Text
Like the other tumblr word out there, yes something I scared the most is a changes.
0 notes
Text
He asked me, "What if we aren't together again, would you do this with your new boyfriend?"
And I am confused.
Why he asked me such a question?
Do he already thought about our goodbye?
Because, honestly all I can imagine is we are together inside a house, do something together, and complete each other.
Did he feel the same?
Did he maybe did not like me again?
0 notes
Text
UPDATE ON MY FIRST LOVE
So, basically we are friends. Like, best friend. Level max.
I know what he likes, what he hates, what he wants, what are his achievements, his experiences, his story. I know him in and out. Literally.
He knows me so well. Very well. Unlike me who just know him, he gets me. He helps me to be a better person, to know myself, to guides, he comforts me, he says what I should do (Thats cool tho, really cool. But, its too cool until I feel like I can not do that).
I love him the way he is. I love him how he treat me so right. This man make me depend to him. I hate it but I love having someone who can be rely on. We support each other and I love this relationship.
Something I am feared most is how perfect he is.
He is cool, easy going, smart, polite, have a good attitude, he loves to try and learn something new, he loves his family, he is helpful, humble, he loves to talk, to tell something, teach, and put God first than anything.
I love this man.
But, I am too unperfect for him. Even he says he loves me and he seems to always want to be with me.
Who am I? A dumb girl, who can not do anything right, a human without purpose, I cant cook, not that smart, hard to talk to new people. I am 180° unlike him.
I am his nightmare. How can someone like him could be ended up with someone like me?
How lucky I am!
How unlucky He is!
Thats what people would think.
Thats might be what he thinks about me right now
Like yeah what kind of joke that God has made?
I really loves him
I am so grateful God getting us know each other
Getting us together
I think that I might be Gods favorite daughter because He puts me beside His favorite human being (Not just God but also every human being in this world would love to meet him in person. Yea, world please welcome my man!)
Should I call him my man?
Are we would realy ended up together until..
Until the death?
Or we just ended up together until, family meet.
0 notes
Text
My Lack of Performance
Uh Oh!
Apparently, my performance is currently lack of progress because ...
I dont know.
Hm, let me think ...
...
...
...
5 seconds and I think about ... nothing.
Ah, I see
That's why my work performance is low.
I often zoned out. Like, I can handle my focus just for 5 minutes maybe, or is it still a high number for me? I dont know.
Yeah! And I DON'T KNOW
If you're one of mine, you will get this sentence.
I thanks to God for this incredible magical system of brain, but I don't use it very well.
I use it for ... ZONING OUT! Like, Jesus Christ would say, "Really, sis?"
I often said, "Nah, I don't know" or "Hm, maybe" or someone talked to me for 15 seconds and all I do is Z-O-N-E-D O-U-T.
Argh!
I don't even remember my purpose to write this article.
0 notes
Text
Yucky Story
Several days ago, me and one of mine was in Bali, we were at a Suluban beach actually.
We were at the edge of the cliff, beside the shore. Our eyes looking for an entrance, figuring out how we could go down to the beach.
A hand grabbed my glasses fast, I shocked, thought it was human.
Actually, it is a MONKEY. A HUGE MONKEY. I am embarassed (idk why am I embarassed), upset, and sad. My heart beat faster than before. That is my first 1,8 million rupiahs glasses which I bought a year ago.
It bitten my glasses, I could hear a CRACKED voice. I dont know what to say (or what to feel)
Thanks God, the cafe owner behind us was really kind. He tried to make an offer to the monkey, he brought a banana, give it to the monkey. Yup, it is not as easy as what I write here.
The monkey is smart, it wont give my glasses back unless we give the banana first. The monkey seem upset (NAH WHY IS IT UPSET? I AM THE ONE WHO SHOULD UPSET HERE). It wants to make a counter the cafe owner. Oh, dear.
All I can say is just, "watch out!", "ah!", "no!". Hey, I am traumatized okay?
But then, it drops my glasses, and finally took the banana. I am relieved (and disgusted of course). My glasses full of the monkey saliva. Yuck!
Thanks God, thanks to the cafe owner, the surfer man (who take my dropped glasses to me)
You guys are so cool, so kind, i hope you guys living a happy live always!
0 notes
Quote
Terima dirimu sendiri dulu, sebelum kamu berharap untuk menerima sesuatu dari dunia
0 notes
Text
Ngulas : Orang Kaya Baru (2019) Dalam Perspektif Konsumerisme
Sebenernya ini tugas film hahah makanya judulnya keren abes!!!
Ody C Harahap adalah seorang dari sedikit sineas tanah air yang konsisten berkarya dan bermain di genre drama/komedi dan romance dengan konsisten pula untuk, setidak-tidaknya, berusaha menjaga mutu setiap film yang ditanganinya — pernah gagal untuk Forever Holiday in Bali dan Siap Gan! (Keduanya rilis 2018) setelah Sweet 20 (2017), dan Kapan Kawin? (2015) yang ia sutradarai dengan begitu asyik dan bermutu. Sebagai sutradara dengan filmografi 15 judul sejak debutnya lewat Bangsal 13 di tahun 2004, Ody tak pernah mengambil jalan “auteur”. Maka, dari satu film ke film lain yang ia tangani nyaris tak ada gaya atau ciri tertentu yang ia miliki yang sepatutnya dengan mudah dapat kita kenali baik secara visual maupun tema cerita yang diangkat.
Seolah-olah karyanya selalu berangkat dari pertemuannya dengan naskah skenario — bisa tulisan siapa saja — yang dianggapnya cukup baik maka jadilah. Itu pula saya rasa yang melatarbelakangi pembuatan film Orang Kaya Baru ini. Ditulis Joko Anwar, salah seorang penulis/sutradara terbaik tanah air, yang ketika memiliki naskah skenario namun dirasa tak cocok untuk ia sutradarai maka ia berikanlah kepada orang lain seperti yang sudah-sudah seperti Arisan! (Nia Dinata, 2003), Quickie Express (Dimas Djayadiningrat, 2007), Jakarta Undercover (Lance Mengong, 2007), Fiksi (Mouly Surya, 2008), dan Stip & Pensil (Ardy Ocatvaind, 2017).
Film ini menceritakan kehidupan keluarga yang terdiri dari Bapak (Lukman Sardi), Ibu (Cut Mini) serta tiga anaknya, Duta (Derby Romero), Tika (Raline Shah) dan Dodi (Fatih Unru). Keluarga ini telah terbiasa hidup dengan uang pas-pasan selama bertahun-tahun.
Suatu ketika, Bapak meninggal dunia. Setelah meninggalnya bapak, tiba-tiba ada orang dari bank datang ke rumah mereka dan memperlihatkan video Bapak. Dalam video tersebut, Bapak mengumumkan bahwa dia sebenarnya memiliki banyak uang di bank dan uang tersebut bisa digunakan sebanyak-banyaknya oleh mereka. Maka, jadilah mereka berfoya-foya. Beli mobil, beli gawai, beli rumah, dan beli apapun yang sekiranya bisa dibeli. Menurut mereka, itulah cara keluar dari belenggu kemiskinan yang selama ini membebani mereka.
Sebelum bertransformasi jadi keluarga kaya raya, keluarga ini awalnya kompak dan saling peduli satu sama lain, meski dalam keterbatasan yang ada. Mereka selalu makan malam bersama dengan penuh kehangatan. Namun, kehangatan tersebut berubah saat duit berbicara.
Proses ketika keluarga ini menyadari bahwa mereka kaya raya hingga melakukan cara yang menurut mereka sendiri dapat membuat mereka bahagia dan membuat branding baru terhadap diri mereka, erat kaitannya dengan konsumerisme yang maklum terjadi di iklim masyarakat Indonesia. Konsumerisme dapat diartikan sebagai pikiran atau mentalitas mau menghabiskan atau memboroskan. Fenomena OKB sebenarnya bukan barang baru. Ia telah mengakar sejak zaman kolonial. Istilah ini mengacu kepada mentalitas suatu kelas sosial dalam masyarakat. Struktur masyarakat Batavia terbagi atas dua kelompok: pegawai Kompeni dan warga bebas.Hampir semua warga bebas adalah mantan pegawai Kompeni dan orang-orang kaya baru Batavia yang suka pamer kekayaan namun berselera rendahan.
Seiring dengan modernisasi di era Orde baru, OKB berdandan mengikuti zaman. Mereka merujuk kepada para pejabat yang tiba-tiba kaya setelah menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan. Sebagian lainnya menyebut kepada orang yang ketiban warisan. Identitas kelasnya mencuat lewat gaya hidup baru: konsumerisme.
Konsumerisme dalam budaya Indonesia identic dengan berfoya-foya ketika mendapatkan rejeki yang lumayan angkanya. Konsumerisme dalam garapan Ody ini termasuk klise, berkenaan dengan mobil mewah, hunian megah dan minimalis, dan perhiasan di sekujur badan.
Ody dalam mengangkat budaya konsumerisme ini sangat tepat sasaran dan mengena, statement dan alur ceritanya mencerminkan pola-pola pemikiran pribadi konsumtif. Yang disayangkan adalah bagaimana konsumerisme ini senantiasa dikaitkan dengan brand-brand mewah luar negeri, yang mana padahal sebenarnya konsumerisme akan menjadi positif dan menguntungkan juga bagi inner circle Indonesia ketika yang digemborkan adalah konsumtif terhadap produk lokal. Terdengar sama namun menimbulkan jangka panjang yang sangat kontradiktif.
Referensi :
Tirto.id
Kincir.com
Kumparan.com
Historiaid
0 notes
Text
Ngulas : The Lunch Date (1989)
The Lunch Date adalah sebuah film fiksi pendek dari Amerika Serikat yang rilis pada tahun 1989. Film karya Adam Davidson ini telah menerima banyak penghargaan internasional untuk kategori Best Short Film. Sebut saja seperti Palm d’Or Cannes Film Festival, Oscar Academy Awards, Student Film Awards, dan Torino International Festival for Young Cinema yang semuanya diraih pada tahun 1990. Film ini telah meraih 4 bintang dalam situs review IMDb. The Lunch Date menceritakan seorang wanita yang tertinggal keretanya di malam tahun baru dan ia juga kehilangan dompetnya. Wanita ini pergi ke restoran dengan uang terakhirnya kemudian membeli sepiring salad. Ia kesal karena saat ia meninggalkan mejanya sebentar, seorang berkulit hitam menyantap saladnya. Namun, ternyata ia salah sangka dan ia malu pada dirinya sendiri.
Film berdurasi dua belas menit ini memiliki dua latar tempat yaitu di stasiun dan di restoran. Film ini berwarna hitam putih dan berlatar pada realita yang sesungguhnya. Tokoh utamanya adalah seorang wanita tua berkulit putih dengan dandanan kelas menengah dan sikap yang angkuh. Konflik bermula ketika wanita kekeuh bahwa pria tersebut secara tidak sopan menyantap saladnya, dan sang wanita kemudian nimbrung menyantap salad milik pria secara spontan.
Mengamati latar waktu dan tempatnya, The Lunch Date memiliki stuktur naratif realistic. Artinya bahwa film ini menampilkan urutan waktu yang hampir sesuai dengan realita sebenarnya. Hal ini bisa jadi karena latar waktunya yang sebentar, sehingga sebagaimana mungkin penonton diajak ikut menyelami realita sebenarnya sehingga juga merasakan apa yang tokoh rasakan. Keinginan untuk mewujudkan realita sebenarnya tersebut juga didukung dengan penggunaan shot yang terbatas dengan banyaknya pemakaian ukuran shot close up dan medium close up. Berakibat pada apa yang penonton lihat dalam frame, sama dengan apa yang diketahui oleh tokoh utama. Shot yang terbatas juga dapat menggambarkan pemikiran tokoh utama yang sempit dan tidak terbuka. Juga sifatnya yang angkuh dilihat dari pengambilan angle yang lebih condong diatas kepala tokoh utama wanita.
Peran kulit hitam dalam The Lunch Date sangat tersorot sebagai sisi masyarakat yang dikucilkan dan tertindas. Dapat dilihat dengan adanya peran gelandangan dan pengemis yang semua diperankan oleh actor berkulit hitam. Bahkan, pria yang dituduh wanita menyantap saladnya tersebut juga digambarkan sebagai orang berkulit hitam. Hal ini berkaitan dengan fenomena rasisme antar ras kulit putih dan kulit hitam yang terjadi di Amerika Serikat. Namun, The Lunch Date seakan memberi tahu bahwa bagaimanapun juga kita tidak bisa menilai seseorang dari penampilannya saja. Apa yang terlihat oleh mata belum tentu sama dengan apa yang tidak kita lihat dalam diri orang tersebut. Kemudian, jika dilihat dari tata busananya, saat itu sedang musim dingin, sehingga scene pria memberikan wanita minuman hangat sangat mendukung suasana dan juga menguatkan statement bahwa ada orang-orang tersakiti yang masih memberikan kehangatan dan kebaikan dari dirinya.
Film The Lunch Date sangat sederhana dalam cerita, bahkan konflik yang terlihat pun hanya sebatas bagaimana sang wanita meyakini bahwa salad tersebut adalah miliknya. Tapi sangat banyak pesan tersirat yang dapat diamati dibalik kejadian memalukan nan sederhana yang dialami oleh wanita ini. Mungkin daripada melihat kesalahan orang lain, akan lebih baik jika melakukan introspeksi diri. Selain pesan-pesan penuh moral tersebut, ada juga pesan politik mengenai ironi nasib orang berkulit hitam di Amerika. Bagaimana mereka sama-sama merupakan penduduk Amerika, namun memiliki ketimpangan nasib yang jauh berbeda dari saudara kulit putihnya. Bagaimana hampir dari mereka semua sama-sama memiliki nasib yang malang, dikucilkan dari masyarakat, dan mengalami perlakuan tidak adil karena sudah dipandang sebelah mata sejak awal. Poin-poin ini menjadikan film ini begitu menarik dan tidak perlu dipertanyakan lagi hingga dapat menyabet empat penghargaan film internasional dalam tahun yang sama. Naskah menjadi kelebihan utama dalam film The Lunch Date. Didukung dengan acting dari aktris dan actor yang sangat natural seperti tanpa naskah. Sayangnya, film ini tidak didukung dengan teknik sinematografi yang cukup baik, seperti beberapa shot yang shaky. Untungnya, konsep keseluruhannya yang mendukung statement dalam cerita dapat menyelamatkan kekurangan tersebut. Film ini layak mendapat skor 4,5 dari 5 karena naskahnya yang begitu rapi dan out of the box.
1 note
·
View note