amadeaazmi
Azmi
138 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
amadeaazmi · 4 years ago
Text
Tulisan 2017 yang masih sangat relate dengan bulan November, 2020.
Apakah sebenarnya saya belum cukup mampu memaafkan, sehingga saya terjerembap dalam kubangan yang sama?
Melupakan vs Memaafkan
melupakan itu short term effect namun memaafkan itu long term effect melupakan itu tak tahu ‘terimakasih’ namun memaafkan itu perlu 'terimakasih’ melupakan itu menjauhkan namun memaafkan itu mendekatkan melupakan itu 'meluap’ namun memaafkan itu 'mengalir’ melupakan itu tak kenal maaf namun memaafkan itu kenal lupa melupakan itu mengandalkan otak namun memaafkan itu mengutamakan hati saya sudah memaafkan. maka saya mungkin akan kenal lupa. hal ini mengalir begitu saja diluar kendali. semestinya mendekatkan bukan menjauhkan. dan ini efeknya jangka panjang. saya tahu saya perlu berterimakasih. karena saya telah mengutamakan hati. selasa, 30 Mei 2017
tulisan lama, namun menjadi terbuka kembali karena dr Hafid dalam kajian sore teduh kemarin mengingatkan bahwa memaafkan dan membereskan yang sudah sudah itu sangat perlu, bila tidak ingin terjerembak pada hal yang sama di kemudian hari.
Memaafkan tidak perlu kontak langsung kata beliau. Memaafkan memang mendekatkan, dalam arti mendekatkan kebaikan.
Sejauh ini, Allah selalu memberikan jawaban melalui hal hal yang dapat dicerna dengan baik oleh logika saya Alhamdulillah.
Dalam waktu yang tepat dan tidak terlambat.
dalam Kajian kemarin sore, hilangkan 'i need someone to complete me’ karna 'it would be never happened’
Serta,
cinta itu kata kerja, bukan kata sifat.
15 notes · View notes
amadeaazmi · 4 years ago
Text
Aku tetap saja bebal. Memaksakan apa yang tak seharusnya dipaksakan. Memenangkan hati daripada logika, berpura-pura benar dalam kesedihan.
Sudah kubilang berapa kali?
Kalau sudah tahu tak sejalan, buat apa dipertahankan? Kalau sudah tahu tak sepemikiran, buat apa menjadi bahan pertimbangan? Kalau sudah tahu tak ada restu, buat apa dijalani kalau keberkahan itu hilang?
Buat apa berasumsi kalau kita bisa membuat pilihan saat itu juga? Kenapa mau berlama-lama dalam kekhawatiran padahal jalan keluarnya ada di depan mata. Buat apa mengikat langkah kaki kita sendiri, saat orang lain bergegas berlari. Kalau cinta membuatmu jadi bodoh, itu bukan cinta. Sudah tahu jawaban yang benar, malah pilih yang salah. Sudah ada jalan keluar, malah memilih jalan yang buntu. Hidup berlarut, waktu bergulir, kemudian menyalahkan keadaan. Sudah kubilang berapa kali?
1K notes · View notes
amadeaazmi · 4 years ago
Text
Penuh
Penuh kekhawatiran
Penuh air mata
Penuh sesal
Penuh rasa cemburu
Penuh perasaan bersalah
Penuh sungkan
Penuh - penuh yang tiada ujung,
sungguh melelahkan.
0 notes
amadeaazmi · 4 years ago
Text
/sedang sibuk/
Mengais restu supaya berakhir titik.
Bukan tanda tanya?
Apalagi tanpa tanda
0 notes
amadeaazmi · 4 years ago
Text
Barangkali beberapa hal perlu dilepaskan, untuk memperjuangkan yang berhak.
0 notes
amadeaazmi · 4 years ago
Text
Terbaca saat validasi semu terlanjur menyesakkan kepala.
Kita Mungkin Bisa Menerima, Tapi..
Saya telah melewati fase ini, tapi pembelajaran yang terjadi dari lompatan fase itu tidak akan pernah lekang dan akan menjadi nasihat yang nanti saya teruskan ke anak-anak saya nantinya. Terkait memilih pasangan hidup.
Kita, sebagai remaja yang mungkin pada fase tersebut dilanda banyak keresahan terkait pasangan hidup, waktu yang terus bergulir memakan usia, kemudian dorongan dalam diri yang ingin segera masuk ke fase berikutnya. Hal-hal yang seringnya, membuat pikiran dan hati kita tidak stabil. Logika kita tidak berjalan dengan baik, begitu pula perasaan kita yang mudah sekali berubah-ubah.
Apalagi, saat kita dihadapkan pada kondisi dimana kita justru dipertemukan dengan orang-orang yang menguji value yang kita pegang selama ini. Ada hal baik yang ada pada dirinya, meski ada tapinya. Dan “tapi” inilah yang membuat kita kebingungan dengan diri kita sendiri.
Pada waktu itu, nasihat ini datang kepada saya. 
“Kamu boleh jadi bisa dan luas hatinya untuk menerima orang lain seburuk apapun masa lalu yang dia miliki, ditambah dengan asumsimu bahwa dia sudah berubah meski mungkin itu belum benar-benar bisa kamu validasi, tapi kamu berprasangka baik. Dia yang masih merokok, dia yang pernah berhubungan dengan perempuan di luar bayangan kita, dia yang shalatnya belum tegak lima waktu, segala sesuatu yang kita rasa, itu bisa diubah seiring pernikahan. “Boleh jadi kamu bisa menerima mereka dengan terbuka, tapi coba benturkan hal itu jika nanti ada anak-anak. Apakah kamu akan membiarkan anak-anakmu terpapar asap setiap hari di rumah bahkan sejak dia lahir? Apakah kamu menjelaskan dengan baik, dan membanggakan laki-laki itu nanti sebagai ayah dari anak-anakmu.”
“Inilah yang seringkali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Bahwa, sejatinya memilih pasangan hidup, salah satunya adalah bentuk kewajiban kita untuk menunaikan hak-hak anak kita memiliki ayah/ibu yang baik. Hak yang harus kita tunaikan. Kita tidak semata menikah hanya untuk kepuasan diri, ego, dan asumsi-asumsi kita.” “Selama kita masih punya keleluasaan untuk memilih dan membuat keputusan. Maka, seberat apapun upayanya. Kukira, itu tidak akan selamanya. Tapi, pernikahan itu, selalu kita harap akan baik selamanya kan?  Tak ada salahnya kita berusaha lebih keras dan lebih lama sedikit, berdoa lebih kuat lagi, kemudian memberanikan diri untuk melewati fase ini dengan lebih logis dan dengan iman. Agar langkah kita tidak didorong oleh ego kita untuk segera memiliki status, ego karena malu belum menikah sendiri, ego karena ingin seperti teman-teman kita yang lain, ego karena dirasa menikah itu menyelesaikan seluruh permasalahan hidup.”
Justru, pernikahan itu menambah masalah. Kalau kita salah menentukan pilihan, salah dalam membuat keputusan, masalah yang akan kita hadapi dalam pernikahan, akan jauh lebih sulit. 
Berjuanglah lebih lama sedikit, lebih bersabar, agar kita sampai pada pelajaran yang utuh. Agar kita sampai di titik, dimana kita bertemu dengan orang yang benar-benar membuat kita yakin dan percaya bahwa anak-anak kita, layak memiliki ayah/ibu seperti dia. Di sini, semua standar kita soal ketampanan, kekayaan, dan semua hal yang tampak permukaan akan luluh. Kalah oleh akhlak, kalah oleh karakter seseorang. Sebab akhlak/karakter adalah cerminan pemahaman hidup seseorang, cerminan pikiran-pikirannya, cerminan tentang visi yang ingin kita hidupkan.
Bersabarlah, sedikit lagi. Karena pernikahan yang seumur hidup, terlalu berharga untuk kita korbankan demi ego-ego dan perasaan kita yang tak mampu kita kendalikan saat ini. Kurniawan Gunadi
Yogyakarta, 17 Juni 2020
2K notes · View notes
amadeaazmi · 4 years ago
Text
Sering kali kita buram saat memaknai diri,
mencari penjelasan retoris untuk membela opini,
memilih berekspektasi pada kepala lain yang belum tentu murni.
Sering kali kita mati dalam menghidupkan jiwa,
menampik kekurangan untuk mengisi kesenangan sementara,
membenci ketidakjelasan guna mengikat yang belum tentu searah.
0 notes
amadeaazmi · 5 years ago
Text
ceklis
suatu hari nanti, kamu akan punya uang banyak. paling tidak, kamu akan punya uang sendiri. saat-saat itu, ibu yakin bahwa keinginanmu akan bertambah-tambah, tidak ada habisnya. kalau sekarang kamu belum bisa beli ini itu karena belum punya uang, nanti kamu bisa. saat-saat itu, ingat pesan ibu ini ya. ada banyak sekali ceklis pertanyaan yang harus kamu jawab sendiri sebelum kamu belanja atau mengeluarkan uang–pertanyaan selain “uangnya ada nggak?”
ini kebutuhan atau keinginan? seberapa bermanfaat untukmu? apakah akan menambah ‘nilai dirimu’ alias membuatmu lebih produktif, lebih sehat, lebih pintar, lebih baik; atau hanya membuatmu lebih konsumtif?
kalau bendanya berbentuk fisik, mau disimpan di mana? ada tempatnya? ini berlaku untuk barang besar seperti mobil–jangan beli mobil dululah kalau belum punya tempat parkir atau garasi. juga, barang sekecil es krim literan–kulkasnya muatkah? atau baju, sepatu, tas–lemarinya cukupkah?
sampahnya gimana? coba deh kamu renungkan. hampir semua barang yang kita beli–sekalipun itu sayuran yang dibeli tanpa plastik–pasti ada sampahnya. coba pikirkan bagaimana sampah itu akan berakhir. kalau bisa diolah kembali, bagaimana cara mengolahnya? belanja seperlunya bisa berarti lebih sayang kepada lingkungan.
ada barang lain yang sudah dipunyai dan fungsinya sama? kalau sudah ada, apa alasan kamu perlu tambah atau ganti barang? kalau memang perlu sekali, apakah ada alternatif barang lain yang mungkin lebih hemat tapi fungsinya sama?
seberapa sering akan terpakai? seberapa lama barangnya akan bertahan? ibu itu punya kebiasaan, menghitung mahal murahnya suatu barang bukan dari harganya, tetapi dari pemakaiannya. tas yang harganya 600 ribu kalau dipakai satu tahun dan dipakai terus, harga per bulannya jadi 50.000. tapi kalau tas 1.2 juta dipakai empat tahun dan dipakai terus, harga per bulannya jadi 25.000. itu berlaku kalau tasnya hanya ada satu. kalau ibu punya banyak tas, harga per bulan tas ibu akan semakin mahal karena jarang dipakai. itulah mengapa ibu juga nggak mau punya terlalu banyak barang.
gimana 'besok’ mempertanggungjawabkannya? coba buka lemari dan semua tempat penyimpananmu. lihat berapa banyak barang yang dulunya kamu idam-idamkan tetapi berakhir tidak terpakai dan teronggok begitu saja. padahal, kalau waktu itu kamu tidak beli, uangnya bisa dipakai untuk yang lain. mungkin juga, barang itu dibeli oleh orang lain yang lebih perlu, yang akan benar-benar menggunakannya.
ibu mendoakan besok kamu punya uang banyak. saat itu, ibu percaya bahwa kamu pasti akan menjadi lebih bijak. bijaklah dan hematlah.
985 notes · View notes
amadeaazmi · 5 years ago
Text
Tulisan : Pekerjaan Kita
Pekerjaan itu sejatinya tidak diukur pada seberapa besar angka yang dihasilkan, tapi pada manfaat, nilai, dan keberkahan apa yang bisa didapat dan timbul dari pekerjaan itu. Sesuatu yang mungkin tidak menarik untuk kita bahas. Andai semua orang mengejar gaji ratusan juta per bulan, kita mungkin akan kehilangan guru-guru di sekolah. Kita kehilangan pengajar di pelosok-pelosok daerah. Kita kehilangan tenaga-tenaga medis yang bekerja untuk kesehatan orang lain tapi mengabaikan kesehatan dirinya sendiri.
Kita juga akan kehilangan orang-orang yang mewakafkan dirinya pada jalan dakwah, yang mengajarkan nilai-nilai agama di kampung-kampung. Juga kepada anak-anak kita di tengah ambisi para orang tua yang ingin anak-anaknya menjadi penghafal diusia belia. 
Pekerjaan itu, andai kita benar-benar memahami apa yang timbul darinya. Ukuran kita tidak lagi uang, saat kita bekerja bukan karena butuh uangnya. Tapi kita tahu, kita bekerja karena kita ingin menjadi bermanfaat.
Semoga nanti kita semua sampai ditahap itu. Saat kita bekerja bukan karena tuntutan kebutuhan hidup, bukan karena tekanan sosial dan keluarga, bukan karena kita ingin memiliki harta sebanyak-banyaknya. Tapi karena kita tahu, ada pahala yang besar dari pekerjaan yang akan kita tekuni sejak hari ini sampai tua nanti. ©kurniawangunadi | 6 Februari 2020
1K notes · View notes
amadeaazmi · 7 years ago
Text
Perjalanan Skripsi (akan) Tuntas #1
“Menyerahlah, maka akan kau dapati anak - anak mu kelak se-cengeng kamu hari ini”
Satu kalimat yang saya tulis di lembar depan notes-tdak-bergaris edisi semester 8.  Seperti notes edisi 7 semester sebelumnya, selalu saya sempatkan menulis satu kalimat yang mampu mencaci supaya saya dapat bertahan agar tidak tumbang.
Seperti kalimat yang terus bergoyang di tiup ke-hectic-an pikiran kepala. Saya berusaha untuk tidak cengeng menghadapi sebuah proses yang mau-tidak mau, doyan-tidak doyan harus saya jalani dengan segala lika liku nya yang membuat saya merasa cupu.
Kata-kata SKRIPSI atau lebih lumrah di telinga saya dengan PENELITIAN, sejatinya bukan hal yang memerlukan ta'aruf lebih lama lagi. Semenjak semester 6, sepertinya telinga saya pernah menjadi kolektor kisah-kasih senior yang memilih mencintai penelitian daripada kesehatannya sendiri. Dengan demikian, saya memilih ‘menikahi’ penelitian yang sudah pernah melalui proses 'walimah’ nya dengan 1 dosen pembimbing dan 1 dosen penguji proposal yang kini menjadi pembimbing ke2.
Seperti halnya sejoli yang berusaha memastikan jodohnya. Saya pun merasakan hal yang sama dalam serangkaian proses yang berhasil menaikkan timbunan lemak dalam tubuh. Dalam proses menemukan topik, masalah, data pendahuluan, dan sederet data yang kini telah berhasil tertulis sebagai bab 1 hingga 4. Tak lupa, saya selalu apel ke rumah 'wali’ nya yaitu dosen pembimbing pertama. Lucu dan haru menggeliat dalam memori, ketika memutar kembali proses pembuatan proposal yang ternyata membutuhkan energi.
Lantas?
Ketika kini telah memasuki fase kehidupan penelitian yang sebenarnya. Ternyata, tidak se-romantis yang pernah direncanakan memang. Tidak se-manja yang pernah diinginkan.
Akankah proses 'menyerah' bersiap menghianati seluruh peluh menjadi debu ?
Terlalu kejam rasanya.
Bukankah unprecendented momen yang demikianlah yang mencetak skill diri lebih tangguh dari biasanya.
Bila 140 sks disamping 8sks (semester 8) telah terlampaui dengan cerita yang memicu norepinephrine, kortisol, endorphine bertemu mengurai rindu. Maka, seharusnya kisah skripsi tak perlu takut menjumpai lara, sendu, dan kecewa yang menjemput kebahagiaan serta kelegaan di ujung episode nya.
Menjalin proses penelitian di RS pemerintah telah menuliskan berpuluh pelajaran yang siap di-ilhami. Yang saya yakini, berpuluh pelajaran itu akan beranak pinak kedepannya.
Allah knows what we dont even know. Whatever happens, happens.
Mengakarlah wahai diri dan seluruh masyarakat yang menunaikan ibadah skripsi.
Ruang Vk, 19 Februari 2018
diketik dipojok ruangan untuk mengambil data.
14 notes · View notes
amadeaazmi · 7 years ago
Text
Manusia selalu berbisik suasana begitu busuk bila waktu terasa pikuk. Namun, kali ini waktu berdendang merdu hingga sulit mendengar kata sendu.
Kala itu diketik dengan mulus ketika sang waktu yang terbiasa kaku dipicu tak lagi bisu.
0 notes
amadeaazmi · 7 years ago
Text
tersampaikan
Ada yang menunggumu pulang, walau ia tahu tak mungkin ada pertemuan jika bukan Allah yang menggerakan manusia untuk bertemu tanpa sengaja.
Ada yang menanti tulisanmu, walau selama ini ia tahu kamu tak pernah menulis hanya sekedar membagikan postingan bermanfaat.
Ada yang ingin mengetahui kabar dan cerita yang kamu lalui selama ini, walau ia tahu kamu tak mungkin membagikan kisah itu.
Ada yang mendo’akanmu agar senantiasa dimudahkan seluruh prosesnya, walau ia tahu apa yang kamu hadapi tidak selalu mudah.
Ada yang berharap kamu memiliki perasaan yang sama, walau ia tahu kemungkinan itu sangat kecil jika bukan Allah yang menetapkan perasaannya sama denganmu.
Ada yang kadang termenung sendirian, bertanya-tanya apa yang bisa diceritakan tentangmu karena tak pernah ada interaksi apapun dan kamu begitu tertutup menyimpan segala cerita pribadimu.
Disini. Ada yang masih berharap suatu saat bisa dipersatukan, walau sebenarnya ia lebih menyerahkan pada Allah apa yang akan terjadi. Kadang perasaannya mengatakan bagaimana jika orang baik lain yang datang sedang kamu tak pernah tahu perasaannya apalagi memperjuangkan.
33 notes · View notes
amadeaazmi · 7 years ago
Text
well said
Orang yang berusaha kembali ke masa lalu tak ubahnya seperti orang yang menumbuk tepung, atau orang yang menggergaji serbuk kayu.
— ‘Aidh Al-Qarni
737 notes · View notes
amadeaazmi · 7 years ago
Text
Melupakan vs Memaafkan
melupakan itu short term effect namun memaafkan itu long term effect melupakan itu tak tahu 'terimakasih' namun memaafkan itu perlu 'terimakasih' melupakan itu menjauhkan namun memaafkan itu mendekatkan melupakan itu 'meluap' namun memaafkan itu 'mengalir' melupakan itu tak kenal maaf namun memaafkan itu kenal lupa melupakan itu mengandalkan otak namun memaafkan itu mengutamakan hati saya sudah memaafkan. maka saya mungkin akan kenal lupa. hal ini mengalir begitu saja diluar kendali. semestinya mendekatkan bukan menjauhkan. dan ini efeknya jangka panjang. saya tahu saya perlu berterimakasih. karena saya telah mengutamakan hati. selasa, 30 Mei 2017
tulisan lama, namun menjadi terbuka kembali karena dr Hafid dalam kajian sore teduh kemarin mengingatkan bahwa memaafkan dan membereskan yang sudah sudah itu sangat perlu, bila tidak ingin terjerembak pada hal yang sama di kemudian hari.
Memaafkan tidak perlu kontak langsung kata beliau. Memaafkan memang mendekatkan, dalam arti mendekatkan kebaikan.
Sejauh ini, Allah selalu memberikan jawaban melalui hal hal yang dapat dicerna dengan baik oleh logika saya Alhamdulillah.
Dalam waktu yang tepat dan tidak terlambat.
dalam Kajian kemarin sore, hilangkan 'i need someone to complete me' karna 'it would be never happened'
Serta,
cinta itu kata kerja, bukan kata sifat.
15 notes · View notes
amadeaazmi · 7 years ago
Text
Allah akan tunjukkan kuasaNya. Mungkin ke-lemot-an saya merangkai kodeNya memicu perasaan inferior yang menumpuk :"
Medan Juangmu
Krisis yang dialami oleh pemuda saat ini sangat berbeda dengan zamannya orang tua kita. Akses informasi yang begitu mudah kita dapatkan, banyak diantara kita yang tertekan karena merasa tidak menjadi apa-apa di waktu yang bersamaan, teman kita sudah sibuk dengan start-up nya, perjalananya, karirnya, karyanya, dan segala hal yang kita lihat dari unggahan mereka di linimasa.
Kita merasa tertantang tapi kita tahu, kita tidak memiliki keahlian di bidang itu. Kesukaan kita bukan di sana, dan kita semakin tertekan setelah kita melihat diri sendiri. Menjalani apa yang disukai ternyata belum membuat kita menjadi siapa-siapa. Apakah kita akan tetap mengikuti kata hati, atau beranjak mengikuti hal-hal terkini?
Saya kembali mengingat masa-masa sekitar 4 tahun yang lalu. Sewaktu saya masih kuliah. Di kelas besar, saya bukanlah siapa-siapa dibandingkan dengan yang lain. Perkara menggambar, saya kalah jauh secara keahlian. Perkara ide, masih juga tidak bisa menandingi kawan yang lain. Dan itu membuat ku sangat terpuruk. Saya bersaing di hal yang sama, dalam mata kuliah, dalam karya, dsb. Dan bertahun-tahun saya bersaing di hal itu, saya tidak pernah bisa mengalahkan teman saya yang lain. Bahkan dengan usaha terbaik yang bisa lakukan sekalipun, belum bisa.
Akhirnya, saya keluar dari medan persaingan itu. Saya menulis banyak sekali hal. Lepas dari kampus, teman saya berhasil masuk dan bekerja di perusahaan dan bidang yang dulu sangat saya inginkan dan saya berhasil melahirkan satu buku. Itu adalah perasaan “menang” pertama kali yang saya rasakan. Saya memilih medan persaingan yang berbeda, yang saya merasa bisa melakukannya. Dan menang itu bukan tentang saya bisa mengalahkan teman saya, tapi saya bisa memenangkan perasaan saya yang selama ini merasa terpuruk, merasa tidak beguna, merasa tidak bisa menjadi apa-apa, tidak memiliki kebanggan terhadap diri sendiri, dan perasaan inferior lainnya yang itu sangat sering dialami oleh pemuda difase Quarter Life Crisis.
Kini, sudah bertahun masa itu terlewati. Saya merasa tenang dan tenteram melihat bagaimana teman-teman saya kini meraih pencapaiannya masing-masing. Start-up nya yang tumbuh semakin besar, penghargaan yang ia terima, semuanya saya lihat di linimasanya. Saya tahu, medan juang kami berbeda. Saya tidak ingin bersaing untuk membuat hal yang serupa, tempat saya di sini, ruang sunyi -yang semakin nyaman kala hujan-, menulis berbagai macam perasaan yang tumbuh di hati manusia, merangkai-rangkai kejadian, menjadi tulisan-tulisan yang mengalir seperti sungai.
Bersaing dan berjuanglah di medan yang kita kuasai. Di ilmu yang kita tahu. Di tempat yang hati kita bisa merasa tentram. Di hal yang kita merasa Tuhan memudahkan jalan kita untuk beribadah kepadaNya.
Yogyakarta, 22 November 2017 | ©kurniawangunadi
2K notes · View notes
amadeaazmi · 7 years ago
Text
Manusia menjadi tolol justru ketika merasa sudah pintar dan tak perlu belajar lagi.
— Taufik Aulia
617 notes · View notes
amadeaazmi · 7 years ago
Text
Good to be read. Especially for those who had a 'special' background. Kuncinya adaalah berusaha untuk tidak terjajah dengan masa lalu, latarbelakang keluarga adanya di belakang, dan kita masih punya masa depan. Too mainstream to be told. Tapi ya emang gitu, belajar bijaksana bahwa latarbelakang keluarga cukuplah jadi obat yang pahit tapi membantu untuk sembuh. Belajar dari folosofi luka, luka di tubuh, tubuh berusaha menyembuhkan tanpa intervensi eksternal berupa reaksi imun yang bisa bikin gatal atau hal hal lain yang menyiksa. Tapi ya itu proses. proses sembuh. Proses bangkit.
#random thought
Tadi gue nonton film Posesif dan masih berasa shock. Dari film itu, gue jadi ngerti kenapa ada banyak orang yang memilih bertahan dalam Toxic Relationship. Ada ibu-ibu yang tetep bertahan dalam KDRT karena takut kehilangan. Ada temen-temen gue yang ga mau pisah sama pacarnya meskipun hubungan mereka creepy banget mirip Lala sama Yudhis di film posesif.
Dalam novel 9 dari Nadhira, Leila S Chudori, kita menemukan sosok Nadhira dan Utara Bayu. Dua orang yang sama-sama independen dan mungkin saking independennya sampai nggak sanggup memperjuangkan orang yang dicintainya.
Nadhira menikah dengan Niko dan kisahnya berakhir dengan perceraian meskipun sebenernya masih saling mencintai. Bagi orang yang independen, cinta aja kadang nggak cukup. Sama kayak Utara Bayu yang endingnya menikahi orang lain meskipun dia sebenarnya mencintai Nadhira. Menyedihkan karena di novel, diceritakan kalo di hari pernikahannya, tatapan mata Tara tidak bercahaya.
Baik Posesif ataupun 9 dari Nadhira sama-sama menceritakan kisah cinta yang banyak terjadi di dunia nyata, meskipun sebagiannya mungkin agak di luar jangkauan kita.
Posesif menggambarkan kisah cinta orang-orang yang tumbuh di lingkungan yang menciptakan lubang di hati masing-masing (entah itu bullying, keluarga yang over demanding, keluarga broken home, etc…etc…). Sehingga mereka memaklumi sikap saling menyakiti karena mereka takut kehilangan orang yang terlanjur dicintai dan terlanjur mengisi lubang di hatinya.
Meanwhile 9 dari Nadhira menggambarkan kisah cinta manusia independen yang terlanjur menganggap dirinya lengkap sehingga cinta dan kebersamaan dengan orang yang dia cintai tidak lagi menjadi prioritas. Orang-orang semacam ini biasanya agak susah invest banyak waktu dan tenaga demi cinta doang. Bukan karena takut disakiti. Tapi lebih karena takut attached dengan perasaannya sehingga mereka tidak lagi merasa bebas mengejar apa yang mereka cita-citakan.
Dulu pas masih kuliah, gue suka ngomentarin kisah hidup banyak orang. Sok tau ngasih advice macem-macem. Tapi semakin kesini gue semakin sadar bahwa kita nggak bisa sok tahu dalam menanggapi kisah orang lain.
Sebab dalam sebuah kisah tentang seseorang, yang terlibat bukan cuma orang tersebut. Tapi juga budaya, background keluarganya, masa lalunya, sifatnya, wawasan yang dia miliki, pengalaman dan banyak hal yang semuanya membentuk alur dan ritme dalam sebuah kisah.
Maka nggak heran kalo ada orang-orang yang lancar banget. Ta’aruf hari ini, tiga hari kemudian langsung nikah. Ada juga yang rumit macem Lala-Yudhis, ato Niko - Nadhira - Utara Bayu.
Gue sebenernya ga lagi bahas tentang kisah cinta sih. Tetapi lebih ke gimana budaya, background keluarga, masa lalu, wawasan, dan pengalaman bisa mempengaruhi kepribadian seseorang beserta jalan hidupnya.
Manusia itu menarik sekaligus rumit. Mereka punya banyak sisi yang tak bisa diamati dengan utuh hanya dalam sekali pandang. Pun juga sebenernya bukan tugas kita untuk memaksa orang lain menampakkan sisi yang tidak ingin mereka perlihatkan.
Gue punya temen macem-macem. Ada yang coming out sebagai LGBT, ada yang kena KDRT berkali-kali dari suaminya, ada juga temen gue yang semangat banget cerita tentang konsep open marriage dan polyamorous. Sesuatu yang sebenernya menurut nurani gue udah jahiliyah. Dan sialnya, ini realita yang ada di hadapan gue.
Ga gampang buat kita kalo udah kejebak dalam situasi kayak gini. Tapi balik lagi bahwa kisah tentang seseorang nggak cuma melibatkan orang tersebut, tapi juga segala hal yang membentuk kepribadiannya. Maka menyelesaikan kisah yang rumit dan abnormal seperti yang gue sebut sebelumnya, nggak cukup hanya dengan pendekatan “dosa dan pahala”, kita perlu sedikit berempati pada apa yang menyebabkan seseorang berperilaku demikian.
Kemarin, gue baca artikel yang ditulis ustadz Fauzil Adhim tentang Paradoks Pernikahan. Kita sering banget bicara tentang nikah muda, memperbaiki diri demi jodoh yang baik, dll, dsb. Tapi tak banyak yang berbicara tentang bagaimana mempersiapkan kematangan. Bagaimana kita berusaha selesai dengan ego masing-masing. Bagaimana kita berusaha lepas dari hantu masa lalu, dll, dsb.
Sebab pernikahan yang tidak diawali dengan kematangan, nantinya bakal menghadirkan pernikahan yang toxic dan menghasilkan anak-anak yang toxic juga. Fenomena kisah cinta di film Posesif, 9 dari Nadhira dan kisah cinta temen gue yang aneh-aneh, umumnya di awali dengan lingkungan dan keluarga yang nggak sehat.
Serem banget kalo misal indonesia beneran punya bonus demografi tapi toxic semua :(
Harapan gue sih kalo misal temen-temen nulis perkara nikah dan jodoh, selain tulisan tentang pengendalian perasaan yang menye-menye, ada tulisan-tulisan yang membahas bagaimana untuk mematangkan diri bagi orang-orang yang kehidupan masa lalunya terlanjur tidak ideal. Biar lingkaran setan antara keluarga toxic, anak-anak toxic dan kisah cinta toxic bisa terputus.
Keluarga itu pilar peradaban, sebuah lingkungan kecil yang harus kita bangun dengan sehat
253 notes · View notes