Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Menembus Masa Lalu Selama Pandemi Bersama Nagabumi
Menjelang akhir Maret 2020, di negeri kita pemerintah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah dikarenakan pandemi Covid-19. Hal tersebut berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Perubahan pola hidup, entah itu bekerja ataupun kegiatan sehari-hari ikut menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku.
Bagi diri saya sendiri, PSBB juga mempengaruhi kehidupan saya. Walaupun selama PSBB saya selalu berangkat kerja dikarenakan saya bekerja shift, dan tidak ada istilah Work From Home (WFH). Namun, kebiasaan untuk pulang menemui orang tua di kampung yang biasanya 2 bulan sekali, tidak bisa dilakukan pada saat pandemi.
Saya yang mulai hobi membaca buku semenjak merantau, akhirnya tambah hobi alias tambah seneng baca buku selama pandemi berlangsung. Banyak buku yang ‘cepat’ terbaca (dan semoga juga memahami isinya) selama masa pandemi ini. Beberapa buku yang saya baca adalah buku Nagabumi I hingga III terbitan PT Gramedia Pustaka Utama (GPU). Buku-buku yang saya anggap tebalnya luar biasa. Bagaimana tidak tebal, buku pertama, Nagabumi I : Jurus Tanpa Bentuk, tertulis 815 halaman. Buku kedua, Nagabumi II : Buddha, Pedang & Penyamun Terbang, 980 halaman. Dan yang terakhir, Nagabumi III : Hidup dan Mati di Chang’an, 1107 halaman. Luar biasa tebal bukan? Sampai banyak teman saya yang heran ketika saya membaca novel tersebut. Mereka bertanya-tanya yang saya baca itu buku atau kumpulan kitab kuno.
Baik, akan saya mulai ceritanya. Cerita pengalaman saya bersama novel Nagabumi. Tapi perkenankan saya memperkenalkan tokoh utamanya terlebih dahulu. Tokoh utama yang menurut saya memiliki nama yang ‘aneh’. Namun setelah membaca penjelasan si tokoh tersebut, ternyata penuh filosofi. Dan ‘berat’ maknanya. Nama tokoh utamanya adalah ‘Pendekar Tanpa Nama’. Ya, namanya adalah ‘Tanpa Nama’. Aneh bukan? Karena ia adalah seorang pendekar, maka di dalam cerita tersebut, orang-orang memanggilnya Pendekar Tanpa Nama.
Jika banyak orang mengejar-ngejar sebuah nama untuk diakui, lalu jika ada seseorang yang tidak mempunyai nama, haruskah ia juga melakukan hal yang dilakukan kebanyakan orang, mengejar sebuah nama? Awal yang bagus dan menurut saya berat makna dan pengaplikasiannya. Karena dalam kehidupan sehari-hari, kita dipertemukan dengan berbagai ambisi yang memiliki bermacam latar, termasuk ingin dianggap ada oleh orang lain, ingin mempunyai ‘nama’. Bahkan jika seseorang direndahkan, maka akan menganggap bahwa hal tersebut telah merendahkan dirinya, mencemari ‘nama’ baiknya. Ya, nama. Pendekar Tanpa Nama, sebutannya mengajarkan kepada saya pribadi agar mulai belajar untuk mengurai kemelekatan diri saya terhadap ‘nama’ yang tersandang. Lebih menjadi pribadi yang dalam tradisi Jawa disebut andap asor atau rendah diri.
Perjalanan saya dimulai dimasa pandemi. Bersama Pendekar Tanpa Nama, mengarungi masa lalu. Tepatnya di Yavabhumipala (Jawa) pada masa pembangunan Kamulan Bhumisambhara atau yang kita kenal saat ini dengan nama Candi Borobudur. Saat tanah Jawa dikuasai oleh Wangsa Syailendra sekitar abad ke – 8 Masehi.
Kisah dimulai. Pendekar Tanpa Nama berusia 100 tahun. Yang saat itu telah melakukan samadhi atau bertapa di dalam gua yang tersembunyi dan tak terjangkau manusia selama 25 tahun terakhir. 25 tahun sebelumnya ia meleburkan diri bersama khalayak umum, tidak menampakkan diri sebagai seorang pendekar. Hal tersebut dilakukan karena ia merasa bersalah atas peristiwa Pembantaian Seratus Pendekar yang ia lakukan di atas tebing, di bawah sinar bulan Purnama. Peristiwa itulah yang membuat ia kalut dan akhirnya memutuskan untuk ‘pensiun’ dini sebagai pendekar.
Saya tidak bisa membayangkan begitu sakti – hebatnya Pendekar Tanpa Nama. Ia sendirian, diusia setengah abad menghadapi 100 orang pendekar yang ilmunya bukan hanya kelas kakap, tapi di atasnya. Bahkan mereka semua dibantai, dibunuh dalam semalam.
Namun, hidup adalah rancangan Agung, yang kita sebagai manusia tidak tahu-menahu apa yang akan terjadi. Seperti ungkapan, manusia hanya bisa merencanakan, tapi Tuhan juga memiliki kehendak, dan kehendak - Nya yang berlaku. Jadi teringat kalau saya berjatah mudik di lebaran 2020, yang di 3 edisi lebaran sebelumnya saya tidak bisa mudik. Tapi bagaimana lagi, di lebaran 2020, rencana saya hanya sebatas rencana, Tuhan berkehendak lain.
Begitulah jalan hidup Pendekar Tanpa Nama. Alih-alih mendapat ketenangan batin serta hidup damai sebagai orang biasa dalam penyamarannya, malahan setiap kali menyamar, ia pasti berhadapan dengan pendekar – pendekar yang penasaran dengan kehebatannya. Atau dengan mereka yang ingin membunuh dan membalaskan dendam atas kematian pendekar – pendekar yang menuju nirwana melalui tangan Pendekar Tanpa Nama.
Dari penyamaran satu ke penyamaran lain. Dari pertarungan satu ke pertarungan berikutnya. Begitulah seterusnya. Setiap gerak seorang pendekar bisa dikenali oleh pendekar lain. Bahkan cara berjalan seorang pendekarpun berbeda dengan cara berjalannya orang biasa. Hal tersebut yang menyebabkan penyamaran Pendekar Tanpa Nama mudah terbongkar oleh pendekar lainnya.
Selama 25 tahun Pendekar Tanpa Nama berkelut dalam penyamarannya. Ia yang berniat untuk tidak membunuh orang (lagi), mau tidak mau harus melanggar keinginannya. Karena disetiap pertarungan, kemungkinannya adalah dibunuh atau membunuh.
Pendekar Tanpa Nama hatinya terus diliputi oleh perasaan menyesal atas kejadian di masa lalunya. Perasaan jumawa yang membuat ia menantang para pendekar yang sakti mandraguna untuk bertarung berhadapan dengannya. Penyesalan yang patut kita contoh. Karena tidak semua dari kita mau dan mampu mengakui kesalahan yang telah kita lakukan.
Kisah berlanjut. Tanpa diduga ternyata ada sebuah pasukan yang memasuki gua tersebut. Dan berniat mengeroyok Pendekar Tanpa Nama. Namun, sekali lagi, dengan sejarah dan pengalamannya yang panjang, ia berhasil meloloskan diri dari kepungan pasukan tersebut yang ternyata adalah pasukan kerajaan yang ditugaskan untuk menangkapnya.
Pendekar Tanpa Nama dicap sebagai buronan kerajaan. Ancaman bagi negara. Karena menyebarkan aliran sesat. Dan bagi siapa saja yang dapat menangkapnya hidup ataupun mati, akan diberikan hadiah berupa 1000 koin emas.
Akhirnya, pertapaannya selama 25 tahun kandas. Ia terpaksa keluar gua dan kembali melebur ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penyamarannya kali ini, ia mencoba mengingat apa saja yang terjadi selama ia hidup mengembara. Apakah ada kesalahan yang akhirnya membuatnya dijadikan buronan negara. Iapun menuliskan – lebih tepatnya mengguratkan, karena di atas lontar – kisahnya. Seolah-olah ia bercerita kepada kita – pembaca kisahnya.
Saya merasakan hal tersebut. Seperti saya didongengin oleh seorang yang sepuh. Yang menceritakan segala kenangan, sejarah yang ia lalui selama hidupnya. Sambil duduk dan mengangguk-angguk, itulah yang saya lakukan saat mendengarkan dengan khidmat kisah flashback pengembaraan kakek Pendekar Tanpa Nama.
Celah Kledung, adalah tempat tinggalnya semasa kecil bersama kedua orang tua angkatnya yang dikenal dengan sebutan Sepasang Naga dari Celah Kledung. Terletak di antara Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.
Kledung, saya teringat saat main ke Wonosobo. Saya selalu mampir istirahat di pom bensin di daerah Kledung. Seketika saya membayangkan bahwa tempat yang saya lalui itu dahulunya adalah kediaman Sepasang Naga dari Celah Keldung yang disegani para Pendekar di tanah Jawa. Tempat yang sejuk, asri, menentramkan jiwa maupun raga.
Dididik oleh sepasang pendekar, mau tidak mau Pendekar Tanpa Nama harus belajar ilmu beladiri. Sang Ibu berkata bahwa ia diajari ilmu beladiri bukan untuk meneruskan takdir orang tua angkatnya sebagai seorang pendekar. Tapi untuk melindungi dirinya sendri jika terkena bahaya. Dan juga untuk melindungi orang yang lemah.
Tidak ada paksaan baginya akan memilih jalan hidup sebagai pendekar ataupun tidak. Karena orang tuanya percaya setiap orang punya takdir yang berbeda-beda. Begitupun seorang anak pendekar, yang belum tentu akan menjadi pendekar.
Keterbukaan orang tua terhadap lakon seorang anak adalah hal yang mengagumkan. Karena banyak dari orang tua yang menuntut anaknya menjadi seperti yang diinginkan orang tuanya. Harus bisa A, B, C, dan sebagainya. Harus jadi D, E, F, dan sebagainya. Sepasang Naga dari Celah Kledung, selain tinggi ilmunya dalam hal beladiri, mereka juga tinggi dalam kebijaksanaan. Membuat saya berpikir bahwa kelakpun saya harus bisa mengerti dan memahami perilaku serta lakon dari anak keturunan saya.
Dikisahkan setiap harinya, selain belajar silat, Pendekar Tanpa Nama selalu mengikuti kegiatan sehari-hari orang tuanya. Bermasyarakat, menolong yang lemah, serta mengkaji ilmu agama. Sering para punggawa agama dipanggil ke rumahnya untuk ditanyai perihal pengetahuan agama. Sepasang Naga dari Celah Kledung mempelajari agama bukan untuk mendalaminya sebagai agama saja, tapi juga sebagai dasar untuk mengembangkan ilmu silat yang mereka miliki. Filsafat – filsafat dalam ilmu agama bisa mereka jadikan pondasi dalam berkembangnya gerakan silat mereka.
Saya terkagum ketika membacanya. Saya pernah berpikir, sebagai seorang lulusan teknik, ada beberapa rumus yang bisa diterapkan di dalam kehidupan. Dan ini, di novel Nagabumi, filsafat dalam agama bisa diterapkan dalam ilmu silat. Jadi saya punya kesimpulan bahwa setiap ilmu yang ada di dunia ini saling berhubungan, saling terkait, dan saling menyempurnakan.
Waktupun berlalu, Sepasang Naga dari Celah Kledung meninggalkan Pendekar Tanpa Nama yang berusiaa 15 tahun sendirian. Dengan bekal ilmu silat seadanya, dan beberapa kitab silat yang mereka pelajari. Iapun memutuskan untuk mengembara.
Dalam perjalannya sebagai seorang remaja yang sebatang kara, Pendekar Tanpa Nama singgah di sebuah desa, desa Balingawan. Dan di desa tersebut ia mulai menolong orang lain menggunakan jurus silat yang ia punyai. Kendati masih bocah, pikirannya yang selalu teringat akan nasehat kedua orang tuanya, bahwa sebentar apapun kelengahan seorang pendekar, bisa mengakibatkan kematian.
Ia sempat diremehkan oleh seorang pendekar yang membuat resah warga desa Balingawan. Ketika ia sudah terpojok, si pendekar yang membuat rusuh itu malah berkhotbah. Tentu saja kelengahan tersebut dimanfaatkan oleh Pendekar Tanpa Nama. Akhirnya keadaan bisa berbalik. Dan itulah korban nyawa pertama Pendekar Tanpa Nama.
Merasa ilmunya belum cukup, ia terus belajar dan berlatih. Setiap hari. Hingga akhirnya ada seorang biksu misterius yang tiba-tiba menyerangnya. Bertubi-tubi. Ia hanya bisa menghindar, bahkan juga terkena serangan biksu tersebut. Dari pagi hingga malam, serangan terus diluncurkan oleh sang biksu.
Ketika Pendekar Tanpa Nama terlihat sangat kelelahan, sang biksu menghentikan serangannya. Dan menghilang. Kejadian tersebut membuatnya berpikir bahwa ilmunya masih sedikit, dan tidak boleh jumawa dengan ilmu silat yang sudah ia kuasai.
Saya merasa seperti dinasehati. Bahwa dalam banyak hal, kita tidak memiliki banyak ilmu untuk disombongkan. Bahkan sedikit ilmupun tak layak untuk menjadi pakaian kesombongan kita. Maka selama raga masih bernyawa, hukumnya wajib menuntut ilmu. Ilmu yang sesuai dengan passion kita.
Beberapa pendekar telah ia taklukkan di desa Balingawan. Mereka adalah anak buah atau murid dari Naga Hitam. Salah satu anggota Pahoman Sembilan Naga yang disegani di tanah Jawa. Nama ‘Naga’ adalah sebuah gelar yang menunjukkan ketinggian dan kedigdayaan ilmu seseorang. Seperti halnya Sepasang Naga dari Celah Kledung, mereka juga diperhitungkan dalam dunia persilatan di tanah Jawa. Mereka pernah ditawari menjadi penggenap dari Pahoman Sembilan Naga, namun mereka menolak. Dikarenakan jika mereka mengikuti perkumpulan tersebut, kebebasan untuk menolong yang lemah akan terbatasi oleh peraturan kelompok.
Kebijaksanaan Sepasang Naga dari Celah Kledung patut diteladani. Mereka tidak mementingkan nama ataupun gelar. Yang mereka pentingkan adalah kesejahteraan rakyat, terutama yang lemah. Tak perlu gelar, hanya bermodalkan kemampuan bersilat, mereka menolong yang lemah, yang tertindas oleh kekuasaan. Berbeda dengan Naga Hitam yang dengan namanya ia juga membangun jaringan rahasia untuk pihak yang mau membayarnya. Berbeda motif bukan?
Perjalanan berlanjut, dan pertarungan dihadapi kembali, sendiri, oleh Pendekar Tanpa Nama. Dalam pertarungan kali ini, ia hampir saja kalah. Ketika pertarungan selesai, dan musuhnya terseret oleh arus sungai, ia melihat sebuah tulisan di atas batu yang intinya berbunyi, jika ia ingin mengalahkan Naga Hitam maka ia harus samadhi di dalam gua dan mempelajari pernafasan selama 10 tahun.
Dengan ketakutan karena ilmunya masih cetek, dan semangat untuk mengahadapi Naga Hitam, nasihat tersebut dilaksanakan. Walau ia tak tahu siapa yang menuliskannya.
Sejenak kita bahas tentang Pendekar Tanpa Nama yang bisa membaca tulisan. Ya, membaca. Pada saat itu hanya lingkup istana dan orang-orang terpelajar saja yang bisa membaca dan menulis. Sepasang Naga dari Celah Kledung tidak mau anaknya menjadi buta huruf dan mengajarkan Pendekar Tanpa Nama membaca dan menulis. Ibunya memberikan nasehat kepadanya bahwa aksara adalah pintu sebuah ilmu, dan jika ia ingin menguasai kehidupan, maka kuasailah aksara.
Sekali lagi, sungguh menjadi tauladan bagi kita. Kebijaksanaan Sepasang Naga dari Celah Kledung yang begitu memikirkan masa depan anaknya dengan mengajari membaca dan menulis. Padahal tidak semua pendekar bisa melakukannya.
Waktu berlalu. 10 tahun telah berjalan begitu cepat. Pendekar yang usianya 15 tahun kini telah menginjak usia 25 tahun. Dengan penguasaan nafas yang ia pelajari dan latih selama samadhi, ia telah siap untuk menghadapi berbagai pertarungan kembali sepanjang pengembaraannya.
Jurus Bayangan Cermin, adalah salah satu jurus yang ia ciptakan. Jurus itu menyerap semua jurus yang dihadapinya. Lalu mengembalikan jurus tersebut ke pemiliknya dengan kondisi terbalik layaknya bayangan di dalam cermin.
Seperti halnya ketika kita menghadapi seseorang, kita harus memahaminya. Mendengarkan, memperhatikan dengan seksama. Agar kita tahu bagaimana bersikap yang benar terhadap orang lain. Itu pesan yang baru bisa saya tangkap dari Jurus Bayangan Cermin.
Pendekar Tanpa Nama, ia mengajak pembaca untuk berjalan dari tempatnya tinggal ke daerah Borobudur lalu menuju ke pesisir Utara pulau Jawa. Ia berkeinginan untuk mengarungi samudera. Ia temukan sebuah rombongan kapal yang merupakan orang-orang Srivijaya (Sriwijaya), tepatnya masih keturunan Malayu – Jambi.
Sebelum memasuki kapal, ia diberi ujian dahulu. Yaitu adu otot alias panco dengan salah satu awak kapal yang memiliki badan yang sangat besar. Saat mereka beradu kekuatan, Pendekar Tanpa Nama menggunakan separuh kekuatan tenaga dalamnya. Ia mencoba untuk tidak membuat malu si awak kapal. Tapi juga dia tidak ingin untuk tidak lolos dalam ujian tersebut.
Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak membuat malu orang lain di depan umum walaupun ia bisa melakukannya. Ia juga tidak putus asa untuk bisa bertahan dalam posisinya agar tidak kalah. Kejadian ini mengingatkan saya akan sebuah hadits yang saya pegang sebagai salah satu prinsip hidup saya, yang bunyinya, “khairul umuri ausatuha”. Artinya, sebaik-baik urusan adalah yang berada di tengah-tengah. Luar biasa tindak-tanduk Pendekar Tanpa Nama.
Ia diterima di kapal Srivijaya tersebut. Ia berlayar mengarungi Laut Jawa hingga ke kota kapur, Pulau Wangka (Bangka). Lalu berlanjut lagi mengarungi samudera hingga ke tanah Kambuja. Di tanah tersebut ia berpisah dengan rombongan kapal Srivijaya yang dipimpin seorang nahkoda bernama Naga Laut.
Selama perjalannya, tak jarang ia menjumpai pertarungan. Dalam perjalanannya pula, ia menceritakan banyak sejarah serta ajaran-ajaran bijak dari berbagai kitab kuno yang menjadi pegangan masyarakat Jawa pada waktu itu. Selama membaca kisahnya, kita akan dibuat mikir, berkhayal, dan sambung-menyambungkan satu peristiwa ke peristiwa berikutnya, satu ayat ke ayat yang lain.
Ini baru bagian pertama. Nagabumi I. Di Nagabumi II dan III, sejarah di tempat yang ia lalui juga diceritakan secara detail. Dengan sumber fakta yang ada. Sejak ia bertemu dengan seorang Puteri Kerajaan Angkor, Amrita Vighnesvara, putri dari Raja Jayavarman.
Pengembaraan penuh liku, pertarungan, dan kisah kasih dilalui Pendekar Tanpa Nama di tanah asing. Ia mengembara dan mengembara. Bertarung dan bertarung. Serta merajut kisah yang penuh kasih dengan Puteri Amrita. Di manapun Puteri Amrita berada, selalu ada Pendekar Tanpa Nama.
Daerah perlindungan An Nam. Sebuah daerah yang berlokasi di perbatasan Negeri Atap Langit atau Tiongkok dengan Vietnam. Di situlah terjadi pemberontakan pamungkas koalisi dari berbagai wilayah yang tidak mau tunduk dalam kekuasaan Negeri Atap Langit. Tepatnya di Thang Long atau sekarang kita kenal dengan nama Hanoi, Vietnam.
Di situlah Puteri Amrita perlaya dengan bekas luka serangan dsri belakang. Ia wafat karena kelicikan dari seorang kepala mata-mata pemberontak, yang merupakan teman seperjuangannya. Harimau Perang namanya.
Galau, itu yang dirasakan Pendekar Tanpa Nama. Selayaknya orang yang sedang kasmaran, lalu ditinggal pergi oleh kekasihnya, untuk selamanya. Pikirannya tak karuan. Satu yang pasti ia lakukan. Ia akan membalaskan kematian kekasihnya.
Dalam kegalauannya, ia tetap harus berpikir jernih. Ia harus tetap tenang dan merencanakan semua hal yang akan ia lakukan – membalas kematian kekasihnya. Peristiwa itu pula yang mengantarkannya menempuh perjalan panjang hingga sampai di Negeri Atap Langit.
Sebelum berangkat menuju ke Negeri Atap Langit, Pendekar Tanpa Nama singgah dahulu di Thang Long, di sebuah kuil. Di kuil tersebut ia banyak belajar tentang sejarah, ilmu silat maupun bahasa Negeri Atap Langit sebagai bekal perjalanannya kelak. Di kuil itu pula, Biksu kepala kuil tersebut menanyakan asal usulnya. Kemudian ia ceritakan asal usulnya, bahwa ia berasal dari Javadvipa (Jawa). Biksu kepala itupun menerawang, muncul gambaran sebuah candi yang megah. Yang membuat Biksu kepala terkagum akan kehebatan orang Jawa, dan keagungan candi tersebut.
Saat bagian ini, saya sebagai orang Jawa juga merasa kagum dan lalu terheran-heran dengan pembangunan Candi Borobudur. Begitu agung bangunan tersebut. Bahkan menjadi candi Buddha terbesar di dunia. Begitu luhur para leluhur kita.
Berlanjut lagi pengembaraan kita. Sebelum mencapai Negeri Atap Langit, Pendekar Tanpa Nama melewati wilayah yang bernama Celah Dinding Berlian. Di sana ia juga menjalani beberapa pertarungan. Yang paling saya ingat adalah pertarungan melawan Pendekar Kupu-kupu yang ilmu silatnya berlandaskan filsafat Zhuangzi. Ketika Zhuangzi bermimpi ia adalah kupu-kupu, dan saat terbangun ia bertanya-tanya, apakah ia kupu-kupu yang sedang bermimpi menjadi Zhuangzi.
Dasar filsafat itulah yang dikembangkan menjadi jurus dasar Pendekar Kupu-kupu. Ia bisa berubah menjadi kupu-kupu dan saat itu pula ia menjadi dirinya. Kisah ini mengingatkan saya tentang kisah salah satu Wali Songo, Sunan Kalijaga, yang mengajarkan kesatuan dengan semesta. Dikisahkan Sunan Kalijaga bersama dengan salah seorang keturunannya berada di pinggir pantai dengan debur ombak menghantam tepian pasir pantai. Beliau berkata kepada keturunannya, “Aku adalah air, air adalah aku. Saat engkau memahami hakikatnya, engkau adalah air, dan saat itu air adalah engkau.” Sebuah kecocokan dalam filsafat untuk meraih pemahaman akan hidup. Ibarat pepatah, banyak jalan menuju Roma.
Diceritakan pula dalam perjalanannya, Pendekar Tanpa Nama menghadapi Mahaguru Kupu-kupu Hitam. Di situ ia diuji tentang filsafat Zhuangzi. Salah satu kisah Zhuangzi yang menarik dan patut diteladani adalah saat Zhuangzi ditinggal mati oleh istri tercintanya. Zhuangzi bukannya sedih, malah ia tertawa. Ketika ditanya oleh orang-orang yang sedang takziyah di kediamannya, ia hanya berkata bahwa ini semua adalah gerakan semesta, apalah daya ia sebagai seorang manusia untuk melawannya. Malah jika ia melawan atau tidak terima dengan kematian istrinya, bisa membuat tatanan kehidupannya maupun semesta kacau. Maka karena ia telah memahami hakikat gerak semesta, kematian istrinya ia respon dengan tertawa.
Seseorang yang ditinggal pergi oleh orang yang dicintainya bisa tertawa? Perlu perjalanan penuh pemahaman dan pengalaman agar bisa mencapai tataran tersebut. Zhuangzi dalam kisah tersebut tidak melekat oleh rasa cintanya terhadap dunia – istrinya. Ia rela akan takdir yang telah berjalan sebagaimana mestinya. Hal yang menurut saya sungguh berat. Namun patut diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak melekat terhadap sesuatu.
Perjalan masih jauh dan belum sampai di Kotaraja Chang’an, tempat Penguasa Tiongkok bertakhta, Putera Langit. Sepanjang perjalanan selalu ada kisah dan kebijaksanaan Pendekar Tanpa Nama. Dalam ia bernegosiasi agar tidak terjadi pertumpahan darah. Ataupun saat ia mengambil keputusan dalam pertarungan antara hidup dan mati.
Keberanian dan kesopanannya dalam bertindak menjadi nilai plus untuk dirinya. Karena kisahnya selalu diceritakan dari kedai ke kedai, dari mulut ke mulut. Pribadinya bisa menjadi panutan kita pada umumnya, dan saya pribadi khususnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari di berbagai lingkungan masyarakat.
Kewaspadaan dan kecepatannya berpikir, coba saya aplikasikan di dalam berbagai urusan. Terutama saat bekerja. Yang hal tersebut sangatlah berat bagi saya yang berusia 26 tahun ini, dan perlu dilatih setiap saat. 26 tahun, adalah usia Pendekar Tanpa Nama di akhir buku Nagabumi III. Saat itu ia telah memecahkan berbagai kerumitan berbagai jaringan rahasia dan kerumitan jurus – jurus silat lawan yang ia hadapi.
Akhirnya, saya menggunakan jurus bayangan cermin yang saya arahkan untuk diri saya sendiri. Apa yang sudah saya lakukan selama ini? Apakah saya sudah membantu orang-orang yang lemah dengan ilmu yang saya miliki seperti Pendekar Tanpa Nama melindungi yang lemah dengan ilmu silatnya? Berbagai pertanyaan muncul di benak dan saya.
Pandemi ini memaksa kita semua untuk menghindari keramaian. Ibarat Pendekar Tanpa Nama yang menyepi untuk samadhi di dalam gua, mempelajari olah pernafasan. Mempelajari nafas adalah mempelajari diri. Ya, pandemi ini memaksa saya untuk menyepi, dan akhirnya bertemu dan memutuskan untuk membaca novel Nagabumi. Yang isinya merupakan kumpulan sejarah, dan berbagai cara untuk menganali diri sendiri dengan pedoman yang telah diwariskan para leluhur. Isi yang berat itu dibalut dalam kisah perjalanan Pendekar Tanpa Nama dengan jalan dunia persilatan.
Buku yang banyak memberi saya pelajaran berharga. Membuat saya betah untuk mengembara dalam imajinasi di setiap tempat yang diceritakan. Mengembara bersama seorang pendekar yang ternama, Pendekar Tanpa Nama. Serta seolah diberikan wejangan secara langsung tentang berbagai kebijaksanaan orang-orang terdahulu.
Di atas langit masih ada langit. Kata-kata penyemangat Pendekar Tanpa Nama untuk dirinya sendiri, agar ia tidak insecure ketika berhadapan dengan pendekar – pendekar yang lebih tangguh darinya. Agar ia bersemangat untuk belajar dan terus belajar. Serasa ditampar oleh statement ini.
Selain sebagai penyemangat, di atas langit masih ada langit, juga sebagai pengingat untuk dirinya dan juga kita sebagai pembaca untuk tetap merendahkan diri, rendah hati di hadapan siapapun, kapanpun dan di manapun.
Satu kalimat terakhir untuk penulis Nagabumi, Bapak Seno Gumira Ajidarma, terima kasih banyak atas kisah yang sangat menginspirasi dan menyadarkan saya akan banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini.
Demikian, sekilas cerita tentang Aku, Buku dan Perjalanan Beradaptasiku selama pandemi ini. Bersama buku-buku terbitan Gramedia Pustaka Utama, Nagabumi I – III, Pendekar Tanpa Nama.
![Tumblr media](https://64.media.tumblr.com/8dfb0fdf6e10e121ba81f7c683d6d7a8/77225e4a45e64dfb-52/s540x810/b338caa7e0feee1b7c81fd1b1b86658c30ce4ab3.jpg)
2 notes
·
View notes