𝗦𝗢𝗡𝗡𝗘𝗧 𝗩𝗜𝗜𝗜: Beneath the soft glow of the moon, a little spot of forever love waited, peaceful and still, like 𝘢͟ 𝘴͟𝘢͟𝘧͟𝘦͟ 𝘱͟𝘭͟𝘢͟𝘤͟𝘦͟ 𝘵͟𝘰͟ 𝘳͟𝘦͟𝘴͟𝘵͟ 𝘺͟𝘰͟𝘶͟𝘳͟ 𝘩͟𝘦͟𝘢͟𝘳͟𝘵͟.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text

Took the breath from my open mouth, never known how it broke me down. I went in circles somewhere else.
"Jam berapa?" Suara lembut seorang gadis perlahan memecah keheningan, menggantikan irama monoton detik jam yang berdetak sejak tadi, mengisi ruang yang sunyi. Suara itu seakan memiliki sihir tersendiri, membuat waktu sejenak melambat, membiarkan kata-katanya menggema sempurna.
Matanya melirik sekilas ke arah jam dinding. Jarum pendek dan panjang hampir bertemu di angka dua belas, menandai bahwa malam telah larut. Namun, tumpukan kertas dan cahaya monitor yang setia menyala seakan mengingatkannya bahwa tugas belum selesai.
Dari ujung telepon, suara lain menyusul, tegas tetapi tetap sarat keakraban.
“Jam 8, Thir. Nggak bisa lebih siang. Orangnya harus kejar flight lagi.”
Thira menarik napas panjang, membiarkan kelelahan yang menggumpal di dadanya terlepas perlahan. Belakangan ini, waktunya terasa lebih sempit daripada jalanan Jakarta di jam sibuk. Awal tahun, seperti biasanya, tidak pernah menjadi kawan bagi pikirannya—apalagi jam tidurnya.
"Oke," katanya akhirnya, dengan nada pasrah yang sulit disembunyikan. "Nanti aku usahain biar kekejar, ya. Things are pretty messed up here too. Siapa sih yang sebenarnya setuju sama kerja sama ini?"
"Yourself. Lupa?" Balasan dari seberang diikuti tawa ringan, cukup untuk membuat Thira mendengus kecil, setengah jengkel.
“Jangan lupa tidur, Thir,” suara itu melanjutkan, kini lebih lembut. “You have serious eye bags there, and it takes time to conceal them every time we have a shoot. You’ll make it on time, I promise.”
Telepon berakhir dengan ucapan selamat malam yang singkat. Thira memandang layar ponselnya sesaat sebelum jemarinya bergerak membuka aplikasi pesan. Sebuah pesan singkat ia ketik tanpa banyak ragu.
Udah tidur belum? Sent.
Shook the best when your love was home. Storing up on your summer glow, you went in search of someone else.
Ponselnya bergetar pelan, menandakan sebuah pesan masuk. Ia meraihnya dengan cepat, membuka layar yang menampilkan tulisan sederhana namun penuh perhatian.
Belum. Kenapa, Sayang? Need a hand?
Bibirnya perlahan melengkung, membentuk senyuman kecil yang tulus. Senyum itu menyebar hingga ke matanya, menambah kehangatan pada malam yang dingin. Tanpa pikir panjang, jemarinya menari di atas layar, mengetikkan balasan singkat. Pesan itu segera terkirim, tanpa ragu.
Temani bobo kayak biasanya.
Begitu pesan itu terbang ke seberang, ia menghembuskan napas lega. Tubuhnya yang lelah jatuh perlahan ke atas tempat tidur, matras empuk seolah memeluknya hangat. Selimut segera ia tarik, membungkus dirinya dengan nyaman, mencoba mengusir sisa-sisa keletihan hari itu.
Tidak lama berselang, dering telepon memecah keheningan. Ia mengangkatnya tanpa ragu, bahkan sebelum dering kedua sempat terdengar. Suara akrab di seberang sana langsung membuat dadanya terasa lebih ringan, seperti beban yang perlahan mencair.
Malam itu, sang gadis akhirnya terlelap dengan tenang. Senyum hangat tetap menghiasi wajahnya, seperti pelangi lembut yang muncul setelah hujan panjang.
And I hear your ship is comin' in, your tears a sea for me to swim. And I hear a storm is comin' in, my dear, is it all we've ever been?
Panas matahari menyambut Thira begitu ia keluar dari mobil, memantul lembut di permukaan aspal yang mulai menghangat. Bersama manajernya—yang semalam sempat bercanda di telepon—ia melangkah dengan pasti menuju studio besar di depannya. Gedung itu memancarkan kesan modern, didominasi warna abu-abu dan putih, seperti kanvas kosong yang siap diisi dengan kreativitas.
Hari ini, agenda utama mereka adalah pemilihan katalog untuk pemotretan mendatang. Kesepakatan kerja sama yang dibahas semalam akhirnya akan dimulai, meski kantung mata Thira, yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan oleh concealer, menjadi perhatian khusus. Tidak lucu rasanya jika seorang model lensa kontak justru memiliki "mata panda" yang mencuri perhatian.
“Let’s choose these four lenses,” ujar manajer Thira sambil menunjuk beberapa pilihan yang tertata rapi. “Kayaknya ini paling netral dan nggak perlu mengubah image-nya Thira terlalu jauh. Is that okay with you and your team?”
“That would be perfect,” jawab salah satu klien, tersenyum ramah. “I have a feeling you’ll love these pieces too. Ah, but can those eye bags be taken care of before the shoot?”
Thira terkekeh kecil, mencoba menutupi rasa malunya. “Of course, no problem at all! I’m really sorry, things have been quite hectic on my end, and work just doesn’t seem to give me a break.”
Percakapan berlangsung lancar. Setelah menyepakati beberapa detail penting, Thira dan manajernya akhirnya menyelesaikan pertemuan. Mereka melangkah keluar dari gedung dengan perasaan lega, menuju mobil yang terparkir tak jauh dari pintu utama.
“Told you, they’d talk about your eye bags,” ujar manajer Thira sambil tersenyum jahil.
“Iyaaa, bawel banget sih,” balas Thira, memutar matanya dengan pura-pura kesal. “Perasaan nggak separah itu deh. Ah, I’ll make sure to take care of it.”
“Jadi ketemu buat makan siang, nggak? Sekalian aja deh, aku antar. Satu arah kok.”
“That would be perfect, yuk.” Thira tersenyum sambil membuka pintu penumpang. Manajernya hanya menggeleng kecil, memasang ekspresi setengah geli sebelum ikut masuk ke dalam mobil. Suasana ringan di antara mereka menyelimuti perjalanan, membiarkan sejenak beban pekerjaan tertinggal di belakang.
Caught the air in your woven mouth, leave it all, I'll be hearing how you went in search of someone else.
Tujuan siangnya kini berdiri megah di hadapan. Restoran itu tampak ramai, dengan deretan mobil terparkir rapi di sepanjang halamannya. Thira melirik sebentar, memerhatikan kesibukan di dalamnya sebelum mengucapkan terima kasih kepada sang manajer. Dengan langkah mantap, ia keluar dari mobil dan melangkah menuju pintu masuk.
Senyum ramah terukir di wajahnya saat seorang pelayan membukakan pintu dan menyambut dengan sopan. "Untuk berapa orang, Kak? Apakah sudah reservasi sebelumnya?"
Ia mengedarkan pandangan, mencari-cari sosok yang dikenalnya di antara meja-meja yang penuh, tetapi belum juga menemukannya.
"Untuk dua orang, Kak. Kebetulan sudah reservasi atas nama Asher Arlando." jawabnya dengan nada tenang.
Pelayan itu mengangguk, memeriksa daftar reservasi, lalu mengantarnya menuju meja yang telah disiapkan. Meja itu berada di sudut yang nyaman, tepat di samping jendela besar yang menghadap ke jalan raya. Meski restoran sedang ramai, tempat ini terasa lebih tenang, seperti sebuah oase kecil di tengah keramaian.
Dari kejauhan, ia mengenali punggung seorang lelaki yang duduk sambil menatap ke luar jendela. Sosok itu tampak tenang, jemarinya bertumpu pada dagu, seolah tengah menikmati pemandangan di luar.
Setelah sampai di meja, ia duduk dengan anggun, menyesap udara dingin yang menyegarkan. Ia pun membuka suara, “Maaf, lama, ya?”
Lelaki itu menoleh, wajahnya menyambut dengan senyuman yang menenangkan. Matanya, hangat seperti matahari sore, memandang gadis di hadapannya. “Enggak, Sayang. Aku baru sampai juga, sekitar lima menit yang lalu. Gimana hari ini?”
Thira memutar bola matanya, menahan diri untuk tidak mengeluhkan hari panjang yang baru saja ia lalui. “Pesan dulu, baru ngobrol!” katanya setengah bercanda, membuat lelaki itu tertawa kecil.
"Oke, oke. Iya, Sayang, kita pesan dulu," balasnya dengan nada lembut, tawa hangatnya masih menggantung di udara. Ia mengamati gadis di hadapannya, yang baginya selalu terlihat memikat, bahkan dalam keletihan sekalipun.
They taught the hand that taut the bride. Both our eyes locked to the tide, we went in circles somewhere else.
Dua hidangan utama di hadapan mereka telah habis disantap. Rasa lezat yang mereka nikmati masih tertinggal di lidah, diiringi obrolan ringan yang sesekali diselingi komentar tentang kelezatan hidangan. Kini, hanya tersisa sepotong kue cokelat kecil, dihiasi es krim vanila yang mulai sedikit mencair. Sharing is caring, right?
“Nggak, mereka cuma permasalahin kantong mata aku aja, Sayang. Padahal nggak kelihatan banget, kan? Emang separah itu?” Gadis itu sedikit membungkukkan tubuhnya, berusaha agar lelaki di depannya bisa melihat lebih dekat bagian matanya.
“Ini aku boleh jawab jujur?”
Ia mendengus kesal, ekspresinya setengah pasrah. “Nggak usah dijawab. Berarti emang kelihatan banget.”
Lelaki itu hanya tertawa kecil, suaranya rendah namun penuh kehangatan. Ia mencoba meyakinkan bahwa ini hanya masalah kecil yang bisa dengan mudah diatasi sebelum jadwal pemotretan—hal yang sudah biasa dilakukan gadis itu. Namun, sang gadis hanya mengerucutkan bibirnya, sesekali mengernyitkan dahi seolah sengaja memancing simpati.
Tiba-tiba, ia berhenti memainkan garpunya dan mengangkat wajahnya. “I’m about to suggest some crazy idea, kamu mau dengar, nggak?” katanya dengan nada hati-hati.
Lelaki itu sedikit terkejut, tapi dengan cepat mengangguk. “I’m all ears, Sayang. Apa itu?”
“Can we just live together? Either in your place or mine, atau kita bisa cari tempat yang lebih di tengah. Only if you want to...” ucapnya, nada suaranya semakin mengecil di akhir kalimat.
Sekarang giliran lelaki itu yang terdiam. Gadis itu buru-buru melanjutkan, mencoba mengalihkan perasaan gugupnya. “I mean... living together is not a bad idea, for me, ya. I… get to sleep with you and we don’t have to do the sleep call thing anymore, even though I DO ENJOY THAT.” Ia berhenti sejenak, menundukkan pandangannya kembali ke piring. “Tapi... how about continuing to see each other’s faces dari buka mata sampai tutup mata nanti. How does it sound for you?”
Namun, ia tak berani menatap lelaki di depannya. Jemarinya kembali sibuk memainkan garpu, mencoba mengalihkan kegugupannya.
“Sayang, ngomongnya lihat ke aku, dong. Kamu mau ngajak mejanya tinggal bareng?”
“Ih, kamu mah…” protesnya dengan nada malu-malu, pipinya sedikit memerah. “Aku kan malu tau. I don’t think you like the idea of us living together—”
“I do.” Lelaki itu memotong perkataannya, dengan nada penuh kepastian yang membuat sang gadis akhirnya mendongak, menatapnya.
Senyum lelaki itu hangat, tatapannya seolah menegaskan kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Di antara hiruk-pikuk restoran, detik itu terasa hening, hanya menyisakan mereka berdua dan percakapan sederhana yang mendadak menjadi begitu berarti.
And I hear your ship is comin' in, your tears a sea for me to swim. And I hear a storm is comin' in, my dear, is it all we've ever been?
Mata gadis itu membulat seperti kaca yang menangkap kejutan. Ia mengerjapkan mata, memastikan bahwa pendengarannya tidak mempermainkannya. Sedikit ia memiringkan kepala, tatapannya terpaku pada lelaki di hadapannya. Lelaki itu, dengan senyum kecil yang menenangkan, hanya mengangguk pelan.
“Kamu bercanda, ya?” Suaranya keluar lirih, penuh keraguan yang halus.
Lelaki itu terkekeh lembut, seperti ingin meredakan gejolak di hati gadis itu. “Aku tau aku sering ngerjain kamu. Tapi kali ini beda, Sayang. Kali ini aku serius.”
“Kenapa?” Gadis itu bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Kenapa kamu mau?”
Senyum lelaki itu semakin hangat, seolah tatapannya saja cukup untuk menjawab semua keraguan. Tangannya meraih jemari gadis itu, menggenggamnya lembut. Jarinya mengusap pelan, seperti menyampaikan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“Let’s talk about it later, ya?” katanya dengan nada yang penuh ketenangan. “Nanti malam kita bahas ini sebelum tidur. I’ll come over.”
Anchor up to me, love. Anchor up to me, love. Anchor up to me, love. Oh, anchor up to me my love, my love, my love.
Notes: Happy celebrating 200 days of us being together, Asher Arlando. I wrote this as a token of what being loved and loving you feels like. Loving you makes me want to strive for more and want to keep you as close as possible. As days goes by, I think my love for you only grow bigger and it makes my heart full. I can't ask for anything better except to live and share my whole life with you. Thank you for being born and for growing up so well. I love you, Asher. Always, in all ways. 🎁: https://s.id/AitToU
🎧: https://open.spotify.com/embed/playlist/4GeoVq3dzjd2nKPUCTCBPf?utm_source=generator&theme=0
1 note
·
View note