Text
Bukan Hitam Putih
Ah, pengap! Sesak! Tidak ada udara yang berlari atau sekedar berjalan. Semua nampak diam. Ku tengok jendela keluar, semua membeku dalam monokrommya waktu. Bulan dan angin menari-nari hendak hujan tungkasku. Ah puan, alangkah indahnya jika engkau pun menengok. Berpikir bahwa aku baik-baik saja tentu lebih sederhana. Dikala trio bulan, angin, dan hujan berpentas aku memperhatikan wajahku yang menyusut, kosong seperti kehilangan warna. Monokrom.
2 notes
·
View notes
Text
Lembayung Kiasan
Dalam kiasan, angin menjadi penyampai pesan. Dikala malam tiba, kalian dibuai kantuk, dimanja rayuan kapuk. Angin menjadi subjek tanpa pamrih menyampai pesan diantara kalian. Malam ini berangin, seiring membawa aku dalam tanya anganku. Rindu jadi bisu, angin bukan sekedar kiasan tanpa persona. Menerpa dan diterpa, tertawa dalam noraknya metropolitan. Angin malam dibelah, membaur dengan asap dan debu. Lalu berlalu. Angin datang dan dia pergi, namun selalu ada saat dimana dia kembali dan tinggal sebagai perantau yang memantau. Bulan dan angin, sahabat ku dikala diam selimuti benakku. Mereka, bersamaku, merangkai mawar puan merah madu bermandi hujan dikala sendu.
0 notes
Quote
Waiting is tiresome, only when you forget the reason why you wait in the first place. For memorable things, even if it's just an hour, could last for eternity.
Sir. Vandhika C. Arly Houten ( A band of loyalty and nostalgia )
3 notes
·
View notes
Text
Helaan si Dalang
Merangkai kata bagai wayang-wayangku Aku dalang yang cakap Menari didalam bayang-bayang Serasa semu, namun hadirnya nyata Diiringi gamelan, mereka menari Aksara hati menafsir arti Nada hari ini untuk hari ini Gamelan iringi aku dalam intuisi "Terlalu banyak kopi!" Sanggahku Bagai dihujam panah sakit kepalaku Dapatkah seseorang tersenyum bahagia dikala lara? Segar rasanya bermain di kebun Bersamanya menari dengan gila Sampai rumput dibawah kaki kita Berdansa dengan debu tanah Pikiranku kadang menggangguku Resah memojokkan aku Sekiranya aku sabar Karena waktu bukan hendak diukur Entah datang dalam badai Atau berlalu dalam buai Aku ingin kita hadir Sebagai kebenaran tanpa andai Zn
0 notes
Quote
Terkadang aku tersenyum, lari biruku, dikala aku teringat akan buah apel.
Angan akan apel
1 note
·
View note
Quote
I never realized what a big deal that was. How amazing it is to find someone who wants to hear about all the things that go on in your head.
Nina LaCour (via quotemadness)
Train of thoughts
6K notes
·
View notes
Quote
‘What is a ghost? A tragedy condemned to repeat itself time and time again? An instant of pain perhaps. Something dead which still seems to be alive. An emotion suspended in time like a blurred photograph, like an insect trapped in amber.’
Guillermo Del Toro, (via swordofdemeter)
Will it ever find its resting place? I hope it will
11K notes
·
View notes
Quote
It’s hard to tell the difference between sea and sky, between voyager and sea. Between reality and the workings of the heart.
Haruki Murakami (via purplebuddhaproject)
And all I desire is to be true
7K notes
·
View notes
Text
Kopi dan Secangkir Rintik Hujan
Apa faedahnya meracik kopi dengan hati yang hampa? Seperti tersenyum dalam getir kesedihan. Menangis dalam tawa, tertawa dalam sedih. "Bukan bermaksud bersandiwara, hanya berusaha untuk tegar." Begitu kata secangkir kopi yang setia menatap malam. "Dimana dia yang selalu bersamamu?" "Sedang sendiri, menanti hujan datang kembali." "Kapan?" "Nanti, waktu hujan berhenti meretas luka." "Luka dan tawa, sudah menjadi wajahmu nak. Mereka membentuk, mereka menghancurkan. Baik subur ataupun banjir, hujan selalu jadi bahan gunjingan." "Aku berharap aku adalah kamu, secangkir kopi, yang ada hanya untuk menghibur." "Adalah baik untuk menghibur nak. Hanya saja mengerti arti penerimaan adalah permulaan perubahan. Belajarlah, sampai kamu menjadi jawaban kesejukkan bagi dia yang menantimu." "Diluar sedang kemarau, kering dan tandus. Siapa yang kuat menanti hujan yang tak kunjung datang membawa pembaruan?" "Aku berjalan melintasi pelik kehidupan. Yang aku tahu, kopi tidak selamanya pahit, bila kamu tahu cara meraciknya, dia bisa memberi kemanisan tanpa adanya gula didalamnya. Kasih merubah segalanya nak. Racik dengan hati, belajar karena kasih, niscaya sejuk aromamu penuhi penantiannya." "Pelu hidupmu pak tua, namun biarlah ku hirup racikanmu malam ini." "Semua ada waktunya, sirna harapanmu hari ini. Minumlah, dan sadarlah betapa engkau dikasihi. Nyatamu lebih dari bayangan di belakangmu, hanya saja hatimu pecah. Mari, jangan sungkan. Minumlah, tak seberapa tapi aku meraciknya untuk malam ini." "Kenapa engkau begitu setia mengarungi malam?" "Sederhana, karena aku percaya harapan akan datang bersama fajar di pagi hari."
1 note
·
View note
Text
Kisah tentang Hujan dan Apel
Adapun hujan pernah meneteskan air limbah, penuh polusi dan merusak. Dikala dia lewat, banyak sekali yang menderita kerugian. Bila pohon menjadi berawas terhadapnya, wajar saja. Hujan pun mengerti karena dia tak kuasa membuktikan apa-apa dalam kondisinya yang terdakwa Apelnya menjadi tempat dia bercerita. Tak sadarkah dia kalau hujannya benar-benar terbuka namun terkadang suasanya tidak sejalan dengan isi pesan yang hendak dibuka. Hujan percaya bila apelnya tahu bahwa dia kini sudah berubah. Bukan dengan kata, bahkan bukan dengan sekedar rasa. Apel tahu dalam hatinya hujannya sudah tidak sama dengan kelam darimana dia berasal. Dia mengalami hujannya dan berjalan dengannya. Bila engkau bersedih, oh apel, biarlah mawar itu jadi bukti hujanmu sudah membaik. Sebab dengan airmatanya dia mengairi mawar itu. Apel, angkatlah wajahmu kepada Langit, jangan menunduk terus nanti lekas engkau terjatuh dan terhilang ditelan dunia. Hujan mengakui semua kesalahannya, sangat menyedihkan dan menyakitkan. Tak hanya apel yang terluka, seisi taman terluka bahkan Pemiliknya pun terluka. Satu mawar membuatnya bertahan, adakah kau percaya, oh apel? "Aku telah berjanji, aku akan setia dan berjuang" rintik hujan dikala sepi hinggapi mereka. Sedengkan telingamu kepada Khalikmu, apelku, dan biar hatimu dipulihkan. Perasaan sia-sia hinggapi mereka. Sekiranya hatimu teguh menjalaninya. Hujan menanti hari penentuannya, berharap dalam berserah, berharap dalam remuk hati. "Maafkan aku, namun bagiku ini tidak sia-sia karena semua membuat ku sadar bahwa mawarku tetap hidup meski aku terluka dan terhina" rintik hujan dalam peraduannya. Adakah kau dengar, oh apel? Adakah kau memberi perhatian kepada ucapannya? Segarkan dirimu karena semua terjadi dengan tujuan. Aku melangkah maju, suatu saat pohon akan melihat hujan datangkan hidup. Entah ini dongeng, atau suatu ikrar Entah dilalui, atau diperhatikan Kisahku tetap hidup - Zn
0 notes
Text
Kisah tentang Hujan dan Apel
Kabar tersiar karena baru dicuatkan. Pernahkah hujan membuat pilihan lain selain apelnya? Sejujurnya, apelnya adalah satu-satunya. Adakah semua ini semu? Bagi hujan semua nyata. Apelnya tahu betapa hujan berjuang menjadi lebih baik dan keluar dari kelam masa lalunya. "Bila aku jelek, aku salah, aku ga baik, tegur aku nay" bisik hujan dalam remuk hatinya di malam hari. Entah apelnya ingat atau tidak, hujan mengerti apelnya sama setianya dengan dia. Masa laluku memang busuk, tak berarti selamanya aku busuk. Bila apelku telah membusuk dalam kesedihannya, maka hujan tahu bahwa dirinya memang tak berguna. Hujan pun sedih setiap kali masa lalunya datang, namun tak pernah dia ingkari janjinya dengan main hati dengan buah lain. Sama denganmu, hati hujan pun telah terbius mati rasa. Sesal dan sedih meliputinya. Dikala masa lalu yang kelam dibahas kembali, disaat hujan telah membuangnya jauh, disitulah hujan mati didalam harapannya. Rasa gagal dan malu meliputinya, kini apelnya pun tak lagi bersamanya. Letih dan pedih dalam sakit hatinya. Maaf bila semua harus datang bukan dari mulutku. "Aku tak mau dengar, takut sedih. Aku tahu kamu pasti bisa berubah" tanggapmu tiap kali aku menawarkan diri untuk menceritakan bagian-bagian itu kepadamu. Saat itu harapku muncul, nuraniku perlahan pulih. Namun sekarang, semua berbalik melawan aku. Hidup segan, mati tak mau. Maafkan aku nay, Sama seperti apelnya, hujan terluka. Membusuk dan berlalu dalam sedih kemuramannya. Apelku tetap apelku. Dengannya, hujan tak bersulap
0 notes
Text
Kisah tentang Hujan dan Apel
Hujan tahu kesalahannya, semua dimasa lalunya. Hujan kelu disaat menghadapi semua itu. Dia hanya tahu, apelnya mengenalnya jauh lebih baik dari yang lain.
Akankah apel mengerti betapa hujan mencintainya? Janganlah dibuat bingung karena apa yang telah lewat. Semua terjadi jauh sebelum hujan jumpa apelnya.
Sadarkah kamu? Ketika apel datang, hujan menjadi indah. Hari-harinya berarti, karena bagi apel sosok hujan memiliki kesempatan untuk berubah. “Kamu sudah membaik, jangan menyerah” sontak apel dikala hujan menunduk, malu dihantui masa lalu. Hanya pada apelnya hujan bercerita tentang kelam mendung dari mana dia berasal.
Kini hari, minggu, bulan, seakan berhenti. Tidur yang menjadi waktu berucap “selamat malam” menjadi mimpi buruk tak tenang bagi hujan. Sungguhpun hujan turun bukan karena dia memilih. Sampai akhirnya dia temukan kesukaan dalam renungnya, apel namanya.
Maaf bila rintik dan aromaku melelahkan hatimu. Hatimu tahu aku bukan lagi aku yang dulu. Semua adalah bagian kelam yang dulu aku singgung namun tak kau ingin dengarkan. Semua kau jalani untuk membangunku menjadi lebih baik, dan menjaga hatimu.
Janganlah bersedih, karena hujan membawa aibnya sendiri. Kemanapun dia pergi, apelnya selalu jadi apelnya satu-satunya.
Apel membaca langit, dia mengenal hujannya tak punya yang lain dan tak ingin ada yang lain.
“Aku yang salah” hela hujan. Masa lalu kerap datang, tapi aku tak berdiam didalam kelamnya. Aku tahu engkau pun tahu, meski aku paham sakit itu nyata ketika kabar datang melukai hati yang tulus.
Entah ini kali keberapa engkau dilelahkan dengan hujan kesukaanmu, yang pasti hujan berubah disaat apel menyapa dirinya “kasay” dan dia memanggilanya “nay”
Dengan apelnya, hujan berjalan keluar dari kelam masa lalunya. Hanya saja, kabar angin menyiarkan seolah baru saja terjadi.
Entah berfaedah atau hanya angin malam yang lewat,
Entah percaya atau tidak,
Kisahku tetap hidup
- Zn
0 notes
Photo
Apelku hanya satu Duduk diatas buku-buku Harum bagai aroma buku baru Di ruang baca waktu
Hanya satu bumi bagi hujan Akan itu, tak perlu penjelasan Datang masa dimana hujan diam Bukan tak peduli
Kita telah menjadi bodoh Pernahkah kita pintar? Bukan kamu yang terlebih dahulu Atau aku yang inisatif
Hanya saja hati terjalin bersama Diwaktu yang tak tepat lagi Lupakan atau abadikan Kisahku tetap hidup
Apelku hanya satu, bumiku hanya satu Dimana kita berjanji, hujan turun disitu Temani jalan kita berpulang Meski sedang tak sepijak, tetap dibawah langit yang satu
Percaya atau tidak Setia atau ludahi Kisahku tetap hidup
- Zn
0 notes
Text
Kisah Tentang Hujan dan Apel
Dua sejoli berjalan bersama, saling tatap diantara kata. Tidak heran bila keduanya tampak akur, mereka berdua saling menikmati kasih, seakan tak kenal waktu.
Berjalan dan berjalan, mereka terus berjalan. Menabur benih kasih di taman yang suci. Satu persatu bunganya muncul! Betapa bahagianya mereka berdua! Hujan dan Apel, berdua saling bersajak tatkala bunga kasih mereka mekar.
“Aku berjanji padamu nay, engkau yang terakhir” kata hujan kepada apel kesayangannya. Apel pun berjanji takkan lupa hujan penenang resahnya. Bertukar kasih dan saling berjanji mereka di taman Tuhan. Betapa indah dan bahagianya mereka. Hujan dan apel, merajut asa membangun rasa. Saling bercanda, bertukar kecupan. Manis katanya. “Aku yang paling berbahagia di dunia, aku paling beruntung karena engkau di hidupku!” Bisik hujan pada apel sukacitanya. Apel tersipu, senyumnya manis. “Aku mengasihimu” tanggap apel. Hujan dan apel menanam mawar janjinya di tengah taman itu. “Akan aku jaga, sampai akhir” janji mereka bersama. Silih berganti mereka saling membahu merawat bunga itu sampai kini merona merah kembang bunganya. Semerbak wanginya, harum memenuhi taman itu. Hati hujan dan apel dipenuhi euphoria karena kasih mereka begitu kuat. Janjinya manis, kuat dalam kesetiaan. Namun badai datang. Pemilik taman tak lagi berkenan atas mereka. Hujan didapati bersalah karena kesalahan masa lalunya, apel tertuding tak berdaya. Bukan salah siapa-siapa. Hanya waktunya sudah tidak tepat lagi. Begitu pikirku. Apel berjuang untuk tak terhempas, dikala hujan tertahan diperaduannya. Apel meringis, berjuang untuk tetap bertahan namun apa daya kuasa tak ada padanya. Hujan terdiam dalam kelunya. Terlihat apel berusaha menggapainya, hujan tak kuasa menggapainya, hujan telah tertahan dalam penjaranya. Hujan telah mengering dan terhakimi. Bagai tak berarah hujan di bui. Entah kemana dan harus bagaimana dia berjuang. Perjuangannya menuai penghakiman yang semakin keras, disaat apel terkukung dalam biliknya. Terdiam dalam isaknya. Hatiku hancur karena kesalahan masa lalu ku. Hujan menyesal, bersedih dan remuk namun tak kunjung datang kekuatannya. Melemas dia dalam hari-hari pergumulannya. Sekejap dia menengok kepada apel kesukaannya. Didapati apelnya bersedih karena hal tak terkatakan. Entah menyesal telah jatuh hati pada hujan, atau menyesal telah mengenalnya. Hujan hanya tertunduk. Menghibur pun dia tak kuasa. Ingin turun kepada apelnya tapi tak bisa turun, ingin melayang tapi serasa tak berguna lagi. Dalam susah hatinya, apelnya mungkin telah menjadi lelah atas semua yang sudah sudah. Apa daya? Hujan tetap memandangi apelnya dan menyimpannya sebagai yang terakhir dalam hidupnya. Adakah apelnya sudah membuangnya bagai sampah dan mencari hujan yang lain? Aku tidak tahu. Sangkamu aku tidak berjuang untukmu? Sangkamu aku tidak mengindahkan janji dan semua yang sudah kita tabur? Mungkin engkau berpikir semua adalah bodoh, tapi aku melihat semuanya indah. Boleh saja kau lupakan dan ludahi semua ini, tapi aku, apapun yang akan terjadi pada ku entah aku hidup atau terhempas turun, aku tetap mengindahkan semuanya. Aku mau setia pada janji yang ku ikrarkan dengan mu. Dan dengan Pemilik Taman itu, karena bersama kita telah berjanji, akan berakhir bersama. Ku pegang kata-katamu. Setia agar nanti bisa berpulang. Hujan selalu menemani perjalanan kita pulang… Apelku tetap apelku, adakah aku saja yang berpikir demikian? - Zn
1 note
·
View note
Text
Tak sadarkah, Dalam resah kusimpan semua dalam hatiku? Semua mimpi dan anganmu, semua waktu yang telah, sedang, dan akan kita jalani? Betapa semua telah rapi kusimpan dalam hidupku Akan kah kau berlaku sama? Tak sadarkah, Dalam kelu aku memandangi mawar janji kita Tertanam dan terpelihara jauh dari jangkauan dunia Hanya Tuhan yang pegang, dikala waktu dalam peraduannya Apakah aku yang telah menjadi bodoh? Dapatkah aku memilih, antara cinta dan pengabdian? Akankah aku menjadi musuh? Kehilangan segalanya, termasuk apelku? Betapa dalamnya kasihku! Mungkin kau takkan pernah tahu Satu janji, telah ku ikrarkan Hatiku takkan pergi kepada yang lain Aku tak akan jatuh cinta lagi Tulangku mengering dalam bungkus kulit ku, Darahku tercurah keluar dari mulutku Sesak dan pecah raga dan sukmaku Memegang janji mawar merahku Hari aku menanti saat penghakimanku Entah aku binasa, atau beroleh hidup Aku tak tahu Aku rapuh dalam harapan Tanggungjawab aku ambil, namun kuasa tak ada dalam tanganku! Kaki dan tanganku lari dari padaku Hatiku sesak tak menentu Apelku, mungkin tak lagi memegang janjinya Setia pada satu hujan, mungkin tak lagi dia indahkan Bagiku, hanya ada satu apelku Entah aku hidup, atau aku terhempas Hanya dia apel kesukaanku Padanya janjiku teguh Aku tak akan beralih hati, jatuh kepada yang lain lagi Ingatlah akan janji yang telah terukir Pada-Nya hatimu berlabuh Sekiranya engkau ingat akan janji kita Kuharap kau memegang janji itu Sampai hujan datang di musim depan Betapa bodohnya Aku tetap pegang janji itu Disaat mungkin engkau sedang menista Menginjak dan menyesali janji itu - Zn (kasay)
0 notes