andikaoktaris
9 posts
semata-mata untuk merekam luapan energi tanpa melihat identitas ataupun motif tulisan;
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Di Taman
Hal pertama yang ia relakan adalah rambut yang tumbuh di sekujur badannya. Di kursi panjang ruang tunggu ia duduk bersama belasan yang lain, salah seorang yang duduk persis di sebelah kanannya tampak begitu muram, membungkuk bersama selang-selang yang terjulur dari dari kedua lengannya. “Kali ini apa Bang?” Ia mencoba berbasa-basi dengan pria itu. “Kontol…” Jawab pria itu lirih, meringkuk, membenamkan kepalanya di antara kedua kakinya.
Sesampainya di rumah ia membuka lemari es, memandangi interiornya yang elegan, ada rak khusus untuk daging, ada pula rak khusus untuk sayur mayur, ada kompartemen-kompartemen untuk diisi dengan berbagai bahan makanan lain. Ia tidak lapar sekarang, udara dingin terasa yang menerpa wajahnya terasa begitu nyaman, ia mulai mengantuk. Setelahnya, ia mandi dengan air dingin dan bergegas tidur.
Pagi itu begitu dingin. Dia meringkuk di dalam selimutnya, telanjang, memandangi bantal dan membayangkan ada rambut terurai di sana. Tak ada apa pun. Setelah minum segelas air, ia mengenakan pakaiannya dan beringsut ke gudang, melewati tumpukan kardus dan berbagai macam perabot bekas yang teronggok di sana. Tak butuh waktu lama hingga ia menemukan yang ia cari, sebuah topi hitam berlogo universitas tempat ia memperoleh gelar sarjananya dahulu. Meski warnanya telah memudar, ternyata topi itu masih begitu nyaman di kepala botaknya sekarang.
Yang berikutnya adalah kedua tumitnya. Ia merasa teman kerjanya di kantor sangat pengertian dengan kondisinya yang sekarang. Meski dokter menyarankannya untuk beristirahat di rumah, ia tetap bersikeras untuk masuk kerja. Teman-temannya berulang kali memuji keberaniannya, beberapa di antara mereka bahkan memaksa untuk membuatkan secangkir teh dan membawakan makan siang ke meja kerjanya. Pimpinannya sempat mampir menghampirinya dan mengucapkan selamat meski sebagian besar laporan yang harus ia selesaikan kini telah melewati tenggat. Tak ada yang bergunjing tentangnya meski ia berulang kali izin ke toilet, mereka juga berusaha untuk tak mengganggunya dengan suara-suara bising, dari lorong menuju toilet ia mendengar gelak tawa dan gurauan-gurauan, tetapi ruangan seketika hening saat ia membuka pintu dan masuk ke dalam.
Siang itu ia duduk di kloset dan merasakan gatal di ujung tumit kirinya, ia membuka sepatu dan kaus kakinya untuk menggaruknya, tetapi tumitnya tak ada di sana. Ia mencoba memeriksa isi kaus kakinya, tetapi keduanya kosong tak berisi apa-apa.
Ketika ia kehilangan kedua telinganya, ia memutuskan untuk mengganti topi yang biasa ia kenakan dengan sebuah kupluk hitam. Pancaroba akan segera tiba dan pagi semakin dingin, selain hangat, kupluk itu juga menutup apa yang kini telah hilang darinya.
Salah seorang kawannya menghubunginya lewat telepon, menanyakan kabarnya yang sudah lama tak terlihat di pub malam. Setengah jam kemudian, ia datang bersama tiga orang lainnya dengan membawa belasan kaleng bir. Salah seorang di antara mereka mengulurkan sekaleng bir padanya, ia memegangnya dengan kikuk, menggunakan kedua tangannya yang tak utuh, masing-masing hanya tersisa satu ruas dari kesepuluh jari-jarinya.
Mereka berempat duduk di ruang tengah bersamanya, minum bir, terdiam, mencoba menemukan pertanyaan-pertanyaan lain yang masih bisa ditanyakan padanya. Kesemuanya tampak kikuk, berusaha tak terlalu sering memandangi wajahnya yang kini hampir rata. Akhirnya salah seorang dari mereka menyalakan televisi dan mereka mulai mengomentari berita.
Ia kembali berbaring di kasurnya setelah mereka pergi. Menerawang memandangi langit-langit kamar, meraba dadanya, melewati tempat di mana dulu pusatnya berada, turun ke bawah menuju selangkangannya, turun ke bawah menuju kosong yang tersisa di sana.
Beberapa hari kemudian ia kembali lagi ke klinik itu. Pria yang biasa duduk di sebelah kanannya kini tak pernah terlihat lagi, ia tak pernah lagi melihatnya sejak tiga kunjungan terakhirnya. Ia mencoba mengingat wajah pria itu lagi, ia mencoba mengingat namanya kembali, tetapi tak ada ingatan tentangnya yang muncul terpanggil dari dalam ingatannya, ia hanya dapat menyaksikan kursi yang biasa ditempatinya, kosong.
Pria di sebelah kirinya masih memandanginya, “Hari ini gigi ya?” Tanya pria itu padanya.
Saat itu ia masih hanyut dalam lamunan, tak sepenuhnya sadar pada apa yang dikatakan pria itu, tidak sampai pria itu menarik tangan kanannya dan memasukkan jemarinya ke dalam mulut—halus, kenyal, hanya ada gusi dan air liur yang mulai menjalari lengan kanannya.
Sesampainya di rumah ia bergegas menuju ke depan cermin. Ia tampak pucat, hampir transparan seolah cahaya tak menyadari keberadaanya.
Pagi itu ia berjalan menuju taman kota. Berlari dan berjingkat kecil melewati trotoar; memandangi rerumputan, semak-semak, dan pepohonan rindang. Ia melepas kupluknya, kemudian jaketnya, melemparkan keduanya di trotoar jalan. Ia meneruskan langkahnya. Ia melepaskan kemejanya, lalu celana jins dan pakaian dalamnya. Sejenak ia mendongakkan badannya ke atas, merentangkan kedua lengannya, merasakan hangatnya matahari pagi, begitu nyaman, begitu ringan.
Hal terakhir yang polisi temukan adalah sepasang sepatu dan kaus kaki miliknya, tergolek begitu saja di tengah taman kota.
0 notes
Text
Ngopi Dua Puluh Ribu
Dalam konteks pengetahuan saya yang terbatas. Menjadi seorang lelaki tanggung yang memakai celana jeans murah untuk kerja sehari-hari serta punya beberapa lingkaran pertemanan membuat saya berusaha beradaptasi dalam berbagai kelas sosial sedinamis apa pun realitanya, baik dalam keadaan termahir maupun terfakir. Muda-mudi sudah tidak butuh lagi bahan dasar seperti kemiri, bawang, sayur, daun bawang dan beras murah. Semua hanya butuh kopi murah di malam hari sebagai esensi hidup; yang dalam segi nalar sudah tidak masuk dalam imaji setiap orang pada tahun 1980an.
Esensi kebutuhan kafein pada pagi hari sebagai pemicu pompa jantung untuk bekerja sebagai babu-babu perusahaan telah berubah menjadi gaya hidup setiap orang. Toko-toko nyentrik mulai beroperasi pada sore hari, mengharapkan senja datang untuk disapa oleh kaum-kaum hedon yang mampir untuk menambah energi dan esensi dalam kehidupan. Di saat bersamaan, beberapa meter dari toko tadi duduk seorang gembel yang hanya dapat makan sehari, sebungkus lauk-pauk penuh nutrisi dengan harga separuh dari harga segelas kopi. Menggunakan topi, celana, pendek, dan belum mandi; kemungkinan sejak enam belas hari; kalau pun mandi mungkin beliau hanya mandi dari air comberan. Bawah dasar apa seorang menulis ini sebagai sosok pembanding moralitas antar golongan, penyihir putih dari serial penulis J.R.R Tolkien, Two Face penentu antara si baik dan si buruk. Hidup itu abu-abu, tentu buka karena kamu kaya maka kamu orang jahat dan si miskin adalah si baik. Kenapa manusia begitu ambisius menjadi bagian dari prima dalam urutan rantai makanan? Beberapa mengais sisa-sisa dari si kaya. Sedekah dari sang dermawan.
Siang ini menyantap nasi bungkus, besok membawa bekal dari mantan pacar. Bisa jadi besok mati sambil mendengar lagu-lagu cengeng dari band indie kesayangan di playlist pemutar musik daring. Mengungkit gigi untuk melesat maju di atas motor pemberian bapak yang selalu dibenci namun selalu diharapkan dan digantungkan selama ini. Pernah membaca di suatu tempat bahwa orang yang hidup sampai hari ini adalah orang yang ikhlas. Seperti tukang ojek daring yang mengantarkan soto ayam kepada pelanggannya adalah orang yang ikhlas, “Tapi kan, kalo dia ikhlas kenapa dibayar?” Sahut sebagai balasan atas logika palsu penulis tersebut. “Kalau tidak ikhlas, mungkin dia sudah bunuh diri sejak dulu.” balasnya walaupun tidak ada sedikit pun narasi yang nyambung namun berusaha menggiring perkara pikiran pembaca di buku itu, salah satunya aku.
Besok mungkin jadi hari Rabu karena semua orang menghendakinya, dan dalam peraturannya pun seperti itu. Naif sekali, kenapa kita semua tidak protes dan menjadikannya Minggu dan membiarkan para misoginis beribadah. Saya menyilangkan kaki di bawah kipas angin lalu meminum kopi dua puluh ribu rupiah. Seharusnya saya tidak perlu berpikir atau bertanya, minum saja dengan keyakinan bahwa inilah yang diinginkan dunia. Sama halnya dengan kenyataan bahwa seharusnya saya lebih memilih untuk menulis dalam bahasa sederhana, menuliskan cerita pendek soal persenggamaan antara dua anak sekolah.
0 notes
Text
Notasi 14
Di bawah gerilya angin yang menyelatan, bersamanya tabun asap sigaret dibawa siur ke sudut-sudut pintu. Hari ini lelaki itu merantai pundi-pundi ingatan. Tentang rasa lapar, nafsu kelana, atau gelegak embun di ceruk mata tengkorak pada lima padang pasir yang rukun berdampingan. Tidak seperti masa-masa lampau, gelap kotanya kini dibakar pudar lampu-lampu. Parau suara anjing tidak terdengar. Kota itu riuh dengan derap kaki tentara. Dan aroma peluh orang-orang mati. Dia kembali untuk berkesah pada ilalang, berbisik pada kusam jendela, berkelahi pada gamangnya rasa rindu yang bersahutan. Acuh padanya, adalah tatap manusia urban. Merangkumnya sebagai pembeda. Menggurat namanya di lembar-lembar larangan. Dinding kini dibungkam dengan kaku bahasa yang dipaksa untuk mondial. Langit sudah tak diperbolehkan memuntahkan benang dewa. Kota ini bianglala, yang merajut bahagianya dalam ketidakbergerakan.
0 notes
Text
Notasi 20
Membias dari gang-gang kecil, tempat muslihat sepuh bersitegang. Di antaranya angin menyelatan membawa kabar gembira dari negeri seberang. Seperti sungai tempat Musa diajari Tuhan berenang. Demikianlah air matanya gugur bak patera di tanah-tanah kerontang.
Perempuan itu, bersimpuh di antara alisnya, adalah dinding perigi. Gemulai simpangan nafasnya sesak melewati pucuk deriji. Getar di kedua lututnya berpindah antara lamun dan nafsu pegari. Dan kempuh bayangnya membuntuti ratus nubuat rasuli.
Gedung-gedung itu memberangus jenama kawanan domba. Lalu melengganglah pialang norma di pelipis alun-alun kota. Sarat kepadanya, adalah sakal yang dibumbung atas suar si adiraja. Maka ia cari camar seteru, bintik damar, dan monokromatika pirsa.
Setiap bayi yang lahir tanpa jeritan akan dipialai dengan api menabun. Menebas rantai-rantai kapal, di kelilingi kemenyan, dihampar ke ujung kurun. Dipaksa menunggangi unta, didiktat mendarahi talmud, juga bersetubuh dengan gurun. Lalu nantinya, siul lidah mereka, akan dijirati dengan seribu pantun.
Ibu, anak-anak kita akan pulang dengan selerang yang dirajut dengan dendam. Di antara pinggangnya adalah cenangkas yang diasah amuk nirredam. Pada mirat irasnya adalah sumarah yang dimartil untuk mengekali pualam. Dan padang ilalang tempat mereka merekah dibanjiri sesak sabda di pendidihan malam.
0 notes
Text
Notasi 11
Di pelataran tempat Atreus dinisbah. Sebagaimana Midas yang dikoronasi sebagai ahli nifak. Thyestes belajar berdoa. Dengan darah yang laun menghampar di sela jemarinya. Hari itu, kota Seneca digambar dengan warna-warna api.
Salacia tak sempat mengajari anak-anak kita untuk berkuda. Sebab ia ahli dinding. Seperti mahligai taman di bukit Elisian. Troya menyenandika. Dan pahlawan itu, yang diurapi di dasar sungai Styx, ringgih memeluk tumitnya.
Maka, kita manusia, dilamun dalam gertak bisu cerita orang buta, serta parau-parau suara, dari berpuluh taat muridnya.
0 notes
Text
Notasi 15
Anak-anak kita akan menjamak saat rawi melamun menenggara. Dinisbah seperti ragu jemari David saat merangkul belah dagunya. Lalu, di antara bisik mereka, bersembunyi semilir tawa. Yang ditulis dengan bahasa bayi di belantara orang-orang tua. Angan akan melupa, bagaimana cara mereka, menggiring karam bahtera di dalam labirin suara.
Anak-anak kita sedang menjamak saat bebukit memaram cuaca. Ditempa ibarat pejal besi putih di rangkul cawan pewarta. Langit sempat tak bertuan, dan mereka aku ajari cara menerka. Pada akhirnya, sembilan di antara mereka, menjelma sakal-sakal Ravana. Rayan akan berangus, saat tabir kita semai, dan tak lagi dibiar bermain pisau dan berpura-pura.
Anak-anak kita sudah menjamak saat api mendindingi kota. Mirat di mata mereka, rekah seperti rumput di atas pusara. Doa kepada Tiamat, dihatur bersama layang dan rintik kama. Lalu hari-hari menjadi rigid, dan kau, diam dalam ancam buku-buku perkara. Ruban akan ditepis, dicacah agar lamban ditakar, lalu rapal mantra mereka akan mengalir saat pagi menjadi buta.
0 notes
Text
Notasi 12
Tentang perempuan yang tak mengenal taksanya malam. Kukuh di kedua matanya, adalah tarup pejal pualam. Deriji itu lingsir, di makam anjiman karam. Dan tawang akan menemaninya, saat nabi memazmuri mantram.
Maka kusambang gigir berbanjar yang kian meninggi. Lalu hanyut dalam gempa lautnya yang menyembunyikan banji bahari. Tatap yang sekerat bersat, mengganggu rebah, dan akan selalu pegari. Dan masa sudah berkelaluan, dia bergema dalam basa madali.
Tentang perempuan yang melukis teluk-teluk cinnabar. Suam di rapat sakalnya, adalah ribang yang bertempiar. Mantiknya lamat melagu, bak bunga api di kepala sigar. Gelompar di kisi meja, melamun dalam gelayar.
0 notes
Text
Notasi 17
Seperti kau, seperti aku
Seperti gelap meruku-ruku
Seperti asingnya arus waktu
Seperti jamaknya lekuk abu-abu
Seperti tepis asap di ujung peparu
Seperti desing gagak yang bersiseteru
Seperti lepas nafas ibu di sunyi kelambu
Seperti tawamu yang hilang di saat meragu
Seperti gema di ruang orang-orang bercumbu
Seperti ratap senar-senar di tubuh arababu
Seperti selamat malam yang bersidahulu
Seperti dingin yang hilang di hari rabu
Seperti cendawan di lunas serempu
Seperti dalam setapak kaki karibu
Seperti liar kibas ekor beludru
Seperti rapat akar gaharu
Seperti aku, seperti kau
0 notes
Text
Notasi 27
Kota-kota akan redup saat tak ada lagi orang-orang menyadari kesesatannya. Lalu kau berharap kematian mengaminkan doa-doamu. Kau tak pernah sadar seberapa bajingan agama menjadi. Saat kau menuhankan raga yang kau harap bisa kau ajak menari di rimbunan dosa.
Luka-luka di jemarimu menjelma menjadi pilar garam di penghujung kota. Namun saat itu Tuhanmu belum belajar memainkan peran sebagai pemurka. Kering yang beriak di peparumu dinisbah sebagai air bah yang memisahkan nama-nama. Namun saat itu Tuhanmu belum berani untuk menerakai jangar ingatan.
Hiduplah seratus tahun lagi, atau mati lain hari, sebelum api bersihantam dengan api itu sendiri.
Kota-kota akan redup saat tak ada lagi pencuri yang mencintai emas. Lalu kau menyurati segumpal ayal di makam tak berjirat. Kau lumasi lidahmu dengan kemunafikan agar mantramu diberi jawab. Namun ular akan tetap membunuhmu saat kau melerainya untuk bercumbu dengan ular lain.
Pusaran taifun di kepalamu menjelma menjadi air mata. Namun saat itu nelayan tetap pergi berlayar melawan lautan. Roda bara di matamu dinisbah menjadi palu langit. Namun saat itu kemarau juga enggan untuk datang lebih cepat.
Hiduplah satu hari lagi, atau mati sekarang, sebelum kau lebih takut caramu mati dibanding kematian itu sendiri.
Kota-kota akan redup saat tak ada lagi ruang untuk sembunyi. Lalu kau dipasung saat kau dipaksa untuk berdansa. Kau biarkan tanganmu mengajari warna-warna untuk saling berbiak. Hingga mereka tak lagi mengetahui bagaimana caranya menikahi abu-abu.
Laki-laki di sekelilingmu menjelma menjadi senapan pemburu. Namun saat itu peluru mereka jauh lebih tajam dari ratapanmu. Perempuan di luar genggamanmu dinisbah sebagai cangkir-cangkir kotor. Namun saat itu tak pernah ada yang berani mengisinya.
Hiduplah sesaat lagi, atau jangan pernah mati, sebelum kau belajar mencintai diri sendiri lalu disakiti oleh diri sendiri.
1 note
·
View note