Tumgik
azzamfa · 6 months
Text
Miskin
Kapan terakhir kali anda mendengarkan ceramah yang menyenangkan dan memacu otak, di masjid?
Beberapa hari lalu, video pendek muncul di linimasa Twitter saya, di mana seorang penceramah, di masjid UGM, membicarakan masalah kemiskinan struktural. Sebuah kondisi, di mana kemiskinan sebagai produk dari struktur yang ada.
Sebelum saya cek, saya sudah menduga dua hal tentang profil penceramah: dia ahli kebijakan publik, dan mempelajari sejarah dengan baik.
Dan Benar. Prof. Purwo Santoso, adalah sosok sejenis itu. Ahli kebijakan publik yang tidak berhenti pada soal administratif dan teknis, tapi berangkat dan pergi menggunakan filsafat sebagai pisau analisa.
Bagaimana pun, isi dari ceramah tersebut memang menegasikan kemiskinan sebagai sebuah adat, kebiasaan dari individu atau kelompok masyarakat. Kemiskinan adalah hasil dari ketidakmampuan dan atau ketidakmauan dari negara untuk mengurus kemiskinan itu sendiri. Bukankah ada bantuan sosial, makan siang gratis (nanti), dan sebagaimana? Menurutnya, bantuan sejenis itu hanya jebakan, sebab, orang miskin akan tetap miskin sebab masalah utamanya tidak disentuh.
Saya jadi ingat buku yang tidak kunjung selesai saya baca: "Why Nations Fail", sebuah karya yang bagus dari Daron Acemoglu dan James Robinson. Dalam bab awal, Acemoglu dan Robinson menampik, misalnya, pendapat geografis yang dikemukakan oleh Jared Diamond, lewat bukunya yang terkenal: "Guns Germs and Steel". Diamond berargumen bahwa perbedaan kemakmuran sebuah negeri ditentukan dari posisi di mana negara itu berada, misalnya, wajar bangsa Spanyol dapat berkuasa di Amerika Latin, karena memiliki sejarah bertani yang lebih maju daripada bangsa lain. Tidak, kata Acemoglu dan Robinson, problemnya adalah institusi politik yang ekstraktif; institusi yang cuma bisa mengeksploitasi hanya untuk kepentingan penguasa. Mereka mencontohkan kasus Amerika Serikat dan Meksiko, serta Korea Selatan dan Utara.
Jangan-jangan, kemiskinan struktural yang didedah oleh Prof Purwo tersebut adalah hasil yang wajar dari kondisi institusi politik ekstraktif, yang lama bercokol dan tak mau pergi. Ia memang sempat bertanya, bagaimana jika kemiskinan ini disengaja? Memang apa untungnya?
Oh, mungkin ada untungnya, dan mungkin ini yang terjadi terus terusan: harganya relatif murah, rentan dirayu dengan beberapa lembar, lalu ulangi lagi 5 tahun yang akan datang.
0 notes
azzamfa · 6 months
Text
Gajah
Syahdan, seorang bekas panglima perang, memimpin pasukan yang tidak pernah dilihat orang-orang Arab sebelumnya: menunggangi gajah, berderap dari Yaman menuju Mekah, menciutkan nyali, menundukkan siapa saja yang ada di hadapan. Kita tahu nama orang masyhur ini: Abrahah Al-Asyram.
Setelah berhasil melakukan kudeta, lelaki pendek dan gemuk ini kemudian membuat sebuah gereja, yang menurut Abrahah sebagaimana ia katakan pada Negus:"aku telah membangun gereja yang megah, yang tak pernah dibangun semegah ini untuk raja mana pun sebelum engkau."
Dari kata-kata tersebut, nampak Abrahah ingin menarik hati Negus bernama Kaleb, penguasa Abyssinia, agar tak muntab. Namun ia menambahkan, sebuah ikrar yang lebih gempita: "Aku tidak akan puas sampai aku berhasil mengalihkan orang Arab berhaji ke sini."
Di sini, tampak pertentangan secara teologis. Dan sebagaimana kisah yang kerap kita dengar, Abrahah ingin menghancurkan bangunan kesayangan orang-orang Arab itu.
Tapi, kenapa?
Menurut Ibnu Ishaq, di buku Sirah Nabawiyah yang terkenal itu, seorang Arab dari Kinanah masuk ke gereja tersebut, lalu buang tahi di dalamnya. Tentu, bagi Abrahah, ini adalah pelecehan terhadap bangunan suci. Barangkali, begitu pula apa yang ada dalam pikiran orang Arab itu: mengganti tujuan haji, juga pelecehan terhadap tradisi kami.
Namun, Reza Aslan, memiliki pendekatan yang lain. Ia menjelaskan dalam bukunya "No god but God", terdapat kemungkinan di luar masalah teologi, dari penyerangan Abrahah ke Mekah. Suku Quraisy, berhasil membuat Mekah memiliki sistem ekonomi-religus yang kuat, dan menempatkan suku tersebut menjadi pemain utama di kawasan Hijaz. Abrahah merasa posisi Yaman jauh lebih prospektif secara ekonomi. Dan posisi Mekah, beserta dengan Kabahnya, tentu saja mengganggu. Dengan kehancuran Kabah, ia berharap, Yaman akan menjadi kekuatan tunggal di kawasan tersebut.
Singkat kisah, kita tahu apa yang terjadi: orang-orang Arab yang mencoba menghalangi Abrahah, semuanya tunduk, beberapa di antaranya menjadi penunjuk jalan (dan selamat dari hukuman). Bahkan, Abdul Muthalib, yang oleh Abrahah pada mulanya dianggap sebagai pemimpin Quraisy yang kharismatik, namun ketika kakek Nabi tersebut malah meminta untanya dikembalikan, dan membuat Abrahah kehilangan selera. Abrahah berharap, Abdul Muhtalib menunjukkan sedikit perlawanan. "Aku hanyalah pemilik unta," kata Abdul Muthalib, "Kabah, sudah ada pemiliknya. Terserah engkau saja mau kau apakah tempat itu."
Pagi harinya, dengan bayangan kemenangan di depan mata, Kabah yang tak terjaga, dan para penduduk Mekah bersembunyi di gunung, dan sekedar MENONTON APA YANG AKAN DILAKUKAN ABRAHAH, gajah-gajah Abyssinia itu bergeming. Mereka baru akan bergerak, ketika dihadapkan pada arah yang bukan ke arah Kabah. Di hadapan bangunan yang sederhana itu, mereka bersujud. Dalam keadaan itulah, burung bergerombol datang, menjatuhkan batu, sijjil namanya. Sang raja yang gemuk, pendek, namun kuat ini, sempat masih bertahan hidup sampai ke Yaman. Namun tiba di Sana, dengan jemari yang telah berjatuhan sepanjang jalan, akhirnya ia menemui ajal setelah jantungnya lepas dari rongga dadanya.
Sebuah ayat dalam Quran dengan baik melukiskan "diamnya" orang Arab ini: "Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?"
1 note · View note
azzamfa · 6 months
Text
Suneo
Banyak hal yang saya tidak pernah memikirkannya, setidaknya 15 tahun yang lalu, dan kini, saya seperti diguyur air es untuk bangun dari lelap yang berkepanjangan. Hal itu, misalnya: rumah.
Sepertinya, hingga generasi X, kepemilikan tanah sekaligus rumah, bukanlah sesuatu yang asing. Coba cek orangtua kita dan generasinya, mereka sepertinya diwarisi atau memiliki modal untuk membeli rumah. Kini, kita bisa cek harga. Nampaknya lebih mudah untuk Amerika Serikat meminta maaf atas kejahatan perang, ketimbang Gen-Z memiliki rumahnya sendiri.
Ada banyak penjelasan mengapa rumah makin sulit dijangkau. Misalnya spekulasi tanah sejak lama. Ada istilah tersendiri untuk hal ini secara umum sebetulnya: Housing Bubble.
Problemnya adalah, kita sepertinya tidak terlalu mengetahui kapan bubble ini akan meletus, bagaimana caranya. Dan kita tidak diberikan pemahaman, bagaimana seharusnya Gen Milenial ke depan, dapat memperoleh rumah yang terjangkau nyaman dan dekat ke tempat kerja (tentu ramah lingkungan, tidak harus membabat lahan penahan air). Dan, ini yang lebih penting, bagaimana pemerintah membuat grand design agar masalah ini selesai (jika ini dianggap masalah, sih, sama mereka). Bukannya malah menyalahkan kita-kita ini. Kata salah satu menteri, kita tidak bisa membeli rumah gara-gara konsumtif.
Saya tidak pernah meneliti housing ini sebetulnya. Tapi, sepertinya, masalah ini berkelindan dengan masalah lain seperti transportasi publik, batas usia pelamar kerja, BIAYA KULIAH BAHKAN DI KAMPUS FCKING NEGERI YANG MAKIN MAHAL, dan sulitnya kerja di sektor formal yang sepertinya mending dilempar beast titan saja.
Dan mereka menyalahkan kenapa kita malah beli kopi daripada menabung untuk beli rumah.
Saya jadi ingat perkataan Suneo, kalau tidak salah di episode Kelahiran Jepang. Kisahnya, Nobita dan semuanya punya masalah di rumahnya masing-masing, lalu mereka mencari tempat untuk lari. Namun, tidak ada lagi tempat kosong di sekitar perumahan. Mereka berkumpul di bukit belakang sekolah dengan kesedihan masing-masing dan mengeluhkan mengapa tidak ada tanah yang kosong. Hingga akhirnya Suneo, brilliantly, bilang:"bumi sudah ada 4.6 milyar tahun lalu. Lalu setelah manusia ada, seenaknya saja dibagi-bagi."
Seharusnya, nanti, Suneo masuk jurusan ekonomi/sejarah/filsafat ketika kuliah, lalu membuat Karl Marx cukup bahagia.
0 notes
azzamfa · 6 months
Text
Kamu Tidak Sendirian
Satu keluarga, terdiri dari orangtua dan dua orang anak yang sepertinya masih di sekolah menengah, lompat (atau loncat? tergantung dari berapa kaki ia bertumpu) dari lantai 21 apartemen.
Dan berita lain-lain, yang tentu tidak menyenangkan. Saya cek internet, terdapat peningkatan kasus B.D. dari tahun 2022, ke tahun 2023. Dan 2024 baru sampai Maret.
Saya bukan psikolog, tapi tentu respon alamiah yang muncul ketika membaca berita semacam itu adalah: kenapa mereka/dia melakukan B.D.? Selain melakukan hal mungkin simpatik lain, seperti tidak menyebarkan foto-foto korban, dan juga, tentu saja, mengatakan dengan lembut bestari pada siapa saja yang sedang dilanda kesedihan dan depresi mendalam: kamu engga sendirian. Dan, seperti kata Into The Light: Selalu ada bantuan dan pertolongan untukmu.
Tapi, bagaimana seandainya kesedihan semacam ini seperti, pandemi? Maksudnya, bagaimana jika, setiap orang, kita, keluarga, teman, sahabat di media sosial, pernah sekali saja berpikir untuk melakukannya? Beruntung bagi mereka yang menemukan celah untuk keluar, menerobos himpitan perasaan gelap, mendesak pikiran yang rumit, dan diberkahi kesempatan untuk kemudian berjalan di jalan yang terang lagi. Tapi, barangkali, tidak semua orang memiliki karunia sejenis itu.
Maksud saya, sebagaimana pandemi beberapa tahun kemarin, bukankah lebih bijak, jika ada lembaga dengan kekuatan yang besar, tersebar di mana-mana, dengan kemampuan finansial dan aparatus yang juga sudah tersedia, atau bisa saja disediakan, untuk menangani hal semacam itu terjadi. Lembaga itu sudah kita punya, sebetulnya, bahkan sejak tahun 45. Namanya: negara.
Jangan-jangan, masalah ekonomi yang kemudian menjadi sebab banyak kasus terjadinya kasus B.D., harusnya bisa diselesaikan oleh negara? Jangan-jangan, kelelahan dalam bekerja, overtime dan underappreciated serta underpaid, juga harusnya diatasi oleh intervensi negara. Coba lihat studi ini.
Saya tidak, atau belum menemukan riset yang ekstensif mengenai gejala ini di Indonesia. Tapi, jika tak ada semacam surat terakhir korban, kita sepertinya tidak pernah akan mengetahui benar-benar mengapa mereka melakukannya.
Jadi, di level individu, saya cuma ingin bilang, kalau kamu pernah sedikit saja berpikir untuk melakukan hal itu, bicaralah, dan percayalah, kamu tidak sendirian.
Tapi di level yang lebih luas, tamparlah negara agar tidak abai. Karena, barangkali, ini masalah struktural.
0 notes
azzamfa · 7 months
Text
Bakar
Kurang dari 12 jam terakhir ini saya dapat 2 informasi yang seharusnya sih tidak membuat saya kaget.
Pertama, suara dari semacam rapat daring, di sana tertulis kepala salah satu (atau satu-satunya?) lembaga riset nasional, yang mengatakan: "paper hanya untuk tunjangan kinerja. Negara tidak perlu paper kita (researcher). 99% riset kita tidak berguna." Yang seharusnya tidak membuat saya muak, tapi ternyata lebih dari sekedar mengumpat dengan pelan, ketika suara itu mengatakan: "jadi ga usah berpretensi akan membangun negara melalui riset!" Suara itu terdengar yakin, seakan datang dari hati yang paling dalam, bahwa republik yang dirintis oleh orang orang yang mencintai buku itu, menurut dia, tidak perlu ilmu dan pengetahuan. Saya tidak tahu, apakah dia sedang melakukan satir, atau sejenis perpeloncoan kepada periset junior supaya semangat. Seandainya bukan keduanya, maka sukar dipercaya jika melihat rekam jejaknya di dunia akademik.
Kedua, satu cuitan tentang studi lapangan yang dilakukan Pramoedya Ananta Toer, mengenai Kartini, yang memuat 4 jilid tulisan tangan perempuan Jepara itu. Saya membayangkan, tentu tidak mudah melakukan riset lapangan yang dilakukan bukan pada tahun 2024; akses jalan, media komunikasi, dll, dll. Tapi kemudian, hasil riset yang kemungkinan berharga itu, dibuat jadi abu oleh militer. Apalagi yang dibakar, yang penting, selain beberapa karya lain? Inilah: Sejarah Bahasa Indonesia.
Pernahkah mendengar ini: "halah kebanyakan teori!", atau kata-kata sejenis yang terkesan menganggap penjelasan konseptual, hanyalah 'omon-omon' belaka? "Perut lebih penting dari akal budi!" katanya, dan kita mengangguk tanpa bertanya. Mungkin, itulah mulanya, kenapa banyak buku berakhir di perapian.
Semoga 12 jam, 12 hari, 12 bulan kali lima ke depan, baik-baik saja.
1 note · View note
azzamfa · 7 months
Text
Kalah, dan Mungkin...
Pagi ini, sama seperti hari biasanya, saya merasa kurang tidur. Tapi, agak lebih melelahkan setelah menanamkan harapan pada Manchester United untuk mengalahkan City, tentu saja, demi alasan yang pragmatis: menahan laju Pep, dan membiarkan Liverpool duduk di puncak dengan tenang. Namun harapan itu tak terwujud. United kalah, City mepet dengan 1 poin.
Tapi, salahkah berharap?
Harapan datang dari sebuah bayangan tentang masa depan yang lebih baik, setelah mengambil kesimpulan bahwa masa kini perlu diubah. Dan, dalam setiap kondisi, harapan akan selalu muncul, disadari atau tidak disadari. Berharap, sepertinya bawaan alamiah manusia (mungkin juga makhluk hidup lain? Entah, saya belum tanya anjing tanah dan ubur-ubur dan daun kangkung). Atau, merupakan kutukan?
Saya tulis catatan kecil ini selagi mendengarkan salah satu siniar (podcast), yang membicarakan tentang demokrasi yang terancam setelah pemilu, di mana mereka juga berbicara tentang harapan yang gagal. Tentang para cendekiawan yang resah, yang pesimis tapi wajar, yang, terutama, tetap lebih memilih berharap walau sudah tahu dari awal harapan tersebut memiliki kemungkinan yang teramat kecil.
Tapi mereka tetap berada pada jalan yang sempit itu. Walau tahu akan kalah.
Pesimis itu harus disabotase katanya. Tapi kalah. Buat apa?
Mungkin di sini seninya. Nyaris semua momen heroik yang pernah tercatat dalam sejarah, tidak pernah langsung menang di awal. Semua film dan serial tentang "kebenaran", selalu tersungkur pada mulanya.
Tapi, kan ini dunia asli, perlu makan, perlu minum, perlu jalan-jalan, perlu jabatan komisaris BUMN, perlu...
Bukankah lebih baik menang dan hidup tenang?
Kenaifan orang-orang yang berharap itu, mungkin, terletak pada keyakinannya bahwa apa yang digenggamnya adalah sebuah "kebenaran", dan yang lain adalah "ketidakbenaran". Kenaifan ini, kerap dijadikan olok-olok, dengan nada yang tentu meremehkan.
Tidak semua orang-orang yang berharap itu punya kekuatan untuk tetap teguh.
Saya mendukung Liverpool dari tahun 2000an, saat mereka sedang busuk-busuknya, tapi, melihat Steven Gerrard, yang walau digoda untuk bergabung di tim kuat lain seperti Chelsea yang lebih mungkin untuk jadi juara liga, tapi toh dia tetap setia.
Ini memang tentang bagaimana menjaga asa Liverpool akan kembali juara tahun ini, walau didera cidera.
Tapi juga mungkin tentang hal lain. Tentang kepulauan yang apalah ini masyaAllah...
0 notes
azzamfa · 7 months
Text
Dirty Indomie
Beberapa hari sebelum dilaksanakannya pemungutan suara (istilah ini, 'pemungutan', menyebabkan panitia seperti, yah, tukang pungut), dirilislah film Dirty Vote. Sebuah dokumenter, kliping, ajakan untuk golput, propaganda, atau sebutan lain terserah-lah, yang intinya ingin menunjukkan bahwa proses pemilu, mulai dari hulu hingga ke hilir(isasi), sama sekali tidak demokratis.
Yang menarik sebetulnya bukan itu. Melainkan ini: saya baca di Twitter (f*** X, f*** Elon), bahwa jangan-jangan kebanyakan voter, terutama pemilih pemula, akan sama sekali tidak mengerti dengan isi film tersebut. Penyebabnya? Durasi film itu terlalu panjang.
Sebuah tuduhan yang tendesius, penuh kecurigaan, dan terlalu pesimis. Seolah pemilih pemula itu, tidak tahan untuk menonton yang terlalu panjang, apalagi membahas sesuatu yang "terlalu serius". Katanya: coba lihat, generasi ini, mereka terbiasa dengan sesuatu yang instan, pendek, lekas, sesak. Tiktok mendorong mereka untuk menonton sesuatu yang tak lebih dari 30 detik, lalu dihajar dengan informasi lain sebelum mencerna informasi sebelumnya, lalu dihajar dengan informasi lain sebelum mencerna informasi sebelumnya, lalu dihajar d...
Teruskan saja sampai mampus.
Saya menyaksikan webinar, yang sebetulnya diselenggarakan beberapa tahun lalu, di mana salah satu pembicaranya mengatakan: jumlah buku yang dicetak pada masa Covid, meningkat dari sebelumnya. Lalu, bagaimana kita hendak membaca dengan keterbatasan waktu kita? Bagaimana peran kritikus sastra? Bagaimana kita memilih bacaan?
FFS.
Mudah-mudahan saya tidak salah, tapi memang kita dikutuk hidup dalam satu masa keberlimpahan informasi. Segala sesuatu beranjak, melesat dengan cepat. Saya yang pernah mengalami masa di mana internet masih terbatas, dan saya harus membaca koran (RIP!) untuk mengetahui apa yang terjadi kemarin, agak beruntung mengalami masa transisi tersebut sehingga masih bisa memilah mana kabar burung, mana tahinya.
Tapi, buat yang tidak menggunakan kemampuan mengolah informasi tersebut, maka segala berita dalam bentuk konten apa pun yang lewat, ya cuma lewat saja. Untuk menggunakan, misalnya Google pun, entah.
Tapi, apakah "gen instan" tersebut hanya menghasilkan orang-orang yang tidak peduli terhadap kemungkinan terburuk dari salah memilih, salah menentukan, dan salah menyebarkan?
Saya tidak tahu. Lihat saja lima tahun ke depan.
0 notes
azzamfa · 8 months
Text
Laut
Yang pertama, saya sudah lama tidak main blog. Menjadi dewasa, dalam arti yang mungkin sangat dangkal: bekerja, membuat saya menjadi jarang menulis, bahkan membuat membaca benar-benar jadi kemewahan yang saya tak percayai dulu. Dalam sehari, ketika masih mahasiswa, saya bisa membaca satu buku dalam satu hari. Kini, dua tiga puluh halaman sehari saja sudah lebih dari okay. Terimakasih, tentu saja, atas transportasi publik dan tata kota yang buruk.
Yang kedua, saya juga sudah lama tidak membaca fiksi Indonesia. Alasan yang terlalu personal, tentu saja, karena itu soal selera. Tapi, kemarin saya baru menyelesaikan Laut Bercerita, dalam tiga-empat kali duduk (yey!), sebuah novel yang saya tahu dari beberapa tahun lalu, dari seorang penulis yang bukunya saya pernah baca bertahun-tahun-tahun lalu lebih lama lagi (menyangkut peristiwa 1965). Dan tentu saya memutuskan untuk membaca novel ini karena, saya kecewa dengan beberapa tokoh yang saya sebutkan dalam skripsi saya sekaligus yang tulisan serta ketokohannya saya ikuti selama saya menjadi mahasiswa. Ya, saya bicara 1xx8. Di mana, mereka yang dulu mendaku dan membuktikan bahwa dirinya dan gagasannya berada pada garis reformasi, bahkan revolusi, akhirnya kini terlihat sedang membuat garis baru, yang dibuat dengan pensil berwarna merah dari darah bangkai dan kertas dari kayu yang diambil dari pohon pulau sebelah utara secara ilegal. Tidak ada penjelasan yang membuat saya puas. Apa yang akan orang-orang itu katakan pada mereka yang mungkin dimasukkan dalam tong di Kepulauan Seribu? Bjir.
Yang ketiga, berkumpullah dengan orang shaleh.
0 notes
azzamfa · 3 years
Text
Rusia
Namanya Andriy, orang Kiev, tepatnya Gang Kelinci, yang di ujung jalannya ada tukang mie yamin dan mochi rasa rupa-rupa. Dia punya mimpi untuk menjadi seorang pemain kriket, dulu. Sekarang pekerjaannya adalah mengajar bahasa Inggris anak-anak di sekitar rumahnya, dan jika malam tiba, ia bertaruh nasib di kripto. Tapi dia juga masih punya mimpi; melihat  Shakhtar Donetsk juara Liga Champions. Ko bisa orang Kiev tapi dukung Skakhtar? Andriy belajar dari orang Indonesia; banyak juga ternyata orang Dayeuhkolot yang mendukung PSM Makassar. Sewaktu ia sedang kakus di toiletnya yang wangi dan sembari membayangkan bagaimana Shakhtar mengalahkan Napoli di final Champions tahun 2xxx, ia mendengar suara melenting, kian lama kian pekak, dan hawa panas terasa secara tiba-tiba. Hal yang terakhir yang ia ucapkan: Putin anj...
1 note · View note
azzamfa · 3 years
Text
Lucu
Kan, apa yang kita tahu selama ini tentang sesuatu yang kita yakini bahkan sejak kita bisa mengingat, agama misalnya, ternyata benar-benar terbatas. Kita tahu, bahkan pernah dipaksa menghafal puluhan hadits tentang keutamaan mencari ilmu (yang akhirnya hanya sebatas hafalan, dan lupa tentu saja), dan lain-lain. Oh kenapa saya omong soal hadits? Ya karena mau dan terserah saya. Tapi tentu bukan mau menjelaskan soal hadits seperti mbak-mbak S2 di Islam yang beberapa waktu lalu ramai di Twitter. Saya mau bilang, ketika saya baca-baca soal hadits dari Jonathan Brown, memang hadits rentan untuk misunderstood, bahkan sejak ketika Nabi SAW masih ada. Ada orang yang ketika itu mengakui sebagai utusan (representative)nya Nabi, dan mengklaim menjadi seorang mayor sebuah kota kecil di Arab. Ya tentu itu tepu-tepu. Mirip dengan ketua BEM yang pakai nama organisasi untuk meminta duit ke walikota, atas nama organisasi, tapi dipakai untuk main Timezone. Lucu? Tidak? Ya kata saya sih lucu. Kalau tidak lucu, ya tidak apa-apa, dan tak perlu memaksa saya untuk bilang tidak lucu sebab menurut saya lucu. Tak perlu paksa-paksa, memangnya kalian kader partai Narendra Modi?
1 note · View note
azzamfa · 3 years
Text
Kontra Muerta
Dengan tak perlu repot-repot, terimakasih Google Translate, kita dapat mengetahui dengan setengah pasti bahwa, sepertinya, Kontra Muerta dapat bermakna: melawan kematian. Begitulah kala kita mencermati lirik lagu yang dirilis Morgue Vanguard pada tahun 2019 ini, bahwasanya; ini tentang usia yang menolak ringkih, tentang badan yang menyangkal tua, walau, semuanya pasti datang. Dan, ihwal kelaliman yang musykil hilang. Mendengar Kontra Muerta, seperti ketika saya pertama kali mendengar Tantang Tirani ketika SMA, hari-hari ini, seperti semacam kayu pemukul yang secara halus pada kepala bagian belakang. Ya, halus. Tapi rutin. Seakan mengingatkan saya, dari ribuan teks yang pernah dibaca, beat dari Miles Davis hingga Fariz RM, bahwa, hey, di sana dan di sini dan di sana yang lebih jauh dan di sini yang sebelah rumah, ada sesuatu yang mungkin pantas ditunda pupus harapannya. Apa yang kita, saya, tahu soal harapan? 
1 note · View note
azzamfa · 3 years
Text
Fiksi
Belakangan ini, sudah malas membaca, bahkan tidak menyelesaikan Killing Commendatore. Tentu saja alasannya sudah anda rasakan, bahwa: apa yang terjadi, di luar sana, telah melampaui kisah-kisah bohong yang biasa ada pada literatur...
0 notes
azzamfa · 5 years
Text
Ukuran
Alexandria Ocasio-Cortez, di tahun mengatakan bahwa dirinya adalah seorang sosial demokrat, ya makin bekenlah dia. Di dalam Amerika Serikat yang kapitalis, kata “sos-dem” seksi kembali, kenapa kembali, karena memang istilah sosdem bukan istilah baru. Baca sajalah Anthony Giddens yang judulnya The Third Way. Dan lain-lain. Tapi, bukan ini problemnya. Adalah ketika AOC mengatakan itu, maka publik, termasuk saya, akan menilai dirinya sebagai sosdem, dan semua nilai sosdem yang ada sebagai teori-konsep-dsb, akan dilekatkan pada AOC seraya bertanya: sejauh mana AOC melaksanakan prinsip sosial demokrasi dalam kehidupannya? Juga jika anda, mengatakan diri anda sebagai, misalnya, Pancasilais, publik akan menilai diri anda dengan nilai nilai Pancasila. Kalau anda mengatakan itu di dalam toilet, sih, ya tidak masalah. Tapi kalau anda mendeklarasikannya lewat media massa, profil Instagram, Tinder atau spanduk butut yang dibuat dengan WordArt, ya jangan salahkan publik yang menilai. Juga jika anda mengatakan diri Muslim, Kristen, ateis, liberal, pendukung AC Parma, panteis, dll dll, maka anda akan dinilai dari apa yang anda yakini. Sehingga jika anda mendaku sebagai Muslim taat tapi anda ketahuan zina atau tak sengaja membuka film biru di tengah sidang, ya anda akan diledek habis habisan. Agak melebar juga, jika korporat yang anda adalah bagiannya, merupakan korporat yang bergerak dengan nilai environmental tapi ketahuan mencemari sungai dengan limbah, ya habislah anda sekalian. Intinya, anda haruslah benar-benar taat pada apa yang anda yakini dan deklarasikan bahwa anda menganut nilai itu. Beruntung, Tuhan menempatkan penyakit cepat lupa dan suka uang di negeri ini. Lebih banyak dari Covid-19
0 notes
azzamfa · 5 years
Text
Oposisi-Koalisi
Tuan puan, tentu saja, tidak ada term “oposisi” di dalam konsep presidensialisme. Juga tidak ada “koalisi”, sebab, seandainya tuan puan membaca dengan lebih masyuk dan menikmati masa SMA dengan tidak melulu soal cinta dan patah hati yang datang silang surup, koalisi-oposisi hanya ada di dalam parlementarisme, secara term, sekali lagi. Tapi ketika tuan puan menyatakan dengan yakin; bahwa hanya yang “di dalam” yang bertujuan “demi bangsa dan negara”, maka mereka yang dengan terpaksa memilih “di luar”, tidaklah berikhtiar “demi bangsa dan negara”. Ada pemisah. Padahal, umat manusia berkali menciptakan sesuatu yang berfungsi sebagai penghubung: pintu, jembatan, kuburan dan menyan. Juga seolah, ketika semua harus terkumpul dalam mangkuk yang sama, maka tidak boleh lagi ada kritik. Tuan puan lupa, di dalam masyarakat yang bertumbuh, sebagaimana dikatakan orang: politik tak boleh terbagi habis oleh partai. Kelembagaan hanya menegaskan struktur, tapi tak mungkin mendefinisikan keadaan. Seandainya semua partai sepakat bahwa Tuan puan akan melaju kembali, di ujung jalan sana, di dalam ruang badan eksekutif mahasiswa sana, di komplek perumahan pegawai negeri sipil sana, bahkan di lorong sekolah tempat para pelajar berkali mencintai, mematahkan dan dipatahkan, suara itu tak mungkin dibungkam. Syahdan, alkisah, dan once upon a time...
2 notes · View notes
azzamfa · 5 years
Text
Kesunyian adalah Hak Masing-Masing
Bung, mungkin kau tahu, berpuluh tahun lalu sejak sebelum 1 Juni itu, bahwa; negara bisa melindungi rakyatnya dari timah panas, tapi tidak dari risau. Kau sendiri agaknya mengalami, dan “mengalami” tentu punya derajat yang berbeda dengan “mengetahui”, sebagaimana kau “menggali” lima dasar itu. Ini sungguh biar hanya terlihat keren saja memanggil bung, sebab, mungkin tak ada hubungannya sama sekali, bahwa; setelah generasi penerusmu pulang dari jingkrak konser musisi tanah air yang buruk, kafe modern yang berisik, atau sekedar mengambil foto dengan jari menjepit rokok yang uangnya diperoleh dari orangtua, semuanya akan kembali pada sedia kala, dengan risau yang sama, dengan sunyi belaka. Semua itu tak untuk Hindia, bukan juga untukmu Bung, yang kau mungkin marah sebab generasi penerusmu malah kontra revolusi. Tapi, adakah revolusi tanpa hati yang sunyi?
0 notes
azzamfa · 5 years
Text
Pengecualian
Besok-besok, seandainya ada wabah penyakit yang membuat manusia dengan golongan darah O rhesus positif menjadi semacam zombie, sepertinya segalanya akan lebih mudah. Tidak ada sekolah, pabrik yang berhenti beroperasi, tak ada rapat-rapat yang membosankan, dan televisi berhenti menayangkan lelucon, maka semuanya kembali soal survival of the fittest dengan definisi yang sesungguhnya. Tapi juga tidak akan ada listrik, sehingga alat-alat elektronik menjadi lebih tak berguna, dan, sial, tak ada PlayStation dan juga tak ada sepakbola. Baiklah, kita buat pengecualian: zombie, tapi PlayStation dan sepakbola masih ada. Dan sepatu Adidas. Dan buku tentu saja. Dan lagu-lagu menyegarkan dari tahun 1950-2000an. Terlalu banyak pengecualian jadinya. Dan sebab-sebab pengecualian itu yang membuat manusia menjadi spesies yang dominan, karena pengecualian mengharuskan adanya pemisah, mungkin juga ideologi, dan lebih dari itu: arogansi. Bagaimana seandainya manusia bisa menerima semuanya, taken for granted?
1 note · View note
azzamfa · 5 years
Text
Surat Terbuka untuk semua Penulis Surat Terbuka yang sebenarnya tak perlu Membuat Judul “Surat Terbuka”
Karena yang tertutup cuma aurat dan fakultas kedokteran Universitas Pendidikan Indonesia
0 notes