.
Selaku pimpinan universitas, saat ini rektor membatasi ruang gerak mahsiswa. Contoh, seperti di UIN Sunan Kalijaga, beberapa mahasiswa yang sedang berdiskusi tentang Syiah, dilarang oleh kampus. Sebelumnya, pemutaran film Senyap, kampus juga melarang. Parahnya, Rektor UIN juga tunduk kepada Ormas yang melarang adanya diskusi film Senyap. Katanya “Bahaya laten komunis”. Duh!
Kampus kita? Sami Mawon! Uang kuliah tunggal (UKT) dan jam malam bukti konkret bahwa rektor sudah tidak berkawan dengan mahasiswa.
Sudahkah rektor kita berkawan dengan mahasisnya? Rektor ideal adalah mengurusi dahulu rumah tangganya. Menjaring aspirasi mahasiswanya terkait permasalahan di kampusnya, serta menjamin kegiatan yang dipilih mahasiswa. Alih-alih berkawan dengan mahasiswa, FRI malah menjadi representasi pemerintah untuk mewujudkan cita-cita kampanyenya. Coba lihat tema mulia konfrensi FRI tahun ini: “Revolusi Mental Untuk Memerkokoh Karakter Bangsa”. Tema ini sangat identik dengan jargon Joko Widodo saat kampanye kemarin. Hei, apakah revolusi mental jika diwariskan kepada mahasiswa akan membuat biaya kuliah menjadi murah? Akan menghilangkan aturan jam malam di kampus? Akan menjamin kebebasan akademik mahasiswa?
Kampus hanya menjadi alat pewarisan nilai-nilai dari penguasa kepada mahasiswa. Kami yakin seratus persen bahwa FRI tahun ini, dengan temanya, tidak akan membawa perubahan signifikan bagi permasalahan universitas saat ini. Kampus akan memaksakan nilai yang diinginkan oleh penguasa. Tidak mengangkat ide dan kemampuan mahasiswanya.
Halo, kawan-kawan ku mahasiswa UNY. Bukan kami ingin mengganggu ketenangan liburan kalian. Hanya ingin sekedar membagi kabar mengenai konfrensi FRI saja. Oh, iya. Kami mau Tanya. Apa sikap kalian tentang acara Konfrensi FRI ini?
Terakhir, agar terlihat anak yang berbakti, Kami mengucapkan selamat atas dilantiknya Rochmat Wahab sebagai Koordinator Forum Rektor Indonesia periode 2016.
Selamat liburan juga untuk teman-teman Mahasiswa UNY. Salam untuk keluarga di rumah.
Salam dari Kami, Mahasiswa yang tidak pulang kampung saat liburan
̘�b��
0 notes
Photo
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/824a4645f5d37b83282612351d104ddb/tumblr_nybu17GQUz1uvwepso1_540.jpg)
Bersatu bersama #TolakUKT #HapusUKT. UKT (Uang Kuliah Tunggal) adalah sistem pembayaran studi yang mengekang mahasiswa. Sistem kelas dalam UKT menandakan kesenjangan dalam pelayanan pendidikan tinggi. Tak jarang, UKT pun kerap salah dalam penempatan kelas bayar bagi mahasiswa.
0 notes
Text
Sandiwara Angker Senioritas
Pagi itu sekitar pukul 6.15. Jamal ngos-ngosan berlari menuju kampusnya, Universitas Ngeri Yes (UNY). Maklum, hari itu adalah hari pertama Ospek. Bagi seekor maba seperti Jamal, tidak telat menghadiri Ospek begitu berarti---begitu berkesan. Artinya, ia tidak akan habis-habisan dihajar dimarahi kakak-kakak panitia yang beberapa diantaranya sedang berakting antagonis.
Sesampainya di kandang babi kampus, Jamal kena marah si kakak-kakak aktor-aktris antagonis tersebut. Lantaran selain datangnya telat, ia juga lupa membawa tugas perlengkapan berupa topi pesta dan tas belanja. Sudah tahu kena marah, Jamal cuma diam terpaku tapi tidak merasa bersalah. “Emang pentingnya apa sih bawa tugas begituan?,” gumamnya dalam hati. Jamal tidak mau melawan hal yang dianggapnya tak berguna lantaran ia tidak mau dicap junior muka tembok pembikin sensasi. Walhasil ketika dihukum untuk hormat menghadap langit selama setengah jam, ia pun menurut saja. Belum lagi, sebagai sanksinya, ia mesti membawa tugas ekstra untuk esok hari. Duh, nahasnya jadi maba!
*****
Ilustrasi tersebut merupakan fenomena senioritas yang biasanya terjadi dalam agenda perpeloncoan resmi bernama Ospek. Mungkin hal tersebut merupakan kisah nyata bagi sebagian mahasiswa. Pahitnya senioritas tersebut mesti dialami beberapa maba yang kena sial agar lulus Ospek bersertifikat.
Namun tidak semua maba begitu polos terhadap angkernya senioritas. Bahkan beberapa maba pun sadar bahwa kakak-kakak galak itu hanya berpura-pura antagonis namun hatinya nyengir bergembira. Apalagi kalau maba yang digalakinya begitu ketakutan lalu mengalirlah air kencing di celana, maka sukses deh program ngerjain adik maba. Tak ayal Ospek pun jadi kegiatan beramai-ramai ngerjain maba daripada mengajarkan mereka ke arah kesadaran progresif. Miris deh kalau seperti ini jadinya.
Jikalau Ospek sudah menjadi agenda semacam begitu, dampak buruknya ialah menyuburnya sindrom senioritas. Maba yang saat itu dikerjain, dimarahi, atau dipelototi akan terpanggil nafsunya untuk membalas dendam kepada para junior masa berikutnya. Seolah tanpa adanya dikotomi senioritas-junioritas bernuansa horor, Ospek menjadi tidak tertib dan mendidik. Mungkin kakak-kakak antagonis Ospek tersebut gagal masuk Akademi Militer atau malah menunggu gebrakan dari Pemerintah untuk mengumandangkan aturan wajib militer bagi kaum muda WNI. Pastinya kakak-kakak galak tersebut salah menerapakan peran antagonis dalam Ospek UNY yang konon berkarakter “guru bangsa”.
Kalau memang bukan karena gagal masuk militer, bisa jadi kakak-kakak antagonis di perhelatan akbar Ospek memang benar-benar gila-gilaan membangun citra biar dihormati. Apakah memang iya bisa dihormati dengan pasang topeng antagonis tersebut? Preeeeekkkkk……! Malahan bagi maba yang berkarakter anti kemunafikan, mereka dicap memalsukan keaslian jati dirinya demi kehormatan. Apalagi kalau ujung-ujungnya di hari penutupan Ospek, mereka berubah cepat menjadi sok manis-sok cakep biar adik-adik maba segera melupakan kepalsuan mereka. Setelah kakak-kakak galak tersebut diampuni atas rupa antagonisnya, mungkin juga kakak-kakak itu ada yang berharap dapat fans baru unyu-unyu yang mau mengajak selfie, minta tanda tangan, atau malahan jadi gebetan baru. Hahahahahahahasyuuuu… ini sih modus tahi babi!
Bagi kaum naif akademian yang cenderung kebablasan narsisnya, bercitra antagonis menjadi semacam keperluan. Dalihnya ialah agar Ospek berjalan tertib-disiplin sekalian membentuk karakter maba. Karakter apa nih? Maksudnya karakter penurut bagai kebo, kak?
Coba deh analisa citra galak kakak-kakak senior dari sudut ilmu sosial. Pakailah teori dramaturgi dari gagasan Erving Goffman, sosiolog dari jazirah Amerika Utara. Goffman mengungkapkan bahwa hidup selayaknya lagunya Ahmad Albar---Panggung Sandiwara. Individu-individu sebagai aktor sosial memerlukan semacam “panggung” untuk menunjukkan kesan ideal dirinya kepada individu lain. Biar kesan ideal tersebut teramini secara maksimal, biasanya aktor meminimalisir kesalahan yang akan merusak citra dirinya. Aktor-aktor dramaturgi tersebut pun berharap agar para audien (penonton) menyepakati citra ideal mereka.
Dalam teori dramaturgi Pak Goffman ini juga dijelaskan bahwa para aktor berusaha menyembunyikan karakter aslinya semata-mata agar aktingnya tidak gagal-memalukan di hadapan audien. Intinya, manusia sebagai pelaku interaksi sosial selalu ingin terlihat ideal di hadapan manusia lain demi kepentingan tersembunyi dengan cara beradegan. Sudah pusing ya dengan teori sosialnya? Maklum, ini prpoaganda agak mencerahkan. Hahahahaha…
Ibaratnya, kakak-kakak galak itu adalah aktor dan adik-adik maba unyu sebagai audien. Adik-adik maba harus menikmati adegan antagonis mereka demi kepentingan tersembunyi yang mungkin bukan semata-mata atasnama kedisplinan Ospek. Bisa saja, kakak-kakak aktor antagonis tersebut punya kepentingan ingin populer, cari gebetan, atau cari legitimasi wibawa. Esensinya, itu adalah sandiwara!
Perlu adik-adik maba ketahui, bahwa kakak-kakak senior itu berlatih berhari-hari lamanya supaya maksimal menakutkan. Oh tidak!, itu sungguh buang-buang waktu demi kemunduran karakter anak bangsa yang berkeliaran di kampus.
Wahai kakak-kakak senior yang antagonis, coba kalian bisa berfikir sebentar bahwa adegan tersebut tiada gunanya bagi kemajuan pikiran dan mental adik-adikmu kelak. Adegan mahanaif itu hanya akan melanggengkan pendendam atau bahkan rendah diri bagi kalangan junior yang calon senior itu.
Kepada adik-adik maba yang junior calon senior, coba kalian perhatikan benar-benar kakak-kakak antagonis kalian itu, apakah mereka bisa benar-benar “galak” di hari-hari seusai gelaran Ospek? Semoga kegalakan mereka bisa berlanjut ketika melihat ketidakadilan di lingkungan kampus maupun masyarakat.
Kegalakan kakak-kakak senior seharusnya bisa disimpan ketika Ospek berlangsung: agar hemat pikiran dan tenaga. Namun ketika Tuan Rektor beserta jajaran birokratnya membikin kebijakan menyebalkan yang tidak pro mahasiswa, harusnya kakak-kakak tersebut memberi contoh galaknya berorasi menyuarakan gagasan kritis. Bukan diam saja!
Andai adik-adik melihat kakak-kakak senior yang galak saat Ospek namun diam ketika ketidakadilan terjadi dalam kampus: silahkan bentak saja, biar sadar!
Sweet Salt @tofixious
0 notes