"Teras rumah, merupakan tempat dimana aku bisa melihat dan mengenali dunia luar dengan lebih jelas sejak ku kecil. Dari dulu hingga kini, teras rumah begitu damai, menghadirkanku banyak ide dan pemikiran, terkadang juga membawa anganku pada kenangan "
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Terkadang menjadi baik saja tak cukup, karena yang tulus rasanya lebih merasuk.
Self-quote, 2017
0 notes
Text
The difference between ordinary and extraordinary is : practice.
Evita, 2017
0 notes
Text
Bystander
Sering kali kita ngeliat fenomena di masyarakat,
Ketika seseorang terjungkal di jalan, lalu pejalan lainnya cuman ngeliatin dan tetap jalan berlalu lalang. Bahkan yang ekstrem, kadang ada juga orang kecelakaan dan pengendara lain cuma nontonin jarang yang mau nolong.
Kenapa bisa gitu ya?
Well,
Di dunia psikologi fenomena itu dikenal dengan sebutan bystander effect. Apasih maksudnya bystander effect? Yakni kondisi dimana seseorang tidak bereaksi / merespon suatu kejadian di tengah keramaian. Ternyata, hal ini muncul karena adanya pengaruh sosial yang muncul, yang disebut dengan pembauran tanggung jawab. Jadi, ketika suatu peristiwa terjadi, rasa tanggung jawab individu menurun karena dia mengira akan ada individu lain yang akan memberi reaksi/ respon pada situasi tersebut dengan memberikan pertolongan yang lebih baik (Schwartz & Gotlieb, 1976).
Nah, kali ini aku pengen banget cerita tentang hal yang berkaitan dengan bystander effect.
16 November 2017. Sore itu aku baru saja selesai ketemu nasabah di daerah Jakarta Timur. Supaya cepat sampai, aku memutuskan untuk pulang naik kereta. Jadi aku ke stasiun Klender Baru untuk naik commuterline ke Manggarai.
Rasanya bahagia banget bisa pulang ontime dan ketika naik di gerbong wanita, aku dapat kereta yang senggang meski tidak dapat tempat duduk. Aku pun memutuskan untuk berdiri, bersandar di pintu dan menghadap para penumpang. Di kondisi yang santai ini mulai, insting anak psikologiku keluar. Mataku mulai mengobservasi kondisi di sekelilingku.
Ada satu pemandangan yang menarik kala itu. Sekumpulan geng ibu-ibu yang sukses mendapatkan dan menempati kursi satu baris. Dari penampilannya, menurut ku ya.. lumayan. Bajunya rapi, ada yang modis, rata-rata pakai aksesoris, dan menggunakan smartphone. Dengan tampilan dan familiarnya mereka dengan smartphone, I consider them as educated-enough people. Mereka terlihat akrab sekali, saling bercengkrama satu sama lain sepanjang perjalanan. Dalam hatiku, indah juga ya lihat beginian, interaksi hangat di ruang publik ibu kota yang tak membicarakan tentang pekerjaan melulu. Aku pun mengikuti kegiatan mereka dengan cara observasi yang halus dan mungkin tak mereka ketahui.
Sampai pada suatu waktu, pembicaraan diantara mereka kian asyik. Salah satu dari mereka mengeluarkan sekantong permen dan kemudian membagi-bagikan ke teman-temannya itu dan memakannya bersama. Sekali lagi, insting anak psikologiku jalan. Sebagai anak psikologi yang kerap belajar tentang kondisi ideal, agak 'gatel' rasanya lihat perilaku orang itu, yang mana jelas-jelas di setiap pintu KRL dipasang gambar dilarang makan di KRL. Tapi, tetap saja kuperhatikan mereka. Tak selang setelah makan permen, kulihat satu-persatu dari mereka menjatuhkan bungkus permen tadi KE LANTAI.
NOOOOOOO.. aku semakin geregetan. Bukankah di pintu juga jelas ada himbauan untuk tidak buang sampah sembarangan? Setelah itu mereka menggeretu tangannya lengket terkena permen. Salah satu dari mereka kemudian mengeluarkan tissue basah dan membagikannya. Lalu.. Mereka membuang tissue tadi KE LANTAI LAGI :((
Aku kesal ! Ada apa dengan manusia ini, apa susahnya menyimpan sampah kecilnya itu di dalam tasnya untuk nanti dibuang? Toh sampahnya bukan sampah yang berbau busuk dan menyebabkan kematian.
Pikiranku mulai bergejolak. Aku berpikir apa yang harus kulakukan. Sempat aku berpikir dan sedikit menyalahkan petugas penjaga gerbong, " ini Bapak ngelihat ginian tapi kok diem aja ya? Padahal kan dilarang". Sempat juga aku berpikir, " apa gue ngadu ke petugas aja ya, biar nanti dia yang tegur". Lalu pikiranku bergejolak lagi, "ah, tapi ntar malah dikira sok, atau ga digubris juga. Apa gue diemin aja". Di sela-sela pikiranku yang cenderung memilih diam, pikiranku berontak lagi.
"Fit, rasanya udah cukup lo bodo amat sama lingkungan sekitar lo di beberapa kejadian akhir-akhir ini. Masih mau jadi bystander dan bisanya ngeluh doang?".
Tamparan ini bikin aku sadar dan berubah pikiran. Baiklah.. Aku harus membereskan ini semua.
Aku belum bergerak. Aku masih berpikir. Selain berpikir yang tujuannya untuk membereskan sampah tadi, aku juga ingin membuat mereka belajar supaya tidak mengulanginya lagi. Dengan kondisi yang kesal opsi-opsi yang muncul adalah :
1. Menegur mereka dengan agak dingin dan meminta untuk memungut dan membuang sampahnya di tempat yang sesuai.
(responnya mungkin mereka juga akan membalas dengan kesal dan malah mancing keributan. Misal, malah tabur-tabur sampah).
2. Menegur dengan cool dan elegan untuk meminta mereka memungut dan membuang sampahnya di tempat yang sesuai.
(responnya mungkin suara gue akan dianggap suara anggota keluarga tak kasat mata yang kemudian dicuekin).
3. Ambil sampahnya langsung.
(untuk keputusan ini, masalah akan selesai dengan cepat. Tapi aku tak berhasil mengajarkan sesuatu ke mereka).
Kemudian aku tetap diam. Mencoba meredakan emosi dan mencari cara yang lebih cerdas lagi. Lalu terpikir pelajaran yang kudapat saat kuliah + pelajaran dari kepala sekolah SMPku dulu yang sangat perhatian dengan kebersihan : modelling.
Bcs, why should I waste my effort to be angry, instead of giving a role model that can make them learn something?
Akhirnya hati, pikiran, dan perilakuku bersepakat.
Aku mendekati geng ibu-ibu itu, aku berdiri di depannya dan berkata : "ibu, maaf.. Saya bantu ambil sampahnya ya bu. Nanti saya buang di tempat sampah stasiun terdekat". Kemudian kupungut bungkus sampah permen dan tissue basah tadi dengan telunjuk dan ibu jari tangan kananku. Aku tak peduli apa yang mereka pikirkan, ataupun yang dipikirkan penumpang KRL lainnya yang melihatku. Ketika aku bangkit dan menegakkan badan, salah satu dari mereka bilang,"terima kasih ya mba". Aku hanya senyum dan kembali ke depan pintu sambil menunggu sampai ke stasiun selanjutnya. Kali ini aku memutuskan untuk menghadap ke pintu daripada menikmati pemandangan geng ibu-ibu tadi. Dari belakang kudengar samar ibu-ibu yang sempat agak kaget tadi mulai bercengkrama lagi. Akupun mencoba memfokuskan pendengaranku ke mereka. Ternyata... Beberapa dari mereka ada yang nyinyir. Salah satu percakapan yang berhasil membekas di ingatanku hingga saat ini adalah :
"ngapain mbak ini ambil-ambil sampah. Mungkin dia pernah tinggal di luar (negeri) kali ya. Atau kebiasaan di luar negeri. Jadi ga bisa tuh liat yang gini-gini". Percakapan ini mereka ungkit-ungkit sambil dibumbui tawa-tawa mengerikan seperti tawa semut (?). Agak panas sih, tapi kumerasa tak ada urusan. Jadi ya, biarin aja. Belajar sabar.
Dari kejadian ini, ternyata tak hanya yang-mau-kukasih pelajaran aja yang belajar, tapi juga aku sendiri. Haha. Belajar lagi untuk berani take an action, instead of being a bystander, that resulting on the occur of other complications. Rasanya sayang, kalau energi kita dihabiskan untuk marah atau terus mengeluh. Let's put more effort, then lend our hands, because solving a problem, even just a simple thing, is really matter.
0 notes
Text
Belajar Dewasa dari Kehilangan
Tentang kehilangan, rencana dan kuasa Tuhan. Baru aja semalem teleponan sama temen, di mana pada suatu pembicaraan dia tanya,"terus kalo konsekuensinya kehilangan pekerjaan gimana?". Tetiba aku teringat jawaban budhe, aunty-double-T, waktu aku curhat tentang kepanikanku akan masa depan. "kalau kamu sudah bilang bismillah, kenapa kamu masih takut-takut lagi? Ya serahkan sama Tuhan. Kamu lakukan aja yang terbaik, Tuhan pasti atur jalanmu, jaga kamu dan keluargamu nanti". Jawaban budhe inilah yang kusampaikan ke temanku. "Berusaha yang terbaik aja. Soal jalannya nanti gimana, Tuhan pasti punya rencana. Jadi pasrahkan saja ke Dia. Pasti dia kasih yang terbaik buat kamu :)
Ternyata Tuhan ini lucu juga, mungkin bagiNya belum afdhal kalau hambaNya cuman paham teori. Makanya, perlu diuji seberapa baik pemahaman hamba ini kalau dipraktekkkan. Sepertinya malam itu juga aku Didaftarin buat ujian praktek, langsung untuk keesokan harinya, pagi-pagi.
Pagi itu (09/11/17) aku bergegas ke kantor naik kereta. Setiba di stasiun keberangkatan aku langsung set pemesanan gojek biar waktu hampir sampe bisa pesen dan cepet dapet driver. Berhubung takut jatuh dan kesenggol kalo hp aku pegang di tangan, jadilah hp lucu dengan gambar cony di belakang itu kucemplungin di tas. Posisinya dipermukaan, karena rencananya sesegera mungkin kuraih lagi.
Setelah masuk kereta, ternyata padet kondisinya padet banget. Sampai-sampai posisiku terjepit miring. Tas gabisa digerakkin ke depan. Yasudah, aku pasrah saja sambil ngekep tas erat-erat dari samping. Sayangnya, copet jaman now terlalu canggih. Begitu tas kukedepanin. HPku RAIB :(
aku agak panik waktu itu, ngobok-obok tas kok ga nemu-nemu hpnya. Lalu bapak-bapak agak muda di depanku bertanya,
"kenapa mbak?".
"HP saya ngga ketemu", jawabku.
"coba saya bantu telepon", katanya.
*ngetikin nomor hp di hp bapaknya*. "posisinya mati ya mba?", dia bertanya.
"engga pak, terakhir saya hidupin", kujawab pasrah.
"yaudah mba, nanti kalo sudah sampai dicari lagi ya mba", kata si bapak mencoba menenangkan.
Setibanya di stasiun aku pun melipir dan cek tasku sekali lagi. Beneran ga ada! Si bapak baik tadi terus nemenin aku memastikan semuanya baik-baik saja.
"Gimana mbak?", tanyanya lagi.
"ga ada pak", jawabku sambil tetep tersenyum sok qwat.
Bapak baik ini terus nungguin aku sambil berkali-kali nawarin hpnya buat aku make an emergency call. Beberapa kali kutolak dengan halus. Sampai akhirnya dia tanya,
"jadi mba ke kantor naik apa?".
"saya naik gojek biasanya pak. Tapi sekarang pakai ojek aja mungkin".
Kemudian dia sigap mengeluarkan hp dan memesankan ojek online buatku. Sambil ke tempat driver ngejemput, si bapak ini ikut nganterin. Pas di jalan lagi-lagi dia menawarkan hpnya untuk aku emergency call.
"mbak mungkin mau telepon siapa gitu. Hubungi suaminya mungkin?"
Gue yang awalnya tegar, mendadak rasanya GUE MAU NANGIS.........
Bukan karena apa. Tapi suami gw belum ketemu, masih ada di masa depan :(( gimana bisa gue call kalo nomornya aja gatau :(((
LOL
Akhirnya dengan bala bantuan bapak baik yang dikirim Tuhan ini sampailah daku ke kantor. Di kantor aku gamau heboh. Cuma kasih tau 1 temen dan grup WA departemen aja kalo lagi gabisa dihubungi karena hp hilang, supaya bos juga paham kalo gue dicariin terus ganyaut *kok pede bakal dicariin :' *. Nyaw. Begitu duduk kursi, aku uda gabisa mikir. Sedih. Yang paling bikin sedih adalah memori yang ada di HP itu sih. Foto selama pendidikan, foto sama temen, sodara, sama pak Roy Ilham, foto-foto bela negara, foto langit macem-macem yang mau diupload, city scape. Belum dipindah/ backup. Omg :( aku juga gabisa kerja karena kontak nasabah disitu, WA gabisa sync kalo yang di hp ga nyala. Yawda
Lalu, yang ku lakukan pertama kali adalah.. Telepon rumah pake telepon kantor. Telepon ibu. Pertama kali ngangkat ibu seneng banget aku telepon. Kemudian beliau cerita ini itu. Aku tanggepin juga dengan gembira. Sampai akhirnya beliau sadar,
"tumben telepon jam segini?".
"iya bu.. Jadi aku mau ngabarin..aku abis kecopetan hp".
"Ya Allah..", lalu telepon jadi hening.
"Gimana ceritanya?", tanya ibu, lalu kujelaskan.
"Ya gimana juga ya bu. Tapi itu hp banyak kenangannya", suaraku mulai mengecil dan putus-putus sesenggukkan, aku yang awalnya tegar baru bisa nangis.
"Iya.. Sabar ya nak. Kuatkan hatimu, istighfar", kata ibu.
Aku diam saja.
"Memang file-file itu penting dan berharga. Tapi kalau namanya memori, itu kan akan tersimpan dalam hatimu seumur hidup", kata-kata ibu sukses bikin air mataku berhenti.
"Memang kehilangan itu menyedihkan. Tapi Allah pengen tahu seberapa besar rasa ikhlasmu. Seberapa besar cintamu ke Dia, apakah lebih besar dari kamu mencintai hpmu. Dan mengingatkan kamu supaya tidak bergantung sama Hp, melainkan Dia. Ikhlaskan ya nak, istighfar, besarkan hatimu." lanjutnya.
Kata-kata ibu ini ter-love banget :' seketika aku jadi kuat lagi. Aku juga jadi lebih ikhlas. Bener kata ibu, meskipun foto-foto berharga itu hilang, tapi kenangan itu akan terus kusimpan dalam hati dan pikiranku.
Kejadian ini banyak sekali kasih aku pelajaran. Mulai dari belajar ikhlas, waspada dan hati-hati, percaya bahwa memori yang abadi adalah yang ada dalam diri. Juga percaya seperti apa yang dikatakan budhe, "serahkan sama Tuhan. Kamu lakukan aja yang terbaik, Tuhan pasti atur jalanmu, jaga kamu". Buktinya, di stasiun aku ketemu bapak baik sehingga aku bisa nyampe kantor naik ojek online. Di kantor aku dipinjemin hp untuk kontak yang lain satu hari itu. Sorenya ada kakak baik nemenin beli hp + urus nomer :' dan besokannya ada teman baik yang nemenin ngurus i-banking.
Terima kasih Tuhan untuk ujian dan pelajaran yang diberikan. Meskipun investasinya mahal, tapi aku ikhlas :')
Terima kasih juga sudah mengirimkan orang-orang baik di sekitarku juga. Sungguh aku sangat bersyukur. Semoga ujianku kali ini lulus, ga her/ remidi dan dikuatkan untuk jadi orang yang lebih baik. Aamiin
1 note
·
View note
Text
Scratched Face
Bagiku investasi yang paling berharga, selain keluarga cemara (?), adalah kulit muka ! Sama halnya kaya baju kalo dipake, kulit akan lebih baik kalau bersih.
Fyi, dari kecil sampe SMA kulit mukaku itu selalu bersih dan halus meski tergolong sensitif dan kalau ada luka/ jerawat mesti ninggalin dark spot dulu dan lama ilangnya. Sampai pada suatu hari …… Aku lanjut kuliah di Jakarta coret a.k.a Depok dan singkat cerita kulit muka ini mulai gereget. Jadilah pemirsa, jerawat mulai narsis di muka, terutama pipi. Huhuhu.
Meski demikian, aku belum pernah di-facial. Walaupun pernah konsul di klinik kecantikan kulit pun dokter bilang pakai sabun dan krim aja. Sampai akhirnya, suatu masa gengges juga pas pegang muka kaya ada titik-titik menonjol si komedo gitu. Sok-sokan bersihin sendiri sampe beli alatnya, tapi malah jadi kaya luka setitik dan kaya yang kuceritain di atas…. bekasnya susah ilang :( Akhirnya kumemutuskan : Facial, untuk yang pertama kalinya..
Jujurly, aku buta banget sama yang namanya facial, prosesnya kaya apa, jadi ya manut wae. Awalnya ku menikmati aja tahapannya. Dibersihin mukanya pake milk cleanser, toner, facial wash dan apalah itu, sampe di tahapan tengah-tengah mulai deh diuap. Kupikir dengan diuap ini pori-pori mukaku akan kebuka luebar, jadi bersihin komedonya akan jauh lebih mudah dan ngga sakit. Selesai diuap si mbak-mbak yang nge facial bilang : ‘kita mulai bersihinnya ya kak’. Lalu si mbak ngasih selembar tissue ke aku. Kupikir ini kenapa si mbak ngasih tissue, apa disuruh bantuin ngelap muka sendiri pas abis di ekstraksi. Wkwk. Akhirnya kudiem aja, berharap nunggu perintah selanjutnya kalo dia memang butuh bantuan.
Dan akhirnya ku menemukan jawabannya.
Si mba-mba ini mulai mengangkat alat ekstrasi dan mengarahkannya ke mukaku. Sesegera mungkin dia tekan alatnya dan agak geser itu ke kanan/ kiri, macam ibu-ibu lagi ngerok blewah, supaya komedonya terangkat. It felt like.. bloody h*ll :( sakit sekali boshhhh kaya disilet-silet. Di awal-awal aku coba tahan sakitnya, tapi akhirnya ga kuat nahan. Tiba-tiba air mata bercucuran tanpa aku berpikir untuk nangis.. kaya respon tubuh otomatis gitu. Ternyata karena itu, si mba tadi ngasih tissue. Huf :( Ngga betah banget. Apalagi prosesnya berjalan lama. Bayangin aja mulai dari kulit muka paling kanan, ditelatenin satu-satu untuk diekstraksi, terus hidung, dagu, dan pipi kiri. Hm. Sakit banget :(
Setelah ekstrasi selesai, aku dikasih masker, anti radang, dan tabir surya, lalu proses facial selesai. Pas lihat kaca… seneng liat komedonya uda ngga ada. Tapi sedih juga radang-radang yang awalnya uda reda hadir dan makin meriah karena respon ekstraksi barusan. Ya sudah sabar aja, aku kasih aloevera supaya lebih tenang kulitnya. Beberapa waktu kemudian, seperti yang kuprediksi.. Radang-radang ini semakin terlihat dan beberapa hari kemudian malah jadi jerawat :’ Yha.. Tetap bersyukur komedonya udah diangkat..sekarang tinggal sabar aja ngobatin jerawatnya sambil rajin jaga kebersihan muka jadi nanti pas udah selesai hasilnya bagus.
Lesson learned banget buat rajin jaga kesehatan kulit, terutama muka. Walaupun skin care/ obat dokter mungkin bisa diusahakan, tapi kalau udah sampai tahap harus di facial ogah mah w :’
0 notes
Text
The Ship and The Harbour
I've been sailing on the sea. Met the dolphines and saw great waves passed over me. So many stories that colored my journey.
Now my ship is looking for its harbour. It must not be the greatest harbour on this earth, but the fittest one, where I can moor my ship in it.
Sailing for a long time is tiring, but perhaps it's the way God let me feel how good it is, when I find my harbour someday. The safer place where I can have some rest, have a shelter, enjoy the time, gain my strength to take my other journeys to be a more skillful ship and make more stories of my life. I am absolutely sure, I will be very grateful by the time I find my harbour and I will take care of my harbour with all my best.
O dear harbour, I am looking for you :)
1 note
·
View note
Text
Maaf ya pak Tik, pak Di
Jaman TK dulu aku sudah punya sopir pribadi, sopirnya dua orang pula. Salah seorang bernama pak Brintik (pak Tik), pria sepuh yang rambut ikalnya yang sudah putih semua dengan perawakan kurus. Ia tinggal bersama isterinya di sebuah pintu sungai kecil yang atasnya sudah diberi bangunan dekat rumahku. Satu lagi adalah pak Di. Pak Di yang lebih muda dari pak Tik, rambutnya masih hitam, gayanya lumayan mbois. Dia sering kali memakai kemeja polos warna putih/ biru muda dengan celana pendek putih, terkadang Ia memakai kacamata hitam.
Pak Tik dan Pak Di ini orang yang setia mengantarkan aku beraktivitas saat aku SD, ke sekolah, les piano, atau belanja ke Song Gun, sebuah toko dekat rumahku. Jika antar-jemputku tidak bisa menjemput, pak Tik atau pak Di siap mengantarku ke sekolah. Setiap satu minggu sekali mereka juga mengantarku pergi ke tempat les piano. Saat hari jadwal les piano tiba, biasanya pukul 3 sore pas pak Tik atau pak Di sudah siap di depan rumah, menjemputku, tanpa harus dipanggil.
Ketika aku kecil, sekitar kelas dua SD, aku begitu menikmati diantar mereka. Lumayan, aku bisa bebas jalan-jalan ke luar rumah sambil menikmati angin yang semeringwing. Setiran becak mereka juga cukup kencang, tapi tetap aman dan lihai. Namun, seiring beranjak dewasanya aku, perasaanku mulai berubah. Aku malu naik becak, apalagi kalau melihat teman-temanku yang lain diantar les naik mobil. Beberapa kali aku naik becak dengan dongkol dan ketika sampai bawaannya ingin segera kabur biar orang lain tidak melihat ku naik becak.
Aku masih ingat, suatu hari aku pergi les piano diantar pak Tik/ pak Di dan ditemani ibuku. Saat mengobrol dengan ibu di jalan aku sempat bertanya, melontar dengan polosnya,” Bu kenapa sih harus naik becak? aku kan malu kalau naik becak. Kenapa kita ngga naik mobil aja.”. Kulihat ekspresi ibu aneh dan sempat terdiam sebentar lalu membalas pertanyaanku, “Hus, ngga boleh gitu !”. Aku yang masih bocah ingusan terdiam, bertanya-tanya kenapa ya jawaban ibuku seperti itu? Aku tak mengerti.
Sekarang setelah aku sudah beranjak dewasa, terkadang aku kepikiran kejadian ini. Lalu aku mulai berpikir, jahat juga ya mulut anak SD ini (a.k.a gue) ngomong seperti itu di depan pak becaknya langsung. Lalu aku berpikir, bisa jadi perkataan polosku ini menyinggung hati pak becakku ini dan membuatnya sedih, terlebih narik becak adalah satu-satunya pintu rejeki yang Ia ketuk untuk mencari sesuap nasi dan menghidupi anak-anaknya.
Aku sungguh menyesali perkataanku. Tapi bagaimana caranya menyampaikan maafku? Kudengar dari ibu beberapa tahun setelah pergi kuliah ke Jakarta pak Tik tiba-tiba ditemukan meninggal di atas becaknya, di dekat rumahku. Katanya Ia terkena TB dan tidak punya biaya untuk berobat. Terakhir kali badannya terlihat semakin kurus. Satu-satunya kesempatan yang ku punya adalah meminta maaf ke pak Di, yang (mungkin) masih hidup, meski aku tak tahu dimana Ia sekarang karena tak lagi mangkal di dekat rumahku.
1 note
·
View note