Photo
Tenanglah Ayah. Selamanya akan istimewa setiap harinya. Tak perlu menunggu hari-hari spesial itu tiba. Kita akan senantiasa mendekap cerita kehidupan ini dalam syukur panjang dan sabar tanpa batas kan? Nuansa yang akan sedikit berbeda ditemui saat enam tanggal dalam setahun terulang. Entah dengan memaksa bangun menjelang tahajjud dan kue sudah didepan mata. Pun saat pagi buta dengan dingin yang masih membekukan badan dan suara nyaring akan ucapan doa-doa yang bahkan tak jelas karena saking rebutan. Atau tubuh yang pasrah ambruk saat dini hari harus merasakan pelukan bahkan saat mata masih belum segar terbuka. Dan tangan yang tergenggam sungguh erat dengan binar mata yang penuh semangat dengan ucapan khasnya. Kita akan tetap riuh begini kan? Tetap saja ada yang akan jelas tampak berbeda. Dengan satu tanggal yang begitu istimewa. Tanggal yang akan sama-sama dinanti. Bukan untuk menyamai, melainkan sarana mempererat dan menumbuhkan kasih sayang. Bersyukur akan indahnya cinta suci yang tercurahkan. Dan momentum paling tepat untuk mengevaluasi yang sudah-sudah, memperbaharui demi kelanjutan semakin baik, dan menegaskan harap dan pelukan yang akan setia menguatkan. Kita akan selalu mempersiapkan saat tanggal ini tiba kan? 19 Juli. Akan menghiasi dengan suasana makan malam yang biasa saja, namun bernilai sangat luar biasa. Bercengkrama dalam tatapan setiap wajah sumringah bahagia dan santapan makan malam pilihan kesukaan. Mengulas memori ingatan lalu akan suka duka yang menorehkan kehangatan dan untaian syukur dalam benak yang hanya mampu tersenyum. Hingga tak terasa sudah 25 tahun bersama, dan terbiasa dengan yang telah sengaja dibiasakan. Kita akan seperti ini terus kan? Ayah dan Mamak terhebat dan tercinta. Maafkan segala tingkah kami yang begitu ingin melihat kalian tersenyum dan bangga memiliki kami. Bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat. Kami akan selalu mendekap kalian sebagai yang terpenting. Jangan pernah ragukan itu. Ini adalah bentuk bahagia kami memiliki orang tua terbaik sejagad raya. Yang romantisnya tersimpan rapi dan indah. Begitu mesra dalam keheningan dan pengertian. Luar biasa dalam perhatian dan penjagaan. Taukah kalian betapa bangga nya kami memiliki kalian? Maka di pengulangan tanggal istimewa milik kita bersama kemarin, 19 Juli 2017, tepat usia seperempat abad pernikahan kalian, kami berusaha untuk membuat kenangan indah sebagai bentuk kecintaan dan kebangaan yang tak mampu terkatakan dalam lisan pun tulisan. Harap menjadi bagian haru dan penuh syukur saat kita kembali mengingat akan kenangan perjalanan kita. Segenap hormat dan cinta tulus kami, Buah hati dan cinta kalian. Ketua Acara : Doly Ahmad Tarmizi Simanjuntak Dekorasi : Anggita Mawaddah Simanjuntak Konsumsi : Ika Khairunnisa Simanjuntak Transportasi : Tigor Ahmad Thabrani Simanjuntak Terima kasih atas kerja samanya gengs. Kalian berhasil. Terima kasih kapten hebat, Bahnyuk. Kuenya enak tapi kurang banyak coklatnya, Itone. Dekorasinya salah warna balon angka, harusnya warna silver, bukan gold, Dita. Terjadi perlambatan dalam transportasi yang harusnya bisa lebih baik, Ponah. Kita adalah tim yang istimewa. Dan uraian ini hanya sebagai pengingat untuk kalian tertawa mengingat kehebohan kita. Buat Ayah dan Mamak yang menikah diusia yang sama hanya berbeda satu bulan saja, 19 Juli 1992, tetaplah membersamai kehidupan kami. Dari keempat anak Ayah, yang mencintai Ayah dengan walaupun, bukan dengan karena. Selamat tanggal 25 November 2017. Selamat mensyukuri nikmat Allah yang begitu mencintai Ayah hingga usia setengah abad ini. Sayang Ayah banyak-banyak. - JAP-6, mengenang hari istimewa. 25 November 2017
1 note
·
View note
Text
Judging dan Stereotipe
Saya meyakini sekali bahwa setiap apapun yang saya pilih dalam hidup saya merupakan representasi keberpihakan saya terhadap sesuatu. Dengan keberpihakan tersebut saya siap dengan segala konsekuensi yang mengikutinya. Saya tidak khawatir dengan argumen yang mendebat saya akan tindakan yang saya pilih. Saya tidak masalah dengan pendapat yang ingin mengetahui alasan saya membuat pilihan dalam hidup saya. Pun saya tidak takut akan sikap yang mendadak cepat menilai saya. Karena keyakinan menghadirkan kekuatan yang selalu menjadi tonggak saya dalam menerjang setiap derai yang ingin menerpa atau merobohkannya. Selama saya yakin, maka tak ada yang perlu saya ragukan dalam melangkah. Keyakinan yang saya maksud disini jelas bukan keyakinan tanpa dasar, sebab haruslah berlandaskan ilmu.
Setiap tindakan pastilah ada konsekuensinya. Jelas sekali hukum ini. Baru-baru ini saya mengalami suatu hal yang sedikit membuat saya terusik. Kemarin lebih tepatnya. Ketika saya menaiki commuter line dari stasiun Bogor menuju stasiun Pondok Ranji. Untuk sampai ke stasiun Pondok Ranji maka saya harus transit untuk berpindah kereta di stasiun Tanah Abang menuju peron 5 atau peron 6 yang keduanya melewati stasiun Pondok Ranji. Ketika saya telah berpindah kereta dan berdiri di gerbong 1 yang dikhususkan untuk penumpang wanita, saya kaget dengan seorang penumpang yang naik setelah berselang 3 menit dari saya. Penampilan penumpang tersebut jelas sekali bukan seperti seorang wanita. Hal ini bukan merupakan penilaian saya semata, karena ketika penumpang itu naik tidak hanya saya saja yang terperangah, melainkan penumpang wanita lainnya yang melihat penumpang tersebut juga ikutan memandang dengan tatapan nanar. Ketika penumpang tersebut naik, seorang laki-laki berusia sekitar 40 an tahun naik dan langsung beringsut turun untuk berpindah kereta karena baru menyadari kalau ternyata salah masuk gerbong. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada penumpang yang penampilannya jelas bukan terlihat seperti wanita. Karena risih dengan tatapan para penumpang lain yang seperti ingin memberitahukan kalau gerbong 1 dikhususkan untuk wanita, penumpang tersebut langsung berkata, “Gue cewek, gue cewek…” sambil mengangkat satu tangannya dan mendekat untuk dapat menjangkau pegangan ketika berdiri yang bergantungan di besi rangkaian kereta. Barulah saya dan penumpang lainnya menyadari bahwa benar ada yang beda dari penumpang yang tak terlihat seperti wanita tersebut.
Tak lama setelah kekagetan saya sirna, penumpang aneh tersebut berdiri persis di samping saya. Saya tak begitu mempedulikan keberadaannya yang berdiri di samping saya. Namun karena jarak antara saya dengan penumpang itu sangat dekat, saya dapat mendengar pembicaraannya saat menelpon, “Gila ya, orang-orang disini judging banget.. masa gue disangka cowok..” begitulah mungkin perkataannya yang mampu saya ingat. Saya yang mendengar jelas karena dekat dengannya merasa hal ini tidak sesuai. Dia berbicara seperti itu seakan korban intimidasi yang begitu parah. Jelas ini tidak adil menurut saya. Saya melihat bahwa dia lah yang terlebih dahulu mengintimidasi para penumpang wanita lainnya yang telah masuk. Berdasarkan penemuan ilmiah yang saya baca pada IDN Times, New York University di Journal of Experimental Psychology : General menemukan bahwa orang yang lebih pintar cenderung lebih menerapkan stereotipe sosial dalam penilaian mereka. Menerapkan stereotipe sosial dalam penilaian adalah hal alami yang tanpa dipungkiri dilakukan oleh hampir seluruh manusia. Secara spontan, otak akan merekam dan menilai apa yang dialami atau dilihatnya. Oleh karena itu judging ialah hal alami dan spontan yang dialami oleh manusia saat pertama kali melihat sesuatu. Namun, apabila ternyata penilaian tersebut salah, maka tak segan pula untuk mengubah penilaian sesuai dengan yang sebenarnya.
Melansir artikel IDN Times diatas, saya tidak setuju dengan apa yang ditulis pada bagian akhir artikel tersebut. Pada penutup artikel disebutkan bahwa identitas bukanlah merupakan indikator dalam menilai seseorang. Saya tidak setuju dengan hal ini, karena identitas adalah indikator dasar untuk mengenali diri seseorang. Jangan salahkan orang dengan memberikan penilaian atas apa yang mereka lihat, jelas ini bentuk pemaksaan yang tak dapat diterima. Setiap muslimah diperintahkan untuk memakai jilbab dalam surat Al Ahzab ayat 59 jelas tertuliskan agar mudah dikenali dan tidak diganggu (melindungi). Jadi, jilbab berfungsi salah satunya agar mudah dikenali atau dalam hal ini merupakan identitas seorang muslimah. Jika ada muslimah yang tidak berjilbab marah saat bertemu dengan orang baru lalu ketika masuk waktu sholat orang tersebut tidak mengajaknya, sementara perempuan berjilbab lainnya diajak, ya jangan serta merta tersinggung. Justru bentuk kehati-hatian bahkan sikap sangat menghormati. Penampilan kita menunjukkan identitas kita. Bagian pembuka atas setiap pikiran orang lain untuk menilai kita. Karena penampilan menggambarkan kepribadian, menunjukkan kecenderungan, dan memperlihatkan keberpihakan. Tentunya jelas semuanya ialah atas dasar persetujuan tanpa pemaksaan. Kita lah yang memutuskan.
Lamat pikiran saya menerawang diantara desakan para penumpang yang berebutan tempat. Saya terpaku untuk kembali menelisik beberapa kejadian yang saya alami. Pernah suatu ketika saya memesan angkutan umum online. Biasanya kakak saya begitu cepat pesanannya diterima. Tapi ini tidak dengan saya. Berbesar hati saya mengatakan mungkin karena sudah malam sehingga pengemudi banyak yang malas menerima pesanan, kepada kakak saya yang mulai tidak sabar. Tapi itu hanya penenangan diri saya sesaat, karena waktu masih menunjukkan pukul 20.00 WIB. Lalu, dilain waktu pula saat saya memesan pada siang hari tetap saja sama. Selalu lama. Beberapa kali tampilan tidak ditemukan pengemudi tertampil dilayar ponsel saya. Padahal tempat penjemputan yang saya masukkan bukanlah tempat yang rawan macat. Lagi-lagi saya berbesar hati mungkin pengemudi tidak ada yang dekat atau memiliki kesibukan yang sangat penting makanya tidak dapat menerima pesanan. Hingga akhirnya saya menemukan jawaban atas ketidaknyamanan saya. Hal itu karena nama lengkap yang saya masukkan dalam akun angkutan umum online tersebut. Seorang pengemudi yang menerima pesanan saya berkata, “Dari Medan ya mba?”. Tentunya saya kaget. Lalu saya tanya balik, “Wah Bapak kok bisa tau ya?”. Dan si Bapak pengemudi memberikan jawaban yg membuat saya tersenyum dan nyengir, “Lah Simanjuntak ini Batak kan mba? Medan dong?”. Dari raut wajah bapak pengemudi sangat jelas terlihat raut kaget melihat saya berjilbab. Bapak tersebut menceritakan kalau mereka kurang nyaman untuk mengambil pesanan penumpang Batak, dalam hal ini yang bermarga maksudnya. Tidak bermaksud memperdalam alasana bapak tersebut, saya mengamini apa yang bapak tersebut pikirkan. Dan hal itu wajar. Kebanyakan orang pasti berpikir demikian terhadap orang yang berasal dari Medan, dan kebanyakan bersuku Batak. Inilah stereotipe yang harus saya terima. Dan apakah saya harus menghilangkan marga saya di aplikasi angkutan umum online tersebut? Dengan tegas saya jawab, tidak. Saya siap dengan judging siapapun yang belum bertemu saya ataupun bertatapan muka dengan saya. Saya menerima stereotipe yang berkembang terhadap marga saya. Dengan adanya saya, saya berharap perlahan pikiran mereka dengan stereotipe seperti itu memudar. Bahkan berangsur membaik. Kalau saya menghilangkan marga saya di aplikasi tersebut, berarti saya menyerah. Jelas, tidak ada kesalahan yang saya perbuat. Kenapa saya harus takut?
Ketika anda sudah menentukan pilihan, lakukan dengan baik. Bijaklah saat menerima pendapat dan perlakuan orang yang berinteraksi dengan anda. Kalau tidak siap, ya jangan coba-coba. Anda sendiri yang akan merugi. Buat kamu yang berpenampilan seperti itu, saya hanya memberi saran, anda bisa masuk ke gerbong 2 sampe 7, jika ada 8 rangkaian gerbong. Karena itu tidak khusus buat penumpang wanita, tapi umum. Semoga anda nyaman dan membuat orang lain juga nyaman.
Semua tindakan anda ialah pilihan anda, termasuk penampilan anda. Maka bijaklah dalam menentukan. Apapun itu.
- JAT-27, mencoba berpendapat dan berbagi kisah. 24 November 2017
1 note
·
View note
Photo
Biarlah langkah ini tetap menjadi istimewa bagi saya.
Yang tahu persis setiap keadaan adalah ia yang benar-benar merasakan.
Saya tak lihai mencari perhatian. Juga tak ahli dalam mengundang sapaan. Pun sekadar menghibur hati dan perasaan.
Saya hanyalah seseorang yang bertahan dalam dekapan doa.
Hanya dengan doa.
Dengan doa, saya akan membuat anda tetap istimewa. Selamanya.
- JAP-5, menguatkan saja. 25 April 2017
1 note
·
View note
Text
Inilah Mengapa
Nama adalah sebuah doa. Doa dari mereka yang merindukan kehadiran tambahan satu lagi keluarga baru. Harapan bagi sosok baru yang akan mengisi bagian kehidupan mereka. Baginya doa adalah sebuah harapan yang dirangkai dengan sangat indah. Karenanya pemberian sebuah nama adalah hal yang sangat perlu untuk diperhatikan. Nama adalah doa untuk setiap ruh yang bernyawa. Nama adalah harapan untuk generasi baru yang akan terus tumbuh dan mendewasa.
Namanya Anggita Mawaddah Simanjuntak. Nama ini lahir dari kesepakatan dua keluarga. Figur keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Lahir dengan ukuran maksimal seorang bayi, yaitu 40 kg dan panjang 37 cm. Tepat pada tanggal 1 April 1996 di kota Rantauprapat, kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara pada pukul 01.00 WIB dirinya pun menangis menatap dunia. Terisak disertai dengan senyuman keluarganya yang tampak sumringah dalam khayalannya.
Pun saat ayah mulai menceritakan kembali riwayat pengesahan nama itu. Sejarah rangkaian kata yang tercantum selalu mengikuti dirinya, kemanapun dan kapanpun. Dalam keheningan malam bersama kopi dan hujan, ayah suka sekali mengenang saat yang bagi ayah pun terlebih baginya menyejarah nan berharga. Begitulah cara ayah membuat putrinya begitu semangat untuk bermimpi. Doa dan harapan yang ayah dan seluruh keluarga sematkan dalam namanya. Nama yang hingga kini menghadirkan banyak kisah. Nama yang membuatnya bersyukur atas kasih sayang mereka, dan nama yang selalu dia bawa bersama doa dan harapan mereka.
Keluarga ayah asli keturunan batak. Begitu kuat menjaga budaya dan adat istiadat. Berasal dari kampung pegunungan yang asri di tanah Sipirok.
“Namanya Anggita saja, biar nanti jadi perempuan batak yang hebat dan berpengaruh. Walaupun anak terakhir, dia akan tumbuh menjadi anak yang mandiri dan tidak manja” begitulah penyampaian akhir keputusan nama yang diberikan oleh keluarga batak yang dicetuskan oleh kakek.
Anggita itu artinya adik kita. Namun, doa dan harapan yang menyertai nama itu lebih bermakna. Panjang dan meluas tuk segera menjelma dalam jiwa dan raga.
Keluarga ibu asli keturunan melayu. Lebih menjaga sisi rohani ketimbang budaya. Namun, tetap saja masih lestari asal tidak bertentangan dengan agama. Berasal dari daerah pesisir pantai desa Perupuk, kabupaten Batu Bara.
“Namanya Mawaddah saja, semoga menjadi muslimah yang hebat. Selalu bersikap penuh cinta dan senantiasa menjaga kesucian dirinya. Buah cinta di keluarga ini yang nantinya akan selalu membanggakan keluarga dan bermanfaat bagi ummat” begitulah penyampaian akhir keputusan nama yang diberikan oleh keluarga melayu yang keseluruhannya dipilihkan oleh kakek.
Sehingga terangkailah nama itu dengan penambahan marga di belakangnya. Marga adalah hal yang wajib untuk dipakai mengikuti nama bagi keluarganya. Lengkap sudah, begitulah sejarah namanya.
Ya, dialah Anggita Mawaddah Br. Simanjuntak. Itulah yang tertuliskan di KTP-nya.
Simanjuntak adalah sebuah marga dari suku batak. Samalah dengan Siahaan, Pohan, dan Hutagaol. Terbawa oleh kakek yang menikah dengan marga Pasaribu. Namun, karena prinsip batak ialah patrilineal yaitu mengikuti garis keturunan laki-laki maka dari pernikahan tersebut marga yang dipakai oleh anak-anaknya adalah marga dari sang bapak.
Simanjuntak adalah Batak Toba. Keluarganya berasal dari tanah Sipirok. Namun, pernikahan kakek dan nenek membuat tanah itu kian menjadi terasing baginya, sebab setelah menikah kakek dan nenek merantau ke Rantauprapat.
Hingga kini, masih hal yang langka menemui marga Simanjuntak telah memeluk agama Islam. Jelas saja, dari puncak atas pohon silsilah raja Simanjuntak adalah beragama non Islam. Kakeknya kakek atau empat generasi diatasnya memilih untuk masuk Islam. Suatu kesyukuran yang tak berhingga baginya dapat terlahir sebagai seorang muslim. Dapat merasakan udara napas islami dari sejak masih dalam kandungan. Tumbuh dan mendewasa di rumah dan lingkungan yang menjadikan Islam sebagai pilihan.
Namun, bukan hal yang tak biasa jika banyak yang terperanjat dengan raut kaget ketika mengetahui bahwa dia adalah suku Batak dan bermarga Simanjuntak. Terang saja, sudah dapat diketahui sebab musababnya. Dia telah menyadari bagaimana pandangan tak sedap itu hanya berasal dari kain yang menempel dan menutupi kepalanya. Terlebih lagi, kain tersebut lebih panjang dari biasa yang sering mereka lihat. Menanggapi sikap tersebut, dia lebih memilih untuk hanya bereaksi dengan senyuman.
Contoh paling biasa, saat bertemu dengan seseorang di jalan. Tak sengaja dia harus menghentikan langkahnya karena seseorang tersebut menanyakan sebuah alamat. Ketika dia telah menjelaskan alamat yang dituju, percakapan sederhana itu kembali terurai dengan naskah yang sama.
“Terima kasih ya, mba. Namanya siapa ya?” pertanyaan abadi yang akan terus berulang. Pertanyaan yang sudah terbayang pasti apa hasilnya setelah dia menjawab pertanyaan tersebut.
“Nama saya Anggita Mawaddah Simanjuntak” jawabnya seperti biasa dengan senyuman.
“Loh.. kamu orang Batak ya? Sukunya Simanjuntak?” pertanyaan spontan yang sudah jitu dia prediksi.
“Iya bu..” jawabnya lagi dengan senyuman.
“Wah.. saya baru tahu Simanjuntak ada yang Islam” pernyataan terakhir dengan wajah kaget dan ungkapan batin yang tak dapat diterjemahkan.
Dia hanya tersenyum dan tak ambil pusing. Biarlah, sejatinya kan ketika kita bertemu seseorang akan terjadi dua hal, entah untuk memberi atau menerima. Kini, bagiannya adalah memberi. Ya, memberi informasi baru kalau perkembangan Islam telah meluas, dan kabarnya pun kebangkitan Islam telah semakin dekat.
—
Sejak masih kecil, ayah dan ibu telah mengajarinya untuk menjadi pribadi yang rapi dan disiplin. Semua buku sekolah harus tersampul dan diberi identitas diri, berupa nama dan kelas. Ayah dan ibu membagi tugas, untuk perihal menyampul dilakukan oleh ibu dan menuliskan nama dan kelas dikerjakan oleh ayah. Itu berlaku untuk semua buku, buku tulis dan buku bacaan. Bukan hanya buku bacaan sekolah, buku bacaan sehari-hari pun sama perlakuannya. Namun, hal tersebut hanya terjadi sampai usianya 10 tahun. Setelah itu, semua dia lakukan secara mandiri. Ya, kebiasaan ayah dan ibu telah menular sempurna pada dirinya. Tanpa suruhan pun, dia tidak akan tenang jika belum beres proses penyampulan dan pelabelan identitas buku tersebut.
Tak hanya itu, seragam sekolah juga diwajibkan untuk bernama di sisi baju yang tak bersaku. Nama yang menempel dikain hitam dengan tulisan berwarna putih dijahit sendiri oleh ibu.
Untuk kedua urusan tersebut, namanya tak lagi bertuliskan dengan lengkap. Namun terjadi pemendekan pada bagian tengahnya. Anggita M. Simanjuntak.
“Yah.. kok namanya dituliskan gini aja sih, kenapa ga ditulis semuanya aja?” tanyanya meminta kejelasan.
“Terlalu panjang nang, ga muat nanti di buku dan seragam sekolahnya” jawab ayah coba menjelaskan.
“Kan mawaddah artinya bagus yah, kenapa ga marganya aja disingkat?” tanyanya lagi masih tak menerima penjelasan pertama.
“Memangnya kamu mau dikira bermarga lain, misal Siregar, Situmorang, Sihombing, atau yang lainnya dengan huruf awalnya S?” ayah bertanya balik.
“Ya ga mau la yah, aku pasti kenalin margaku apa ke mereka” sahutnya lagi dengan cepat.
“Ya sudah daripada kamu harus kenalin satu-satu, kan lebih baik ditulis marganya dengan lengkap aja” jelas ayah lagi dengan sabar.
Dia kurang setuju akan penjelasan ayah. Baginya tak masalah kalau sekedar mengenalkan marga agar orang lain tidak salah kira. Hanya sebentar saja, takkan menghabiskan banyak waktu. Bahkan merupakan suatu hal yang membanggakan karena senantiasa memperkenalkan marga yang begitu berharga dalam suku Batak.
Dia mengernyitkan dahi dan matanya menerawang. Namun, untuk satu penjelasan yang menjadi terakhir ini, dia pun akhirnya menerima.
“Inang, dalam suku kita, marga itu adalah hal yang paling penting. Lebih berharga daripada nama yang tertulis di depan. Nanti ketika sudah dewasa, namamu juga akan lebih singkat lagi yaitu A.M Simanjuntak. Seperti nama ayah, A.R Simanjuntak. Orang akan mengenal kamu dengan margamu, bukan namamu, nang. Seperti ayah, di kantor dipanggilnya Pak Simanjuntak. Makanya, karena pentingnya marga maka tidak boleh disingkat” jelas ayah panjang lebar hingga membuat putrinya mengangguk tanda paham dan menerima penjelasan.
—
Dia semakin bertumbuh. Doa dan harapan yang tersimpan dalam namanya senantiasa mengiringi langkahnya. Hingga tibalah saat dia mulai terusik oleh sesuatu peristiwa.
“Coba panggilkan Anggita M. Simanjuntak” pinta seorang guru pada salah satu siswanya.
Guru tersebut tak mengajar dikelasnya, namun memiliki keperluan untuk menanyakan perihal konten mading. Nama yang tertulis pada artikel yang dia tulis ialah nama yang telah disingkat menjadi Anggita M. Simanjuntak. Tak lama kemudian, dia pun telah sampai di ruangan dimana sang guru menunggunya.
“Kamu Anggita M. Simanjuntak?” tanya sang guru dengan raut wajah seperti biasa yang dapat dia tebak munculnya berlebihan hanya karena kain penutup kepalanya.
“Iya bu, benar. Saya Anggita Mawaddah Simanjuntak” jawabnya dengan senyuman.
“Owalah saya kira kamu bukan Islam” desah sang guru pelan namun dengan frekuensi suara yang masih dapat terdengar di telinga.
Dia hanya membalas dengan senyuman. Ya seperti biasa. Ilmu ini benar-benar dia pelajari dari sang ayah.
“Tidak perlu mengatakan semua yang kita tahu, meskipun kita begitu ingin. Tahanlah, karena ada waktu kapan kita harus mengatakannya. Pun tidak perlu menyalahkan apa yang disampaikan oleh orang lain jika kita belum memahaminya. Terimalah, sampai kita mengetahui kebenarannya”(Ayah).
—
Pun, lebih terganggu lagi dengan kisah yang memberi bekas permanen kelihatannya.
“Lihat deh, kok nilai ku kecil banget dibanding mereka ya?” tanyanya pada salah satu sahabatnya.
“Lah iya, kok bisa ya? Padahal jawaban kita hampir sama semua kan? Mungkin melihat namamu di absen kali git, dikira kamu non Islam” jawab sahabatnya sambil melihat perbedaan nilai yang cukup signifikan diantara mereka.
Semester berikutnya pun tiba.
“Alhamdulillah, nilainya naik. Alhamdulillah” syukurnya tanpa henti sambil memegang lembar nilai semester.
“Tuh kan git, kayaknya bener deh gara-gara bapaknya ga kenal nama kita satu kelas. Terus, karena namamu disingkat ya bapaknya bisa aja kan ngiranya kamu itu non Islam git..” ungkap sahabatnya sambil mengingat perbedaan nilai di semester lalu.
Hal itu pun terjadi berkat sang sahabat yang segera bertanya pada sang guru dan menceritakan kebingungannya.
Tak berhenti disitu. Adalagi yang hampir sama dengan nuansa berbeda.
“Wah hebat git, hampir sempurna gitu. Nilai 99. Semester lalu 95, eh sekarang semakin naik aja” celoteh sang sahabat yang sibuk membandingkan nilai semester yang baru saja dibagikan.
“Kok aku merasa ga sesuai ya, masa iya sih segini. Banyak loh yang paling bisa dari aku. Yang paling jago hal ini aja nilainya lebih rendah. Aku merasa ada yang ga beres deh” jawabnya dengan keresahan.
“Eh git, mungkin aja gara-gara jiwa nepotisme kalian lagi on.. Bapaknya kan juga Simanjuntak. Ya itung-itung untuk keluarga apa salahnya ditinggikan heheh..” cengir sang sahabat dengan santai.
Keresahan menyelimutinya. Tak berterima dengan penilaian yang tidak sesuai karena lebih rendah dengan sebenarnya. Pun ternyata hatinya lebih tak berterima dengan yang lebih tinggi. Serba salah.
—
Lambat laun, waktu telah mematangkan pola pikirnya.
“Pokoknya, mulai sekarang dimanapun dan kapanpun namaku tertulis harus lengkap. Ya pokoknya harus lengkap” batinnya ketika telah lulus dari bangku sekolah menengah atas.
Namun, tetap saja. Selalu ada komentar akan setiap tindakan.
“Kenapa harus lengkap sih git? Cuma absen ngitung jumlah aja kok” celoteh beberapa temannya yang merasa berlebihan setiap kali dia menuliskan dengan lengkap namanya.
Seperti biasa, senyuman mampu menetralkan segala rasa. Walau hati berkecamuk untuk membalas agar semua jelas, tapi tawaran diam lebih manis untuk menepis teriakan. Hanya mencoba untuk tak mengulas kembali peristiwa yang hingga kini masih terus membayang.
- JAT-26, menerima ide untuk menuangkannya dalam tulisan.
25 April 2017
2 notes
·
View notes
Text
BATAS ?
[ 1 ]
A : “Kenapa kita tidak bisa melihat Allah?’’
B : “Karena ada batas yang tak dapat kita jangkau”.
A : “Batas seperti apa?’’
B : “Batas yang tak terjangkau oleh logika manusia. Karena, logika manusia lah yang harus tunduk pada batas yang diciptakan oleh Allah”.
A : “Bagaimana bisa?”
B : “Ada batas pemisah yaitu tujuh lapis langit. Di atas bumi ada satu lapis langit, langit pertama. Bumi beserta seluruh jagad raya ini hanya seperti sebuah cincin di padang pasir dibandingkan dengan langit pertama. Kau bisa bayangkan betapa seperti pasir cincin tersebut? Dan itu baru lapis pertama”.
A : “Wah, begitukah?”
B : “Ya, batas pemisah ini akan berakhir ketika hari itu tiba. Hari dimana semua akan dimintai pertanggungjawaban”.
[ 2 ]
A : “Kenapa kau tak nyaman berbicara dengannya?”
B : “Agamaku mengajarkan adanya batas”.
A : “Batas yang seperti apa?”
B : “Tak semua hal dapat bebas ku bagi dengannya. Karena jelas dia tak akan berterima, pun tak sependapat. Jikalau dia mengangguk, itu hanya sekadar tampangnya saja. Di dalam hatinya, riuh berkecamuk penolakan dan pertentangan”.
A : “Itu hanya perasaanmu saja, pasti ada beberapa perkara yang dia pun setuju”.
B : “Bagaimana bisa jika dasarnya saja sudah berbeda”.
A : “Tapi tak perlulah untuk membatasi dalam setiap hal begitu?”
B : “Batas ini perintah. Dan aku akan tetap mematuhinya. Terserah tanggapan orang seperti apa, karena ini murni batas yang harus jelas. Ini masalah hitam dengan putih. Tak ada abu-abu di dalamnya”.
[ 3 ]
A : “Bagaimana kau bisa menepis setiap rasa jenuh belajar?”
B : “Karena belajar bagiku tak mengenal batas”.
A : “Batas? Maksudnya?”
B : “Ya, sadarilah bahwa tak ada yang namanya batas dalam belajar. Justeru, belajar adalah melampaui batas”.
A : “Aku tak paham maksudmu”.
B : “Belajar itu tak berbatas usia. Tak ada kata terlambat dalam belajar, berapa pun usiamu, kau berhak mengecap ilmu apapun. Setua dan seringkih apapun. Dan belajar itu tak berbatas tempat. Bukan hanya di bangku sekolah, di jalan, di rumah, pun di masyarakat. Dimanapun kau bebas menghirup udara segar, disitu pulalah kau boleh meraup ilmu apapun”.
A : “Lantas melampaui batas itu maksudnya?”
B : “Belajar itu keluar dari batas nyaman, membunuh rasa malas, mengejar makna sukses, mengukir pencapaian, dan memenangkan pertarungan”.
A : “Bagaimana bisa aku melampaui batas? Dengan banyaknya batas yang menghambatku sekarang ini?”
B : “Renungkanlah, bagaimana rasanya terpenjara dalam kebodohan? Kau terbatasi oleh jeruji besi yang terus mengekangmu. Bayangkanlah, bagaimana bertarung jika kau terbatasi dalam penyerangan? Siapapun cepat menerobos dan menghempaskanmu keluar arena permainan.”
A : “Menyakitkan sekali. Jelas aku tak mau”.
B : “Lantas kenapa kau begitu suka dihambat oleh batas? Kenapa tak kau lampaui saja agar dapat terus bebas?”
A : “Ya, aku paham maksudmu”.
B : “Kau lah yang berhak akan dirimu. Berhak atas setiap batas yang kau ciptakan. Sungguh, jangan jadikan belajar terbatasi dengan apapun. Karena, belajar bukan beban, bukan juga paksaan, pun bukan pula tekanan. Belajar tak mengenal batas, namun melampaui batas”.
[ 4 ]
A : “Kenapa kau selalu bersikap dingin pada setiap lelaki yang coba mendekatimu?”
B : “Karena aku memiliki batas hati”.
A : “Batas hati? Seperti apa bentuknya?”
B : “Seperti tembok yang menjulang tinggi. Tak sembarang orang dapat memasukinya. Hanya orang-orang terpilih yang dapat melihat isi dibalik tembok tersebut”.
A : “Bagaimana kau menjaganya agar tetap kuat dan tak runtuh?”
B : “Memilah yang penting untuk ditanggapi dan membiarkan berlalu setiap hal yang tak penting”.
A : “Apakah tembok itu pernah hampir roboh?”
B : “Kau tak perlu tahu, itu tak penting bagimu”.
A : “Bagiku semua hal penting”.
B : “Penting bagimu hanya sebatas tahu, tidak sampai mengerti. Sudahlah, tata kembali hatimu agar terjaga rasa keingintahuannya”.
A : “Aku akan mencoba mengerti, sekaligus belajar membangun batas hati. Aku tertarik dengan konsep batas hati mu. Bagaimana aku bisa mengerti jika pertanyaanku tak kau jawab?”
B : “Aku tak akan menjawab pertanyaanmu”.
A : “Kenapa?”
B : “Karena kau berada di luar batas”.
A : “Bagaimana cara agar aku dapat melewati batasmu?”
B : “Kau akan tahu setelah kau membangun batas tersebut”.
[ 5 ]
A : “Kenapa kau tak marah saja padanya? Bukankah sabar itu ada batasnya?”
B : “Pola pikirmu keliru. Sabar itu tiada batasnya”.
A : “Benarkah seperti itu?”
B : “Ya, justru yang meluapkan amarah dengan dalih kesabaran telah habis itu salah. Jika ada batasnya, tentu itu bukanlah sabar”.
A : “Bagaimana kau bisa terus bertahan dengan sabar tanpa batas?”
B : “Menyadari bahwa jatah hidup di dunia ini terbatas. Batas waktu setiap jiwa yang bernyawa telah tertulis rapi. Dan tulisan janji pasti tersebut telah mengering. Hanya tinggal menghitung berapa langkah lagi untuk sampai di titik batas”.
A : “Ya, masalah itu pun aku sadar”.
B : “Yasudah, lantas kenapa ambil pusing dengan perkara yang sebatas itu?”
[ 6 ]
A : “Kenapa kau suka sekali bermimpi?”
B : “Karena mimpi itu tak terbatas”.
A : “Ya, tapi cobalah memimpikan hal yang dapat kau capai saja. Tentu lebih rasional, pun kemungkinan besar mampu diraih”.
B : “Begitukah pemikiranmu tentang hakikat bermimpi? Sungguh sempit sekali”.
A : “Apa maksudmu?”
B : “Jika seperti itu, sadarilah kau takkan pernah mengecap rasa manis bermimpi”.
- JAT-25, meresap pemaknaan sependek pengetahuan.
24 April 2017
0 notes
Text
Bapak
Biarkan aku bercerita. Tentang kisah yang akan selalu menjadi spesial. Disetiap relung hati yang tentu bukan mengenai diriku seorang. Namun juga disetiap manusia yang menggenapi usianya sebagai seorang anak. Ya, kisahku sederhana. Tentang ikatan seorang anak pada bapaknya. Siapapun mereka dan apapun sebutan yang mengiringi keberadaan mereka, mereka adalah sosok lelaki terbaik sepanjang peradaban manusia. Izinkan aku memberi sebutan istimewa pada mereka dengan sapaan "Bapak". Kepada seluruh kaum Adam yang telah dan kelak akan menjadi bapak, aku mohon berkenan untuk sekedar memikirkan tentang hal ini. Perkara yang tampak gampang, namun sejatinya sungguh tak mudah. Karena aku adalah seorang perempuan yang dibesarkan oleh seorang bapak, maka kisahku adalah tentang keterikatan seorang anak perempuan pada bapaknya. Hanya satu hal saja sebenarnya, tentang sikap seorang bapak yang berpengaruh besar pada setiap putrinya. Namun satu hal ini, butuh perhatian luar biasa. Mengapa? Karena anak perempuan adalah hasil dari setiap tindakan yang dipilih oleh bapaknya. .... Bapakku adalah bapak terbaik di seluruh jagad raya. Pemenang hatiku untuk setiap hal apapun. Selamanya. Di saat masih belia, aku suka menari-nari bersama hujan. Tak peduli seperti apa ukurannya, aku selalu suka mandi hujan. Dan bapak akan menungguiku bersama handuk ditangannya sampai hujan reda atau aku nya yang telah menggigil kedinginan. Baru besoknya saat badanku mulai panas, aku menyadari perbuatan ku kemarin yang menghasilkan hal demikian. Dan hal inilah yang memahamkan ku bahwa diriku adalah tanggung jawabku. Setiap pilihan yang ku ambil berarti aku siap dengan segala konsekuensinya. Aku belajar untuk bertanggung jawab. Disaat lampu listrik daerah rumah padam, bapak akan menghidupkan lampu teplok dan mengajakku duduk disampingnya. Di keremangan cahaya lampu teplok dengan sumbu yang pendek, bapak akan menceritakan tentang apa saja. Paling sering ialah tentang suku batak. Dengan harapan, darah batak yang mengalir deras di tubuhku mampu menumbuhkan kepribadian baik suku batak. Dan hal inilah yang membuatku begitu paham akan harapan setiap orang tua pada anaknya. Aku belajar untuk membahagiakan orang-orang yang menyayangiku. Bapak selalu menjaga kualitas kebersamaan diantara kami. Walau bapak harus bekerja sampai siang atau bahkan sore, bapak seperti membayar lebih waktu yang tak kami lewati bersama. Setiap malam, sehabis sholat maghrib bapak akan setia menungguku untuk belajar mengaji. Hingga saat aku mulai bosan, bapak memanggil teman-temanku untuk ikut mengaji bersamaku. Jadinya murid mengaji bapak bertambah. Tidak hanya aku seorang. Namun sama saja, walau aku punya teman mengaji aku selalu meminta giliran paling akhir. Setelah mengaji bapak akan menemaniku mengerjakan tugas sekolah. Bapak juga ikut belajar untuk memastikan jawabanku benar. Bapak tak pernah mengajariku untuk mengejar nilai. Buktinya bapak tak pernah memuji setiap nilai yang tertulis disetiap lembar buku ku. Melainkan bapak memuji ketekunan ku dan setiap usahaku dalam belajar. Dan hal itulah yang membuatku mampu bangkit dalam keterpurukan. Seberapa menyakitkan dan begitu pilunya, langkah yang bijak adalah terus bergerak. Aku belajar berdamai dengan kegagalan dan kondisi dimana tak terjalinnya sinkronisasi antara harapanku dengan kenyataan. Bapak paling bisa untuk membuatku nyaman bercerita panjang lebar. Tak peduli seberapa tak bermutu nya ceritaku, bapak tetap saja begitu tertarik mendengarkannya. Aku begitu tersanjung. Bapak hapal setiap teman dekatku. Bapak mengantarku ke sekolah setiap pagi. Dan jika sempat bapak pasti akan menjemput ku sepulang sekolah. Jika aku butuh sesuatu, bapak akan mengantarkan ku ketempat tujuan. Itulah yang membuatku bergantung pada orang yang benar. Tepat sekali, dialah bapakku. Dan hal itulah yang membuatku paham akan penjagaan bapak. Aku tak pernah menutupi apapun pada bapak. Bapak membuatku begitu benci kebohongan. Bapak tak pernah memanjakan ku. Walau aku menangis sekencang badai, merengek berjam-jam, dan mengunci diri dikamar, tetap saja bapak tak akan memberikan apa yang ku minta. Bapak akan begitu mudah melakukannya jika memang itu baik bagiku. Dan itulah yang membuat mengerti tentang ada hal yang harus tegas dipatuhi dan tak boleh dituruti bahkan dilanggar. Bapak selalu menjaga frekuensinya dengan ku. Agar tidak pernah terlihat celah dan kesenjangan. Walau aku tak peduli karena bapak lah yang selalu setia melakukannya. Bapak akan dengan senang hati berlama-lama di toko buku, hingga aku menemukan buku yang ku mau. Padahal di toko buku tersebut tak ada yang seperti bapak, karena semua yang datang adalah ibu-ibu. Ya itu saat masih kecil, lain lagi dengan sekarang. Aku yang suka berbelanja akan lebih senang jika pergi dengan bapak. Pun begitu pula dengan bapak agaknya. Aku senang jika bapak memilihkan warna dan model baju yang membuatku bingung harus memilih yang mana. Dan bener saja, aku selalu pede dengan pilihan bapak untukku. Pun aku begitu bangga dipercaya bapak memberikan penilaian terhadap baju yang bapak ingin beli. Seumpama aku adalah ahli dalam bidang designer saat mengkomentari setiap potongan baju yang coba bapak tunjukkan. Dan bapak begitu percaya atas setiap komentarku. Bapak akan menurut saat baju yang bapak suka dengan mudahnya aku bilang kurang bagus. Dan hal itulah yang membuatku bangga dengan kepercayaan yang tak ternilai karena sungguh mahal. Bapak begitu pandai menjaga intensitas diantara kami. Akan selalu menelpon dan menanyakan kabar. Hingga sebelum aktivitas menelpon selesai, bapak akan seperti biasa dan membuatku hapal atas setiap pesan-pesannya. Di usianya yang terbilang tak muda lagi, bapak belajar untuk tetap mengikuti perkembangan ku. Dahulu saat bapak hanya ahli telponan secara konvensional, kini telah beralih dengan gaya terbaru melalui medsos. Bapak tampaknya begitu cemburu dan selalu ingin tahu hal apa saja yang ku lakukan saat menatap layar segiempat dengan segala fiturnya. Alhasil, bapak berhasil melakukannya. Sekarang suasana bertelepon telah mengalami peningkatan. Tak hanya suara yg tersambung, tapi juga dengan wajah yang tertampil dilayar. Tak hanya itu, bapak kerap mengirimkan gambar untuk memberikan informasi dan kabar di rumah. Ya, aktivitas ku kini bertambah, tak hanya mendengar telpon dan melihat wajah bapak dilayar namun juga membalas setiap chat gambarnya. Dan hal inilah yang membuat ku begitu terkesima sekaligus terharu. Tentang perjuangan bapak yang tak berbatas usia dan waktu. Bapak begitu harmonis menjaga kesamaan pola interaksi kami. Saat masih balita, bapak akan bertingkah layaknya balita. Saat SD, SMP, SMA, dan kini bapak selalu menyamakan frekuensi diantara kami. Hingga tak terlihat sedikitpun gap yang membatasi. Aku tersentuh atas kesetiaan bapak menjaga keterikatannya dengan anaknya. Tak peduli zaman harus berbentuk seperti apa, bapak akan selalu hadir untuk menaklukkan semua penghalang itu. Terlebih romantisnya dan yang selalu membuatku bangga dan tak henti bersyukur, bapak membuatku benar-benar tak berselera dengan mencoba menarik perhatian dan simpati lawan jenis. Aku tak butuh yang namanya pacaran. Aku tak kekurangan apapun. Bapak selalu ada buatku. Setiap laki-laki yang mendekati ku, aku justru sangat khawatir membuat mereka tak suka dengan tindakan yang ku pilih. Bukan karena aku kasar, bapak tak pernah mengajarinya. Bapak mengajarkan aku menjadi perempuan yang anggun dan sopan. Tapi itu semua karena aku tak ingin menyemai bibit harapan dam munculnya khayalan ilusi. Bapak mengajarkan aku untuk menjaga diri dan menghargai tinggi diriku sendiri. Hanya laki-laki yang menggenggam tangan bapak dan berikrar lah yang berhak ku berikan kelembutan dan perhatian. Tidak selain itu. Maka bapak sering bilang aku tak perlu khawatir, tak perlu bersaing, tak perlu ambil pusing, cukup mendekap semuanya dalam doa dan tekun mengupgrade diri pribadi. Dan itulah yang membuatku tak tergerus zaman dengan mengikuti apa saja trend kebanyakan. Bapak mengajarkanku untuk bijak bersikap dan patuh tanpa penghindaran. ... Aku adalah apa yang bapak telah perjuangkan. Aku adalah setiap peluh dan lelah yang membersamai pengorbanan bapak. Tak dapat terbayangkan jika aku tak bertumbuh dengan didikan bapak. Aku pernah bertekad saat bapak mengapreasiasi awal mula aku suka menulis. Hingga tulisanku bukan saja aku yang membacanya. Yaitu aku ingin menulis buku tentang "Bapak". Tampaknya waktu begitu muak melihatku berkilah. Namun, inilah buktinya aku masih saja mengingatnya. Dalam bisikan senyap angin malam, aku hanya bisa berkata suatu saat nanti. Bapak, tak cukup rasa terima kasih ku haturkan pada bapak. Bapak adalah alasan ku untuk tangguh menghadapi segalanya. Tak boleh cengeng, ga boleh mengeluh, harus mandiri, tegas dengan prinsip, dan banyak hal lainnya yang tak dapat ku uraikan. ... Wahai kaum Adam, jadilah idola bagi anak perempuan mu. Hingga tak ada yang bisa menandingi keberadaan mu di hatinya. Tak satupun manusia menggantikan posisimu. Kau begitu berharga dan tak ada yang sanggup menyamai mu. Karena itu semua akan membuat anakmu begitu terjaga dan melakukan segala sesuatunya tanpa menyentuh penyimpangan. Bangun keterkaitan mu dengan anakmu. Dan hargai setiap momentum apapun itu. ... Ceritaku akan tetap berlanjut. Dengan bulir-bulir kenangan yang tersusun apik dan siap untuk diabadikan lebih luas. Ya, tentang anak dan bapaknya. Bapak yang luar biasa. Sampai kapanpun. - JAT-24, mengenang kembali. 9 Maret 2017
1 note
·
View note
Photo
Semua kisahku berawal dari mereka. Keluarga bak kepingan surga yang terjatuh ke bumi nusantara. Segala langkahku bertahan karena mereka. Keluarga yang bercita-cita kelak kan berkumpul di jannahNya. Selalu harapku berdetak pada muara kebahagiaan mereka. Keluarga sederhana yang bahu membahu tuk mencapai kesempurnaan cinta. Ya, inilah keluargaku.
Bagiku mereka adalah titipan cinta Allah pada hambanya. Sebuah titipan yang kapan saja dapat diambil kembali. Dan setelahnya akan dimintai pertanggungjawaban. Betapa indahnya, seorang ibu yang mencintai tanpa balas hingga tak mampu tertuliskan pada setiap anak yang ia lahirkan. Betapa hebatnya, seorang ayah yang berjuang tak kenal lelah pontang-panting demi istri dan anak-anaknya. Pun betapa harunya, setiap anak yang tak henti berharap setiap ceritanya menaruh bahagia pada kedua orangtuanya. Sungguh cinta yang benar-benar suci nan indah.
Bagiku mereka adalah tempat pembelajaran paling jujur dimuka bumi ini. Akan tegas atas setiap kesalahan yang coba ku perbuat karena rasa penasaran dan kebodohan yang pernah terpikirkan olehku. Berterus terang berpendapat pada setiap rencana yang akan ku ambil, sisi baik pun sebaliknya. Selalu berpanjang lebar menyemangati saat aku mulai gusar akan hari esokku. Paling sabar menasehatiku agar perbaikan segera ku lakukan. Tak peduli apakah aku akan menangis karena amarah yang mereka tunjukkan, pun sedih dengan raut kecewa dan kesal mereka, apalagi tersinggung dengan kata-kata mereka. Ya, mereka selalu bilang itu semua demi kebaikanku. Kalimat yang dahulu bagiku penghianat, seakan pemanis supaya aku menerima setiap perlakuan mereka. Namun aku salah besar, itulah kalimat paling jujur yang begitu setia dan tulus menemaniku hingga kini.
Bagiku mereka adalah malaikat tak bersayap yang suka menebar romantisme. Seperti Ayah selalu bilang “Jaga diri baik-baik disana ya inang, dijaga kepercayaan Ayah ya nang”. Saat Mamak sering berkata “Tetap semangat dengan apapun yang terjadi ya nang, mamak selalu doakan yang terbaik untuk Anggita”. Ketika Abang nyahut “Jangan mudah percaya sama cowok dek. Gak boleh pacaran ya dek. Jangan jadi cewek manja, harus tegas dan berprinsip. Jaga kehormatan orangtua dan keluarga dimana pun berada ya”. Pun sama ketika Kakak bilang “Git, Istiqomah ya. Dijaga jilbabnya jangan sampe naik, tetap satu juz ya, tahajjud tiap malam, doakan Ayah dan Mamak terus ya dek”. Apalagi saat Adek ikutan “Kak, adek bangga sama kakak. Ayok kita selfi kak, biar nanti diupload di Facebook dan Instagram”. Tanpa mereka sadari, hati ini merasakan hangat setiap kata yang terlontar dari bibir mereka. Aduhai romantisnya.
Bagiku mereka adalah segalanya. Segala semangatku tertambat di mereka. Segala mimpiku bermuasal dari mereka. Pun segala apapun yang terjadi pada diriku berdasar pada mereka. Segala-galanya diriku adalah mereka. Benarlah bahwa rumah ialah garda terdepan sebuah peradaban. Pun tak salah bahwa rumah merupakan cerminan setiap pribadi insani. Dan rumah adalah kunci perubahan pada hakikat memanusiakan manusia. Begitulah rumahku bercerita semuanya. Rumah yang mengalun kisah indah kemesraan seorang suami pada istrinya, demikian pula sebaliknya. Dan rumah yang berisi pemimpi tangguh pengejar kesuksesan berdasarkan versi pemahaman masing-masing mereka.
Terimakasih atas segalanya, Mamak, Ayah, Kakak aka Itone, Abang aka Abah Unyu, Adek aka My Ponah.
- JAP-4, menulis ungkapan spesial untuk yang terspesial. 9 Februari 2017
1 note
·
View note
Text
Aku benci dengan keluhanmu. Sudah berapa kali harus ku sampaikan lagi. Aku sangat tak suka dengan lisan mu yang menghasilkan raum gaduh tak tentu. Tak berhenti mencuap bebas setiap kata yang parah. Bagiku sungguh tak berarti mendengarkan keluhanmu. Membuat daun telingaku berdebu tebal. Apakah kau tak bosan mendengar sahutan ku atas semua keluh mu? Kau tak lirih melihat wajahku terpoles muak terdiam saat kau riuh dengan diksi hiperbolamu? Kau tahu, wajah cantik mu memudar setiap kau mengeluh. Sikap anggun mu tak lagi terlihat sama sekali, sebab hilang kabur entah kemana. Ayolah berhenti mengeluh. Itu hanya akan mengkerdilkan dirimu seorang. Membuat kerjamu semakin memburuk. Sungguh, tak mendatangkan manfaat sama sekali. Kau pikir masalah akan selesai dengan kau mengeluh? Kau kira mengkambinghitamkan sisi diluar dirimu langkah yang mempesona dan bijaksana? Kau rasa kemenangan bersamamu saat seluruh lisanmu menghasilkan resonansi suara kepayahan yang tak berselera di telinga bahkan di jiwa? Ayolah bersikap yang anggun layaknya kau biasa. Ayo kita berlari lagi. - JAT-23, merasa pulih kembali. 21 Januari 2017
0 notes
Text
Seulas kisah berpetuah
Mengisi bagian yang kosong kehadirannya. Namun, menambah lapisan yang kini mulai terlihat cerah. Seorang lelaki tua bersuku Jawa. Yang tak sengaja duduk bersebelahan kursi saat menaiki kereta tujuan Yogyakarta. Perkiraan berusia mencapai angka lima puluhan keatas.Tetapi, tubuhnya masih tampak sehat. Beliau menyampaikan nasehat yang begitu syahdu menerpa seisi jiwa. Pepatah mungkin lebih tepatnya. Sebuah kalimat yang tak sanggup ku eja dengan tepat. Bahkan kini terlupa begitu cepatnya. Tak tertinggal satu kata pun dalam memori rekaman. Maklum saja, disampaikannya dengan bahasa Jawa pun penuh dialek kental khas yang biasa disebut medhok. Yang ku rasa mungkin pemilihan katanya berasal dari bahasa Jawa versi halus. Terang saja, satu kata pun aku tak mampu mengulangnya kembali. Sungguh aku bukannya tak menghargai, namun apalah daya aku hanya sumringah dan mengangguk kecil mendengarkan kalimatnya.
Pesannya sungguh berarti bagiku. Ya, usia telah membuatnya matang melewati setiap perubahan zaman yang kini semakin mengkhawatirkan. Aral melintang yang beliau hadapi tersaji lewat penuturan panjang yang begitu sarat makna. Aku tak menyangka, begitu mudah beliau menyampaikan kisah pribadinya dengan seseorang yang baru sepuluh menit lalu berkenalan dengannya. Awalnya aku mengira beliau akan sungkan dengan penampilanku dengan jilbab rapat yang ku pakai. Namun, ternyata aku malah salah besar. Justru dengan tampilan tersebut beliau begitu cepat dan hangat berbagi kisah denganku. Ditambah lagi beliau memiliki seorang putri yang tak jauh berbeda denganku. Sama-sama seorang mahasiswa. Maka, terjadilah perbincangan dua arah yang membuat waktu begitu cepat berlalu.
Melakukan kebenaran layaknya menggenggam bara api. Menyakitkan memang, namun lebih sakit jika melepaskannya. Dunia pekerjaan tidak sekondusif dunia perkuliahan. Sungguh sangat jauh berbeda. Kelak kan kau dapati perihnya perasaan yang terlukai hingga bernanah. Remuknya jiwa yang terkuras robekan beringas. Yang akan membuatmu tertatih dan terseok. Kau tak bisa lari oleh semua itu. Justru kau harus masuk ke dalamnya. Ketika kau lari, kau berarti mengalah dan membiarkan semuanya. Kebenaran tak pernah membuatmu mengambil tindakan mengalah. Karena kau punya Allah yang menjanjikan kebenaran akan selalu mendapati kemenangan. Janji Allah yang tersuguh dalam kepastian. “Biarlah saat berada di samudera orang berkata bahwa kau telah tenggelam, tetapi sejatinya kau tetap berenang walau terlihat tenggelam.” (Ini pepatahnya yaaa) Ya, jangan pedulikan kata orang lain. Berbuatlah sebagaimana pemahamanmu akan dakwah. Dakwah adalah cinta, dan cinta akan meminta segalanya darimu. Dakwah adalah menyampaikan kebenaran melalui kebaikan. Dakwah meminta masa mudamu, tenaga perkasamu, dan semangat jihadmu. Biarlah kau dan Allah yang tahu akan niat suci mu. Semoga niat tersebut tetap terjaga dari noktah hitam yang membinasakan.
Tampilannya begitu sederhana. Sesederhana beliau menyikapi kehidupan dunia yang hanya sesaat ini. Namun, kesederhanaan bahasanya tak sesederhana pemaknaan yang terukir menghiasinya.
Benar sekali, pembelajaran banyak sekali terhampar. Ada yang langsung dapat dipetik. Cepat ditangkap lalu disimpan. Payah untuk dijangkau. Pun ada pula yang tak mampu dijamah. Namun, dengan Allah semua bisa dan mudah.
Terimakasih Pak, semoga keberkahan dan keselamatan selalu menyertai Bapak.
- JAT-22, mendekap haru dan mengucap syukur. 20 Januari 2017
0 notes
Quote
Cinta ialah ketika orang berkata kau telah berkorban terlalu banyak, namun kau sama sekali merasa tidak pernah berkorban
- JAQ-5, merevisi dan menambahkan arti cinta. 28 Desember 2016
0 notes
Text
Hibernasi?
Aku menyebutnya hibernasi. Menjauh dari hingar bingar kehidupan. Menepi dari segala kesibukan duniawi. Dan merehatkan tubuh dari rasa penat yang mengendap. Hibernasi ialah waktu jeda untuk terdiam sesaat. Bukan untuk berhenti bergerak. Namun memenuhi kebutuhan jasad dan pikiran yang kian mendera. Menyandarkan jiwa dalam kehangatan suasana teduh nan damai. Membaringkan raga untuk mengisi kembali tenaga. Dan memulihkan rasa yang menyesakkan relung kalbu. Hibernasi ialah caraku untuk mencari ketenangan. Dan hibernasi ku lakukan hanya di sebuah tempat ternyaman yang pernah kutemui di muka bumi. Tempat yang setiap kejadian terjadi didalamnya pasti mengandung kebaikan. Tempat bak surga yang selalu dirindukan. Tempat paling kucintai sejagad raya. Ialah rumah. Aku memilih untuk hibernasi di rumahku. - JAT-21, Mecoba memberi arti. 27 Desember 2016
0 notes
Text
Nasehat Lama
Saya tahu kini masa itu telah sampai. Mungkin sedang dalam perjalanan. Namun yang pasti akan semakin dekat. Hingga tiba dalam takaran akurat. Hanya satu yang ingin saya sampaikan. Karena Anda adalah perempuan. Yang tercipta untuk tugas mulia menunggu hingga tiba. Lantas memilih dengan penuh keyakinan. Cobalah untuk menunggu dengan anggun. Mungkin menggangu pikiran Anda. Maka izinkan saya perjelas semuanya. Tidak semua rasa harus terabadikan. Karena, semua rasa yang coba Anda lukiskan hanya Anda sendirilah yang tahu persis seperti apa rasa itu. Dan bahasa kata seringkali mengundang banyak sisi yang berbeda, bahkan mencapai titik negasinya. Bijaklah dalam memutuskan setiap tindakan. Benar memang semua sesuai niat ingin berbagi, meski tujuan konsumsi publik atau semata pribadi. Tapi cobalah pahami tujuan penggunaan setiap kehadiran aplikasinya. Tidak perlu mengumbar setiap rasa, pun sikap keperempuanan dengan segala aura dan pikatnya. Dan tak juga penting untuk menarik lirikan pun perhatian. Karena cinta akan datang dengan sikap penantiannya. Maka, anggunlah dalam menunggu. Cobalah untuk memilih dengan penuh keyakinan. Izinkan pula ku uraikan segalanya. Karena hal ini bukan perkara tawar menawar di pasar. Bukan pula adu promosi dagang. Pun tak juga hitung-hitung kadar karisma. Ini tentang pertemanan hakiki menuju surga. Tentang kesetiaan bersama hingga kaki menjejak Jannah. Tentang tangan yang akan selalu menggenggam dan kaki yang akan siap menuntun. Dan tentang pemenuhan persiapan menuju kehidupan abadi. Maka tegaslah dalam bertindak. Ini perkara penting dalam fase kehidupan dunia. Mendekatlah pada kunci ketenangan hidup. Belajarlah lebih banyak dengan tekun. Karena perempuan harus hadir dengan keyakinan dan pemahaman yang benar demi awal mula peradaban. Perempuan adalah garda terdepan pendidikan setiap insan di dunia. Jadilah Anda perempuan yang cerdas. Tak perlu resah dengan mereka yang tampak penuh kemilau. Anda punya cara sendiri untuk menghargai diri Anda. Anda tak besar hanya karena puji dan puja manusia. Anda anggun dengan penjagaan dengan keteduhan. Cukuplah Anda yang tahu alasan dan dasar setiap langkah Anda. Justru itulah yang membuat Anda begitu langka di abad ini.
- JAT-20, membuka kembali halaman yang tampak memudar. 26 Desember 2016
0 notes
Quote
Aku merindukanmu, selalu. Dalam sujud panjang dikala hawa dingin malam membeku. Beralaskan sajadah yang kudekap erat. Dan kau tahu, rasanya sungguh sulit dibahasakan. Mencintai seseorang yang entah seperti apa rupanya. Bertemankan arti setia dalam penantian. Tapi aku selalu yakin kau pun begitu. Semoga.
JAQ-4, mencoba menulis acak. 24 Desember 2016
0 notes
Photo
Perpaduan selalu menghadirkan nuansa yang lebih indah. Lebih manis dari sekedar serbuk sari pada bunga yang sedang mekar. Lebih kilau dari sekedar pohon yang bertunas baru. Bernas dengan menghadirkan kemilau saat menerpa pelupuk mata.
Seperti pemandangan sebelah rumah yang masih baru dalam lingkaran mata. Inilah hasil karya dua insan yang telah lama bersama. 24 tahun, 5 bulan, 3 hari tepatnya. Mereka menyebutnya taman kolam. Ya, sebutan itu sempurna merefleksikan rupa dari karya mereka. Taman yang berdekatan dengan tempat sholat menjadikan aktivitas ibadah terasa lebih syahdu. Ditemani oleh semilir angin yang berhembus dicelah jendela yang terbuka bagian bawahnya. Pun hangatnya cahaya mentari yang menembus kaca jendela. Dan terasa lebih nikmat oleh gemericik air kolam yang berirama dengan alunan khasnya. Itulah yang membuatku senang duduk berlama-lama di ruang yang terpisahkan oleh dinding dengan taman kolam tersebut. Mengamati pemandangan baru tersebut dengan beralaskan sajadah tua.
Membuatku lamat memikirkan konsep perpaduan. Pebedaan ternyata tampil mengesankan dengan pemakluman yang anggun. Dua insan yang ku anggap sebagai malaikat tanpa sayap itu selalu membuatku terkesima. Ya, seperti hasil musyawarah mereka demi merealisasikan hobi yang mereka geluti sejak lama. Taman dengan tumbuhan bunga dan sayur, dan kolam dengan gemericik air dan ikan yang berenang lincah. Perpaduan itu bukan hanya satu ditambah satu sama dengan dua, melainkan lebih dari dua. Perpaduan melahirkan hasil yang lebih besar, lebih, berarti, dan lebih romantis.
- JAP-3, mengeja suasana rumah lagi. 23 Desember 2016
0 notes
Photo
Ini adalah tempat paling spesial di keluargaku. Ya, sebuah meja bundar dengan enam buah kursi yng melingkarinya. Tempat dimana sebuah makanan terasa lebih lezat disantap karena diselingi dengan perbincangan sederhana. Terlebih karena sesuap nasi terasa nikmat dengan menatap setiap wajah yang selalu menjadi sumber semangat. Sekedar menanyakan kabar dan rencana aktivitas harian dikala sarapan pagi. Atau perbincangan rumit dengan segala lingkup pembahasan yang tak bertepi disaat temaram rembulan menepi.
Ini adalah ruangan paling berbahaya dikeluargaku. Jangan duduk jika tak ingin terlibat dalam setiap pembahasan yang ada. Tak kenal waktu jika pembahasan telah dimulai. Entah dari siapa yang mulai karena sifatnya bebas. Namun kebanyakan yang terjadi selalu dari mereka kubu laki-laki. Dan aku adalah bagian yang paling sering ambil posisi diam. Bukan karena aku tak sepemikiran, namun mendengarkan adalah langkah yang bijak. Dengan mendengarkan justeru aku mendapat lebih banyak.
Ini adalah meja yang selalu dirindukan untuk bersandar dan duduk. Meja yang akan menjadi saksi bisu atas setiap apa yang telah terjadi dikeluargaku.
- JAP-2, mengeja suasana rumah. 22 Desember 2016
0 notes
Photo
Dialah lelaki yang mengajariku banyak hal. Merasa seakan aku adalah orang paling beruntung sejagad raya karena bisa dekat dengannya. Perhatiannya melebihi setiap sudut pemikiran yang terbentuk dikepalaku atas sebutan seorang lelaki.
Kemarin, disaat hujan malam menghiasi tanah kelahiranku, disaat itu pula lah aku kembali melihatnya. Aku sangat yakin dia telah menunggu lama untuk menanti kereta yang membawaku sampai distasiun tujuan. Dengan jaket hitam yang dia kenakan untuk melindungi diri dari tetesan hujan, dia pun menghampiriku. Bersalaman sebentar lalu segera pergi agar cepat sampai rumah. Perjalanan panjang membuat tubuh terasa kehilangan pertahanan. Namun, keletihan beringsut pergi sesampainya dibangunan sederhana yang ku sebut rumah. Ya, momen kepulangan selalu sama, ya selalu bahagia. Kali ini, bahagiaku dimulai dari dia. Menjemput kedatanganku dengan rasa yang selalu tersembunyi. Tapi aku tahu dengan pasti, dia pun bahagia. Bahagia sekali tepatnya.
Dia suka berdiskusi. Masalah dan fenomena apapun dia rela menghabiskan waktunya. Karena baginya, pemikiran yang dibiarkan diam adalah sikap yang tidak bijaksana. Dia belajar dari lingkungan, itulah sebabnya banyak sekali dasar perkataan yang dia sampaikan dan berterima di logika. Bahkan, aku hampir selalu terpesona dengan kata yang terucap dari bibirnya. Perkataannya tak biasa, bukan asal keluar, jelas dan tertata. Jangan khawatir jika tak paham atau belum berterima, dia akan dengan senang hati mengulang kembali perkataannya.
Dia mengajariku banyak hal. Yang paling ku suka adalah dia mengajariku untuk menaruh rasa suka mempelajari setiap hal. Jangan tertutup dengan pemahaman yang sudah ada. Karena, tak ada yang memastikan bahwa pijakan yang kita ambil sudah benar atau salah. Kita tahu jika kita senantiasa tekun untuk mempelajari banyak hal, karena pemahaman dibentuk dari proses yang panjang dan konsisten.
Dia juga mengajariku untuk tak serta merta bersikap abai oleh hal yang tak berterima dihati. Karena, setiap tindakan pasti dilatar belakangi oleh sebab musabab yang kebanyakan tak tampak dipermukaan. Jikalau sudah tahu bahwa yang dilakukan oleh orang lain adalah salah, cobalah untuk mengetahui sebab terjadinya. Jikalau belum tahu , maka cobalah untuk menghargainya. Barangkali, kita lah yang belum paham dan mengerti.
Dia pun mengajariku untuk tak pernah takut akan setiap tindakan yang dilakukan jika memang yang dilakukan adalah benar. Tidak masalah menjadi bagian kecil, karena memang yang salah sekarang semakin menjamur hingga tampak biasa, bukan benar. Jika kebenaran kita lakukan dengan rasa takut, bagaimana kebenaran bisa berterima di orang lain?
Dia sering pula mengajariku untuk menurunkan ego. Karena terkadang ritme perlu disesuaikan dalam bergerak, agar tercipta langkah yang harmonis. Berdamai dengan diri sendiri sejatinya tak membuat diri ini kalah dalam kehinaan. Justeru menurunkan ego membuat kebersamaan semakin setia. Jika hendak tercipta sinergi dalam berkarya, maka kadar ego pun kerap harus disingkirkan hingga mencapai titik mendahulukan kebersamaan.
Ya, banyak sekali. Bahkan tak ada habisnya. Setiap hari selalu saja ada yang baru. Lagi, lagi, dan lagi.
Seperti siang tadi, diskusi riuh kembali memeluk kebersamaan kami. Disaat aku sibuk membaca buku diatas meja makan, dia pun datang dengan penjabaran topik konspirasinya. Politik dan propaganda yang kini tengah bermain dibalik layar. Mau tak mau aku pun harus mendengarkan setiap argument yang dia sampaikan. Tak berimbang memang, karena aku lebih banyak diam. Namun, dari perbincangan tadi pagi aku mendapati banyak celah pemikiran baru yang terbuka. Referensi yang dia katakan menjelaskan begitu tertariknya dia akan sesuatu yang tak banyak orang menyibukkan diri di dalamnya.
Dialah lelaki yang ketika aku begitu tertarik dengan buku yang sedang kubaca, maka seketika itu pula aku mengingatnya. Aku sangat ingin dia pun membaca buku yang tengah kubaca tersebut. Berdiskusi dengannya membuat pandangan semakin meluas. Takkan masalah ketika orang-orang pulang dengan koper berisi baju, maka aku akan pulang dengan koper berisi buku-buku. Berat memang, tapi itulah namanya cinta. Ya, disaat orang bilang kau berkorban terlalu banyak namun kau sama sekali merasa tidak pernah berkorban. Indah sekali bukan?
- JAP-1, memandang langit Rantauprapat lagi. 21 Desember 2016
0 notes
Text
Kemunduran
"Bahasa menentukan kondisi suatu bangsa". Mengernyitkan dahi, memutar memori kilas balik, menekuk wajah dan mencoba mencari titik berpijak. Pernyataan yang sederhana namun sarat makna. Mencoba memungut satu kata yang paling dekat saja. Ya, dekat disini maksudnya ialah karena sering berinteraksi dengannya dan karenanya. Kata cinta. Dahulu, para sahabat di zaman Rasulullah mengungkapkan perasaan dengan mengatakan cinta adalah hal biasa. Sungguh sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Namun kini, menjadi suatu hal yang aneh. Bahkan, menarik kecurigaan dan tatapan kaget ataupun ngeri. Sungguh sudah berbeda. Pemaknaan terhadap kata cinta, sudah sangat jauh perbedaannya. Berbalik sudah hingga 360 derajat. Cinta itu hal yang suci dan indah. Kitalah yang menurunkan rasa dari kata cinta. Dewasa kini, cinta itu semakin menyempit dan malah menyimpang. Terjadi pembenturan disana. Cinta hanyalah seputar perasaan hati dua orang yang saling suka. Dua insan yang menjalin ikatan tanpa kehalalan, namun menyalahi syariat islam. Cinta hanya seputar pacaran. Ya kata cinta hanya melulu bersanding dengan hal itu. Bahasa sudah mengalami kemunduran yang sungguh terpuruk saat ini. Pun sama dengan kondisi bangsanya, yang sudah terhempas jauh dan bahkan tersudut dan tak berdaya. Kualitas bahasa amburadul tak karuan. Jika hendak menggali sebab musababnya, tak perlu banyak tenaga. Telah tersaji dengan bebas, bagaimana minat baca kalangan muda yang begitu rendah. Ditambah kurangnya pendidikan dari keluarga, terutama pendidikan agama. Lingkungan kacau balau kini lebih mudah dijumpai. Pun ramai diisi oleh para generasi bangsa. Perkumpulan yang tak berfaedah sama sekali. Jauh dari kata kerbermanfaatan. Sungguh, kondisi bahasa, pemilihan diksi, dan pola kata sangat buruk di bangsa ini. Dan pasti membawa pengaruh besar walau dengan cara perlahan. Sangat berbahaya untuk jangka lebih panjang. Mari kita reset ulang pemaknaan kita akan setiap kata. Bersama kita eja lagi semua bahasa yang sudah terbiasa. Bukankah pembiasaan membuat hal aneh menjadi lumrah? Perbaikan kini ada di pundakmu. Setiap jiwa yang begitu peduli akan nasib bangsa. Kita perbaharui kembali penggunaan bahasa kita. Karena, bahasa adalah refleksi setiap jiwa. Jiwa bangsa yang berkualitas atau tidak, itu tercermin dari bahasanya. Jadi gimana? Yok segera diperbaharui tingkat bahasanya. Supaya meningkat kualitasnya. - JAT-19, mengamini dan membagikannya. 24 Oktober 2016
0 notes