The soft tears not of the sky but of a flower' will to survive.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Ketika berbicara tentang semua kejanggalan yang terjadi, pasti ada satu atau dua hal yang dijadikan alasan di balik semua yang terjadi. Bagi Isvara, ada satu hal yang menjadi pemicu semua keanehan di hotel ini.
Aktivitas supernatural: Mungkin ada hal yang belum terselesaikan sejak hotel ini dibangun. Atau bahkan mungkin, hotel ini sebenarnya tidak pernah ada sama sekali? Saat dia memikirkannya, dia tidak yakin apakah dia benar-benar pernah berpamitan kepada keluarganya atau berangkat ke tempat yang asing ini. Bahkan tujuannya untuk berada di sini saat ini terasa tidak masuk akal. Mata pencahariannya sebagai perajin bunga tentu tidak bisa dia tinggalkan begitu saja, karena bagaimana dia bisa memberi nafkah kepada orangtuanya dan dirinya sendiri jika dia pergi berlibur?
Lalu, The Primordial dan Bon Vivant, tentu saja mereka sudah berkenalan sejak sebelumnya, dan saat ini mereka telah menjadi dekat. Namun, siapa sebenarnya mereka dan dari mana asal mereka? Apa tujuan yang sebenarnya mereka cari sehingga mereka bersedia tinggal di hotel yang tak jelas asal-usulnya?
Jadi, menurut pemikiran Isvara, semua ini mungkin hanya ilusi atau mungkin dia sedang terperangkap dalam sebuah skenario yang disutradarai oleh seseorang yang tak dikenal. Kemungkinan besar, sang sutradara tidak mengatur permainannya dengan baik, sehingga banyak kejanggalan atau lubang dalam ceritanya yang tak dapat ditutupi dengan baik.
Namun, ini hanyalah teori Isvara. Selebihnya? Hanya The Primordial yang tahu.
0 notes
Text
Isvara terbangun dari tidurnya dan menggeliat sedikit sambil melihat cahaya yang masuk melalui celah jendela. Senyuman tipis terukir di wajahnya ketika menyadari bahwa matahari telah menjelang siang. Ia segera membuka jendela kamar untuk membiarkan cahaya terang memenuhi ruangan. Matanya sempat terhimpit karena silau cahaya, tetapi dengan cepat ia beradaptasi dengan perubahan dari gelap ke terang. Tidak butuh waktu lama baginya untuk merasa nyaman.
Seperti biasa, ia melangkah menuju kamar mandi, namun terhenti mendadak saat melihat sebuah handycam lama tergeletak di atas meja. Jelas, itu bukan miliknya, dan ia tidak tahu siapa pemiliknya. Meski begitu, ia mengangkat handycam tersebut, dan di bawahnya terdapat selembar catatan kecil bertuliskan, "abadikanlah momen ini, dan kamu akan lebih mengerti." Isvara merenung sejenak sambil memutar kamera ke arah dirinya sendiri sehingga wajahnya terekam. Ia mencoba mematikan, tetapi alat tersebut terus merekam tanpa henti. Akhirnya, ia memutuskan untuk membawa handycam itu ke mana pun ia pergi hari itu.
Hal pertama yang ingin dilakukan Isvara adalah menuju restoran di hotel. Meskipun bukan seorang penggemar sarapan, ia menikmati saat-saat bersosialisasi dengan orang-orang yang menikmati hidangan pagi mereka.
"Apa itu?" tanya Koki, teman dekatnya yang duduk di sebelahnya. "Nggak yakin, tiba-tiba ada di hotel," jawab Isvara dengan sedikit keraguan. "Coba saya yang direkam." Koki melambai ke arah kamera dengan penuh semangat. Isvara tersenyum lalu memulai merekam temannya. Akhirnya, ia juga mulai merekam suasana yang ramai di restoran. Beberapa orang bahkan menari dengan riang di depan kameranya.
"Ah, sepertinya kamera ini memang sengaja dibawa untuk membawa kebahagiaan," pikir Isvara.
Ia juga tak lupa melakukan tur kecil mulai dari lobby hingga ke kamarnya sendiri. "Ini aku, Isvara!" Ia pun melambaikan tangannya ke arah cermin sembari merekamnya. Namun, tampak pantulan dirinya dicermin tak bergerak. Tangannya bergerak turun dengan sangat lamban karena bahkan pantulannya dicermin tak mengikuti gerakannya sama sekali. Karena ketakutan, Isvara pun lari keluar kamarnya masih bersama handycam yang digenggamnya dan ke lorong hotel hingga menabrak punggung Ano. "Kak…" Deru Isvara, memanggil Ano yang tampaknya sedang bersama Marsha.
"Lusa nggak ada acara kok. Jadi, kalian bisa istirahat." Ujar Ano kepada Marsha. "Tuh, bisa liburan Isvara. Aku kayanya mau di kamar aja istirahat." Respon Marsha.
Belum sempat merespon, karena ketakutan Isvara pun tergeletak pingsan di lorong. Ia ingat beberapa orang membantunya kembali ke kamarnya.
...
Dua hari kemudian.
"Guys? Aku baru keluar kamar karena daritadi aku istirahat. Kata Ano, hari ini enggak ada acara apa-apa, makanya aku istirahat di kamar aja. Tapi kok ini pada ngumpul ya?" tanya Marsha dengan dahi berkerut. Sontak, pandangan seisi ruangan mengarah kepada Ano yang kebingungan.
"Sha? Saya enggak ada bilang apa-apa. Saya serius," bela Ano dengan raut serius.
"Dua hari lalu kamu bilang gitu, Ano," sanggah Marsha dengan tidak kalah bingung.
Isvara segera lari menuju kamarnya sendiri, ia ingat percakapan dua hari yang lalu itu, buktinya? Ada di handycam yang ia bawa saat pingsan kemarin. Masih tergeletak dengan rapi di dalam laci. Saat ia membuka lacinya handycam itu sudah tak bernyawa, ia tidak menyala kembali bagaimanapun Isvara mencoba setiap tombolnya. Seperti mainan, barang itu tidak bereaksi.
Kemudian ia terduduk dengan handycam itu dipangkuannya.
"Maksudnya apa semua ini?"
0 notes
Text
Asnawina of the Muses
DISCLAIMER: In accordance with Twitter’s policies, the writer wishes to clarify that this account is created exclusively for the purpose of role-playing. All media shared on this account is attributed to its original owner.
GUIDELINES
THE BIODATA
THE STORY
CONTACT
0 notes