aoihasegawa-blog1
aoihasegawa-blog1
Untitled
1 post
Don't wanna be here? Send us removal request.
aoihasegawa-blog1 · 7 years ago
Text
Akan Kulakukan
Chapter 1 : Pembunuh Bayaran
.
.
.
.
.
Tap
Tap
Tap
“Aku tahu kau disana .. Jika kau menyerahkan dirimu sendiri, mungkin aku akan berbaik hati untuk membunuhmu dengan cara yang lebih― wajar.”
Seorang pria berambut coklat terkekeh. Calon korbannya saat ini hanya bisa berlari dan bersembunyi rupanya. Ia bosan, sungguh. Sebenarnya bisa saja ia langsung memutilasi pria tua itu dengan kunai, tapi tidak, itu bukan gayanya dalam menghabisi target.
Bersandar pada dinding beton dalam sebuah lorong gelap, ia menyilangkan tangannnya di depan dada. Bosan. Entah sudah berapa kali ia menghela nafas di lorong yang di penuhi barang-barang bekas bangunan tak terpakai itu. Tempatnya melangkah cukup luas, hanya saja rongsokan-rongsokan tak berguna tadi sedikit menghalangi pijakannya. Tapi bagus juga, sasarannya ternyata malah menyudutkan dirinya sendiri disini. Satu-satunya hal yang bisa di lakukan pak tua itu adalah bersembunyi.
“Oh .. Jadi kau ingin mati dengan membiru dan bagian tubuhmu terpisah jauh, ne ? Sasaki Daichi ?” Ia menyeringai.
Hening.
“Baiklah, baiklah. Aku sudah sangat bosan disini. Bagaimana jika kita akhiri sekarang ? Aku hitung sampai tiga, jika kau tidak keluar juga―
―akan ku lakukan apa yang ku bilang tadi.”
Tetap hening.
“Satu”
“...”
“Dua”
“...”
“Ti―”
“T-tunggu! Tunggu dulu!”
Akhirnya sang incaran muncul. Seorang pria berusia lebih dari setengah abad keluar dari balik tumpukan meja kayu yang kelewat usang. Terletak tak jauh dari pemuda yang mengincarnya, kakek itu bergidik. Ia melihat wajah pemuda itu. Ya .. wajah malaikat yang akan mencabut nyawanya. Tatapan yang begitu menusuk dan seyum yang― astaga ... benar-benar mengerikan. Daichi sadar, kematiannya sudah dekat.
Seringai setan terukir di wajah si pemuda seraya mendekati korbannya. Melihat mangsanya yang semakin ketakutan, ia berhenti, menyisakan jarak sekitar lima langkah. Membuat atmosfir menegangkan semakin mencekam.
“K-kumohon .. Kau ingin uang ‘kan ? Ambillah, kau boleh ambil seluruh hartaku. Tapi kumohon jangan bunuh aku.” Tubuhnya bergetar. Orang yang dipanggil ‘Daichi’ memelas sebisa mungkin. Jujur, baru kali ini ia meminta belas kasihan kepada seseorang. Harga dirinya terlalu tinggi, karena ia merupakan salah satu orang terpandang di desanya dan itu membuatnya lupa diri. Ia menjadi angkuh, memanfaatkan kekuasaan dan kekayaannya untuk mendapatkan segala yang ia mau.
Tapi kali ini berbeda. Ia bahkan merengek, hampir menangis. Berlutut di hadapan sang ‘shinigami’ sambil menangkup kedua tangan di depan wajah, tidak membuahkan harapan apapun untuknya.
Sang calon pembunuh tak bereaksi. Rambut coklatnya tertiup angin pelan yang entah datang dari mana. Membuat parasnya yang tampan semakin terlihat sempurna. Namun ia tetap diam, dengan wajah datar mempertahankan sorot matanya yang menatap tajam si target.
Beberapa saat dengan keheningan, sampai akhirnya orang itu menyeringai ―lagi―.
Oh tidak, firasatku buruk, pikir Daichi.
“Aku tidak butuh uangmu, pak tua. Melihatmu saja aku tidak sudi. Memakan uang hasil jerih payah rakyatmu, lalu bertingkah seakan kau ini pemimpin yang baik, cih.” ia mendengus, bibir tipisnya kembali menarik seringai.
Dengan cepat tiga senbon beracun mendarat di dahi, leher, dan jantung si pria tua.
Tepat sasaran.
Seperti biasanya, racun itu bereaksi dengan cepat. Wajah sang korban seketika membiru, merambat perlahan ke seluruh tubuh. Rasanya sakit, sesak.
Mulutnya yang kering menganga lebar untuk menghirup udara. Tapi sia-sia saja, saluran pernapasannya sudah rusak sekarang. Jemari kurusnya mencakar kuat permukaan lantai. Ia meronta, matanya membelalak, namun tak sepatah kata pun sanggup ia lontarkan. Rasanya seperti ada yang mencekiknya.
Efek racun itu luar biasa. Rasa nyeri membakar di semua sendi, belum lagi sesak parah di paru-paru. Oh, jangan lupakan sensasi menyengat di setiap inci tubuh kurus itu. Seakan seluruh jaringan otot dan pembuluh darahmu di tarik hingga putus.
Dia tak tahan lagi. Mati terlihat lebih menyenangkan dari pada tersiksa begini.
Pemilik senbon itu mendekat, lalu berjongkok di hadapan korbannya. Yah .. tidak buruk juga. Tapi itu belum cukup. Di ambilnya sebilah kunai, lalu ia tancapkan tepat di jantung target.
Malam itu bersama hembusan sang angin, Sasaki Daichi tewas.
Tangan lemah yang sebelumnya mencakar-cakar lantai itu sekarang sudah terkulai kaku. Namun matanya tetap membelalak. Menyedihkan.
Ia tarik kunai yang menancap di jantung jasad pria tua itu dengan kasar, di iringi darah yang ikut menyiprat. Beberapa lainnya menyembul keluar dan meresap ke pakaian. Tidak berhenti disitu, ia gunakan kunai yang sama untuk memotong kedua pergelangan tangan korbannya.
Mengingat perkataannya tadi, seharusnya potongan tangan si tua itu ia buang jauh-jauh. Tapi tidak, ia biarkan saja kedua pergelangan tangan yang sudah terpisah tadi tetap dekat dengan tubuhnya. Bahkan ia tidak berniat menghilangkan jejak barang sedikit pun.
Cukup. Ia berdiri dengan tenang, lalu menghilang bersama kepulan asap.
.
Konohagakure no Satou. Salah satu dari lima negara besar yang ikut mengambil bagian dalam mewujudkan perdamaian dunia. Damai ? ya, tentu saja. Perang dunia shinobi ke empat telah berakhir. Kini seluruh penduduk dapat hidup tenang tanpa adanya rasa takut seperti dulu. Sebelumnya, meski perang dunia shinobi ke-3 telah berakhir, tetap saja tiap-tiap negara masih saling bermusuhan. Ancaman perang, pencurian jutsu kekei genkai, atau penculikkan warga desa maupun shinobi yang dimanfaatkan lawan untuk memperluas wilayah kekusaan, atau sekedar untuk mendapatkan informasi, mengintai setiap saat.
Dan sekarang semua itu sirna. Tak ada lagi permusuhan. Tak ada lagi dendam. Yang ada hanyalah canda tawa para penerus generasi desa, bermain riang setiap hari tanpa khawatir nyawanya akan terenggut paksa. Para warga desa dapat tersenyum senang. Shinobi-shinobi tingkat jounin, chuunin, maupun genin juga ikut bahagia.
Dan hokage kelima, Senju Tsunade, tidak perlu pusing-pusing lagi mengkhawatirkan para bawahannya saat ia kirim keluar desa untuk menjalani misi. Karena semuanya sudah aman sekarang.
Saat ini Konoha masih di pimpin oleh hokage kelima, Senju Tsunade. Seharusnya kunoichi sannin legendaris itu sudah pensiun, mengingat calon hokage berikutnya sudah di tentukan dan di setujui oleh semua petinggi desa. Akan tetapi, Daimyo, sang pemimpin tertinggi pemegang kekuasan berkata bahwa Tsunade masih harus menjabat setidaknya satu atau dua tahun lagi. Ia mesti membenahi segala sesuatunya setelah perang berakhir. Menggarap tumpukan berkas yang ―ia rasa ―semakin hari semakin berlipat ganda, bahkan tidak berkurang sedikit pun. Pengurusan kerja sama antar negara ternyata juga tidak sesederhana yang ia kira.
Lagi, ia harus mempersiapkan Hatake Kakashi, calon hogake berikutnya, agar dapat memimpin desa dengan baik. Yang sebenarnya sangat tidak perlu dilakukan, karena setiap orang tahu bagaimana kemampuan seorang Kakashi.
Kini Tsunade tengah berkutat dengan tumpukan file di mejanya, di temani tangan kanannya yang setia, Shizune. Jam makan siang hampir tiba, tapi baik Tsunade maupun Shizune sama sekali tidak berniat meninggalkan ruang kerjanya barang semenit. Kertas-kertas itu sudah cukup membuat mereka kenyang, mual bahkan. Hokage bersurai pirang itu memijat pelipisnya. Kepalanya berdenyut, ia benar-benar muak dengan kertas-kertas itu. Kami-sama .. kapan lembaran-lembaran menyebalkan ini akan menipis ?
Shizune yang melihat penderitaan Tsunade hanya bisa tersenyum miris. Tak lama kemudian, ia melihat burung pengantar pesan terbang mendekati jendela hokage. Segera ia hampiri jendela besar itu dan membukanya dengan sigap, namun hati-hati. Tak ingin membuat burung tadi terbang ketakutan atau malah terjepit sisi jendela. Gadis itu mengambil gulungan surat yang tersimpan rapi dalam kotak, yang diikat pada kaki kiri burung tersebut. Melihat sekilas, ia menyerahkan surat penting itu pada Tsunade.
“Dari Iwagakure. Kelihatannya penting. Walau tidak terdapat banyak segel rumit untuk membukanya.” Shizune tersenyum mencoba cairkan suasana suram di sana.
Tsunade mengangguk, kemudian membuat segel untuk membuka surat itu. Namun setelah ia membacanya―
BRAKKKK
―suasana suram berganti horor.
“CEPAT PANGGIL KAKASHI DAN RAIDOU! SEKARANG!”
Shizune kaget bukan main. Meski masih kebingungan, tapi ia mengangguk juga. Takut-takut nanti malah dirinya yang kena semprot, atau setidaknya terkena serangan jantung akibat kaget luar biasa yang kedua kali.
Selang beberapa menit, Kakashi dan Raidou tiba di antar Shizune yang langsung memposisikan dirinya disamping Hokage.
Kakashi memperhatikan Tsunade yang sedang menutup mata sambil memijat pelipisnya. Sepertinya aura disini sedang tidak bagus. Jelas terlihat dari ekspresinya kalau Godaime sedang kesal. Entah itu di sebabkan gundukan file di atas mejanya, atau karena hal lain. Dan benar saja, saat hokage kelima membuka mata, suasana dalam ruangan itu beribu-ribu kali lebih menyeramkan. Menampakkan raut kemarahan yang membuat siapapun meneteskan keringat dingin.
Tapi tidak untuk Kakashi. Ia sudah kebal. “Tsunade-sama, anda memanggil kami ?”
“Ya.” Ia membuka topik. “Sasaki Daichi. Kalian mengingat orang itu ?”
Kakashi dan Raidou mengangguk.
“Beberapa jam setelah kalian mengantarkan orang itu ke kediamannya, ia di bunuh.”
“...”
Kakashi dan Raidou diam. Mereka berdua sudah mengantarkan pejabat tinggi desa Iwa itu dengan selamat. Tapi bagaimana bisa ? Memang banyak penjahat yang mengincar nyawanya saat di perjalanan, tapi mereka dapat dikalahkan. Bandit-bandit itu tidak berarti apa-apa bagi Kakashi dan Raidou. Bahkan saat mereka singgah untuk mengisi perut di sebuah kedai kecil, tidak ada makanan dan minuman yang ia pesan yang tidak dicicipi oleh dua Jounin itu terlebih dulu. Berlebihan memang, tapi pria tua itu bilang kalau saat ini banyak orang yang mengincar nyawanya. Bukan mustahil akan terdapat racun dalam makanan atau minuman bahkan di sebuah kedai kecil seperti itu.
Sebenarnya beberapa shinobi tingkat genin saja sudah lebih dari cukup untuk mengawal Daichi sampai kerumah. Tapi ia terlalu takut. Tidak, itu bukan takut. Ia hanya khawatir penduduk sekitar menganggapnya sedang ‘jatuh’ karena hanya sanggup menyewa ninja setingkat genin untuk menjaganya selama perjalanan.
“Di bunuh ? Tapi aku dan kakashi-san sudah―”
“Baca ini” Tsunade memotong kalimat Raidou dengan menyodorkan selembar kertas.
Kakashi menerima surat itu dan membacanya bersama Raidou.
Keduanya biasa saja saat membaca surat itu sampai beberapa kalimat. Namun di kalimat berikutnya, mereka tersentak. Mungkinkah ? Ah ... tidak. Penulis surat ini pasti salah mendengar informasi ‘kan ? Sampai ia salah menulis surat seperti ini.
Iya kan?
Dibacanya surat itu sampai akhir. Kakashi mengalihkan pandangan pada Tsunade yang langsung menatapnya tajam. Sedangkan Raidou masih diam tak percaya dengan rentetan kalimat dalam kertas itu.
“Jangan berpikir kalau orang yang menulis surat itu salah menerima informasi.”
Raidou yang masih terkejut mengangkat kepalanya menghadap sang hokage. Ia tak sanggup mengatakan apapun.
“Tapi Tsunade-sama, anda tahu betul kalau―”
“Aku mengerti Kakashi. Dan kita semua disini tahu bagaimana Sasaki Daichi itu. Ia termasuk kedalam daftar orang terkaya se-Iwagakure. Perusahaannya berkembang pesat akhir-akhir ini dan mulai melebarkan sayapnya sampai ke seluruh wilayah Iwa. Daerah yang ia pimpin juga lumayan maju, meski pajak yang ditarik terlalu tinggi.” Berhenti sejenak, ia memejamkan mata, menghela napas lelah. “Tapi sekarang ia sudah mati. Juga ninja-ninja yang ia sewa untuk menjadi bodyguardnya.”
Kakashi dan Raidou sudah tahu tentang itu. Lagi pula, siapa yang berani-beraninya meminta anak dari si taring putih konoha, guru dari pahlawan perang dunia ke empat, dan calon hokage ke enam itu untuk mengawalnya sampai rumah ? Daichi sanggup membayar berapa pun yang diminta untuk memenuhi keinginannya itu. Tapi Tsunade menolaknya. Ia harus menjaga Kakashi tetap aman sampai hari pelantikannya tiba. Namun Kakashi yang mendengarnya tiba-tiba langsung melompat masuk melalui jendela ―kebiasaan buruk, dan Tsunade tidak terkejut lagi karena ia sudah terlalu sering dikagetkan oleh kemunculan Kakashi secara tiba-tiba dari jendela itu―.
Kakashi mengatakan ia akan mengambil misi itu. Alasannya jelas bukan karena bayaran. Ia tidak suka berdiam diri didesa ―walau sebenarnya dia harus mempelajari berbagai hal untuk memimpin desa―. Di ganggu oleh Naruto ce-es setiap harinya demi mengungkap ‘rahasia di balik masker menyebalkan’ miliknya itu cukup membuatnya risih. Menyenangkan memang, namun naruto dan kawan-kawannya kini bukan anak kecil lagi. Mereka sudah menjadi shinobi hebat yang berperan besar dalam menyelamatkan dunia. Bisa gawat jadinya jika mereka berhasil mengungkap wajah Kakashi lalu menyebar luaskannya hingga ke penjuru desa. Tidak, lebih luas, mungkin dunia.
Dengan berat hati Tsunade mengizinkan Kakashi menjalani misi tersebut, asalkan ia ditemani satu atau dua ninja lainnya. Dan kakashi memilih Raidou. Selain karena dia juga sedang tidak menjalankan misi, sepertinya dia juga tidak terlalu tertarik untuk mengungkap wajah Kakashi.
Namun sekarang, Sasaki Daichi sudah tiada. Ia dibunuh. Tapi bukan itu masalahnya.
Melainkan orang yang melakukannya.
“Shiranui Genma. Dia yang telah melakukannya.”
Shizune yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan angkat bicara.
“Nona Tsunade, maaf sebelumnya. Tapi .. Siapa itu Genma ? Kenapa desa Iwa sampai memberitahukan masalah ini kepada Konoha ? Apa orang itu ada hubungannya dengan desa kita ?”
“Ya. Genma awalnya adalah shinobi konoha seperti kakashi dan raidou. Ia shinobi yang berbakat dan terampil. Bahkan ia dipercaya oleh Yondaime hokage untuk mewarisi Hiraishin no jutsu, walau harus melakukannya bertiga dengan Raidou dan Iwashi ―karena keterbatasan cakra dan tingkat keberhasilan―.
Waktu kecil, ayahnya terbunuh saat sedang menjalani misi. Ibunya yang saat itu sedang mengandung tidak dapat menerima kenyataan itu. Ia mengalami depresi berlebihan, sampai janin yang ada dalam kandungannya tidak dapat bertahan. Ia keguguran. Ditinggal mati seorang suami, dan kehilangan calon anak keduanya, membuat ia memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan sebotol racun serangga.”
Shizune tersentak. Malang sekali nasib Genma. Ia jadi teringat saat dulu ia di beri kabar kalau kakaknya telah gugur di medan perang. Tapi ini berbeda. Genma kehilangan keluarganya. Bukan hanya satu, tapi dua, di tambah calon adik yang juga ikut meninggalkannya.
“Kejadian itu sudah cukup lama. Ia sudah bisa bangkit dari keterpurukannya dan menjadi shinobi yang kuat. Tapi suatu ketika, dua minggu setelah pembantaian klan uchiha, ia memutuskan untuk pergi dari Konoha. Sebelumya memang ia baru saja menjalani misi ke desa taki. Kemungkinan besar saat disana ia bertemu orang yang dapat meyakinkannya tentang keberadaan seseorang yang telah menghabisi nyawa ayahnya dulu, karena ia berkata kalau ia hanya ingin berlatih diluar sana dan membalaskan dendam ayahnya. Bukan menjadi pengkhianat yang akan berbalik menyerang Konoha.”
“Sou ..” Shizune mengangguk paham lalu menyadari sesuatu. “ Ehh, bukankah itu berarti―”
Tsunade mengangguk. “Ya, saat itu memang Konoha masih dalam keadaan kacau akibat pembantaian klan uchiha. Sangat berat melepaskan seorang lagi ninja berbakat disaat konoha baru saja kehilangan satu klan ninja berdarah uchiha. Tapi Sandaime yang saat itu menjabat mengerti. Ia tahu bagaimana perasaan genma. Jika ia menahan genma untuk tetap tinggal, perasaan anak itu akan semakin kacau. Lebih parah, ia akan menderita. Ia telah gagal dengan Kakashi, juga itachi. Ia tidak ingin lagi ada yang menderita karena keputusnnya sendiri. “
Shizune menunduk. Tatapannya sendu. Ia tidak menyangka banyak shinobi yang menderita. Bukan hanya shinobi, warga desa juga, bahkan hokage harus membuat keputusan yang sulit.
“Kau mengerti, Shizune ?”
Yang ditanya mengangguk. “Ha’i”
“Sekarang kalian berdua. Persiapkan diri kalian untuk misi itu. Besok kalian berangkat, dan pastikan jangan sampai ada yang terbunuh.”
Kakashi dan Raidou mengangguk. Lalu pergi keluar dari ruang hokage. “Kami mengerti. Permisi.”
“Nona Tsunade .. Misi itu, jangan-jangan.. Kau memberikan misi untuk menangkap Genma ?”
-TBC-
7 notes · View notes