Tumgik
atikahsnrd · 2 years
Text
Morning Mantra
Hai kamu,
Alhamdulillah ya pagi ini Allah masih memberimu usia untuk bangun dan menjalani hari
Aku tahu hari ini akan jadi hari yang panjang Dengan semua tugas-tugas hidup yang harus kamu selesaikan dan target-target yang ingin kamu capai hari ini Bismillah, semoga Allah bantu dan beri jalan kemudahan apapun aktivitas yang akan kamu lakukan
Aku tahu kamu pasti bisa menjalaninya Karena percayalah apapun yang sudah Allah amanahkan pasti selaras dengan kemampuan yang kamu punya
Meskipun tak selalu mudah, terkadang ada seja kerikil-kerikil yang menghambat hari kita, lalu...
Jika harimu berat, bernafaslah sejenak siapkan kembali energimu untuk melanjutkan langkahmu Jika kamu mengalami kesulitan dan itu membuatmu bersedih, bersedihlah hingga kamu siap untuk bangkit kembali Jika semua hal berjalan tak sesuai dengan apa yang kamu inginkan, tak mengapa merasa kecewa, namun tetaplah berikan ruang untuk percaya bahwa ini adalah ketetapan terbaik dariNya  
Bersyukurlah atas pencapaian-pencapaian sederhana yang kamu raih hari ini Sesederhana saat kamu berhasil menyelesaikan cucianmu yang setumpuk, membersihkan rumahmu, memandikan dan menyuapi buah hatimu, menambah sepatah dua patah kata pada tugas/skripsimu, mencoret satu atau dua to-do listmu,  merawat dirimu dengan baik, menjual satu, dua, atau lebih buku/barang jualanmu, menyapa dengan hangat anggota keluargamu, dan hal-hal sederhana lainnya Karena tak akan ada pencapaian besar, jika tidak berawal dari pencapaian-pencapaian yang sederhana
Berterimakasih dan menghargai diri atas sebuah pencapaian, sekecil apapun itu, adalah bentuk syukur kepada Tuhanmu yang memberimu nafas dan kehidupan hingga hari ini
Semangat ya dalam menjalani hari! Karena kamu begitu berarti, banyak orang yang kamu sayangi menanti peranmu hari ini
best regards, me
5 notes · View notes
atikahsnrd · 2 years
Text
Denial
Proses melepaskan diri dari rasa kecewa terhadap diri sendiri, dari rasa sedih, dari rasa marah atas kesalahan dan kekurangan diri bukanlah hal sederhana. Tak semudah memberi sugesti positif, berpikiran baik lalu bagai ketok magic semua berubah. Nope. 
Dulu kupikir, saat mendapatkan kritik pedas, saat dijatuhkan, saat kecewa, saat dianggap remeh oleh orang lain atas kekurangan diri, cukup dengan berpikir positif, lalu anggap itu sebagai kritik yang membangun. Jadikan itu pecutan agar lebih baik. Lalu, ta-da aku berubah menjadi superwomen.  But the fact, it’s totally wrong. Deep inside me, aku menyimpan itu sebagai luka yang diabaikan. Tak pernah diberi waktu untuk dirasakan. Sering kuberkata pada diri 
“Ah gitu aja masa sedih, masa dikritik gitu aja down, ayo dong jadiin itu motivasi buat bangkit”, 
tanpa memberi waktu pada diri untuk merasakannya dengan baik sebelum bisa melepaskannya dengan baik pula. 
Semakin diri ini mengelak bahwa rasa-rasa itu tak perlu dirasakan, tak perlu diberi waktu untuk bebenah dan menata hati, cepat-cepat ingin bangkit, ternyata semakin diri ini menumpuk sampah batin. Bukan terbuang, malah tersimpan. Hingga suatu saat kelak ia akan meledak, entah kapan. 
It takes a long process. Menerima diri dengan segenap kekurangan dan kealpaannya butuh proses yang tak sederhana. So today, saat aku merasakan kekecewaan itu (lagi dan lagi) 
I will give time to myself, to feel regret. 
Untuk benar-benar merasakannya sebelum akhirnya mampu melepaskan dan mengikhlaskan. Bangkit perlu, jadikan pengalaman pahit sebagai motivasi tentu baik. Namun memberi waktu pada diri untuk berdamai juga tak kalah penting.. 
It’s okay to not feeling good, to feel regret to yourself, to be sad, to not be okay.. 
give time to yourself, to your heart 
and appreciate it when you go through it well 
then, 
Insya Allah you’ll ready to move on, to be a better one. 
2 notes · View notes
atikahsnrd · 7 years
Quote
Saat syukurmu kau panjatkan atas kebahagiaan, prestasi, dan apa yang didapatkan orang lain, disitulah syukur yang terbaik ~
#random
2 notes · View notes
atikahsnrd · 7 years
Quote
Katanya iri itu akhlak yang dilarang, tapi tidak untuk dua hal. Salah satunya pada orang yang Allah beri anugrah untuk memahami dan mengamalkan Al-qur'an. Iya, memang buat iri. Iri sekali rasanya melihat orang yang selalu istiqomah tilawah minimal satu juz tiap harinya. Iri sekali rasanya melihat orang yang senantiasa menjaga hafalannya, bahkan menambahnya. Iri sekali rasanya melihat orang yang paham bahasa Al-qur'an bahkan hingga tersedu sedu karenanya. Iri sekali rasanya melihat orang yang memprioritaskan waktunya untuk membaca, memahami, menghafal hingga mengamalkan isi Al-qur'an. Sedangkan diri ini? Rasanya seujung kuku pun belum seperti itu... Laa haula wa laa quwwata illa billah.. :'(
Contemplation
0 notes
atikahsnrd · 7 years
Quote
Dunia mah cuma kayak numpang minum mba, sebentar banget :')
Kata eyang
0 notes
atikahsnrd · 7 years
Quote
Kalau dunia hanya sebatas genggaman, kita akan jadi orang yang lebih easy going, mudah untuk ikhlas sama semua hal yang Allah tetapkan, meskipun itu pahit. Then, life will get much easier right?
-catatan perjalanan menuju tempat kos-
1 note · View note
atikahsnrd · 7 years
Conversation
Murid : Miss lagi apa?
Guru : Lagi nunggu teman-teman selesai wudhu..
Murid : (Duduk di samping guru)
Ikutan ah.. Enak ya miss duduk disini, adem banyak angin sepoi-sepoi.
Guru : Bukannya ademan dalam kelas ya?
Murid : Ga ah enakan disini, anginnya adem, Alhamdulillah.
Angin ciptaan Allah kan miss?
Guru : Iya lah :)
Murid : Terimakasih ya Allah, adem sekali...
Dan si guru cuma mesem-mesem sendiri mendengar pernyataan polos bocah itu.
Lagi-lagi diajak belajar.
Mereka jauh lebih pandai bersyukur bahkan untuk hal-hal sederhana :)
0 notes
atikahsnrd · 7 years
Text
A Long Way Process called Learning
To be involved in my student’s learning process is totally something interesting, especially in early years of education. Alhamdulillah, I got chance to plunged directly in early childhood education field. Having experience of teaching little kids was widely different with the adolescent. It’s like you need a longer and complex process of learning even for a simple concept or value. Meanwhile for adolescent, just like in secondary or high level of primary, they can absorb some concepts in shorter time even that is a complex one, especially for higher achiever. But when you teach a little kid, you need to extend your patience and energy, because the process would be ten or even twenty times longer than the adolescent.  
I still remember, when I was teaching kinder A students who were very young. They still adapted with the new environment outside their home. Just to be stayed at class independently (without their mom) was a big achievement for them. One of my students even needs more than 3 months to split out from the parents. They meet their first social environment at school. Of course it would not easy for them and us as a teacher. So we start to teach everything from the simplest thing.
It is not the same like when I still be a pre-service teacher (PPL) in secondary level, I mustn’t prepare much or study deeper about the concepts. Most of my time spent for thinking creatively how to deliver the lesson and preparing the learning media or tools we need in order to make them constantly focus to the lesson. It would be impossible for them to sitting down and listen to teacher more than five minutes, hahah. Yeah, you have to be very creative for this one, or soon you’ll see your student blowing up just like a pop corn in the hot pan (literally lol).
There are lots of values, rules, simple knowledge that given to the early years students and mostly it is only the basics. I learn how to enjoy the long way journey of educating. I should appreciate every progress they shown, even for a small thing that people do not recognize. I would be very glad to know when my student just cry 30 minutes shorter than yesterday, and of course there will be a sticker for that as an appreciation. “Waaah good job, tomorrow you may cry if you miss your mom, but only five minutes ya? And for the next day you will not cry anymore because you have been a super boy, here is the sticker for you”. I also feel grateful when I know that they can open their own snack without teacher’s help, wearing the shoes by themselves, say sorry when they hurting friend, always say salam when they meet the teachers and friends, could recognize numbers from 1-5, could distinguish between pet and farm animal, and so many simple progresses every day that make you happy. Those thingies sounds so simple right? But it takes at least a week or even a whole year, and sometimes you did not see anything changed.
I always convincing to myself, it is okay you do not see any changing after you teach this and that, perhaps it will appear next year when they in KG B, or when they entering primary, or even when they just grown up. All you have to do is giving and giving, teach them all of the good values you know and enjoy the process. Don’t worry, this is their golden age period whereas everything they see, they look, they feel and experienced will be recorded in their subconscious.  This experience opens my mind that the “main menu” for teacher is our involving in each process. And I think every teacher should be firm to their own self and of course the kids, that the most important thing of learning is the process itself, not the result.
Those statements remind me when I was having my first experience facing the tantrum kid just because of saying Basmallah. Never cross in my mind saying Basmallah would be such a tough matter for kid. Let me begin the story. At that time I just told my students to begin everything with basmallah. And every student followed it. We lined up in the front of the door before we go to the play ground, and saying basmallah together. Then, just call one of my students as C. C was coming late, because he just finished his snack. He said “Miss I want to play at playground”. “Of course you may, but before we go let’s say basmallah first”, I told him. “No I just want to go now”, he started to be angry. “Sorry C, you may go after say basmallah, okay?”. And finally his tantrum awaked. He cries so hard, kick everything, and screaming out. I tried my best to stay calm and not to be panic, and of course I didn’t because it’s my first time hehe. I took my time for a while, asking for Allah’s refuge, and finally I could tell gently, saying basmallah is good for him. One thousand reasons I told while I hold his leg and arm to not raging. He seems not listens at all and still cried loudly, but I was pretty sure that he caught up my advice well. This happened the same way for almost a week. The difference is the frequency of each day. His tantrum got shorter and more lenient day by day. As a consequence, he never played at play ground along that week. However, that is his process to be better. In the end of the week, he just came to me and said “I know miss, I have to say Basmallah before playing right? Bismillahirrahmanirrahim”, “can I go now?”’. “Of course honey, good job”, I hug him tightly. I felt like I was the happiest teacher in the world. Is it sounds over? But yeah it is.
And since then, the result is never being a big matter for me except for my own evaluation. To be always in each process and progress is happiness, no matter how long it is. Till now, I taught a first grader, their having their real scores; then i always told them “Your score is not a big matter for me, as long as you do your best when you learn”. It is such my big proud of them, when they bravely shown their own project or quiz honestly, even the score is not high. They would say “Sorry miss I just got 50”. And I would say “Never mind, you are learning”, “You can learn harder next time”. :)
1 note · View note
atikahsnrd · 7 years
Text
Memberi Alasan Mengapa
Talk about consequence or punishment, hukuman atau konsekuensi merupakan satu hal yang tak bisa kita lepaskan dari proses mendidik. Honestly, saya masih cenderung skeptis dengan sebuah pendapat yang mengatakan bahwa mendidik anak itu jangan memberikan larangan, atau mendidik jangan memberikan hukuman. Sedangkan dalam Al-qur’an sendiri sangat jelas, banyak terdapat kata laa, which means ini adalah larangan Allah. Al-qur’an juga sangat terkait dengan sistem Reward and Punishment, yang paling dekat saja tentang surga dan neraka.
 Saya pikir, tak ada yang salah dengan memberikan larangan ataupun konsekuensi pada anak-anak. Karena jika anak-anak tak terbiasa akan hal itu, akan sulit untuk mereka mengikuti Al-qur’an yang begitu jelas perintah dan laranganya, konsekuensi kebaikan dan keburukannya. Sedangkan ini adalah pedoman utama kehidupan mereka.
 Lalu apa yang belum tepat?
 Teringat beberapa cerita orang-orang terdekat saya tentang anak-anak yang begitu membenci gurunya hingga dewasa karena guru itu pernah menghukum dengan cara mempermalukannya. Atau bahkan anak yang trauma sekolah karena konsekuensi yang kurang tepat yang ia dapatkan di sekolah. Beberapa anak-anak tidak bisa dekat dengan orang tuanya karena pernah ada hal yang menyakitkan hatinya. Saya jadi ingat sendiri tentang memori-memori masa kecil. Ketika saya harus menerima hukuman atau konsekuensi atas apa yang saya lakukan dari orang-orang dewasa di sekitar saya. Sometimes, begitu membekas dan menyakitkan (atau memang saya baperan saat kecil). Bahkan beberapa momen kesedihan itu saya tuliskan dalam diari dengan penuh “drama” (maklum masih SD). 
Lalu bagaimana jika hal ini menyakitkan bagi anak-anak, padahal satu sisi mereka harus belajar menerima konsekuensi hidup yang mereka jalani?
Tentu ini berkaitan erat dengan caranya, bukan? Klasik, bahwa memberikan hukuman harus yang mendidik, bukan pelampiasan dendam, kekesalan emosi kita orang dewasa terhadap tingkahnya. Bukan tentang menghukum sampai puas, namun memberikan pelajaran tanggungjawab, proses belajar apa yang mereka dapatkan setelah menjalaninya.
Terjawab sudah, apakah jenis hukuman yang mempermalukan, me-label di depan umum, dan hukuman fisik adalah hukuman yang mendidik? Of course nope. It’s so classic, I think every educator know it very well.
 Ada satu angle lain yang menarik terkait konsekuensi ini, yaitu tentang memberi alasan mengapa. As a teacher, tentu saya pernah memberikan konsekuensi pada anak-anak (terhitung sering malah). Ada yang berbeda saat saya memberikan alasan di awal sebelum memberlakukan sebuah hukuman atau konsekuensi, saya merasakan ada sebuah penerimaan dan persetujuan, dan yang terpenting mereka tahu bahwa ini bukan wujud dari sebuah kemarahan kita namun bentuk kasih sayang kita agar mereka bisa jadi lebih hebat.
Sebuah alasan amat terkait dengan niat, dan sebuah niat adalah landasan tercatatnya sebuah amal bukan?
Dalam sebuah penggalan hadits, Rasulullah SAW bersabda;
“Innamal a’maalu bin niyyah” Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat.
Saya pikir, inilah yang mendasari bahwa memberi alasan menjadi sangat penting. Sering sekali saya merasa bersalah ketika memberi konsekuensi yang “mengecewakan” mereka. Misalnya saat saya memberlakukan time out, saat mereka harus duduk di reflection corner dimana teman-temannya sedang asik bermain. Tentu mereka akan sangat sedih dan kecewa dengan saya.
“Why I have to do this?”
“Because I care about you.  If you know the consequence of doing this thing today, you will not repeat it tomorrow, it means you’ll be better kid right?”
Atau saat saya memberi konsekuensi untuk belajar sebentar ke kelas adik – adiknya. Tentu mereka menolak, namun Alhamdulillah mereka akan lebih terbuka saat kita memberi alasan.
“I want you to learn together and take the lessons from them, the way they play, learn, sharing the toys, and everything, even they’re smaller than you, but they’re very nice.”
Insya Allah, Our reasons will knock out their heart.
Kadang saya suka terharu sendiri, tak jarang mereka menangis dan begitu berat menjalani konsekuensi tersebut seolah mereka akan mendendam. Ternyata saya salah, mereka benar – benar makhluk pemaaf dan besar hati. Siang harinya mereka akan tetap memberikan pelukan hangat dan senyuman manis meski di pagi hari kita sudah “merebut kebahagiaannya” :’).
Give them the reason why, buatlah mereka paham bahwa kita menyayanginya, as Jhon Bosco said.  
it’s not enough to love the children, it is necessary that they are aware that they are loved”. –St. John Bosco.
0 notes
atikahsnrd · 7 years
Quote
Terkadang Ia membuat mu tersedu agar  kau perpanjang sujud dan rengekmu.  Begitulah cara Ia mencintaimu. Fashbir shabran jamiilaa
selftalk
0 notes
atikahsnrd · 7 years
Conversation
Lagi apa????
Siang itu, saat saya sedang menuruni tangga. Terlihat seorang anak berdiri di depan pintu kelasnya, menggenggam gagang pintu. Namun anehnya ia menghadap ke dalam kelas dan otomatis ia juga membelakangi setiap orang yang lewat, tidak masuk tidak juga keluar.
"Who's that?", tanya saya penasaran.
(Bagaimana ga penasaran, selain aneh saya juga tidak bisa melihat wajahnya)
"Hehe, it's me", jawab si anak malu-malu.
"Hooo ga***, what're you doing there?", "you don't come in to your class?"
"Hehe, buang angin miss", jawabnya polos, malu-malu.
"Oooh"
Tak tahan rasanya menahan tawa geli dalam perut yang ingin segera tumpah.Sesampainya di lantai dasar, tawa saya pun meledak.
Terjawab sudah semua keheranan saya atas pose aneh anak itu.
0 notes
atikahsnrd · 7 years
Quote
Ideal gas is never exist, it's only pretending
my physics lecture
0 notes
atikahsnrd · 7 years
Text
Bukan Pilihan
Air mata itu tak terasa menetes.
...
Pagi itu saya datang lebih pagi, karena kebetulan saya sedang tidak masak, jadi punya lebih banyak waktu dan bonusnya bisa datang in time. Dan benar saja, belum ada satu pun guru lain yang sudah datang. Namun, saya terheran- heran ada sesosok “bayi” yang sudah datang jauh sebelum waktunya, bahkan sebelum gurunya. 
Di sekolah kami memang ada kelas bayi, memang bukan benar-benar bayi, i mean toddler, rentang usia mereka 2-3 th. Saya memang bukan guru bayi-bayi itu, makanya saya terheran-heran ada anak bayi yang datanga sepagi ini, sedangkan mereka baru memulai kelas jam 8 pagi nanti. 
Selang beberapa lama datanglah guru kelas bayi itu, yang juga roommate saya di kontrakan. 
“Miss kayaknya tadi aku liat Fulan deh (Sebut saja Fulan ya, nama disamarkan) sama mbaknya, dia udah dateng masa jam segini”, celoteh saya.
“Seriusan?”. 
Sesaat setelah itu teman saya masuk ke kelasnya. Terlihat pengasuh Fulan melakukan serah-terima dengan guru kelasnya dan bergegas pulang. Sebenarnya kelas saya ada di gedung sebelah, saya datang ke gedung ini hanya untuk absen. Namun tetiba saya mendengar suara tangis yang cukup keras, karena khawatir saya sempatkan untuk mampir ke kelas bayi tersebut.
“Miss, boleh titip Fulan dulu ga sebentar, aku mau fotokopi dulu”, ujar teman saya meminta tolong. “Ya ampun mbaknya udah pergi? Ini kan blm masuk office hour juga”, “okeh aku pegang dulu deh, kamu foto kopi dulu aja miss”.jawab saya.
Begitulah seninya mengajar anak-anak yang masih sangat kecil-kecil ini. Harus benar-benar dijaga dan diawasi, tidak bisa ditinggal sendiri barang sedetikpun. Dan lagi ada yang spesial dari si Fulan, malaikat kecil ini. Bukan hal mudah untuk memahaminya, belum ada kata yang bisa terucap, masih sangat sulit untuk berinteraksi dua arah. Karena itu ia akan lebih mudah tantrum, karena ia belum bisa mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
Ia bukan anak biasa, ia anak yang spesial.
Saya coba menggendongnya untuk sekedar menenangkan. Ia terlihat masih lelah dan mengantuk. Tak berhenti berhenti ia meraung. Saya lihat tingkahnya yang begitu mencari perhatian. Saya coba untuk berbicara dengannya, meski ia hanya bisa membalasnya dengan erangan.
“Fulan masih ngantuk ya, yuk bobo yuk”, ajak saya sambil menunjukan agar ia mau tidur dipangkuan.
Akhirnya ia mengikuti, pelan pelan ia meletakkan kepanya di kaki saya, meski tetap sambil menangis. Kakinya masih menendang – nendang. Perlahan saya tepuk tepuk pundakanya, pelan agar ia tenang. Namun tak juga tenang. Lama kelamaan tangisnya pun kian pelan. Meski beberapa saat kemudian akan memulai lagi dengan kencang, dan kembali diam saat ia lelah. Dan begitu seterusnya.
Tak terasa air mata saya menetes, melihat anak tak berdosa ini melewatkan begitu banyak fase yang harusnya ia lewati.Begitu banyak stimulasi yang harusnya ia dapatkan namun belum ia dapatkan. Begitu butuh akan kasih sayang namun masih sangat kekurangan. Si mungil yang seharusnya sudah menguasai beberapa tahap tugas perkembangannya, namun ia masih di situ, seperti bukan anak seusianya. Ya Allah…
Beberapa saat kemudian teman saya datang.
“Udah ms kembali ke kelas gih, aku udah selesai ko”, jelasnya sambil menyuruhku kembali ke kelas.
“Ga papa miss, partnerku udah dateng ko kayaknya”.
“Yaudah nih makan dulu aja, tadi aku beliin sarapan”
Sambil sarapan kami membicarakan anak malang ini, si Fulan. Saat itu ia mulai tenang.
“Miss aku ga tega liat Fulan, mamanya masih sibuk miss?”
“Iya miss, belum ada respon tentang panggilan dari sekolah”. “Padahal kalau sekolah dalam keadaan kaya gini ga dapat apa apa juga, dia masih belum faham apa yang kita omongin,dia juga speech delay, butuh banyak terapi”.
“Iya keliatan sekali banyak hal yang kurang terstimulasi”
“Sebenernya belum perlu sekolah miss, karena akhirnya ga dapet apa-apa, dia cuma perlu terapi dulu”.
Percakapan kami berlangsung panjang. Sambil menepuk nepuk pundak Fulan, sembari makan dan mengobrol. Sesekali Fulan bangun saat kami terlalu sibuk bicara dan saya lupa menepuk nepuk. Ia bangun dan membanting mainan. Ia menunjukan hanya ingin diperhatikan. Akhirnya kami kembali menenangkannya.
Percakapan kami sampai pada satu kesimpulan.
Menjadi orang tua adalah bertanggung jawab sepenuhnya atas amanah yang sudah Allah titipkan. Tak peduli siap atau tidak siap, sibuk tidak sibuk, sempat tidak sempat, belajar dan memberi yang terbaik adalah kewajiban.
Cukuplah Fulan menjadi pelajaran. Saat ia terlahir dari kedua orang tuanya yang sangat sibuk. Bahkan tak sempat untuk sekedar memberi jawaban pesan singkat tentang anaknya. Tak sempat mengantar sekolah. Tak sempat memberi stimulasi sederhana untuk perkembangannya. Tak sempat memberikan terapi disaat ia sangat membutuhkannya. Tak sempat hadir atas panggilan kami sang guru, padahal ini hanya untuk buah cintanya. Wallahu’alam. Mungkin memang benar-benar tidak sempat karena begitu banyak urusan yang harus diperhatikan.
“Mungkin sebenarnya Fulan tak akan begini jika ia mendapatkan apa yang ia butuhkan”, batin saya.
Tak tahan rasanya melihat mata Fulan yang berbinar, rasanya ia ingin mengungkapkan apa yang ada dihatinya namun tak bisa. Tak tega rasanya anak sekecil ini datang terlalu pagi dan pulang terlambat. Ia butuh kehangatan sebuah rumah dan orang tua.
Saya memang tak pernah tahu betapa sulitnya menjadi orang tua. Mungkin benar-benar sulit, terlebih sang ibunda adalah wanita karir yang masih juga punya pekerjaan formal diluar. Waktunya terbatas dan energinya terkupas habis diluar sana.
Namun, saat seseorang sudah memutuskan untuk menikah, terlebih menjadi orang tua, BELAJAR dan MEMBERI yang terbaik tidak lagi menjadi pilihan bukan?
Saat sang anak sudah terlahir, mau tak mau harus bertanggungjawab bukan? Ia manusia, yang tiap waktunya selalu tumbuh dan berkembang. Tanpa terasa mungkin tiba-tiba ia sudah besar. Apa yang terjadi saat kita melewatkan masa-masanya dengan begitu saja? Maka bukan lagi hak kita untuk marah saat ia menjadi monster saat dewasa.
Membesarkan manusia memang perkara rumit, namun adakah pilihan untuk melewatkannya dengan begitu saja? Sedangkan kucing dan burung saja membesarkan anak-anaknya, memberi kasih sayang penuh, bahkan mengajarkan anak-anaknya untuk bertahan dan mencari makan.
Kalau begitu benarkah kita manusia lebih baik dari mereka??
0 notes
atikahsnrd · 7 years
Quote
Mandiri. Mental dasar yang harus dimiliki pembelajar.
#randomthought
0 notes
atikahsnrd · 7 years
Quote
Dear, sesosok manusia tertangguh yang pernah ada di muka bumi. Yang kukagumi semenjak balita. Yang selalu menjadi idola bahkan saat ku remaja.  Berharap Allah selalu merahmatimu, memberkahimu, melindungimu. Tak pernah ada belahan dunia seindah Jannah-Nya bukan? Semoga semoga semoga……… Barakallah fii umrik, ummi.
1 note · View note
atikahsnrd · 7 years
Text
Mengikis Prasangka
Ada yang tak saya pahami dari tingkah salah satu murid saya beberapa hari lalu. Biasanya ia memang iseng, namu jarang sekali hingga melakukan kontak fisik (seperti memukul dan menendang). Namun hari ini terlihat berbeda. Intensitas keiseingannya jauh dari biasanya. Hampir setiap waktu. Dan sudah beberapa temannya menjadi korban dan menangis.
Gemas rasanya. “Anak ini iseng sekali!”, prasangka ku dalam hati.
Perlahan saya coba beri peringatan. Di kelas, saya mencoba menerapkan warning saat peringatan peringatan kecil tak lagi efektif. Tiga warning maksimal untuk anak-anak, jika sudah lebih dari tiga akan ada konsekuensi yang kami sepakati bersama, kali ini kesepakatannya More than 3 warnings, means learn in kinder B.
Pada akhirnya anak ini pun mendapat tiga warning karna sudah lebih dari tiga kali menggangu temannya bahkan membuat menangis. Konsekuensinya dia harus ke kelas kinder B selama 10 menit untuk belajar sesuatu disana.
“Let’s go K”, ucapku.
“Why i have to go there?”
“You know it really well”
“Ok i know, i got 3 warning. I mean, why it should be Kinder class?”, protesnya yang saat itu ia adalah anak primary.
“Because we will learn something there, even they still kinder, but they behave well”
“should i go now? it’s only take 10 minutes right?”
“Of course, i promise”
Dengan sangat berat hati ia pun pergi bersama saya tentunya. Karena ia amat tahu tak ada cara apapun yang ampuh untuk melobi gurunya itu, rules tetaplah rules, apalagi ini adalah kesepakatan bersama.
Ia pun masuk. Kami meminta izin untuk duduk mengamati anak-anak yang sedang antusias belajar. Saat ia masuk, tak ada satu pun yang tertawa apalagi mengejek, padahal sebelumnya ia sempat ragu untuk masuk karena hal itu.
“They are very nice ms”
“yes, No one laughing at you as you thought before”.
“Yup, it’s good”
“is there anyone disturb his friends?”
“No, they are really nice. i like it, i want to be like them”.
“Really? that’s good, thank you“.  
Sepuluh menit pun berlalu. Kamipun berpamitan untuk kembali ke kelas kami.
...
Tak lama setelah itu, ia kembali lagi melakukan kesalahannya. Dan kembali mendapatkan 3 warning.
Tentu rasanya semakin gemas. “Ada apa dengan anak ini, susah sekali mengontrol tangannya untuk tidak iseeeng”, gerutu saya dalam hati.
“Masha Allah K, what should i do now?”, tanyaku heran, kali ini dengan nada yang lebih “gemas” dari sebelumnya.
“I’m sorry ms, i just forget it”.
“why you did it again? you got 3 warning again..”
“Sorry..”
“You know the consequence right?”
“Yes, should i go to kinder A for this time?”
“.....”, saya tak tahu harus bicara apalagi. sepertinya cara ini sudah tak ampuh.
“Miss, can i have another choice?”, tanyanya memelas.
Karena saya pikir ini sudah tak ampuh lagi, maka saya mencoba cara lain. Ini sudah di luar kontrol dirinya. Biasanya tidak sampai 3 warning pun sudah berhenti. Kali ini pasti ada yang tak bisa ia kendalikan dari dirinya.
“ok, i have two choices. First you go to kg a or second just talk to me at library”, tegasku.
“I choose the second”.
“Ok then”.
...
Pembicaraan itu dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana namun tidak memojokan. Hal tersulit saat itu adalah mengontrol kata-kata yang keluar dari label-label untuk anak. Terlebih saat emosi sudah menguasai. Biasanya, saya cenderung menyukai cara simpel untuk bertanya saat emosi, namun sarat label dan judgment pada anak. “Tuh kaan kaya gitu lagi, kenapa sih ga bisa jaga tangan kakinya”, atau “Ya Allah K, iseng banget sih sama temennya, udah ga usah deket deket sama temen yang lain ya..” dan pernyataan pernyataan penuh tuduhan lainnya. Padahal kita belum tahu apa yang sebenernya terjadi. Alhamdulilllah, saat itu saya diberi kekuatan sama Allah untuk belajar dan mengontrol tiap kata yang keluar meski sedang dalam keadaan emosi. Jadi pelan-pelan saya gali informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Hari ini sudah berapa kali K buat teman menagis?” tanyaku.
“tujuh eh delapan ding”
“Kenapa ?”
“Aku ada secret ms, tapi jangan bilang-bilang ya. ini alasannya secret”.
“Ok, did i ever break my promise?”
“Oke miss, i just really mad”
“Mad? with who? did your friends make you mad?”
“No”
“so? with who?”
“I just mad because i don’t have family”, jelasnya.
Saat itu air mata saya hampir jatuh. Saya tahu persis apa yang terjadi pada keluarganya. Masalah yang tak mudah untuk dialami anak seusianya. Disitulah saya mencoba mengerti apa yang ia rasakan, begitu sedih rasanya saat ingat bahwa saya sudah berprasangka banyak pada anak ini.
“Okay, i know how you feel. I feel your pain, and it’s ok”, saya mencoba untuk memahami.
“But is it fair if you mad to your family but you throw away your madness to your friends like today?”, lanjutku.
“No, of course not, but i’m so angry so i just do it”
“Okay, i have a tip for you”
“what?”
“when i was child i also mad with my mom and dad, and i disturb my friends because i feel that i’m so angry. you know,i disturbed all of my friends. Until no one wants to play with me. But my teacher told me to throw away my madness on my drawing book”
“how miss?”
“You just draw everything to throw it away” 
“Who is your teacher’s name? you still remember?”
“Yup, she is Ms R... and Ms M....”
“Woow, cool. Okay i will try it”.
“Really? good job. Okay now, every time you feel that you angry you may take your drawing book and you may draw everything there. Just throw away your madness on your book, deal?”
“Ok, deal”
“Let’s back to the class then”
“Let’s go”, ucapnya bersemangat.
...
Lagi - lagi saya diajak belajar menjadi manusia yang lebih baik melalui anak-anak ini. Untuk lebih mengedepankan konfirmasi atau tabayyun sebelum menuduh yang tidak tidak. Sebelum melebel dan menjudge tingkah mereka yang tak biasa. Untuk lebih meredam kata-kata kurang baik yang rasanya ingin keluar saat kita dibuat kesal.
Tak ada anak nakal. Tak ada anak usil dan jail. Tak ada anak bodoh.
Yang ada, terjadi ketidakseimbangan dalam diri sang anak, entah itu apa. Tugas kitalah yang mencari tahu. Membimbing kepada solusi yang solutif untuk kebaikan mereka.
...
Seperti kemarahan yang tak pernah dipahami anak ini. Kemarahan yang dia sendiri tidak tahu persis mengapa, kepada siapa, dan harus bagaimana.
Yang ia tahu, ia hanyalah sangat marah.
2 notes · View notes
atikahsnrd · 7 years
Text
Tidak semua hal yang kita inginkan, Nak!
Siang itu (lagi-lagi) saya mendengar tangis kencang dari salah satu murid yang cukup self-centered selama ini. Sebenarnya, hampir semua murid di kelas saya memiliki sifat ini. Masalah kebanyakan anak-anak sekarang. Namun, anak inilah yang amat perlu dibimbing. Anak yang terlahir sebagai anak satu-satunya, yang memiliki segalanya di rumah. Yang mudah berteriak histeris saat temannya meminjam atau bahkan hanya memegang barangnya. Yang selalu ingin menjadi yang pertama tanpa pesaing.
Saya selalu bepikir, mungkin begitulah rasa cinta dan kasih sayang seorang orang tua. Ingin memberi yang terbaik. Menuruti apa yang diminta oleh anak-anaknya. Membuatnya nyaman. Tak ada yang salah dengan itu. Saya pun belum tentu bisa lebih baik saat menjadi orang tua. Bahkan belum tentu bisa menahan diri dari rasa “ingin memberi yang terbaik” saat nanti diamanahi seorang anak. Namun begitulah, terkadang rasa cinta ini sepertinya harus diarahkan ke arah yang lebih tepat. Bukankah seorang anak tak akan selamanya bernaung dalam pelukan sang ibunda? bukankah anak yang tak memiliki payung maka ia akan berlari kencang, mengerahkan semua tenaga dan kemapuannya untuk segera sampai tujuan? Maka kenyamanan tak lagi terlalu tepat untuk menyalurkan sebuah kasih sayang, pikirku. 
Teringat Baginda Rosulullah SAW, betapa Allah menyayangi beliau dengan mempersiapkan masa kenabiannya jauh dari beliau baru lahir. Allah mencurahkan rahmatNya dengan memberikan ketidaknyamanan demi ketidaknyamanan. Dari lahir beliau sudah yatim, lalu akhirnya yatim piatu. Beliau sudah terbiasa hidup mandiri dan bekerja keras sejak kecil. Hingga saat kenabiannya beliau menghadapi cobaan demi cobaan yang tak ringan. Namun, jadi menghebatkan bukan? Siapa yang tak kenal beliau, kekasih Allah yang paling berpengaruh di dunia bahkan hingga saat ini. Perlahan saya pun paham, tak selamanya kecintaan diberikan dengan kenyamanan dan kebahagian yang melenakan. 
Kembali ke masalah gadis kecil di kelasku. Anak polos yang menangis kencang histeris karna bekal susunya tumpah akibat tingkahnya sendiri. Pertama-tama saya biarkan dia, ingin tahu apa yang akan dia lakukan, namun tangisnya tak kunjung reda dan semakin kencang. Lalu perlahan saya coba dekati... 
“Ada apa? kenapa nangis?”
“heeeee....eeeee.....”,tangisnya kencang. 
“Kenapa? miss ga ngerti kalo A jawabnya dengan nangis, coba tenang terus cerita”
“Susu aku tumpah miss, huaaa (tangisnya semakin menjadi)”
“Kenapa bisa tumpah?”
“heee....eee..., tadi aku pegang, mau minta bukain miss, terus tumpah”.
“Oooh yaudah ga papa, nanti kita bersihin bareng-bareng” 
“huaaaa....aaaaa”, kini tangisnya semakin kencang. 
“Loh kenapa, kan ms bilang ga apa-apa, a masih punya snack yang lain kan?”
“Ga mauuuu, pokoknya aku mau susu kedelai yang itu, belinya deket rumah aku miss heee...eeeee...”
“Gimana caranya?”
“Miss telfon mamah aku, suruh beliin lagi, anterin sekarang”
“Ya Allah kasian dong mamah, emang masih buka jam segini?”
“udah ga bukaaa, heeee..eeee.. pokoknya aku mau itu miss” 
“Ms tika tanya, gimana coba caranya? ms mau bantu, tapi tolong kasih caranya gimana? kan yang jual aja udah tutup”.
“Ga mau tauuu, pokoknya aku mau itu sekaraaaang”, teriaknya sambil sesenggukan.  “Gimana caranyaa anak sholehah?” 
Meskipun rasanya sudah gemas dan mau marah. Saya coba untuk menarik nafas dalam dan melanjutkan lobi yang cukup alot itu. Hampir setengah jam kami belum menuju kesepakatan, dan ia masih cukup keras bertahan tentu dengan tangisnya yang tak kunjung berhenti. 
“Miss aja yang beliin aku deh susunya”, pada akhirnya ia lontarkan solusi lainnya. 
“ini miss tika udah sms mama, kata mama A bawa snack yang lain, jadi makan yang lain aja ya, besok baru A bisa beli lagi susunya dan minum susu deh”. 
“Ga mau pokoknya miss aja yang beliin aku di kantin”. tegasnya. 
“Maaf ya miss ga mau, A harus belajar nerima konsekuensi. Tadi kan sudah tumpah karena kurang hati-hati. Ga apa-apa, besok jadi lebih hati-hati. Dan sekarang konsekuensinya ga minum susu dulu, tapi Alhamdulillah masih ada snack yang lain yang bisa dimakan”. 
“Ga mauu pokoknya aku mau susu sekarang, miss yang beliin” 
“Maaf ya A, ga bisa, ga semua yang kita mau harus ada sekarang, tapi kalo bersyukur dengan yang ada sekarang nanti Allah tambah. Dulu murid ms tika yang kinder juga pernah ada yang tumpah lho makanannya, karena dia sendiri. Terus dia bilang, “Ga apa-apa miss, aku masih bisa makan yang lain kok”, terus dia bersyukur dengan makan makanan yang lainnya, dan ga lupa untuk ngebersihin yang tumpah. Eh besoknya dia jadi hebat ga tumpah lagi, karna lebih hati-hati, belajar dari yang kemarin. Hebat kan? padahal dia masih kinder lebih kecil dari A”. 
Ia pun terdiam sesaat. 
“Ok ms, aku mau makan snack yang lain aja”.. 
“Alhamdulillah, hebattt, insya Allah nanti Allah tambah lagi nikmatnya karna sudah mau menerima dan bersyukur, abis ini kita panggil mas W ya supaya bantu bersihkan, ok?”
“Ok ms”
Akhirnya perdebatan panjang yang hampir memakan waktu satu jam itu berakhir juga. Yang saya pikirkan hanya ingin memberinya pelajaran tentang sabar dan menerima apa yang terjadi, tidak semua hal yang diinginkan harus selalu ada saat ini bagaimanapun caranya. Sangat tidak mudah memang. Meredam emosi yang rasanya ingin meluap. Dan tetap berbicara dengan nada yang menenangkan. Terbanyang, bagaimana jadi ibu yang 24 jam bersama dengan segala ulahnya, aku hanya 6 jam bersama saja sering rasanya kehabisan kesabaran. Wajar jika seorang ibu sering meledak juga emosinya, dengan segala peluh dan lelah, yang tugasnya tak hanya mengurus anak namun juga semuanya. Satu pelajaran besar, jadi ibu yang baik sabarnya memang harus tak berbatas. 
Daaaan, di akhir saya coba memberi hadiah kecil. Diam diam saya turun dan pergi ke kantin, tentu membeli sekotak susu coklat. Saya kembali ke kelas dengan menyembunyikan susu itu. Saya duduk di sebalah sang anak. 
“Ini ada hadiah buat a, karena sudah sabar dan bersyukur”
Ia pun tersenyum.. “Thank you miss”
Karena tidak semua hal yang kita inginkan harus ada saat ini nak. Ada saatnya Allah ingin kita jadi anak yang lebih sabar dan bersyukur dengan yang ada. Ada saatnya kita harus menahan diri, menerima semua hal yang terjadi pada kita, dan berprasangka baik pada Allah. 
Supaya apa? supaya jadi lebih hebat lagi di mataNya... 
0 notes