Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Berpasrah di Tangga Sarinah
Saya duduk di tangga Sarinah bersama beberapa warga Jakarta lainnya dan seorang expat Jepang yang hanya duduk memandang ke depan dengan segelas plastik teh dingin, yang entah kenapa saya iri terhadapnya.
Saya duduk sambil menikmati kue cubit yang saya beli di tengah jalan saat CFD dan segelas hot ginger lemongrass dari salah satu kafe yang harganya 3 kali lipat dari harga kue cubit saya, tapi tak apa, saya butuh pengisi perut yang telah kembung dari pagi hari.
Memandang ke arah langit terbuka dengan beberapa gedung tinggi di antaranya seperti memberikan perasaan lega, mengingat dua minggu ke belakang kota ini diriuhkan oleh masalah putusan MK, DPR, dan ingar-bingar pilkada. Saya bisa paham kenapa masyarakat marah, dan memang seharusnya. Walau saya hanya bisa menyaksikan mereka turun ke jalanan dari balik layar. Tapi hati saya juga ikut geram, mungkin itu tanda selemah-lemahnya iman.
Dalam hati ada kepasrahan, saya tidak mengerti tentang banyak keadaan. Dan dalam tahun-tahun yang telah terjadi seharusnya kita semua mengerti, politikus bukan Nabi dan jangan pernah menempatkannya begitu. Saya ingat dengan ucapan Zen RS dalam sesi SPACE di X pada malam sebelum demonstrasi terjadi. Bahwa aksi yang akan dilakukan adalah untuk dari dan untuk diri sendiri, bukan siapapun.
—
Di seberang jalan motor berlalu dengan knalpot bising berlalu lalang, menyebalkan memang, tapi mungkin beberapa orang butuh pelampiasan stres di hari Minggu pagi, dan mungkin itu yang menjadi salah satu denyut nadi kota ini. Sementara itu orkes ondel-ondel jalanan mencoba menerobos batas Sarinah yang tidak berpagar, memohon apresiasi dari kami yang menonton dari tangga terhadap atraksi yang mereka tawarkan walau mereka bukan pengisi acara dan tampil tanpa diminta, sementara petugas keamanan turun tangan tak lama menertibkan situasi. Entah kenapa saya merasa seperti melihat miniatur negeri ini.
Saya tidak tahu lagi perasaan saya untuk Jakarta, terlalu muak untuk bilang cinta namun juga terlalu sayang untuk mengatakan benci. Yang pasti saya seperti terjebak di dalamnya, menemui berbagai fakta dan realita yang kadang membuat saya mengernyitkan dahi. Saya berada di antara rasa marah dan tidak peduli. Saya tidak ingin ambil pusing terhadap masa depan yang terjadi. Saya hanya ingin menghirup lebih banyak udara. Entahlah, mungkin saya hanya ingin bernafas dengan lega.
0 notes
Text
Affogato & Umar Kayam
Hari ini hari libur, dan hidup enak saat tidak sedang stres, oleh karena itu saya ingin merayakannya sambil menikmati affogato.
Ini adalah kesempatan pertama saya mencoba affogato, saya memesannya di Nosuga, sebuah kafe kecil yang homie di dekat rumah saya, sambil mengagumi Umar Kayam. Kenapa beliau bisa nulis begitu bagus? Kesederhanaan? Mungkin. Tanpa pakai istilah sulit berbelit berkelok katakanlah seperti sahabatnya, Goenawan Mohamad, Umar Kayam berhasil membuat saya berhasil membuka berhalaman-halaman buku Mangan Ora Mangan Kumpul sambil terserap masuk ke dalamnya, katakanlah saya jadi begitu akrab dengan tokoh Pak Sugeng, Rigen dan keluarganya, serta penjual ayam panggang dan tamu-tamu lain yang bisa muncul tiba-tiba di sebuah rumah di Yogya yang jadi latar ceritanya. Buku ini dulu sering saya lihat dibaca oleh Papah tapi saya nggak tau sekarang di mana ya? Terpaksa saya beli lagi, covernya yang ilustrasi memang memikat hati. Tapi kalau diingat buku bapak saya yang ditulis Umar Kayam banyak juga, Sang Priyayi dan Jalan Menikung ada. Tapi kenapa tidak ada 1000 kunang-kunang di Manhattan ya? Padahal ini yang saya cari-cari, mungkin ayah saya bukan pembaca cerpen kalau dilihat dari koleksi-koleksi bukunya.
Affogato ternyata dimakan, bukan diminum, karena pada dasarnya sang es krim lebih dominan. Menunggu es krimnya meleleh dalam genangan kopi/espresso ternyata adalah proses yang harus dinikmati. Kalau tidak sabar menunggu, saya akan mendapati tegukan yang kelewat pahit atau sendokan yang flat manis, ia harus berupa kombinasi jika ingin sempura. Tapi yang baru saya sadari, Affogato ini lebih pantas dimakan sore-sore sebagai dessert bukan pagi-pagi.
Saya jadi sadar apa persamaan dari Umar Kayam dan Affogato, tentang bitter-sweetnya. Umar Kayam berhasil menuliskan pahit-manis hidup dalam sketsa-sketsa pendek, dan Affogato juga berhasil menyatukan dua rasa itu. Dan ya, saya ingin membuat karya yang seperti itu.
0 notes
Text
Aku adalah Hirayama
menjalani keseharian sebagai pembersih toilet dengan kekhusyukan setara biarawan
Aku adalah Hirayama
rock n roll adalah soundtrack hidupku, persetan dengan harga jual benda-benda vintage yang menjulang
Aku adalah Hirayama
langit adalah temanku, cahaya yang berpendar melewati sela-sela daun adalah harta paling berharga yang harus diabadikan setiap harinya
Aku adalah Hirayama
kesendirian di meja makan adalah tempat yang menyenangkan, dan segelas air es adalah pelepas penat paling tepat setelah bekerja seharian
Aku adalah Hirayama
berkeliling dengan sepeda adalah cara untuk melihat dunia yang terhubung dan juga yang tidak
Aku adalah Hirayama
hari ini adalah hari ini dan nanti adalah nanti
Pertanyaan selanjutnya,
apakah Hirayama bahagia? (Perfect Days, Wim Wenders, 2023)
0 notes
Text
Cara Berpikir Nge-Jazz: Masuk ke dalam area Flow (terjemahan)
Biar saya semakin rajin baca artikel bahasa Inggris, sekalian aja saya bikinin terjemahannya. Semoga rutin.
sumber: https://alifeofvirtue.ca/2020/01/11/a-jazz-state-of-mind-entering-the-flow-state/
Jazz punya elemen unik yang ngebedain dirinya dari aliran musik lain. Yaitu sesuatu yang bergantung sama improvisasi yang bikin musisinya bisa ngekspresiin diri dan nunjukin kejagoan skill teknik mereka lewat permainan solo. Selama improvisasi, si musisi nggak punya waktu untuk mikir secara rasional dalam benak mereka. Mereka harus masukin diri mereka ke dalam musiknya, biarin intuisi nunjukin jalannya dan bergantung sama ingatan otot dan pengetahuan musik yang udah mereka asah selama latihan.
In order to reach peak performance, the soloist must let go, embrace spontaneity and ‘go with the flow.’ Known for his spontaneous prose, ‘Beat Generation’ author Jack Kerouac writes about this sought-after mental state in his seminal book On the Road. Contrasting the self-conscious musician to one who is connected to the music he writes,
Demi mencapai puncak penampilannya, si musisi harus main lepas, berserah sama spontanitas dan “ngalir aja���. Ada nih seseorang yang dikenal karena prosanya yang spontan, seorang pengarang dari ‘Beat Generation’, namanya Jack Kerouac yang nulis kondisi mental macem ini di dalam bukunya yang terkenal ‘On the Road’. Dia ngejelasin apa yang ngebedain musisi yang tampil secara sadar sama yang “masuk” ke dalam musik yang dia bikin.
“Prez punya kecemasan teknis dari seorang musisi profesional, cuma dia yang dandannya rapi, ngeliat dia gelisah waktu mainin nada yang salah, tapi pimpinan band-nya, yang orangnya asik itu bilang supaya dia santai dan tetep lanjut aja - yang terpenting tuh nada meluap-luap dari musik yang dia mainin.” - Jack Kerouac, On the Road
Mau itu lagi bermain musik, berkesenian, atau berada “di dalam zona” waktu lagi olahraga, kita semua ngejar apa yang kalo kata psikolog, kondisi flow. Masuk secara utuh ke dalam apa yang sedang kita lakukan, fokus sama tugas yang lagi dikerjakan, dan bebas dari segala macam isi pikiran yang mendominasi kehidupan sehari-hari, disebut sama psikolog positvis Mihály Csíkszentmihályi, kalo flow state ikut campur.
“Berada secara komplit ketika lagi beraktifitas itu sendiri, ego pergi menjauh. Waktu berlalu. Setiap tindakan, gerak, dan pikiran mengalir dari yang sebelumnya… keberadaanmu masuk secara menyeluruh, dan kamu menggunakan kemampuan kamu sepenuhnya.”
Untuk mencapai area flow, seseorang harus berada dalam kondisi disiplin dan berserah. Maka dari itu, ia harus telibat dalam aktivitas yang menantang dan memuaskan dalam menggunakan kemampuan yang udah mereka kembangkan dalam bidang tertentu.
Walaupun, untuk dapat mencapai kreativitas dan melakukan performa yang optimal, seseorang harus melepaskan pikiran sadarnya, ekspektasi, dan rasa takut untuk gagal. Hanya dengan lepas dari pikiran dan menyerahkan diri kita pada sebuah pengalaman, kita akan masuk ke area flow.
Penelitian menunjukkan bahwa saat seseorang berimprovisasi, area kunci dari otak mereka tidak terlalu aktif, disebut dengan default mode network and the dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC)/ Jaringan mode default dan dorsolateral prefrontal cortex (JMDDPC)
Jaringan mode default adalah bagian dari otak yang aktif ketika seseorang melamun, yang diasosaikan dengan ego - yang secara terus-terusan mengkritisi pikiran dan tindakan. Lebih dari itu, DLFPC adalah wilayah yang bertanggung jawab untuk “mengawasi kesadaran diri”/ Mengurangi aktivitas dalam dua wilayah ini membuat otak kita untuk lebih berani, percaya diri, dan mendorong batas untuk bisa lebih kreatif dan menemukan kemungkinan baru.
Dalam era distraksi digital dan ‘kesibukan’ yang tak henti-hentinya, kebanyakan dari kita sulit untuk membuat kita fokus ke satu pekerjaan. Tapi kenapa kita harus peduli dengan flow? Penelitian menunjukkan ada keuntungan penting ketika kita masuk ke dalam area flow. Sebuah studi yang dilakukan profesor dari Harvard, Teresa Amabile, mencatat bahwa seseorang yang tercatat mencapai level tertinggi kreativitasnya, kebahagiaannya, dan produktivitasnya tiga hari setelah ia merasakan kondisi flow.
Manusia selalu mencari cara untuk mendorong pager eksistensinya, untuk mencari batasan dan belajar untuk mencari kemungkinan dari kesadaran manusia. Kita terikat dalam aktivitas seperti panjat tebing, naik gunung, dan olahraga ekstrem yang kayaknya nggak logis dalam pikiran kita. Namun, betapa pun kemungkinan bahayanya, ini semua adalah usaha untuk masuk ke kondisi flow. Untuk sejenak ngelupain pikiran duniawi dari kehidupan masyarakat modern, untuk ngilangin ego, yang kalo kata Eminem “lose yourself in the moment.”
0 notes
Text
Duka Sebagai Berkah
Nggak pernah terbayang akan ada fase dalam hidup saya akan begitu menyukai lagu country. Sampai pada suatu maghrib yang teduh Youtube membawa saya pada lagu terbaru Adrianne Lenker, Sadness as a Gift.
Mengajari saya bagaimana cara memandang duka sebagai sebuah berkah. Bahwa kesedihan bisa jadi kekuatan yang outputnya bisa menjadi sesuatu yang di luar dugaan.
youtube
0 notes
Text
Jalan-jalan di Jalan Pedang (Part II)
Di penghujung Ramadan 1445 akhirnya saya berhasil mengkhatamkan Ghost of Tsushima (maafkan segala kealpaan hambamu ini, apabila ada ibadah-ibadah yang justru terlewat).
Rasanya? Sumringah, menyenangkan, sekaligus sedih. Menyenangkan karena akhirnya saya berhasil menyelesaikan salah satu game terbaik yang pernah saya mainkan dalam hidup saya ini. Sedih karena berarti saya tidak bisa lagi mengeksplorasi Pulau Tsushima sambil berburu para Mongol. Kata Herald yang sudah lebih dahulu menamatkan game ini dan seseorang yang lebih ngulik soal jejepangan, sejarah dalam game ini tidak begitu tepat. Karena seharusnya invasi Mongol datang di waktu yang lebih lama lagi, yang pasti bukan di zaman samurai ala Jin Sakai.
Cerita dalam game ini lumayan solid dan termasuk asik untuk diikuti sehingga hampir setiap movie sequence-nya tidak saya skip dan bila saya bisa mengambil ‘hikmah’ dari game ini adalah: Tidak ada orang yang benar-benar ‘bersih’ di Tsushima. Jin Sakai sang karakter sebagai samurai yang harusnya memegang beberapa kode etik tertentu mengkhianati dirinya sendiri dengan menjadi seorang ‘hantu’ walau atas nama Tsushima harga mati. Jin akhirnya mengamini dirinya sendiri sebagai seorang ‘Ghost’ walau itu berarti harus bertentangan dengan prinsip sang paman, Lord Shimura, seorang samurai yang bersikukuh terhadap kehormatan seorang Samurai. Begitu pun dengan karakter-karakter lainnya, Lord Ishikawa yang akhirnya menghalalkan segala cara untuk bisa menangkap Tomoe, murid yang mengkhianatinya, Lady Masako yang menyimpan dendam membara untuk menuntut balas atas kematian keluarganya, Yuna yang hidup sebagai pencuri dan bandit untuk bertahan hidup. Semua punya masalah yang begitu kompleks sehingga tidak ada yang benar-benar menjadi pahlawan tanpa cela.
Menyelesaikannya di ujung Ramadan menjadi bahan refleksi tersendiri, sebagai manusia tentunya saya bukannya tanpa cela dan apakah saya bisa meng-embrace sisi hantu saya seperti yang dilakukan Jin Sakai adalah sebuah pertanyaan. Paling tidak yang saya sadari manusia adalah makhluk yang rumit, ia tidak sehitam-putih pahlawan atau setan, tapi dalam upaya-upaya mencari kebenaran, manusia harus terus berupaya di dalamnya.
0 notes
Text
Belajar lagi dari Efek Rumah Kaca
Hari Minggu malam itu suasana pintu masuk Kios Ojo Keos lumayan padat dan saya pun sengaja masuk terlambat. Di toko buku yang mungkin luasnya tidak jauh lebih besar dari lobi Gramedia Matraman itu wajah Cholil vokalis Efek Rumah Kaca terpampang di layar proyektor sedang menjelaskan cerita di balik lagu “Bersemi Sekebun” yang malam itu video clip-nya diputar dan dibedah. Setelah melihat-lihat sekitar sebentar, ternyata masih ada ruang cukup lengang di bangku depan, entah kenapa orang-orang memilih berkerumun di belakang.
Irwan Ahmett sang kreator video clip menjelaskan bagaimana pendekatan kreatif, sosial, dan kultural dalam mengerjakannya. Akbar dan Reza dari ERK juga turut bergantian menjelaskan dari sudut pandang sang pemilik lagu. Saat tiba sesi pertanyaan saya coba memberanikan diri, bertanya bagaimana ERK memandang karya video clip di era sekarang? Jika pada tahun 90-an selain sebagai ekspresi artistik, video clip juga berfungsi juga bagian dari marketing, Toh, album Rimpang juga sudah mereka launch setahun yang lalu?
Akbar menjelaskan bahwa ERK memang band yang sering terlambat dalam mengadopsi hal-hal seperti ini dan mereka juga sadar bahwa cara orang menerima informasi juga sudah berbeda oleh karenanya kehadiran video clip jadi relevan. Cholil lalu mengelaborainya lebih jauh lagi, video clip dari album-album Rimpang dikerjakan dengan berkolaborasi mengajak seniman-seniman lain, mencoba melihat sudut pandang dari isi kepala yang berbeda. Dari situ ERK bisa melihat kemungkinan-kemungkinan lain dari karya mereka sekaligus untuk mereka BELAJAR. Ada satu kalimat penting yang Cholil ucapkan, “Agar tidak terjebak dalam isi kepala sendiri”
Saya tertegun sejenak, band sebesar ERK masih menyempatkan untuk mengevaluasi atau bahkan mengkritisi diri mereka sendiri. Mereka seperti tidak bisa berhenti pada kenyamanan setelah menghasilkan sesuatu. Ini sebenarnya tercermin dari album-album mereka.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah saya berani berbuat hal yang sama? Pergi jauh dari kenyamanan pikiran, rela mengkritik dan dikritik dalam setiap perbuatan yang telah dilakukan tentu bukan hal yang mudah diterima. Dan dari ERK saya kembali belajar.
0 notes
Text
Jalan-jalan di Jalan Pedang (Part 1)
Atas nama menghemat, saya selalu membeli game PS dengan cara terlambat, yang artinya saya biasanya baru beli sebuah game berbulan-bulan/tahunan setelah game itu dirilis karena potongan harganyanya biasanya lumayan. Salah satunya adalah Ghost of Tsushima, kali ini justru penyesalan yang luar biasa yang saya rasakan. Kenapa saya tidak memiliki game ini dari awal?
Kalau ada game yang bisa membuat saya merasa seperti anak-anak lagi, rela menghabiskan waktu berjam-jam menelusuri setiap detil peta, merasakan ketakjuban saat menghabisi musuh dan mengetahui bahwa akan ada ilmu baru yang di dapat setelahnnya, maka Ghost of Tsushima jawabannya.
Selain grafis yang edan (definisi paling tepat untuk ungkapan “every frame is a painting") dan gameplay yang mumpuni, yang menjadi highlight buat saya tentu saja mode pembuatan haiku dan peziarahan pada altar dewa, membuat saya bisa memainkan game ini dengan lebih khidmat.
Entahlah, saya separuh jalan pun belum. Tapi hari-hari long weekend di tahun ini adalah saat yang paling tepat untuk menjadi samurai bernama Jin Sakai.
0 notes
Text
Kembali ke Mortal Kombat (One)
Entah kenapa, mungkin dalam 4 tahun terakhir konsep multiverse banyak diadopsi di dunia pop culture. Kalo saya tidak salah ingat, mungkin yang pertama kali mempopulerkannya adalah MCU dengan Infinity War-nya, tentunya juga sang bebuyutan DC juga tidak mau kalah dan menggunakannya dalam film The Flash, hingga film drama seperti Everything Everywhere All At Once pun mengadopsi konsep ini. Sampai yang baru saja di video game yang belum lama ini saya beli, Mortal Kombat One, turut ikut serta menggunakan konsep multi semesta ini.
Terakhir kali saya menikmati rilisan game Mortal Kombat adalah pada edisi Ultimate Mortal Kombat 3 (1995). Sebagai anak SD pada saat game itu dirilis, saya sangat menikmati perubahan desain karakter dari seri Mortal Kombat sebelumnya, selain itu ada perasaan takjub saat memainkan game yang mempertemukan konsep modern, purba, dan fantasi tersebut. Setelahnya, ada masa dimana saya menjadi sangat anti Mortal Kombat. Mungkin karena kesadisannya yang makin ke sini makin berlebihan yang mengganggu sensibilitas seorang Pisces seperti saya. Mortal Kombat sendiri juga adalah IP yang diciptakan orang-orang barat yang seperti sedang mencoba menciptakan kisah mitologi timur versi mereka sendiri, selalu ada rasa aneh melihatnya. Namun jika mau melihatnya dari angle yang lain, mungkin saya bisa menilai bahwa Mortal Kombat adalah sebuah hasil karya dari orang-orang yang sedang bermain-main dengan konsep. Menembus batas-batas budaya sekaligus menguji sampai mana imajinasi brutal manusia bila diletakan dalam arena yang jelas, pertarungan hidup-mati.
Mungkin karena sudah bisa mentolerir hal-hal seperti itu, saya rela merogoh kocek untuk membeli Mortal Kombat One sebagai game pertama PS5 saya, selain tentunya karena melihat visual dan gameplay yang kelihatannya edan dan menyenangkan dari review-nya di IGN.
Spoiler Alert
Untuk mengulik game ini lebih dalam dan tahu latar belakang cerita sebenarnya saya pun memainkan Story Mode. Intinya, Mortal Kombat One bercerita tentang sebuah semesta baru yang didesain Liu Kang, yang kini berprofesi sebagai penjaga waktu. Liu Kang mencoba membuat garis takdir baru demi menciptakan semesta yang lebih baik dari sebelumnya, singkat cerita semua berantakan karena adanya sebuah intervensi jahat. Dari situ semua portal waktu yang berhubungan dengan berbagai karakter Mortal Kombat yang ada terbuka termasuk segala kemungkinan-kemungkinan variannya. Katakanlah ada Sub Zero versi perempuan atau Johnny Cage versi pantomim.
Fast forward ke chapter terakhir cerita, saat perjalanan menuju raja terakhir, karakter utama yang kita pilih akan dihadang oleh berbagai karakter anomali. Anomali yang dimaksud adalah gabungan dari dua karakter menjadi satu karakter yang baru, bayangkan saja karakter Raiden dengan kekuatan petirnya ternyata juga bisa mengeluarkan racun seperti karakter Reptile, atau General Shao dengan palu andalannya juga memiliki kekuatan es seperti Sub Zero.
Ini menjadi pengalaman yang menarik dan membuat saya bertanya-tanya, mungkinkah di semesta lain sana ada diri saya yang merupakan gabungan dari orang-orang lain? Saya dengan skill kemampuan bermain drum seperti Joey Jordison misalnya, atau saya dengan tingkat intelegensi setingkat Stephen Hawking namun dengan rupa 11-12 dengan Tony Leung. Benarkah kemungkinan-kemungkinan di semesta luar sana terbuka seluas itu?
Membaca beberapa artikel singkat tentang multiverse, saat ini ini keberadaanya memang belum bisa dibuktikan secara nyata. Namun secara teori dan filosofis keberadaannya memungkinkan. Kalo saya nggak salah inget, Mas Hilmi pernah bilang dalam kisah-kisah di agama Islam hal-hal seperti ini juga menjadi pembahasan, seperti kisah Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang dituduh sedang menghindari takdir. Namun dijawab, bahwa mereka sedang menghindari satu takdir menuju takdir yang lainnya. Mungkinkah ada semesta di mana Sayyidina Umar terkena wabah atau Sayyidina Ali benar-benar tertimpa tembok? Entahlah.
Secara keseluruhan game Mortal Kombat One saya berikan ponten 8 untuk segala pengalaman menyenangkan saat memainkannya, terutama sistem pertarungan dan tombol untuk mengeluarkan jurus kombinasinya yang bikin ketagihan. Namun satu yang pasti, franchise Mortal Kombat yang selama ini dengan cetek hanya saya pikir dibuat dengan semangat ultra ugal-ugalan, sekarang berhasil membawa saya pada perenungan-perenungan.
0 notes
Text
6 Album yang Nyangkut di Telinga di 6 Bulan Pertama 2023
Ternyata pernah nulis album yang berkesan di pertengahan tahun 2023 kemarin, wkwk. Post ajalah sekalian.
Lokal
Rimpang - Efek Rumah Kaca
Album yang penuh kesyahduan, dengan lirik-lirik yang sebenarnya penuh kritik tapi tidak terasa “menantang” malahan kontemplatif, paling tidak sependengaran saya. Ada satu momen menarik ketika mendengarkan album ini di mobil pada sebuah perjalanan ke Depok untuk urusan pekerjaan, saya melewati perumahan militer di daerah Cijantung. Berjalan menyusuri gapura dan monumen-monumen yang mencoba menunjukkan keperkasaan, ada rasa ironis selama mendengarkan album ini.
Aksioma - Kelompok Penerbang Roket
Eka Annash seperti bertemu dengan teman bermain baru yang menyenangkan, begitu pula dengan KPR. Groove ugal-ugalan yang ada di album ini mengingatkan saya akan Rock n Roll lokal 90an ala Flowers, dengan lirik motivasional yang mengingatkan saya akan tema-tema yang biasa diusung Rhoma Irama, bukan berarti buruk atau picisan. Diksi-diksi yang digunakan Eka Annash membuat departemen lirik lebih artikulatif dari lagu-lagu KPR biasanya. Dengarkan album ini dalam perjalanan berangkat menuju tempat kerja, maka kamu akan merasa bisa menguasai dunia.
Similar - Eleventwelfth
Adem adalah suasana yang langsung terasa begitu mendengarkan track pertama album ini, dan 40 menit sisanya membuai saya dalam permainan penuh skill tapi tidak bikin pusing dan sesuai dengan takarannya, mungkin tidak ada lagu dengan chorus se-catchy single My favourite bookstore, tapi mendengarkan album ini secara keseluruhan semakin meyakinkan saya kalau Eleventwelfth adalah band Indonesia yang berada di garda terdepan yang mengusung musik seperti ini (Math rock, midwest emo, dan segala spektrumnya).
Luar
Fantasy - M83
Sebagai penyuka bebunyian yang berbau 80an, saya langsung terpikat dengan album ini, artwork-nya sendiri sudah menyiratkan nuansa albumnya, gelap dengan sedikit cahaya remang. Cocok untuk didengarkan menyusuri jalan Jakarta yang bermandikan lampu di malam hari.
This Stupid World - Yo La Tengo
Jika tahun lalu kerinduan saya akan indie rock yang simple tanpa tedeng aling-aling terbayarkan akan hadirnya album The Beths, tahun ini Yo La Tengo yang jadi jagoannya. Bersama dengan Slowdive, Blonde Redhead, dan Godflesh mereka jadi sesepuh turun gunung yang albumnya masih layak diperhitungkan di tahun 2023.
Devil Music - Portrayal of Guilt
Entah kenapa musik yang intens dengan nada-nada ‘devilish’ di album ini tidak terasa satanis, malah terasa bahwa band ini sedang bereksplorasi lebih dengan estetika kengerian, karena ada crossover grindcore, metal (metalcore, deathmetal) dan sensibilitas screamo di album ini. Bayangkan sebuah film hitam putih bercerita tentang Lucifer yang penuh dendam berkonspirasi melawan kerajaan Tuhan. Nah, album ini cocok jadi soundtracknya.
*Honorable mention di akhir tahun
Krowbar - Galaksi Rima Sakti
Jika di tahun 2018 lalu Grimloc memberi kejutan dengan album ‘Demi Masa’ yang membuat para penyusun tulisan album terbaik harus melakukan revisi, kali ini Grimloc memberi kejutan dengan merilis ‘Galaksi Rima Sakti’. Jujur, di beberapa aspek album ini terlalu ‘macho’ buat saya, namun sangat terasa album ini dibuat dengan nuansa bersenang-senang dan itu yang bisa saya sangat apresiasi. Krowbar berhasil bermain-main dengan mencampuradukkan beberapa unsur, mulai dari fast core (kangen Anjing Tanah, kah?), reggae, hingga hip-hop old skool bernuansa Farid Hardja. Dari sisi lirik, Krowbar juga berhasil membuat beberapa rima yang witty dengan diksi yang familiar di telinga sehari-hari.
Sangat menunggu aksi panggung Krowbar dengan materi lagu ini dan berteriak “Ngent**t” bersama penonton lainnya di lagu ‘Astronaut Orbit Luar Nalar’.
0 notes
Text
8 Catatan Personal dengan Blossom Diary:
1. Pertama kali dengar mereka di acara Cutting Edge dari radio MTV Sky/Trax Fm. Saya yang waktu itu lagi indies-indiesnya. Langsung jatuh cinta.
2. Pertama kali tahu soal Sarah Records dan indie pop juga dari band ini. Sebelumnya cuma tahu sekadar Britpop/Britrock aja.
3. Sempat nonton mereka di PL Fair 2005.
4. Album debut mereka yang saya punya kayaknya ada salah cetak, karena ada beberapa judul lagu yang tertukar di list lagu side B. Album ini menjadi salah satu soundtrack penting masa remaja saya.
5. Ibu saya pernah protes, “Kenapa nyanyinya fals gini?” saat saya putar di tape mobil sesaat setelah membeli kaset mereka.
5. Lagu 9’o clock at the train station saya putar untuk menemani kesedihan ditinggal gebetan yang pindah ke Semarang yang ndilalah-nya berangkat naik kereta pukul 9 pagi 😂
youtube
6. Lagu You Never Want Me selalu menjadi teman patah hati ketika cinta bertepuk sebelah tangan.
7. The Rain Always Had an Answer mungkin salah satu judul lagu ter-cool yang pernah ada, dan masih sering saya putar saat hujan turun. Sampai sekarang.
8. Baru tau belakangan ini kalo attitude mereka cukup ‘punk’ (mungkin pengaruh ideologi Sarah Records juga) dari buku Bandung Indie Pop Darlings, saat mereka mengirim surat protes ke majalah Trax karena review tentang album mereka yang menggunakan referensi band britpop pada umumnya.
Paling nggak itu yang saya ingat, anyway happy 20 years anniversary Blossom Diary debut album.
0 notes
Text
Menghargai keseharian yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh.
“Sesuatu yang biasa, yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh”
Itu dia. Itu kalimat yang saya cari-cari untuk mengapresiasi The Makanai: Cooking for the Maiko House yang dibuat koreeda. Kata-kata itu sebenarnya diucapkan Martin Suryajaya dalam salah satu podcast ketika membahas karya-karya Ozu.
Walau Koreeda lebih memilih disamakan dengan Mikio Naruse daripada Ozu, tapi kesamaan keduanya saat membahas keseharian warga Jepang emang nggak terhindarkan.
Dalam konflik-konflik keseharian kecil di sebuah kos-kosan tempat para Maiko tinggal saat menimba karir mereka sejak muda untuk akhirnya menjadi geisha ini justru membuat kita berefleksi.
Sederhana, hangat, sentimentil.
Makanai bener-bener kayak puisi.
0 notes
Text
Menikmati Rimpang di Kesunyian
Setelah menggeber menonton acara musik berturut-turut mungkin saya perlu tone down sejenak, saya ingin menonton konser Rimpang sendirian. Rimpang adalah album yang syahdu, saya ingin menikmatinya dengan sangat personal bahkan di tengah keramaian konsernya. Doa saya terdengar, saya mendapat tempat duduk di bangku paling atas posisi tribun, di tengah tapi hampir mepet dengan pilar, sempurna. Beberapa ada bangku kosong yang menjadi jeda, sampai akhirnya ada orang yang duduk di sebelah saya yang juga menonton sendirian, berbasa-basi sedikit ternyata ia orang Jakarta Timur juga, selebihnya saya berbicara seperlunya. Momen paling menggetarkan tentu saja kehadiran Morgue Vanguard yang melakukan spoken word-nya di tengah lagu Bersemi Sekebun, bagai sosok penuh mitos ia hadir di balik kelambu dengan suara lantangnya. Dari sekian banyak penampil yang juga mencuri perhatian saya adalah ketika lagu Sebelah Mata dibawakan bersama Sivia Azizah. Lagu ditutup dengan Di Udara, dan sebelum Encore saya buru-buru meninggalkan lokasi. Bergumam dalam hati, lagi-lagi ERK berhasil membuat konser yang mematri ingatan sebagai salah satu yang terbaik yang pernah saya datangi.
0 notes
Text
The Bear Season 2 Episode 4
Tak ada yang perlu teriak, tapi Marcus tau siapa yang perlu dihormati. Tak ada yang perlu hancur, tapi Marcus tau apa yang perlu dijaga. Tak perlu ada air mata, tapi kita tahu bahwa Marcus bersedih.
Ramy Yousef sebagai sutradara menampilkan segalanya dengan subtil di episode ini. Tapi justru itu yang menjadikannya kuat. Dari awal The Bear kita tau bahwa Marcus adalah seorang pekerja keras. Si Besar yang mau terus belajar. Tanpa perlu berlebihan apa yang menjadi kelebihan dan kelemahan Marcus muncul di episode ini.
Perasaan saya campur aduk. Sedih, terharu, namun juga bangga.
Sudah lama saya tak menonton satu episode yang se-fulfilling ini dari sebuah serial.
0 notes
Text
TROMAGNON SHOWCASE dalam Diare & Demam
Hari itu saya kurang enak badan, sedikit diare dan meriang. Tapi hari itu cukup saya tunggu-tunggu karena Tromagnon Showcase, acara yang saya idam-idamkan dimana band-band Bogor favorit saya main semua. Kebetulan Miska sang empunya acara juga mengundang saya sebagai perwakilan SobatIndi3.
Menyikat parasetamol dan diatab, saya makan dulu di KFC dekat venue bersama Adyth. Karena terlambat, saya melewatkan beberapa pengisi acara mulai Rrag, Det-plag Lust, dan A Curious Voynich. Saya datang tepat The Kuda main, band ini selalu bersemangat, ceria, dan penuh canda, band mana lagi yang berani menunda materi barunya di pertengahan karena belum hafal dan dilanjut lagi ketika sudah yakin beberapa lagu setelahnya?? Swellow lalu naik panggung, cukup penasaran karena mereka baru saja merilis album, dan mereka sukses membuat para penonton menyanyi bersama. Setelahnya giliran Texpack, beberapa kali di jeda lagu mereka berbalas celetukan dengan penonton yang sudah menantikan kehadiran mereka. The Jansen sebagai band yang saat ini sedang malang-melintang di berbagai panggung menutup malam itu dengan sempurna, membuat para penonton ‘catwalk’ (???) bersama di atas panggung. Malam yang guyub dan menyenangkan. Membuat lupa sejenak bahwa saya harus mereguk parasetamol lagi.
0 notes
Text
Merasa Kecil di Hadapan Kebesaran Blackpink
Hallyu sejatinya memang gelombang dahsyat yang tak terbendung, selama seminggu di pertengahan Maret itu, budaya Korea menyelimuti hidup saya. Dimulai dari mengawali minggu dengan makan siang di Chung Gi Wa, menamatkan drakor The Glory di pertengahannya, dan menutupnya dengan menonton konser Blackpink.
Kalau teman saya, Gembi, bilang, fenomena datangnya Blackpink ke Jakarta seperti fenomena datangnya Michael Jackson, sebuah peristiwa sejarah. Saya yang selalu menunggu kesempatan menonton konser K-pop untuk pertama kalinya tidak mau melewatkan momen langka ini, budget yang tadinya saya siapkan buat Slipknot harus saya alihkan untuk melihat Jisoo, Lisa, Rose, dan Jennie (sorry, Corey Taylor dkk.)
Dua-duanya grup penting buat saya, Slipknot menyalurkan emosi saya ketika beranjak remaja sementara Blackpink menjadi teman dalam hari-hari membosankan di rumah sakit saat saya dirawat akibat masalah lambung di tahun 2020.
Sekitar pukul setengah 6 saya akhirnya memutuskan masuk menuju venue, konser ini menjadi beberapa hal yang pertama buat saya: - Seumur hidup tinggal di Jakarta dan menggemari sepakbola, justru ini pertama kalinya saya masuk ke dalam stadion GBK. - Ini konser K-pop pertama saya, dan termasuk konser dengan standar yang itungannya mega kolosal jika dibandingkan dengan acara musik yang biasanya saya datangi.
Melihat kemegahan panggung dan berada di tengah ribuan penonton yang datang, membuat saya merasa sangat-sangat kecil.
Rose, Jisoo, Lisa, dan Jennie yang biasanya saya lihat dari jarak kurang dari dua meter di layar handphone atau laptop, kini hadir nun jauh di hadapan saya. Ada perasaan aneh melihat mereka. Saya seperti kenal dengan mereka, sekaligus tidak. Salah satu kekuatan para idol adalah mereka berhasil memainkan imajinasi para fans, melalui penetrasi mereka dalam reality show dan media sosial membuat bayangan seakan-akan mereka adalah sosok yang akrab.
Dan di hadapan kekuasaan raksasa showbiz yang hadir dengan gegap gempita, saya merasa tidak ada apa-apanya. Hallyu berhasil jadi alat diplomasi secara soft power, suka atau tidak kita sudah tenggelam di dalamnya. Maka, siapa pun yang masih menilai budaya Korea hanya terbatas pada “plastik” sebaiknya cepat-cepat bermuhasabah. Entah kenapa ada perasaan sendu ketika konser berakhir. Mungkin ini post concert blues pertama saya.
0 notes
Text
Mempetisi Langit ala Wukong
Menonton Wukong (Immortal Demon Slayer) malah mengingatkan saya akan semangat dari lagu-lagu Homicide, terutama yang bertemakan menolak tunduk. Untuk versi Wukong adalah penolakannya tunduk terhadap takdir, dan Sun Wukong melakukannya dalam bentuk yang paling konkret, mengacak-acak langit.
Wukong menolak sesuatu yang “sudah dari sananya” dan harus dipatuhi begitu saja. Sedikit dipengaruhi dendam karena penindasan, Wukong berangkat melawan dan membuat para dewa-dewi kewalahan.
Wukong pun memimpin revolusi, mengumpulkan mereka yang menolak patuh pada garis kodrat. Perlawanan yang heroik dimulai, dan sepertinya akan ada sequelnya. Dalam hati pun saya bertanya-tanya, sejauh apa kita bisa melawan takdir? Saya biarkan Wukong yang menjawabnya.
0 notes