Text
Coping with Stress
This is a step-by-step of my coping strategy.
I'm currently in a progress, learning something (not really) new. I determined to reach certain level, which require me take hundreds of learning hours. I'm actually typical person who enjoys and values the process.
But, these few days. I discovered that this learning process is very stressful; it is difficult to make even a small upward.
Then, I decided to walk around. Left my books and devices, "I need to relax and take a deep breath to think clearly and decide my next move."
You know, it's still working.
This (following) method gives me the answer. He always helps me through this way, an unconsious guidance:
Walking. Nature is the key; you need to absorb the energy, feel it (the wind, the noise, the sky, the plants, the smell). Use all your senses.
You need to reflect. Looking back, see your past; remember every stressful condition that you've ever passed.
Asking. Start to be honest and deep in talk with yourself. Several questions that I've usually asked: (i) Why? What's wrong with you?; (ii) What kind of expectation propels you?; (iii) What is actually your purpose?; (iv) Have you done your best?; (v) Are you relying on your ability? Do you have any?; (vi) Have you ever been ready when you faced a new challenge?; (vii) How did you pass a similar situation previously?; (viii) Did you miss something?; (ix) Are you making a mistake?; (x) What is actually your part? A particular thing that you can do.
Every answered question was calming me down. I realised that 'ready' has actually never happened to me, but I always choose to face everything in front of me. Just like I was never ready to attend an international interview, to present my research in a conference, or to defend my thesis.
But I passed it all. Is that my ability? No. I just did my best; I'm practicing, learning, preparing, and letting Him finish the rest.
My final move is to find any strategies and step on it, closing it with the ultimate question, "Have you ever been dissapointed with how Allah makes your path?"
NEVER.
1 note
·
View note
Text
Tidak Berpihak
Banyak yang memilih untuk tidak berpihak. Alasannya?
1. Tidak ada yang baik. "Ga ada yang baik, semuanya buruk"
Padahal,
Baik dan buruk itu relatif, tergantung gimana lingkungan membentuk pola pikir kita. Makanya kita perlu POV orang lain. Ga boleh nutup mata, telinga, apalagi hati. Merasa POVnya yang paling baik.
Tolak ukur kita harusnya benar atau salah. Gimana tau benar/salah? Lihat fakta, dengar dari sumber terpercaya, baca secara lengkap dari sumber yang lengkap.
2. Tidak tahu mana yang benar. "Daripada salah pilih, dosa, mending ga usah sama sekali"
Padahal,
Ketika memilih untuk tidak berpihak, kita sedang membiarkan yang jahat bebas berbuat jahat, membiarkan yang curang terus berbuat curang, membiarkan yang salah merasa benar, membiarkan yang kasar terus memukul, membiarkan yang tertindas semakin menderita, membiarkan yang sulit semakin sulit, membiarkan yang baik berjuang sendirian.
Apakah membiarkan itu tidak akan diadili oleh Allah? Ketahuilah, bahwa setiap sikap yang kita pilih akan diadili.
Karena kita punya waktu yang sangat cukup untuk mencari tahu kebenaran, memiliki waktu yang cukup untuk menentukan pilihan kepada siapa akan berpihak, memiliki hak secara bebas untuk mengubah keadaan.
3. Tidak tahu mana yang benar. "Males ah nyari tau, ribet"
Lagi-lagi, kita punya waktu yang sangat cukup untuk mencari tahu kebenaran, memiliki waktu yang cukup untuk menentukan pilihan kepada siapa akan berpihak, memiliki hak secara bebas untuk mengubah keadaan.
4. Merasa bukan urusannya. "Ga ngaruh juga sama hidup gue"
Apakah kita masih sanggup mengatakan hal demikian, jika karena keacuhan kita orang lain kemudian menderita? Karena ketidakpedulian kita orang lain harus menanggung akibatnya? Bagaimana jika dikasus terburuk harus ada yang kehilangan nyawa karena kita bilang "bukan urusan gue"
Bagaimana jika akibat ketidakpedulian kita hari ini, besok lusa hal itu terjadi pada keluarga, anak cucu, dan penerus kita? Masih sanggup kah bilang "bukan urusan gue"?
"Berpihaklah! Berpihaklah pada kebenaran! Barangkali keberpihakanmu itulah yang nanti memudahkanmu di hadapan Allah"
@atina-azzahra
0 notes
Text
LANGIT.
"Pandanglah langit itu sebagai langit..."
Kalimat itu lewat di explore Instagram, disampaikan oleh seseorang yang aku juga ga kenal. Sebenarnya dia bicara tentang 'mengagumi seseorang'
Tapi ku rasa kalimat tersebut juga cocok dan relate aja dengan berbagai hal. Tidak hanya seseorang, tapi juga kondisi, waktu, dan tempat.
Intinya adalah,
"Bagaimana kita bisa melihat, melakukan, dan menempatkan segala sesuatu sebagaimana mestinya"
Jangan dilebihkan dan jangan dikurangi.
Kalau saya simpulkan dari apa-apa yang pernah disampaikan coach saya, kira - kira bunyinya begini..
"Hidup kita itu jelas, aturan Allah itu hitam dan putih. Kalau ada yang abu-abu itu karena kita yang keliru atau kita yang belum paham".
5 notes
·
View notes
Text
Kok rasanya berat yaa..
Aku pengen berbagi sesuatu nih, karena udah banget ngerasain gimana setelahnya.
Kalo temen - temen pernah ngerasain ada diposisi yang rasanya beraat banget, sampai bikin susah fokus, dadanya terasa sesak, bawaannya emosi, pengen nangis, dan lain sebagainya karena sesuatu kondisi yang kita sendiri ga ngerti gimana keluar dari keadaan itu, kaya ga nemu solusi aja gitu..
Coba deh,
Bayangin kalo di momen itu, Allah lagi ngomong,
"Kamu gapapa?"
"Perlu clue atau bantuan kah?"
"Sini, sini.. ada yang mau diceritain? Aku bisa bantu loh.."
Kerasanya kaya Allah tuh lagi nungguin kita buat dateng, buat ceritain semua problem kita. Kalo di hadapan Allah tuh kita bebas mau nangis, mau cerita apa aja, pake bahasa apa aja bolehh.. karena Allah ngerti banget yang kita rasain, persis kaya yang kita rasain, dan Allah bisa validasi perasaan kita.
Jadi, gapapa banget di momen itu nangis. Curhat ke Allah..
"Ya Allah kok susah sih??"
"Ya Allah kok kayanya berat banget, ga sanggup deh.. tolongin dong ya Allah"
"Ya Allah ini jalan keluarnya gimana??"
"Ya Allah bantu kembali bisa fokus dong"
"Ya Allah lapangin hatinya please, tenangin jiwanya, kasih petunjuk dong ya Allah.."
Nanti setelahnya, rasain deh gimana Allah bantu kita buat nemuin jalan keluarnya. Rasain gimana hatinya jadi lebih tenang, pikirannya lebih jernih dan lebih fokus.
Selamat Mencoba!
0 notes
Text
"Ada kalanya kita harus meninggalkan sesuatu. Bukan karena hal tersebut tidak menarik atau tidak menyenangkan. Justru karena hal tersebut sudah berubah menjadi sesuatu yang terlalu (terlalu menarik dan menyenangkan), sehingga kita harus menarik diri*".
Karena segala sesuatu yang berlebihan suka bikin lupa sama batasan.
Note (*)
Terutama buat hal-hal yang katanya "dunia aja ini mah"
0 notes
Text
GAPAPA.
Gak semua tanya kabar harus dijawab dengan baik-baik saja.
Gapapa loh, bilang kita lagi cape.
Gapapa juga bilang kita lagi sakit.
Gapapa bilang kalo kita ga bisa.
Gapapa banget bilang kita lagi ga baik-baik aja.
Bahkan, kalo mau nangis, mau marah, mau kesal, mau kecewa. Gapapa.
Ga baik-baik aja ga selalu berarti buruk kok, itu hanya salah satu momen atau keadaan dari sekian banyak momen dan keadaan baik yang pernah terjadi dalam hidup kita.
Ga baik-baik aja juga bukan berarti kita lemah, mungkin kita sedang belajar mengukur kemampuan diri, sedang berusaha memaafkan masa lalu, sedang berjuang melampaui keterbatasan.
Dan,
Gak baik-baik ajanya kita itu menunjukkan bahwa kita manusia.
Kita butuh yang 'selalu ada', yang 'bersedia mendengarkan dan mengerti'.
Kita butuh yang 'kuat dan bisa menguatkan', yang 'serba bisa dan tak terbatas'.
Kita butuh 'tempat pulang', 'tempat bersandar', tempat yang kita 'aman dengan-Nya'.
Salah dua hal yang baik banget adalah ketika kita sedang dalam kondisi yang sangat tidak baik, tapi masih bertahan memegang janji Allah Swt. dan ketika kita sadar bahwa kita ga sempurna, tapi tetap berusaha menjadi versi terbaik dirinya.
.
.
.
Selamat Bertumbuh.
Dari banyak apa yang kita gapapa-in!
1 note
·
View note
Text
Role Model
Aku percaya bahwa sebagai manusia, kita perlu seorang sosok ideal sebagai contoh untuk menjalani kehidupan.
Sebagai seorang muslim(ah) tentu saja Rasulullah Saw. merupakan sosok paling ideal yang pernah ada, dan itu tidak akan berubah sampai kapanpun.
Hanya saja, Rasulullah tidak lagi hidup bersama kita saat ini, di zaman ini. Sehingga kita perlu beberapa sosok yang bisa menggambarkan (merangkum) bagaimana idealnya Rasulullah, dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Sebab mereka adalah beberapa, tentu mereka bukan individu yang sempurna. Boleh jadi, mereka pernah melukai perasaan, pernah membuatmu menangis, boleh jadi sikap mereka pernah mengecewakan.
Maka sadarilah!
Role model (teladan) yang ingin kita tiru adalah Rasulullah Saw. dan mereka bukan Rasulullah saw. yang dijaga langsung oleh Allah Swt. Mereka adalah orang-orang luar biasa yang selalu berusaha meniru dan memberi kita contoh bagaimana idealnya sosok Rasulullah. Sehingga kita cukup mengambil segala hal baik dan merelakan hal lain yang mungkin mengecewakan.
Yang sedang kita teladani hari ini, di zaman ini, adalah manusia biasa (individu yang sama seperti kita). Sehingga wajar ketika mereka melakukan kesalahan layaknya kita. Percayalah! Bahwa mereka tidak pernah sengaja melakukan hal tersebut. Semata-mata agar hati kita lebih tenang.
Bahwa ilmu dan energi positif individu-individu luar biasa inilah yang ingin kita serap, dan itu tidak akan bisa didapatkan kecuali dengan tetap menjaga adab, kerendahan hati, rasa hormat, dan kepercayaan pada mereka.
Terakhir, berdoa!
Semoga Allah Swt. meneguhkan hati mereka dan hati kita semua untuk senantiasa berada dalam koridor yang Ia sukai dan ridhoi.
Aamiin...
0 notes
Text
Takdir
Kali ini aku ingin menulis tentang takdir. Akan ku awali dengan perkataan Umar bin Khattab :
Apa yang Melewatkanku tidak akan pernah menjadi Takdirku, dan apa yang Ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku. – Umar bin Khattab
Lalu ku sambung dengan sebuah cerita.
Suatu hari, A bertemu dengan B. Saat itu kehidupan A baik, tak kurang satu apapun. Hingga tiba pada suatu keadaan, dimana Tuhan ingin A belajar, lalu hidupnya dibalik 180°. Pada kondisi terkejut, sedih, kecewa, dan serba salah. A merubah sikapnya, jauh berbeda dari dirinya yang dulu sebagai bentuk menyalahkan keadaan.
Hari berlanjut, terus berganti. A tiba pada titik dimana dia sadar, bahwa keburukan yang dia lakukan hanya membuat lukanya semakin besar, kecewanya semakin dalam, dan sedihnya terus berulang. A pun pulang, dia berjalan kembali untuk menebus semua kesalahannya. Disepanjang perjalanan kembali, A kerap kali berpapasan dengan B.
Pada pertemuan tanpa disengaja itulah A kemudian merasa bahwa B bisa membawanya berlari pulang. Bisa membebaskannya dari kehidupannya hari ini.
Sampai disini, apa yang salah?
Yups!
"MERASA"
Perasaan manusia yang seringkali menggiring dirinya sendiri pada andai-andai tak menentu. Perasaan manusia yang melampaui takdir. Ia berkata seolah-olah tahu rahasia Tuhan.
Hingga tiba pada hari dimana A menyadari hidupnya tidak lagi seperti dulu, A kemudian berkata bahwa ia tidak ingin B terlibat dalam kondisi kehidupannya saat ini.
Saat itu juga Tuhan katakan, "kau mungkin berpapasan puluhan kali, tapi dia tidak pernah melihatmu".
Itulah yang ku sebut takdir.
Apa yang nampak didepan mata, belum tentu terlihat. Pun yang tampak, sekejap bisa hilang dan berganti.
Apa yang kau (manusia) yakini hari ini, belum tentu sama dengan yang tertulis di Lauhul Mahfudz.
Seringkali manusia tinggi hati.
Merasa dirinya benar, merasa keyakinannya tak pernah luput. Padahal segala yang terjadi sudah diatur dan teratur.
Yang dengan kebaikan-Nya. Boleh jadi ada bagian-bagian kosong dalam lembar takdir yang Tuhan biarkan terisi sesuai keinginan hamba-Nya melalui doa.
So, keep optimis.
Tetap berdo'a.
Biar Allah yang pilihkan mana yang terbaik.
Ketika takdir datang, entah ia dalam bentuk yang menyenangkan, ataupun sebaliknya. Itu pasti yang terbaik.
Allah ga pernah dzolim sama hamba-Nya kok, kalau takdir yang datang dalam bentuk tidak menyenangkan.
Maka PASTI Allah cuma pengen kamu belajar.
5 notes
·
View notes
Text
Kita Sering Lupa
Ada yang Allah kasih kemudahan memahami dan menerima ilmu
Ada yang Allah kasih kemampuan untuk beribadah dan beramal yang banyak
Ada yang Allah kasih keluarga yang harmonis
Ada yang Allah kasih kepercayaan dari orang banyak
Ada yang Allah kasih harta yang banyak
Ada yang Allah kasih lingkungan atau teman - teman yang supportif.
Tapi, kita seringkali lupa.
Kalo semuanya Allah yang kasih, maka Allah juga yang berhak menentukan kapan mau berhenti ngasih.
Seringkali juga kita lupa memanfaatkan rezeki - rezeki yang Allah kasih karena sibuk ngeliatin rezekinya orang lain.
1 note
·
View note
Text
Yuk! Berdiri Lagi..
Seringkali kita merasa kerdil, di hadapan mereka yang memiliki segudang capaian.
Tersusun rapi di dinding rumahnya berbagai penghargaan, baik itu capaian akademik maupun non-akademik. 'Mengagumkan' hanya satu kata itu yang mungkin terbersit di kepalamu jika ditanya tentang bagaimana mereka.
Kemampuanmu merangkai kata, berbicara, dan pengetahuan yang kau miliki mungkin tak akan pernah sebanding dengan mereka.
Yang membuatmu harus berulang kali mengetik dan menghapus deksripsi singkat untuk diunggah ke akun media sosial, yang membuatmu berkali - kali mengurungkan niat untuk berbicara, yang membuatmu seringkali mendahulukan mereka daripada dirimu sendiri. Mengapa begitu? Karena kita merasa kerdil kah di hadapan mereka?
Terlebih jika mendengar mereka mengatakan "Ah! Aku ini ga ada apa - apanya", rasanya seperti kakimu yang sudah terasa kecil berlanjut dipatahkan, kepercayaan dirimu runtuh seketika. 'Kalau kau tidak ada apa - apanya, lalu aku apa?' Batinmu.
Saat hal itu terjadi, kau harus paham bahwa mereka khawatir kesombongan akan melukai hati mereka yang ingin merendah.
Tak perlu khawatir tulisan kita akan disukai banyak orang atau tidak.
Tak perlu khawatir tidak mendapat pujian.
Sungguh! Sekalipun tak ada yang memperhatikanmu, kau tidak perlu khawatir.
Mari mengingat kembali,
Bukankah ada tujuan yang lebih besar dan lebih abadi daripada sekedar dipuji, dipandang, dan dikenal orang lain?
Kau tetap berharga meski tak terlihat, kau tetap mengagumkan meski tak dikenal, karena yang kau tanamkan adalah nilai. Maka pegang erat pula nilai tersebut dalam dirimu.
Semakin banyak nilai - nilai yang kau pegang, semakin sedikit kau memandang siapa yang menyampaikan. Sebaik apapun dia, kau tak lagi peduli. Yang kau cari hanya nilai yang bisa diambil dan dipelajari darinya.
Karena kau sadar,
Semakin baik seseorang di matamu, semakin banyak pula kau akan menyimpan kotak harap padanya, dan seiring dengan kau mengenalnya, kotak - kotak itu tak lagi kau sebut harap, melainkan kecewa. Karena kau berpegang pada siapa yang menyampaikan bukan pada apa yang disampaikan.
Yuk! Berdiri Lagi..
Kita tanamkan lagi nilai - nilai kebaikan, kali ini tanpa ada perasaan kerdil.
Hanya ada "aku, dengan versi terbaik diriku".
1 note
·
View note
Text
Mari Berbenah
Kita ingin menjadi baik dengan asumsi bahwa hal tersebut menyenangkan dan menenangkan, karena ia menumbuhkan kedamaian. Lalu sedikit demi sedikit kita masukkan ke alam bawah sadar kita bahwa 'kita orang baik', agar tindakan yang kemudian kita lakukan adalah segala sesuatu yang baik. 'Hei! Hal itu bekerja, menjadi baik itu menyenangkan! ' pikir kita, dan kita ingin orang lain juga memiliki rasa bahwa 'mereka orang baik' agar tindakan yang coba mereka lakukan adalah hal - hal baik, meski dalam keadaan paling sulit sekalipun.
Tapi ternyata, apa yang kita lakukan pada diri sendiri tidak bisa diterima sebagian lainnya. Mereka berpikir "kamu tak perlu menyebutkan bahwa dirimu baik, karena yang membencimu tidak akan percaya itu, dan yang mencintaimu tidak membutuhkan itu", dan mulai merasa muak dengan cara kita menanamkan kebaikan pada diri kita dan orang lain.
Entah karena mereka merasa tidak percaya diri atau karena kita yang berlebihan. Awalnya kita tanamkan hal tersebut sesekali, lalu kemudian menjadi berkali dalam sehari. Bukankah sesuatu yang berlebihan itu tidak baik? Maka ingatkanlah bahwa 'kita orang baik' itu sesekali, tapi lakukan hal itu setiap hari pada diri sendiri.
Ketika kita percaya bahwa semua yang dilakukan dengan hati akan sampai ke hati lainnya, maka itu cukup bukan? Karena ketika ia sampai ke hati lainnya, maka kebaikan lainnya akan berbuah. Kita tak perlu meyakinkan siapapun tentang kebaikan itu. Mereka akan merasakannya.
Kebaikan - kebaikan yang kita rasakan, yang kita dapatkan dari blog, twitter, instagram, maupun media sosial lainnya memberikan motivasi dan semangat perbaikan tersendiri dalam diri kita, membuat kita ingin orang lain juga merasakannya.
Disisi lain kita juga berterima kasih pada dia yang menuliskan kalimat - kalimat menyenangkan tersebut, kita repost, kita sebarkan seluas mungkin agar dia semangat untuk menulis dan membagikan kebaikan - kebaikan selanjutnya.
Tidak hanya senang karena karyanya diapresiasi oleh kita. Tapi juga karena semakin banyak orang lain yang juga mengapresiasinya. Semakin sering hal itu terjadi, bukankah besar kemungkinan menjadi semakin pendek benang ikhlas yang dia miliki karena terus diulur oleh kita?
Lantas bagaimana dengan sebagian lain yang juga berusaha memberi kebaikan tapi tidak terlihat oleh kita, sedang dia sejak awal mengamati kita. "Kapankah kira - kira dia akan menyebarkan kebaikan yang juga berusaha aku bagikan, dengan segala keterbatasanku?" Ujarnya dalam hati, pada kita yang baginya sangat berpengaruh di lingkungan dia tinggal.
Apresiasi yang kita berikan, bentuk terima kasih kita pada mereka yang menyebarkan kebaikan tak harus selalu terlihat bukan? Kadang cukup dengan ucapan terima kasih atau sekedar menyukai unggahannya. "Karena terkadang, pujian dan pengakuan bisa menjadi luka bagi hati yang ingin merendah." Agar yang sudah baik tidak merasa tinggi, dan yang sedang tertatih tidak merasa lumpuh.
Sejatinya, ketika kita menjadi baik dimata seseorang, maka sejak saat itu kita sudah menaruh kotak bernama 'kecewa' dalam hati mereka. Hanya menunggu waktu, ekspektasi mereka akan membuka kotak - kotak tersebut. Kita mungkin bisa bilang "aku melakukan semua itu dengan niat yang lurus, dengan niat yang baik, jika ternyata mereka menaruh harapan lalu kecewa padaku, itu diluar kendaliku". Sungguh, tak ada yang salah dengan kalimat itu. Karena harapan dan kecewa itu muasalnya dari hati, dan hati jelas bukan kita yang miliki.
Tapi, apa sungguh cara kita berkomunikasi, bahasa yang kita pilih, serta cara kita merajut keakraban dengannya adalah sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan? Menurutku tidak. Semua itu ada dalam kendali kita.
Mengajak seseorang apalagi orang - orang menjadi baik, jelas bukan perkara mudah. Terlebih jika diri sendiri juga masih jauh dari kata 'Baik'.
Seringkali kita buat tulisan positif di berbagai platform, entah itu blog, Instagram, Twitter, Facebook, Story yang sebenarnya ditujukan untuk diri sendiri. Berbagi tentang ikhlas, sejatinya agar diri ini menjadi ikhlas. Berbagi tentang kebaikan, agar diri ini terus memperbaiki diri. Berbagi tentang betapa baiknya Allah, agar diri ini tidak lupa dari bersyukur.
Pun ketika dipuji, kita merendah dengan amat sangat, khawatir sekali muncul rasa sombong dalam hati. Lalu kita katakan "ah, aku masih jauh dari kata baik." Atau "aku ini ndak ada apa - apanya". Sungguh, kita mengatakan itu untuk diri sendiri. Kita memang masih jauh dari kata baik, menurut penilaian diri kita sendiri. Sungguh, kita memang tidak ada apa - apanya. Agar tak ada rasa sombong dalam hati.
Tapi pernah kita bertanya bagaimana hati seseorang yang memuji lalu kita balas dengan kata demikian? Bagi sebagian dari mereka kita tidak ada bedanya dengan seseorang yang memiliki IP 4 lalu berkata bahwa dirinya bodoh dihadapan mereka yang IPnya berkisar diangka 2.
Bukan kah lebih baik ketika dipuji lalu berkata "Alhamdulillah, Terima kasih. Doakan dia dengan sesuatu yang sama baiknya dengan pujian yang dia berikan".
Nyatanya, mengajak pada kebaikan itu bukan proses yang stagnan. Boleh jadi akan selalu berubah, seiring dengan berubahnya zaman, seiring dengan banyaknya orang - orang baru yang kita temui.
Maka Evaluasi, dan temukan caranya. Tak perlu yang terbaik versi kita. Cukup untuk selalu lebih baik dari sebelumnya dengan versi yang disukaiNya.
1 note
·
View note
Text
Mengubah Cara Berpikir
"Semua orang punya penyesalan, begitu juga denganku, tetapi aku memiliki penyesalan yang tidak ingin aku sesali"
Remember?
Aku pernah menulisnya. Tepat di postingan pertama blog ini.
Awalnya ku pikir 'tak ada yang salah dengan kalimat itu'. Sampai ku temukan diriku jatuh pada sebuah keadaan yang membuatku berpikir bahwa 'kalimat itu belum selesai, kalimat itu tidak lengkap'.
Maka izinkan aku melengkapinya kali ini.
"Semua orang punya penyesalan, begitu juga denganku. Hanya saja, sebagian tak ingin ku sesali dan aku memilih bertanggung jawab atasnya. Sementara sebagian lainnya aku sesali dengan amat sangat, agar aku benci untuk mengulang kesalahan yang serupa."
2 notes
·
View notes
Text
Harga Sebuah 'Maaf'
"Coba aja, harga maaf itu senilai 1M pasti orang-orang bakal mikir buat bertingkah atau berkata-kata." Kalimat itu ku baca dari kolom komentar salah satu akun instagram.
Kamu setuju?
Ah! Aku punya pendapat lain.
Maaf itu mahal, lebih mahal dari 1M, bahkan tak ternilai. Entah bagi yang meminta maaf maupun bagi yang memaafkan, karena perihalnya sudah tentang hati, masalahnya tentang ego, bukan lagi bernilai materi.
Yang meminta maaf harus rela merendahkan ego dan menahan malu untuk mengakui kesalahannya. Bagi sebagian yang terbiasa hal ini mungkin mudah, tapi tetap sulit bagi sebagian lain (terutama jika harus mengakui pada yang lebih muda, atau mengakuinya dihadapan puluhan bahkan ratusan orang yang percaya denganmu).
Pun bagi yang memaafkan, harus mau melapangkan dada dan meluaskan jiwanya untuk memaafkan kesalahan orang lain. Bagi yang terbiasa hal ini mungkin mudah, tapi juga tetap sulit bagi yang lain (terlebih jika ternyata dirimu yang benar, namun sudah terlanjur dilukai).
Hal yang membuat kata 'Maaf' menjadi lebih mahal adalah karena hal - hal yang didapatkan setelahnya, baik yang meminta maaf maupun yang memaafkan, kedamaian hati dan ketenangan jiwa menjadi harga yang layak untuk didapatkan.
Setidaknya ini menurutku, jika kamu tidak setuju. Tak mengapa 😁
1 note
·
View note
Text
“Dimana kau berada, seperti apa kondisi lingkunganmu, apa yang kau tonton, apa yang kau dengar, siapa yang kau ajak bicara, itulah yang akan membentuk dirimu. Jika kau ingin mengubah dirimu, mulailah dengan mengubah hal-hal diatas.”
— Choqi Isyraqi
811 notes
·
View notes
Audio
“Yang rapuh bukan berarti tidak pernah utuh, dan yang kuat bukan berarti tidak mungkin patah”.
Seringkali kita memaksa yang bukan untuk kita. Ketika rusak, patah, dan tidak lagi utuh lalu berkelit menyalahkan keadaan, membuat pembenaran agar diri ini tak bersalah.
Kenapa sulit sekali menerima? Akui saja, kita memang salah, lalu perbaiki kemudian. Marah lah secukupnya, Menangis lah secukupnya, Sesali, dan jangan lagi diulangi.
Semoga hati kita menjadi lebih damai.
1 note
·
View note
Text
Komunikasi
Bukan melalui media..
Tetapi ketika aku bisa mendengar setiap katanya, menatap matanya, mengamati ekspresinya, dan memahami bahasa tubuhnya..
Aku senang, ketika harus berbincang bersama beberapa orang.. Aku senang ketika harus berbicara berdua dengan seseorang..
Bagiku, komunikasi menjadi salah satu point paling penting dalam menjalin hubungan, dengan siapapun... Karena kita tidak pernah tau, bahwa pada suatu perbincangan yang menurut kita tidaklah penting, pembahasan yang tidaklah berguna, obrolan ringan dan santai yang biasa dilakukan.. Boleh jadi kemudian memiliki kesan tersendiri bagi orang lain, yang akan ia ingat hingga puluhan tahun kemudian, bahkan mungkin saja perkataan yang kita ucapkan hanya sekedar basa basi dapat menjadi semangat dan acuan hidup seseorang..
Menyenangkan ketika aku bisa menikmati setiap komunikasi dengan orang-orang di sekitarku, terkadang aku hanya harus memahami bahasa tubuhnya, mengamati raut wajahnya, dan menatap matanya untuk mengerti apa yang ia rasakan..
Karena nyatanya, tidak semua orang pandai mengutarakan perasaannya dengan rangkaian kata..
4 notes
·
View notes
Text
How to Learn
Pelajar, Pengajar, Belajar..
Pelajar belajar untuk menerima pelajaran dari pengajar...
Pengajar terbaik adalah yang bisa memberikan pelajaran tanpa pamrih, yang keridhoan menyertai setiap lelahnya, yang tujuannya adalah mencari keridhoan penciptanya..
Pelajar terbaik adalah yang senantiasa membuka pemikirannya untuk menerima pelajaran dari siapapun pengajarnya, baik itu yang lebih tua, yang lebih muda, maupun masa lalu.. Tidak bersikeras meneguhkan pendapatnya, berlapang hati menerima pendapat orang lain.. Mampu mengambil keputusan dengan bijak, senantiasa membiarkan Allah turut andil dalam setiap urusannya, dengan tujuan terbesarnya adalah mencuri perhatian Sang Pemilik..
Pelajaran terbaik adalah kesalahan dan masa lalu, yang diyakini bahwa semua terjadi karena campur tangan-Nya, kesalahan yang kau perbuat adalah cara-Nya untuk membuatmu menyesal untuk kemudian kembali dan memohon ampun pada-Nya.. Masa lalu yang kau sebut menyakitkan, yang kau sebut mengecewakan adalah cara-Nya untuk membuatmu dewasa, adalah cara-Nya untuk memberi tahumu bahwa begitu banyak nikmat-Nya yang harus direnungi.. Pelajaran terbaik yang berhasil kita dapatkan adalah ketika kita mampu bersyukur dalam keadaan paling sempit sekalipun
Cara Belajar terbaik adalah dengan duduk menyendiri, entah di tempat sepi atau di sepertiga malammu, untuk mengingat kembali kesalahan apa saja yang sudah kita lakukan, atau bahkan kesalahan apa saja yang sudah kita ulang-ulang hingga tak terhitung.. Dengan mengingat kembali nikmat-nikmat yang sudah terlupakan, untuk kemudian menyadari bahwa 'Dia' bahkan masih mencintaimu yang hanya pantas disebut 'pendosa'..
"Tidak ada yang paling ku takuti, selain hatiku tak lagi bergetar ketika nama-Nya disebutkan (Na'udzubillah)"
2 notes
·
View notes