Tumgik
beigesthatic · 2 years
Text
You're Too Good
a short story
©beigesthatic
Tumblr media
"So... Is this enough?" Tanyanya padaku. Aku menggeleng. "Kayaknya kurang beberapa elemen. Coba tambahin bintang-bintang deh di pojokan-nya." Suruhku. Pemuda itu langsung mengutak-atik laptopnya kembali. Menambahkan hiasan-hiasan di PPT yang sedang kami kerjakan.
"Oke. Cukup ya?" Tanyanya beberapa saat kemudian, sembari menunjukan hasil kerjaannya malam ini. "More than enough! Thanks banget ya, Dan!" Kataku penuh semangat. Aku senang sekali malam ini, akhirnya tugas kelompokku selesai!
"Anything else?" Tanya Adhan sebelum benar-benar keluar dari Zoom. "Nope. Enough for today. Besok kalo ada apa-apa bakal gue bilang kok. Oh iya, soal materi, kalo menurut lo ada yang kurang, tambahin aja ya." Adhan memamerkan jempolnya, tanda ia mengiyakan ucapanku.
Setelah selesai dengan tugas kelompok, aku dan Adhan berbincang sedikit tentang anak-anak di kelas. Dan tepat pukul 10.30, Adhan pamit keluar Zoom dengan alasan tugas lainnya yang menanti.
Baiklah, tidak apa.
Terhitung sudah tiga bulan aku mengenalnya. Tapi malam ini aku baru benar-benar berbicara dengan Adhan. Ini juga baru pertama kali aku berkesempatan satu kelompok dengannya.
Sebenarnya secara diam-diam, aku sudah memperhatikan laki-laki itu sejak tiga Minggu masuk sekolah. Aku bukan naksir, tapi dia terlalu sempurna untuk di abaikan.
Adhan itu cerdas, dia sudah ikut olimpiade di awal tiga bulan ini. Dan dia menang. Lalu, dia itu cukup untuk di bilang good looking. Bonusnya adalah dia anak Balenciaga. Dan dia sangat amat bisa di andalkan. Maksudku, betapa tidak adilnya dunia. Ketiga aspek dasar laki-laki, semuanya dia pegang.
Aku sungguh sangat takjub dengan segala yang dia punya. Untunglah di kelas, tidak ada versi perempuannya.
Aku sering kali merasa minder saat dia maju ke depan kelas untuk menjawab soal dari guru. Apalagi pelajaran matematika. Ugh! Aku benci jadi bodoh! Sebenarnya aku tidak bodoh-bodoh amat. Adhan saja yang memang terlalu pintar.
Senin pun tiba. Hari ini kami akan presentasi tentang PPT yang sudah kami buat semalam. Tanpa menunggu lama, aku dan Adhan memilih untuk jadi kelompok pertama yang maju. Sebenarnya anggota kelompok kami ada 3 orang; aku, Adhan, dan Lili.
Tapi Lili ini anaknya kelewat malas. Aku sempat frustrasi menghadapinya. Dia terlalu malas untuk jadi anak SMA! Untunglah ada Adhan yang sedikit menenangkan.
Lanjut.
Guru dan teman-teman pun bertepuk tangan. Aku dan Adhan mulai memberi salam. Lili dengan sifat bodohnya, hanya diam saja.
10 menit presentasi, dan kami di persilakan duduk kembali. Dan selama presentasi tadi, Lili hanya diam saja. Menatap teman-teman sekelasku dengan bercanda. Berkali-kali ia tertawa cekikikan karena teman sebangkunya menggoda Lili. Arghhhh!!! Bodoh.
Ya setelah tugas presentasi itu, aku dan Adhan jadi lebih dekat. Aku jadi sering main ke mejanya, begitu pun sebaliknya. Kami juga jadi sering tukar-menukar playlist Spotify. Astaga!
Apa ini agak berlebihan? Ah sepertinya tidak. Sebulan, dua bulan, kami jadi teman dekat. Aku jadi sering menceritakan film serial favoritku. Adhan pun juga jadi sering menceritakan boyband indie asal US yang lagi ngetrend saat ini.
Satu bulan kemudian, kami sering menghabiskan uang jajan kami untuk beli barang kembar. Hanya untuk sebatas hubungan teman dekat.
Entahlah, aku tidak merasa naksir Adhan. Menurutku, dia terlalu sempurna untuk aku sukai. Sepertinya dia juga tidak menyukaiku. Levelku terlalu jauh di bawah Adhan.
Tapi siapa sangka? Akhir-akhir ini aku justru di buat deg-degan oleh Adhan. Aku rasa dia sedikit lebih perhatian denganku. Ah sial sekali, aku ini tipe anak yang mudah geer. Atau bisa jadi, justru aku yang terlalu ceroboh sehingga Adhan jadi lebih memperhatikan.
Ah masa bodo, pokoknya Adhan itu wanbyeok (dalam bahasa Korea, artinya sempurna).
Hari ini aku, Adhan, dan beberapa teman lainnya berencana untuk mencerahkan pikiran sehabis PTS. Kami hanya sekadar nonton film, makan, dan main Timezone. Tapi bukan itu poin penting, kalian tahu? AKU BARU SADAR KALAU LOVE LANGUAGE NYA ITU ACT OF SERVICE.
Aku teriak dalam hati. Dia berkali-kali membenarkan resleting tasku yang tidak sengaja lupa aku tutup. Kemudian beberapa kejadian yang Adhan lakukan terputar otomatis di kepala. Jadi selama ini dia itu act of service? Sial!
Sejak itu, perasaan berbunga mulai tumbuh di hatiku. Aku yang jadi sering salah tingkah, bahkan aku yang tadinya cerewet, kini lebih banyak diam. Aku juga jadi sering memandangnya diam-diam. Ah bodohnya!!!
Sebulan, dua bulan, hingga tak terasa sudah memasuki Ujian Kenaikan. Aku benar-benar hilang fokus dalam belajar, pikiranku terlalu penuh oleh Adhan. Hubunganku dengan Adhan malah merenggang. Aku jadi terlalu takut untuk berbincang dengannya. Kami sudah seperti orang asing.
Aku juga mendengar rumor kalau Adhan dekat dengan perempuan kelas D. Aku terlalu takut untuk hanya sekadar bercanda menanyai siapa perempuan tersebut.
Aku bertanya pada diri sendiri, kenapa aku jadi aneh? Dimana diriku yang ceria dan cerewet itu?
Aku merenung. Memikirkan jawaban yang tepat atas pertanyaanku sendiri. Dan aku tersadar, bahwa akulah yang telah meninggalkan Adhan. Menjauhinya karena aku minder.
Dan ya! Kisah asmaraku selalu berakhir tidak baik seperti biasa.
9 notes · View notes
beigesthatic · 2 years
Text
— From Library
a short story
Tumblr media
Ah, aku terlambat lagi. Ini sudah seminggu kursi favoritku di ambil alih oleh si gadis kacamata itu. Tentu saja aku tau, perpustakaan ini bukan milik nenek moyangku— aku jadi tidak bisa mengusirnya. Tapi tetap saja, agak aneh jika hal yang biasa aku lakukan kini dilakukan orang lain. Apalagi orang asing. Kemudian aku duduk di kursi lainnya dan mulai membuka halaman novelku.
Aku sempat bertanya kepada petugas perpustakaan. "Mba Adin, cewek yang pake kacamata itu siapa, sih?" Dan seperti biasa, Mba Adin hanya mengangkat kedua bahunya, tidak peduli.
Sebenarnya aku jarang meminjam buku perpustakaan— bukunya cacat. Yah, hanya sekadar menghindari kebisingan di kelas. Aku juga numpang menikmati AC sih.
Biasanya hanya ada 3 orang di perpustakaan saat jam istirahat. Aku, Nasya, dan Mey— mereka berdua adik kelas. Tapi seminggu terakhir, gadis kacamata ini selalu hadir saat jam istirahat. Agak ganjil rasanya.
Tak heran kalau si kacamata itu suka tempat favoritku. Berada di pojok ruangan, langsung terkena cahaya matahari, jendela lebar, juga kursi sofa yang paling baru. Membuat area itu lebih nyaman dan spesial.
Tau tidak? Gara-gara aku sering ke perpustakaan, banyak anak-anak sekelas yang menganggap ku pintar dan cerdas. Padahal selama ini aku hanya baca cerita fantasi. Tipekal anak yang suka halusinasi. Mungkin banyak juga di antara kalian yang relate dengan hal ini.
Tiba-tiba pundakku di tepuk. "Kak Javi, boleh minta tolong, nggak?" Itu Mey, adik kelas yang memiliki tahi lalat di bawah mata. Aku mengangguk sebagai jawaban. "Itu Kak Fiell mau ambil buku, tapi enggak sampai." Mey menunjuk gadis kacamata itu yang sedang kesusahan mengambil buku di rak atas.
Oh, jadi namanya Fiell? Noted!
Lagipula, kenapa sih perpustakaan sekolah tidak punya tangga kecil untuk orang-orang pendek yang kesusahan mengambil buku area atas? Ini sedikit merepotkan. Tapi permintaan Mey aku angguki.
Kemudian aku ke lorong dimana Fiell berada. Namun betapa terkejutnya aku ketika melihat mereka— ada Nasya juga. "Ya ampun! Kalian ngapain?! Kan ada aku. Kalo mau minta tolong bilang aja, aku enggak bakal marah kok. Jangan kayak gini lagi, ya?" Aku hampir saja teriak. Maksudku, apa-apaan mereka? Fiell menjadikan tubuhnya sebagai tangga agar Nasya dapat naik ke punggungnya untuk mengambilkan buku yang Fiell inginkan. Mereka gila.
"Eh? Kak Javi? Itu tadi Kak Fiell yang nyuruh. Aku sebenarnya enggak mau. Tapi Kak Fiell bilang, enggak mau ngerepotin kakak." Jelas Nasya buru-buru agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"Ya udah, sana. Lanjutin aja baca bukunya. Kak Fiell biar kakak yang bantu." Suruhku pada kedua adik kelasku ini. Sejujurnya mereka cukup akrab denganku. Bahkan beberapa kali kami makan bareng di kantin.
"Fiell, buku yang mana?" Tanyaku. Gadis itu menunjuk buku tebal yang ada di bagian paling atas. "Loh? Kamu suka sci-fi juga?" Tanyaku antusias kala melihat judul buku yang Fiell inginkan. Dia mengangguk. Sesaat kemudian dia langsung menarik buku tersebut dan menggerakkan mulutnya seperti bilang "makasih". Lalu ia keluar begitu saja dari perpustakaan.
Se-introvert itu kah dia?
Tapi tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Mungkin itu alasan dia langsung pergi begitu saja barusan. Tapi ini semua salah Rakan— teman sebangkuku —yang membuat aku datang terlambat ke perpustakaan. Tadi saat bel istirahat baru berbunyi, si tengil itu mohon-mohon padaku agar meminjam buku catatan kimia. Ya tuhan, si pemalas itu kapan bergunanya, sih?
Besoknya, hal yang sama pun terjadi. Fiell yang sudah lebih dulu duduk manis di tempat favoritku. Ingin sekali rasanya menegur Fiell kalau area itu punyaku. Tapi nanti, yang ada aku di black-list oleh Mba Adin.
Mataku mencari Nasya dan Mey di seluruh penjuru perpustakaan— perpustakaan sekolahku enggak sebesar Perpusnas kok. Oh mereka sedang bersiap untuk ke kantin.
"Eh, tunggu-tunggu!" Nah ini dia! Perihal Mba Adin yang paling aku tidak suka.
"Mau ngantin, kan?" Tanyanya. Dua adik kelasku mengangguk. Mba Adin langsung mengeluarkan sejumlah uang dari dompet kuningnya
"Titip soto sama es teh, ya. Sambelnya pisah aja. Terus es tehnya, gulanya dikit aja. Makasih." Suruh Mba Adin tanpa melihat ke arah dua adik kelasku. Mey dan Nasya hanya menurut.
Sebenarnya aku tidak paham. Apa sih yang dilakukan Mba Adin selama di perpustakaan ini? Hanya jaga buku? Kalau itu sih suruh aku saja. Setiap siswa yang pinjam buku pun dilakukan sendiri tanpa bantuan Mba Adin. Wanita itu benar-benar fokus pada ponselnya 24/7.
Ah masa bodo. Ayolah Javi! Fokus saja pada novel fantasimu yang sebentar lagi tamat. Mataku kembali pada buku tebal yang ada di tangan. Aku berusaha keras agar tetap terjaga di kumpulan kalimat itu. Tapi kali ini aku agak kesulitan untuk fokus. Seperti ada sesuatu yang ganjil di gadis kacamata itu.
Aku menatapnya seksama. Menghafalkan setiap inci bentuk wajahnya. Kacamatanya yang semi bulat itu membuat wajahnya terlihat sedikit lucu.
Merasa di perhatikan, Fiell menoleh. Membuat eye contact beberapa detik denganku. Kami langsung buru-buru memutus tatapan itu. Aku langsung kembali pura-pura fokus baca buku. Sedangkan dia langsung menutupi seluruh wajahnya dengan buku tebalnya.
Hey! Apa-apaan tadi? Sial, kenapa jantungku berdetak kencang? Oh, ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus segera pergi dari sini.
Aku bangkit dari kursi dan menatapnya lagi sebentar. Eh dia menatapku juga?! Oh astaga! Ini benar-benar canggung. Oke, masa bodo, aku harus kembali ke kelas.
Hari-hari berikutnya juga tak jauh berbeda. Perasaanku yang canggung dan tatapan Fiell yang sedikit membuatku kepikiran. Mey dan Nasya jadi lebih sering ke kantin dibanding ke perpustakaan. Aku jadi lebih sering bersama Fiell.
Sampai akhirnya aku bertanya pada Rakan, si cowok caper. Dia biasa cari perhatian pada perempuan dan hampir mengenal perempuan satu sekolah. Agak aneh sebenarnya, aku bisa berteman dengannya.
"Rakan, lu kenal Fiell, enggak?" Rakan yang mendengar nama perempuan langsung menoleh. "Kenapa lu? Naksir?" Godanya. Aku menggeleng. "Cuma penasaran." Rakan berdecih. "Bilang aja suka. Gua tau, lu sering ketemu Fiell, kan?" Goda si tengil itu.
Aku mengangguk. Ya memang aku sering ketemu Fiell. Bahkan hampir tiap hari. Kemudian Rakan senyum-senyum sendiri. "Apa?" Tanyaku. Dia menggeleng. "Kalian cocok aja. Kutu buku sama kutu buku. Hasilnya enggak bakal jadi kutu kupret. " Kata Rakan. Aku mendengus tidak peduli.
Beberapa minggu kemudian, entah kenapa, sepertinya aku mulai menyukai Fiell. Lama kelamaan, wajahnya terlihat sangat menawan. Maksudku, wajahnya membuatku tertarik. Aku tidak mandang fisik kok.
Dan tepat hari ini, Jumat. Aku mau menyatakan perasaanku. Siapa tahu dia juga menyukaiku. Kan kita sering bertemu. Kalau papasan di koridor kita saling lempar senyuman. Dia juga sudah cukup sering ngobrol denganku. Beberapa kali kami juga ke kantin bareng. Aku yakin, dia pasti juga suka padaku. Benar kan?
"Fiell, nanti pulang sekolah kamu sibuk?" Tanyaku agak kikuk. "Enggak kok. Rencananya aku mau langsung pulang hari ini." Kata Fiell. Ngomong-ngomong, ternyata dia dari kelas XI-1, kelas unggulan.
"Temenin aku beli buku, yuk. Aku males pergi bareng Rakan. Dia pasti minta uang bensin lima kali lipat."
"Boleh aja." Kata Fiell tanpa ragu. Wah, ini berarti lampu hijau? Yes! Aku bersorak dalam hati. Kami pun langsung kembali ke kelas masing-masing karena bel masuk sudah berbunyi.
Pulang sekolah pun tiba. Aku dan Fiell pergi bareng naik Transjakarta. Kami sesekali ngobrol.
"Javi, kamu tau enggak? Buku sci-fi yang aku baca seminggu lalu, sekarang udah terbit yang serial ke empat, loh!" Katanya antusias. "Eh? Beneran? Kamu udah beli bukunya?" Tanyaku. Dia menggeleng.
"Kayaknya bulan depan. Soalnya jatah uang beli bukuku udah habis bulan ini." Fiell memanyunkan bibirnya. Terlihat kecewa. Kemudian selintas ide muncul di benakku.
Kami pun sampai di toko buku dekat sekolah. Walaupun paling dekat dengan sekolah, tapi toko buku ini jauh juga.
Tokonya termasuk toko tua. Bahkan lantainya masih menggunakan keramik era 70-an. Untunglah buku-bukunya selalu mengikuti update.
Aku mulai menjalankan rencanaku. Aku mulai berkeliling mencari dua buku. Satu keluaran buku seri terbaru untuk Fiell—yang tadi Fiell bicarakan. Dan satu lagi untukku.
Satu jam kemudian aku ke kasir. Membayar dua buku sekaligus. "Ih, kok kamu enggak bilang mau beli buku itu? Aku iri." Ujar Fiell sambil cemberut.
"Ini aku belikan buat kamu." Kataku langsung. "Eh? Lho kenapa? Aku kan bisa beli bulan depan. Lagipula, bulan depan tinggal seminggu lagi." Tanya Fiell, heran.
"Kamu enggak mau, nih?" Godaku. "Mau lah. Ya sudah, sini bukunya. Makasih banyak ya Javi. Kamu orang paling ganteng sedunia deh." Katanya hendak menerima buku serinya.
"Tapi ada syaratnya." Kataku. "Yeuh! Kamu niat ngasih apa enggak?" Ekspresi antusiasnya berganti datar. Aku mengangguk atas pertanyaannya.
"Ya udah, karena kamu udah beliin. Aku terima syaratnya deh. Awas aja kalo aneh-aneh." Ujar Fiell. Mungkin dia agak kesal.
"Kamu mau jadi pacar aku, ya." Aku menyodorkan bukunya. "Hah?" Wajah Fiell berubah cengo.
"Kalo mau buku ini, kamu harus mau jadi pacarku." Aku ulang sekali lagi. Tapi dia diam saja.
"Begini, percaya atau enggak. Aku suka sama kamu, Fiell. Mungkin udah hampir tiga bulan, atau bahkan lebih. Jadi hari ini, aku confess ke kamu, kalo aku suka sama kamu. Kamu jadi pacar aku, ya." Jelasku. Berharap dia menerima perasaanku.
"Tunggu-tunggu, jadi selama ini kita temenan kamu ada rasa sama aku?" Tanya Fiell. Aku mengangguk sambil tersenyum cerah.
Kemudian desahan kecewa terdengar dari Fiell. "Maaf ya, Javi. Tapi kamu udah aku anggap kayak saudara aku. Aku anak tunggal. Dan kamu bisa berperilaku jadi kakak dan adik dalam satu waktu. Aku sukanya Javi yang kayak gitu. Maaf, aku enggak bisa terima perasaan kamu."
Kemudian dia langsung pergi. Jadi selama ini aku cuma salah paham? Hatiku hancur berkeping-keping. Ini pertama kalinya aku menyatakan perasaanku pada seorang gadis. Dan ini adalah awalan yang sangat buruk. Apa-apaan takdir ini?
Aku menghela napas. Perasaan minder mulai muncul dalam diriku. Memori-memori tentang Fiell yang bersikap manis langsung berputar otomatis. Jadi ternyata begitu?
Lagi-lagi menghela napas. Aku tidak semangat hidup. Bahkan jalan pulang saja terasa berat. Kenapa aku jadi emosional begini?
Aku pulang dengan keadaan gerimis. Masa bodo jika aku sakit esok. Hatiku lebih sakit. Sampai di rumah aku langsung ke kamar. Tidak menyapa Maka ataupun Kakakku. Mengunci kamarku untuk menenangkan diri.
Memaksakan diri untuk terus membaca novel yang baru saja aku beli. Tapi pikiranku tetap berada di toko buku tadi. Mencoba nonton film pun sama.
Tapi lama kelamaan badanku mulai menggigil. Padahal AC kamar sudah aku matikan. Dan kemudian, kesadaranku hilang. Aku jatuh pingsan karena demam tinggi. Perasaanku yang tertolak lebih sakit daripada demam tinggiku ini.
-end
More about me :
2 notes · View notes
beigesthatic · 2 years
Text
—; We're Not Belong Together
a short story
Tumblr media
Jevan. Namanya indah kan? Ah iya, dia pacarku. Yah walaupun wajahnya tidak seindah namanya kalau boleh jujur. Haha bercanda. Visualnya cukup bagus kok.
Jevan ini punya daya tarik tersendiri dalam dirinya. Sehingga membuat banyak orang tertarik padanya. Terutama kaum hawa. Entahlah, daya tarik itu susah di jelaskan. Aku sendiri bahkan tidak mengerti bagaimana bisa dia terlihat semenarik itu di mata banyak orang.
Dan aku adalah perempuan beruntung yang berhasil membuat seorang Jevan tertarik. Em... Agak cringe.
Sebenarnya pertemuan kami bukan yang tiba-tiba. Awalnya kami hanya sebatas partner kerja paruh waktu di sebuah kafe.
Benar!
Dia si barista dan aku jaga kasir.
Ini pertama kali dalam hidupku. Aku jatuh cinta hanya dengan membaca namanya. Rasanya seperti, "astaga, betapa rupawannya namamu, Jevan!"
Jujur, beberapa bulan lalu kami terlihat seperti orang tidak saling kenal. Aku yang diam-diam mengagumi namanya, dan Jevan yang sibuk dengan mesin kopinya. Bahkan kalaupun kita bicara hanya yang penting-penting saja. Karena kita tidak sedekat itu.
Sampai akhirnya, secara tidak sengaja yang disengaja, aku mengikuti blog seni. Ada beberapa lukisan yang di-upload di sana. Aku... Jatuh cinta pada gaya seninya. Kala itu aku tersenyum sendiri melihat maha karya di blog tersebut. Entahlah, aku tidak bisa berkata-kata kalau membahas lukisannya. Itu terlalu indah!
Hal itu dilihat oleh Jevan. Dia melihatku tersenyum dengan apa yang sedang aku lihat. Dan kejutan besar datang. "Kamu suka hal yang berbau seni, ya?" Tanya Jevan. Ia berdiri di belakangku sambil mengelap tangannya dengan kain.
"Eh? Iya, aku suka banget. Apalagi yang ini. Cantik banget, kan?" Aku menunjuk salah satu lukisan. Kemudian ia tersenyum.
Kebetulan kafe sedang sepi, hanya ada satu-dua pelanggan yang sibuk dengan laptopnya. "Kalo aku bilang blog itu punyaku, kamu percaya?" Jevan tersenyum lagi.
"Hmm... Kayaknya enggak." Jawabku tanpa menatapnya. Tiba-tiba Jevan langsung menyodorkan ponselnya. Terlihat jelas bahwa akun tersebut berada di ponsel Jevan.
Aku melotot. Menatap Jevan dengan perasaan campur aduk. Senang, bingung, curiga, tapi juga bangga. Jevan hanya tersenyum. Membuatku semakin bingung.
"Serius?" Tanyaku sungguh-sungguh. Jevan mengangguk sambil tersenyum. Aku kembali melotot. Maksudku, lihatlah! Aku berada di depan seorang seniman yang maha karyanya sedang aku sanjung-sanjung.
Dari situ kami jadi sering banyak mengobrol. Dari mulai hal-hal umum, sampai omong kosong belaka yang tidak masuk akal. Beberapa sifat Jevan yang tidak aku ketahui pun mulai muncul. Jevan yang ternyata murah senyum, Jevan yang selalu berusaha membuat kenyamanan pada setiap orang, Jevan yang pencinta kucing, dan masih banyak lagi.
Aku mulai berpikir, apa aku benar-benar kembali jatuh cinta? Oh sial! Aku jatuh cinta lagi. Bukan apa, tapi setiap aku menyukai seseorang, aku butuh waktu bertahun-tahun untuk berhenti menyukai orang tersebut. Mungkin terakhir aku jatuh cinta saat SMP dulu. Ya, selama itu!
Seiring berjalannya waktu, aku dan Jevan semakin dekat. Kami mulai sering jalan bareng, dia yang mulai sering minta untuk ditemani saat pergi ke toko cat, dan Jevan juga mulai sering mengantarku. Beberapa kali aku sempat di ajak ke kosannya. Yah seperti yang aku bayangkan. Kamar yang berantakan, palet kayu yang dipenuhi cat, kanvas yang bertumpuk di pojok ruangan, dinding yang dipenuhi oleh sketsa suatu objek, standing kanvas dengan kanvas yang belum selesai, ada beberapa bercak cat juga di tembok, dan hal berantakan lainnya. Tidak heran kalau rambut Jevan agak panjang.
Aku juga sempat di minta untuk berpose ketika kami berada di luar. Dengan cepat, tangan andalannya langsung mencoret-coret sketch book dengan pensil yang ia selalu taruh di kantong celana. Dan sejak saat itu, aku semakin sering diminta berpose di depan Jevan.
Beberapa bulan kemudian, Jevan menyatakan perasaannya padaku. Aku agak kaget. Jadi dia juga menyukaiku? Dan dengan polosnya aku menerima Jevan. Ah kalau di ingat, dia cukup romantis. Dia memberiku lukisan diriku dengan ditaburi sedikit seni fantasi. Membuat lukisan tersebut terlihat sangat menakjubkan.
Sebenarnya sampai saat ini aku masih heran, kok bisa dia menyukaiku? Maksudku, tidak ada hal menarik dalam diriku. Wajahku biasa saja, aku tidak sekaya perempuan di luar sana, namaku juga tidak semenawan namanya. Aku juga sering tanya ke Jevan. Dan dia pasti selalu jawab, "aku juga enggak tau, kenapa aku bisa segila ini suka sama kamu." Aku juga! Kenapa aku juga segila ini suka sama kamu, Jevan?!
Semua hubungan pada awalnya akan selalu manis. Sama seperti hubunganku dan Jevan. Ya walaupun setiap di kafe, ada saja perempuan gatal yang meminta username Instagram Jevan.
Banyak sekali hal-hal menyenangkan yang kami lakukan. Dan hampir seluruh dream date yang aku list dipenuhi olehnya. Dari mulai library date, movie date, picnic date, sampai museum date pun Jevan turuti. Oh Jevan, kamu membuatku semakin jatuh.
Sampai beberapa minggu kemudian, aku mulai mengalami rasa kecewa. Tidak, Jevan tidak selingkuh. Aku tahu, dia tipekal orang yang setia.
Kami kenal sudah cukup lama dan dekat. Bahkan sangat dekat. Tapi aku merasa dia tidak mengenalku sama sekali. Namun ternyata hal yang sama juga Jevan rasakan. Kami jelas saling cinta, ada banyak hal yang sama-sama kami sukai, tapi aku tidak bisa memahaminya dan begitu juga dengan Jevan.
Seminggu terakhir aku di buat kecewa terus-menerus oleh Jevan. Rasa sakit itu bertambah kala malam hari. Dadaku sesak. Rasanya hatiku hancur berkeping-keping. Tapi aku tidak bisa membencinya. Atau bahkan hanya sekedar berhenti menyukainya. Aku sudah jatuh terlalu dalam pada Jevan. Ah ini menyedihkan.
Kami sama-sama tidak mau hubungan kami berakhir. Tapi kami juga tidak bisa melanjutkan hubungan yang terlalu banyak kekecewaan ini. Aku tidak akan pernah bisa memahami sosok Jevan. Dan Jevan juga tidak akan pernah bisa memahami diriku.
Malam itu, di kosan Jevan, aku menangis. Menumpahkan semua kekecewaanku pada Jevan. Mencurahkan perasaan sakit ini pada dadanya yang bidang. Memeluknya erat-erat seakan tidak mau kehilangan. Dia pun sama, memelukku dengan perasaan yang sama.
Pada akhirnya dia bicara, "Joanna, kamu yakin mau terus berhubungan sama aku? Aku udah banyak bikin kamu kecewa, bikin kamu nangis, bikin kamu overthinking. Kamu masih mau sama aku?" Tanya Jevan. Suaranya yang lembut bahkan terasa menyakitkan di hati.
Aku diam. Aku tidak tahu kenapa aku diam. Tapi bibirku kelu. "Kalo boleh jujur, aku enggak mau kita putus. Aku maunya kita sama-sama terus. Tapi kita... sama-sama banyak kecewa. Aku enggak bisa benci kamu, Anna. Aku juga enggak bisa berhenti cinta sama kamu. Perasaan ini bikin aku gila!" Lanjut Jevan.
Kemudian aku mendongak. Meletakkan daguku di dadanya. Lihatlah! Tatapan Jevan terlalu jujur untuk jadi nyata. Wajah sendu itu terlihat begitu kecewa, namun di sisi lain dia juga tak mau kehilangan. Aku mengerti perasaannya. Ini terlalu rumit.
"Aku rasa kita jatuh cinta dengan orang yang salah." Ujarku kemudian. Mataku kembali memanas, hidungku tambah tersumbat. Aku ingin teriak pada dunia kalau aku mencintainya. Tapi yang aku lakukan hanya berteriak di dada Jevan.
Rintihan kesakitan itu juga membuat mata Jevan memanas. Membuatnya memelukku lebih erat. Kami berdiam dalam posisi itu selama sekitar lima menit. Sengaja ku hirup dalam-dalam aroma tubuh Jevan agar aku tidak melupakannya. Aroma yang cukup membuatku candu, juga sakit.
Sampai akhirnya aku mundur perlahan-lahan. Melepas pelukan hangat yang menyakitkan itu. "Aku rasa kita enggak bisa bareng lagi." Ujarku tanpa berani menatap wajahnya. Air mataku terus mengalir sampai-sampai bajuku agak lepek.
"Anna..." Jevan baru saja mau memegang tanganku. Tapi aku menolak. Perasaan ini tidak boleh jatuh lebih dalam lagi. Cukup sampai disini.
"Maaf, Jevan. Kita cukup sampai sini aja." Aku mengambil tas kecilku. Berusaha memantapkan hati agar tidak kembali.
"Joanna! Tunggu, aku enggak mau kita selesai. Aku minta maaf Anna, aku minta maaf. Maafin semua perilaku aku yang bikin kamu kecewa. Maafin aku kalo selama ini aku egois. Maafin aku Anna, maafin aku." Jevan terjatuh. Dia memeluk kedua kakiku. Tidak membiarkan aku pergi darinya. Mataku kembali berair.
"Enggak, Jevan! Kita enggak akan bisa bareng. Enggak semua orang yang kita sayang bisa saling memahami. Cukup sampai disini. Aku juga enggak mau kamu terus-terusan kecewa sama aku. Aku enggak mau kamu semakin jatuh sama aku. Aku mohon cukup di sini aja, Jevan. Ya? Cukup sampai sini aja kita saling menyakiti." Aku mengeluarkan sedikit tenagaku agar ia mau menurut.
"Aku tau kamu selalu berusaha bikin nyaman. Tapi kamu enggak akan pernah bisa paham apa yang bikin aku nyaman. Aku paham perasaan ganjil ini. Aku minta maaf karena enggak bisa bikin kamu nyaman. Dan kamu harus tau, kalo aku sayang sama kamu sampai kamu bikin aku gila kayak gini. Makasih buat semuanya. Maaf Jevan." Aku mendorong paksa tubuhnya dan langsung keluar dari kamar kos seorang seniman itu.
Aku masih mendengar Jevan yang terus-menerus meneriaki namaku agar aku kembali. Aku juga mendengar pecahan kaca di kamar itu. Sepertinya dia sangat marah. Apa aku terlalu jahat?
Aku berlari menuju halte dan langsung masuk ke dalam bus. Beberapa orang menatapku aneh. Bajuku yang lepek, rambut yang berantakan, wajah merah, semua kekacauan lengkap berada di diriku saat ini. Ini menyakitkan, tapi aku tidak boleh terus begini.
Ya, malam itu aku memutuskan untuk berhenti berhubungan dengan Jevan. Baik yang sifatnya pribadi ataupun hubungan pekerjaan.
Tiga hari setelahnya aku mengajukan resign pada atasanku. Dengan alasan, aku yang terlalu sibuk dengan jadwal kuliah baru.
Aku menutup semua akses yang membuat Jevan menghubungiku lagi. Aku juga pindah kos, bahkan tempatnya lebih baik. Aku memulai semua dengan baru. Dengan harapan yang baru, juga lingkungan baru.
Namun sampai aku lulus pun perasaan itu masih tinggal di hati kecilku. Perasaan candu yang membuatku gila itu masih ada. Jevan memang selalu menarik. Bahkan saat dia terus membuatku kecewa. Seniman itu akan selalu menarik dimataku. Aku tau ini bodoh. Tapi perasaan ini tidak bisa aku atur. Kenapa dari dulu aku selalu menyukai orang yang salah? Kenapa?
Beberapa bulan kemudian aku paham. Bahwa orang yang kita sayang, orang yang kita cintai, tidak akan selalu menyenangkan. Walaupun orang tersebut juga memiliki perasaan yang sama. Kata "akhir" seringkali menjadi hal yang menyedihkan, memang benar adanya.
—end
find me on Twitter:
You can also give some feedback right here:
3 notes · View notes
beigesthatic · 2 years
Text
So... It's the first time a use this app. And I hope it's useful
2 notes · View notes