Naskah-naskah lamanwisnu.net yang baru selesai untuk sementara. Atau selamanya. Seperti itulah kira-kiranya. Mungkin.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Not So Monday Morning
Kelak kita akan berada di sana, di sebuah padang yang luas dengan rumput yang hijau, di depan panggung musik dan lampu-lampu sorot yang dinyalakan dengan setengah cahaya.
Suasana di sebuah Sabtu yang sudah sore. Gunung Fuji yang majestic sekali. Dan sinar matahari menjelang waktu senja yang sedang hangat-hangatnya.
Kamu berdiri dengan air muka yang antusias, lalu menarik lengan kiriku sambil mengajak untuk berpindah tempat lebih ke depan. "Ini band kesukaan aku lohh," katamu dengan binar-binar mata murid Taman Kanak-Kanak.
Di atas panggung, Death Cab for Cutie sedang melakukan checksound-nya yang terakhir sebelum mulai memainkan setlist. Ben Gibbard menyapa para penonton dengan senyumnya yang khas itu. Aku tahu kau pasti berharap sekali agar Monday Morning mereka mainkan di sore ini.
Lalu kau berlari dengan riang, sambil mengayun-ayunkan totebag makrame berwarna maroon tempat kau menyimpan tempat minum dan botol kecil berisi minyak beruang. Kau mengenakan setelan celana kodok dan kaus hitam bergambar kocheng-kocheng yang sedang melakukan sebuah permufakatan rahasia; jahat sekali tampang mereka itu.
Langkahmu ringan sekali. Aku bisa melihat kaos kakimu yang berwarna lucu dan sepatu Converse Chuck Taylor 70's hitam yang kau pakai menapak pada lapangan seperti pemain baseball yang berlari menuju base nomor tiga. Dalam tiga detik saja kau sudah ada beberapa meter di depanku.
Lalu kau menengok ke belakang, kepadaku yang masih berjalan dengan santai saja. Kau memanggil namaku, lantas tersenyum. Manis sekali.
0 notes
Text
Lencana Clyde
Tadi sore, ketika aku baru saja akan sampai di rumah setelah hampir seharian penuh menemani temanku Clyde mencari lencananya yang hilang, aku melihat Bibi Margareth yang sedang duduk-duduk santai di beranda rumahku. Aku sedikit heran melihatnya karena ia datang dari Tinnecuta tanpa mengirim pemberitahuan terlebih dahulu kepadaku. Apalagi melihat tiga cangkir teh dan sebuah teko kecil dari porselen berwarna putih yang tertata rapi di dekatnya. Seingatku, sudah lama tak ada benda-benda seperti itu di rumahku.
Enam tahun yang lalu ibuku menjual seperangkat alat minum teh terakhir yang pernah kami punya kepada Si Tua Bernard yang hingga sekarang masih bisa kau temui berdagang barang-barang loakan di pasar kota. Ibuku menjualnya karena kami memang sudah tidak memerlukan barang-barang itu lagi. Tradisi minum teh dan menikmati waktu santai di sore hari sudah lama ditinggalkan oleh penduduk Cloakwork City, beberapa tahun sejak jatuh hujan terakhir di kotaku ini. Hujan yang sebelumnya selalu turun menjelang waktu malam tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa sebab yang bisa kami cari tahu. Ada gossip yang beredar bahwa seorang Don dari kota tetangga di ujung daratan pulau kami menjadi pangkal musababnya. Kabarnya ia punya serbuk ajaib yang mampu memanggil pelangi dan air hujan.
“Dari mana saja kau ini? Aku sudah menghabiskan tiga cangkir teh dan tiga belas potong biskuit selama menunggumu sejak tadi.”
Hampir-hampir tak ada yang berubah dari penampilan Bibi Margareth. Ia masih sama seperti terakhir kali aku mengingatnya; perempuan paruh baya dengan tata rias yang ganjil; bercelak mata dan polsesan gincu berwarna hitam pekat, kontras dengan warna kulitnya yang putih cenderung pucat. Dan sebuah topi unik yang aku yakin hanya ia sendiri yang punya; topi bundar berwarna magenta tua dengan hiasan bunga tulip dan empat helai bulu sayap burung gagak yang ia rangkai menjadi satu dan dipasangkan di bagian depan. Ia pernah bilang kepadaku bahwa topi itu adalah warisan dari nenek buyutnya yang dulu tinggal di Transniterria.
Bibi Margareth terakhir kali datang ke rumahku sekitar tiga setengah tahun yang lalu. Waktu itu ia datang bertepatan dengan festival kembang api yang diadakan oleh Wali Kota Cloakwork City, Jenderal Abbleton Burning, sebagai bagian dari ritual untuk menarikan hujan. Bibi Margareth menyusul Paman Bob, suaminya, yang pergi ke festival tersebut untuk bertemu dan berkumpul bersama kawan-kawan lamanya di sana.
“Pamanmu memang tidak bisa dipercaya. Ia dengan seenaknya saja pergi dari rumah dan meninggalkanku sendirian. Padahal ia telah berjanji mengajakku untuk pergi menonton rombongan sirkus yang sedang mampir di Tinnecuta.”
Satu hari sebelum rombongan sirkus dijadwalkan akan mengadakan pertunjukannya di Tinnecutta, Bibi Margareth menemukan rumahnya yang sudah kosong tak berpenghuni sewaktu ia pulang dari kios ramalnya di dekat alun-alun kota. Ia hanya menemukan sepucuk surat yang tergeletak di meja makan, di samping bola kristal, tangkai bunga-bunga yang kering, gelas kosong dan piring kotor dan sisa-sisa burito yang sudah tinggal remah-remahnya saja. Itu adalah surat yang ditulis oleh ayahku dan kukirimkan melalui layanan merpati pos milik pemerintah.
“Hanya orang bodoh yang ingin melihat apa yang terjadi pada dirinya di masa depan,” ujar Bibi Margareth kepadaku ketika aku bertanya kepadanya kenapa ia sering tertipu oleh kata-kata Paman Bob, padahal sebagai cenayang, ia bisa saja dengan mudah mengetahui peristiwa yang terjadi sebelum waktu kejadiannya.
Si Pelanduk Bob, begitu pamanku biasa dipanggil oleh kawan-kawannya, adalah saudara laki-laki dari ayahku. Bukan saudara dalam artian yang mungkin sudah kau pikirkan sebelumnya. Sebetulnya tidak ada hubungan darah diantara ayahku dan Paman Bob.
Persaudaraan mereka bermula sewaktu keduanya masih berumur dua puluh tahunan, beberapa tahun sebelum aku dilahirkan ibuku dari ayah kandungku yang tidak pernah kukenal juga. Ayahku dan Paman Bob menjadi kuli pemetik biji jagung di perkebunan yang sama. Dan berdua pula mereka sempat menjadi buronan Negara Bagian Westerberg karena tidak sengaja menjatuhkan obor dan menyebabkan terbakarnya salah satu lumbung penyimpanan jagung yang baru saja diisi penuh oleh hasil panenan tahun itu. Setidaknya begitulah yang pernah diceritakan oleh ayahku sewaktu ia melihatku yang berulangkali memperhatikan luka bekas tembakan di bahu kirinya.
Belakangan aku baru tahu kalau itu bisa saja tak lebih dari bualan ayahku semata. Bukan berarti aku tidak mempercayai omonan ayahku ya, tetapi ada beberapa versi cerita lain yang aku dengar juga.
Dari ibuku aku mendengar cerita bahwa ayahku dan Paman Bob membakar lumbung jagung karena ketahuan punya affair dengan Carolina Sharp, istri dari Benjamin Sharp, pemilik perkebunan jagung tempat mereka berdua bekerja. Mereka yang panik karena terpergok oleh Benjamin Sharp sedang berada di kamar istrinya yang cantik itu, mengambil langkah bumi hangus untuk membakar lumbung gandum tempat mereka bekerja sebagai upaya pengalih perhatian.
Mereka berdua sudah menduga bahwa Benjamin Sharp akan lebih memilih untuk menyuruh centeng-centeng yang ia punya untuk terlebih dahulu melokalisasi kebakaran lumbung di lumbung tersebut daripada mengejar mereka berdua pada malam itu juga. Sampai sekarang cerita mengenai kecintaan yang berlebihan Benjamin Sharp pada harta kekayaannya masih bisa kau dengar dari para penduduk Negara Bagian Westernberg yang kebetulan singgah di Cloackwork City.
Tiga hari setelah kematian ayahku, Paman Bob yang datang melayat dari Tinnecuta menceritakan versi kisah yang satunya lagi. Menurut ceritanya, mereka berdua membakar salah satu lumbung gandum di perkebunan milik Benjamin Sharp itu karena kesal dengan perlakuan Benjamin Sharp terhadap budak-budak berkulit warna yang ia miliki. Saat itu aku hanya mengangguk-angguk dan berpura pura mempercayai cerita tersebut karena menghormati upaya Paman Bob yang sedang berusaha meninggalkan kesan baik tentang masa lalu ayahku.
…
“Kemarin siang aku tak sengaja melihatmu mengantar benang jahit kepada seorang perempuan. Siapa nama perempuan itu?”
Kudengar Bibi Margaret berbicara dari kamar tengah. Tapi aku malas menjawabnya. Pikiranku sedang bersama lobak dan potongan daging bison yang harus segera kufillet secepatnya. Jerangan air di panci sudah mendidih dan bahan-bahan sup harus segera dimasukkan. Perutku sudah keroncongan sejak dua setengah jam yang lalu.
“Ayolah. Masa kau tak mau menjawab pertanyaan bibimu yang sudah jauh-jauh datang ke rumahmu?”
Ia mengekek dan cara bicaranya makin lama terdengar makin mengejek. Aku tahu pasti ada yang tidak beres tapi lagi-lagi aku malas memikirkannya. Masakan di depanku sudah menguarkan bau yang harum.
…
Sewaktu aku sedang menuangkan sup lobak ke mangkuk Bibi Margareth yang masih betah saja betah untuk memaksaku bercerita, tiba-tiba pintu depan rumah terbuka, angin yang membawa debu-debu terbawa masuk bersama aroma kotoran kuda yang berserakan di jalanan depan rumah. Di luar langit sudah menggelap dan temanku, Clyde Etherington, berdiri di depan muka pintu sambil berteriak-teriak kegirangan.
“Aku menemukannya, John. Aku menemukan lencanaku.” Ia mengatakan itu sambil melompat-lompat seperti kuda jantan yang sedang dilanda berahi. Lantai rumahku yang terbuat dari kayu bergetar-getar karenanya.
Tadi pagi Clyde menghampiriku yang sedang menunggu para pelanggan datang dan menceritakan mengenai lencananya yang hilang. Clyde Etherington adalah deputi sheriff di Cloakwork City. Meskipun yah, tidak ada pengaruhnya juga keberadaan sheriff di kota ini. Tidak ada yang terlalu berharga sampai-sampai suatu kejahatan bisa terjadi. Kecuali mungkin pencurian kecil-kecilan dan perkelahian pemuda-pemuda yang sedang mabuk. Tepatnya, pemuda-pemuda yang melakukan pencurian kecil-kecilan untuk membeli wiski di tempat Ben dan mabuk berat karena kebanyakan minum. Kemudian berkelahi untuk bersenang-senang dan menutup malam itu.
“Dimana kau menemukannya, Clyde? Bukankah tadi kita sudah berkeliling dan mencarinya di tempat dimana kau pikir kau mungkin menjatuhkan lencanamu ya?”
Kami sudah mencari di semua tempat dimana ia kemarin datangi. Setidaknya ya dari yang sudah ia ceritakan saja.
“Barbara mengantarkannya ke kantorku begitu kau pulang. Dia bilang semalam aku meninggalkan lencanaku di atas meja rias di kamarnya. Sepertinya aku lupa memberitahumu kalau semalam aku mampir ke rumahnya.”
Clyde mengatakannya sambil mencium-cium lencananya dengan penuh kasih sayang. Sepertinya semalam ia terlalu asyik mencium-cium hal yang lain sampai bisa lupa pada lencananya. Kurasa ini juga alasan Bibi Margareth datang ke rumahku hari ini.
Jakarta, Februari 2015.
0 notes
Text
Kami Kira Kami Sudah Akan Berhenti
Saat itu sudah pukul tujuh, dan menurut briefing semalam, pukul delapan kami musti turun ke basecamp, di mana pun saat itu kami berada. Semakin siang, pendakian di area puncak akan menjadi berbahaya karena salju yang sudah meleleh oleh panas matahari. Sedang sekarang kami masih berada di tengah-tengah tebing gletser, belum juga sampai di jalur punggungan.
Yasalam, puncak masih jauh sekali. Bahkan, terlihat dengan jelas pun belum.
Kami sedang beristirahat, baru saja berkumpul setelah kekacauan luar biasa beberapa saat sebelumnya; jalur yang berubah entah dan Yash dan Tan yang sempat jatuh terperosok dan terguling belasan meter di tebing gletser.
Sunyi menggelayuti kami. Tak ada suara obrolan. Hanya desau angin yang sesekali terdengar kencang. Awan mendung terlihat menggulung di atas puncak Ghulaf Kangri yang ada di depan kami.
Aritro, kawan saya yang biasa gemar sekali bercanda, seperti kehilangan suara. Ia hanya menjawab sekenanya ketika saya menunjuk sebelah kiri jauh, tempat sekelompok pendaki lain yang juga sedang berusaha melewati tebing gletser, “Aku pikir kita bisa turun lewat jalur itu. Lebih landai.”
Banyak di antara kami yang berpikir bahwa pendakian menuju puncak sudah usai dan kami terhenti hanya sampai di sini saja. “Ya, yang penting kita selamat sampai ke bawah,” ujar Aritro sembari pelan menggelengkan kepalanya.
Setidaknya buat saya, di tempat itu, baru saja, batas antara hidup dan mati terasa begitu dekat. Hanya sesepelesetan langkah kaki dan jurang sedalam ratusan meter di bawah sana sudah siap menyambut kedatangan saya. Seram.
Tapi sesungguhnya, sampai di ketinggian ini pun sudah menjadi pengalaman yang luar biasa, kata saya dalam hati. Menarik nafas saja sudah susah sekali, turun sekarang pun tak jadi apa. Begitulah kiranya.
Sampai kemudian Mahavi, pemandu kami, tiba-tiba berdiri dan berjalan cepat ke arah kiri atas dari bebatuan tempat kami sedang beristirahat.
“Chalo-chaloo!!!”
Sialnya, saya berada paling dekat dengan posisinya itu. Atuhlah Mahavi, tak tahu apa dia kalau suram sekali meminta saya berjalan paling depan di jalur tebing salju seperti ini. Duh!
0 notes
Text
Guerrillero Heroico
Siang itu, 5 Maret 1960, prosesi upacara pemakaman para korban meledaknya Kapal Le Coubre berlangsung dengan ramai sekali. Ribuan orang membanjiri Pemakaman Kolon di Kota Havana. Ikut berduka dan berbela sungkawa.
Satu hari sebelumnya, diduga karena sabotase, kapal berbendera Prancis yang tengah bersandar di Pelabuhan Havana itu tiba-tiba meledak. Lebih dari seratus orang tewas dan ratusan lainnya menderita luka-luka.
Di atas podium upacara, Fidel Castro, sang presiden, menyampaikan pidatonya dengan amarah yang begitu membara. Ia menuding ada campur tangan CIA di belakang peristiwa tersebut.
“Patria o muerte,” jargonnya yang kelak akan terkenal, pertama kali ia sampaikan dalam pidatonya siang itu.
Alberto Korda, si fotografer, berdiri tidak jauh dari tempat Castro berpidato. Ia sedang bertugas untuk mengabadikan prosesi pemakaman.
Di belakang podium, ketika lensa kamera Korda tengah mencari momen, pada sebuah titik, tiba-tiba saja baris depan kerumunan tersibak dan menampakkan sosok seorang laki-laki yang sebelumnya tidak kelihatan. Laki-laki itu terlihat jelas dengan latar langit yang bersih di belakangnya.
Ekspresinya dalam. Air mukanya mengguratkan kesedihan yang ditahan. Ada rasa marah pada tatapan matanya yang tajam memandang ke depan itu.
Korda terpana melihat laki-laki itu dan serta merta menekan tombol kamera yang ia bawa, Leica M2 berlensa 90 mm.
Ia mengambil foto laki-laki itu dua kali, satu portrait dan satu landscape.
Sejak awal Korda sadar bahwa foto yang barusan ia ambil itu bukanlah foto yang biasa-biasa saja. Ada sesuatu pada foto tersebut. Sesuatu yang menurutnya kuat sekali.
Sayang, redaktur tempat Korda bekerja justru memilih foto-foto lain untuk ditampilkan di koran dan mengirimkan kembali foto laki-laki itu kepada Korda.
Korda mencetak besar-besar foto laki-laki itu, membingkainya dengan pigura, lantas memasangnya pada dinding studio pribadi miliknya. Ia menggantung foto tersebut di samping foto sang penyair Chile, Alberto Neruda.
Kadang-kadang Korda membagikan pula kopi foto itu sebagai hadiah kepada beberapa orang kolega terdekatnya. Pendek kata, hanya segelintir orang saja yang tahu mengenai foto tersebut.
Sampai sebuah peristiwa menyedihkan yang terjadi tujuh tahun kemudian.
Peristiwa itu, kau tahu, akan menjadi sumbu picu dicetaknya foto itu berulang-ulang kali, hingga tak akan pernah bisa lagi dihitung seberapa banyaknya.
Kelak, foto itu akan dan masih terus saja dicetak di pelbagai media : poster, majalah, stiker, kaos, sepatu, kotak pensil, bungkus makanan, kartu remi, botol minuman keras, sampai ditattokan secara permanen di atas permukaan kulit.
Kadang-kadang kau pun bisa melihat foto itu dimuralkan pada dinding tembok-tembok bangunan, lengkap dengan kalimat-kalimat yang bernuansakan semangat perlawanan. Muncul secara ajaib di lokasi-lokasi konflik.
Bulan Oktober 1967, selang tujuh tahun setelah Korda mengambil foto dirinya di upacara pemakaman kawan-kawannya yang jadi korban ledakan Kapal Le Coubre, laki-laki itu tewas ditembak mati.
Di pedalaman rimba raya, ia dieksekusi oleh pasukan pemerintah dari negeri yang sedang ia perjuangkan kebebasannya, Bolivia.
Alberto Korda memberi judul foto itu Guerrillero Heroico; laki-laki di dalam foto itu, Che Guevara namanya.
***
Seorang kawan pernah bercerita : kini, katanya, Guerrillero Heroico sudah kehilangan maknanya, dilupakan muasalnya, dieksploitasi sedemikian rupa. Apakah benar begitu?
PS: Tulisan lama. Pindahan dari medium.com.
0 notes
Text
Di Dalam Hutan Tjiwidej (III)
Menjelang pukul tujuh pagi. Menu buat sarapan hampir selesai dimasak seluruhnya. Sejak pukul setengah enam, beberapa orang sudah terlihat sibuk di dalam tenda dapur. Kalau tak luput, ada Ambar, Bella, Saskia, Titin dan Ajik. Pagi ini juru masaknya banyak. Wajar sih mengingat yang butuh makan jauh lebih banyak lagi.
Tadi malam, total ada 26 orang yang bermalam di Leuweng Jero.
Sekilas, jumlah sebanyak itu tentu saja cukup bikin pening kepala buat mendirikan camp, membikin tempat bermalam yang aman juga nyaman; dua hal yang mesti bisa berjalan beriringan.
Leuweng Jero sendiri berada di area lembahan yang cukup luas. Di tengahnya ada sungai kecil yang airnya mengalir hingga ke kawasan Ranca Upas. Banyak pohon kayu berukuran besar dan tinggi di sini. Di antara pepohonan ada beberapa titik yang kondisi tanahnya sudah lumayan bersih dan rata karena sering dijadikan tempat untuk mendirikan camp.
Di salah satu titik itulah kami mendirikan camp yang kau bisa lihat di foto ini.
Dari tengah camp utama, asap api unggun masih mengepul. Di dekatnya ada enam nesting berisi nasi putih yang sudah matang. Asal takaran airnya pas, memasak nasi di api unggun memang lebih menyenangkan. Rasanya lebih enak. Pun tak perlu repot-repot membelah parafin untuk bahan bakar.
Beberapa saat sebelumnya, Patkay dan Seno kembali ke camp sambil membawa beberapa lembar daun pisang, perlengkapan yang penting untuk “kuluk-kuluk”. Lembaran daun pisang itu akan disusun memanjang dan di atasnya kami meletakkan aneka makanan yang sudah kami masak: nasi, bermacam lauk, sayur-mayur, sambal, kerupuk dan bahkan terkadang terselip pula ranjau berupa biji petai.
Di sekelilingnya kami akan duduk berjongkok dengan satu kaki di bagian dalam dan ketika terdengar seruan "Astacala!!", maka mulailah acara santap makan bersama. Pagi ini, sesaat lagi, kami pun akan melakukannya kembali.
***
Anul berdiri sembari mengamati kondisi camp. Barangkali sedang memperkirakan apa saja yang bisa (dan harus) ia perbaiki dari camp yang kemarin didirikan. Ia baru datang semalam dan bersamanya datang pula Kresna. Mengingat yang sudah-sudah, saya yakin mereka berdua pasti gatal ingin ikut menyumbangkan sesuatu pada camp ini.
Tentu saja, akan ada perdebatan yang menyenangkan di antara mereka berdua. Dan bisa jadi makin chaos jika Pari tak jadi pulang ke Jakarta hari ini.
Tjiwidej, Desember 2016.
0 notes
Text
Di Dalam Hutan Tjiwidej (II)
Luthfi membuka tas kecilnya, lalu mengeluarkan lembaran peta yang ia lipat di dalam plastik berwarna bening. Ia menengok ke kiri dan ke kanan, mengamati keadaan di sekitarnya. Sesaat kemudian, matanya mengarah kembali ke lembaran peta miliknya. Air mukanya serius. Ia tampak berpikir keras untuk memproyeksikan hasil pengamatannya barusan itu ke dalam peta yang kini ia pegang dengan kedua tangannya.
Kami baru saja sampai di Puncakan 2002. Ini adalah salah satu titik di plotting jalur kami yang punya posisi cukup krusial. Dari titik ini kau bisa mengambil arah menuju Ranca Upas via Leuweng Jero, atau melanjutkan perjalanan ke Puncak 2038 sampai ke Puncakan Cadas Panjang. Kalau tak mau menyasar dari dua tempat itu, di titik ini, navigasi mutlak harus kau lakukan.
Seperti halnya bagian dari semesta yang lainnya, berada di dalam hutan kau harus memahami bahwa ia toh memiliki aturannya tersendiri. Abai terhadap perihal tersebut, salah-salah kau akan bertemu dengan konsekuensi yang sama sekali tak pernah kau harapkan. Tersesat adalah satu di antaranya.
Ketika kau berada di dalam hutan, kau harus bisa bernavigasi. Ini hal yang mutlak. Kau harus bisa mengorientasikan posisi serta pergerakanmu di dalam peta, mencocokannya dengan jalur yang sudah kau rencanakan sebelumnya. Jangan sampai arahmu mencong dan kau kehilangan arah dari tempat yang hendak kau tuju.
Tentu saja, seringkali bernavigasi di dalam hutan tidaklah ideal. Misalnya saja ketika kau berada di hutan dengan vegetasi yang tebal, teknik dasar navigasi seperti resection dan intersection tentu saja tak bisa kau pakai. Mau membidik apa kalau yang kelihatan cuman pepohonan yang tinggi nan menjulang?
Kau bisa membaca kontur dan bentukan alam yang ada di sekitarmu. Yang mana itu punggungan atau lembahan, daerah landai atau daerah terjal; kau harus bisa mengenalinya.
Di dalam petamu, rangkaian garis kontur berbentuk huruf “U” menandakan punggungan, sedangkan rangkaian garis kontur berbentuk huruf “V” terbalik menandakan bentuk lembahan. Rangkaian garis kontur yang rapat berarti daerah yang terjal dan sebaliknya, rangkaian garis kontur yang renggang menggambarkan daerah yang landai.
Begitu juga dengan perubahan ketinggian, kau harus sadar bahwa di dalam petamu, antara satu garis kontur dengan satu garis kontur lainnya menandakan perbedaan ketinggian. Misal jika peta yang kau pegang berskala 1:25000, berarti setiap kau bergerak dari satu garis kontur ke garis kontur lainnya, kau telah berpindah ketinggian sebanyak 12,5 meter. Di sini kurasa kau mulai paham dengan kalimat terakhir di paragraf sebelumnya.
Selanjutnya, proyeksikan hasil pengamatanmu itu ke dalam peta yang kau punya. Jangan ragu untuk memberi tanda atau coretan di dalamnya. Kalau bisa gunakan warna yang berbeda supaya kau lebih mudah membacanya.
Dan lakukan itu sering-sering. Tiap kau beristirahat, buka peta lantas amati kondisi sekitarmu. Pun ketika kau sedang berjalan dan kau merasakan adanya perubahan kondisi dari daerah yang sedang kau lalui, jangan ragu untuk berhenti dan membuka petamu.
Ohh iya, saya belum menyebut kompas ya dari tadi?
***
Tak jauh dari tempat Luthfi bernavigasi, Arnan berdiri dan mulutnya tampak komat-kamit. Ia sedang berbicara dengan Anul menggunakan telepon pintarnya. Arnan menitip beberapa ransum agar dibawakan Anul ketika ia menyusul kami sore nanti.
Puncakan 2002 memang salah satu titik di Kawasan Pegunungan Ciwidey yang berlimpah dengan sinyal telepon. Bahkan kau bisa berselancar di internet dari sini. Barangkali kau mau ngeksis dan mengunggah fotomu di media sosial?
Tjiwidej, Desember 2016.
0 notes
Text
Di Dalam Hutan Tjiwidej (I)
Pada mulanya adalah tanah, lantas hujan membuatnya menjadi basah. Angin mengalir dan sesekali terbawa bersamanya serbuk-serbuk tetumbuhan; menyebar tak tentu arah, berterbangan tak tentu ke mana tempat tujuan. Pada satu waktu nasib menghendaki perjalanan mereka berakhir dan di atas tanah basah itulah mereka berjatuhan. Lalu bertumbuh menjadi benih, menjadi bibit, menjadi tunas. Semakin tinggi, semakin besar, semakin luas. Demikian berlalu mengikuti lajunya sang waktu.
Di atas tanah, berserakan daun-daun yang berguguran, ranting kering yang patah, kulit kayu yang terkelupas, akar menjalar dan satu dua batang pepohonan yang tumbang atas sebab yang entah. Tahun demi tahun berlalu mengubah rupa mereka menjadi seresah, membuatnya hancur, mengubahnya menjadi hara, menyuburkan tanah, bekal untuk yang bertumbuh setelah mereka.
Dari waktu itu, kelak, di sana, di tempat itu, barangkali kau akan menemukan tiga ekor serangga sedang bergerak di bawah kakimu, mendengarkan kicau burung yang sedang bernyanyi, atau tergelak pada serombongan monyet-monyet yang memandangmu dengan tatapan mata mereka yang penuh rasa ingin tahu itu.
Kau tahu, hutan adalah rumah, hutan adalah ruang hidup, hutan adalah tempat dimana banyak hal dahulu barangkali pernah bermu...
“Yuk! Jalan!”
Saya belum selesai melamunkan beberapa hal di atas ketika waktu istirahat kami dirasa sudah cukup dan kami harus melanjutkan perjalanan kembali. Belum ada separuh jarak yang kami tempuh menuju Leuweng Jero; Puncakan 2002 pun belum. Sebagai tim pendarat mestinya kami harus bergerak secepat mungkin menuju titik camp yang telah ditentukan. Ada banyak tugas yang harus diselesaikan.
Ambar bergegas berdiri lalu berjalan di baris paling depan; dia lah yang menjadi penunjuk arah untuk kami. Sebetulnya ada Seno juga di tim pendarat hari ini. Keduanya personel tim survival PDA-25 sehingga kondisi jalur ini rasanya sudah mereka kuasai.
Lantas berjalan di belakang mereka adalah Bella, Rija, Luthfi dan dua orang personel KSR. Rija berjalan tergopoh-gopoh seperti kerbau karena badannya yang kini semakin melebar. Saya ingat tahun lalu di sini ia sering terpeleset karena hal itu. Tentu saja saat itu kami tertawa melihatnya.
Saya dan Arnan berada di barisan paling belakang. Arnan sedang "sebat" dan saya masih berusaha merampungkan lamunan saya yang barusan saja mesti terhenti sebelum waktunya.
Tjiwidej, Desember 2016.
0 notes
Text
Mengikuti Sungai Pute, Menuju ke Kampung Berua
Informasi yang aku dapat sebelumnya, untuk menuju ke Kampung Berua, ada juga jalur darat yang bisa dilalui. Maka, itulah pilihan rute yang akan aku tempuh pada hari itu. Setidaknya, seperti itulah rencananya.
Tapi ya, kau juga tahu lah, terkadang manusia cuman bisa berencana dan pemilik semesta, dengan cara-caranya sendiri akan membikin hal itu tetap hanya jadi rencana saja. Dan kalau sudah begitu, memang kau bisa apa?
Aku memulai perjalanan dari dermaga Rammang-Rammang, tempat dimana perahu-perahu yang biasanya membawa pejalan menuju ke Kampung Berua akan ditambatkan.
Dzuhur itu dermaga tampak sepi. Tak ada orang. Hanya beberapa perahu kayu yang berjajar tidak rapi di pinggir sungai. Ukuran perahu-perahunya lumayan kecil, paling hanya bisa muat 4-5 orang saja.
Dari tempat itu aku mengambil jalan semi permanen yang ada di dekatnya, mengarah lurus menuju sebuah desa yang terlihat di depan sana, Desa Salenrang.
Bertemu penduduk, aku pun bertanya arah menuju Kampung Berua. Mereka menunjuk ke perbukitan yang ada di kanan belakang desa, sembari menyebutkan Telaga Bidadari. Jalurnya searah, begitu.
Selama perjalanan, aku melihat kuda-kuda yang sedang merumput di tegalan yang kosong. Juga kolam empang dengan air yang berwarna kecoklatan. Anak-anak kecil berlari-larian masih bercelana seragam sekolah. Bermain-main.
Semakin jauh meninggalkan perkampungan, petunjuk arah jadi semakin kabur karena dari jarak yang lebih dekat, bukit-bukit karst terlihat sama serupa. Ya, semacam gajah di pelupuk mata yang disebut-sebut dalam peribahasa lama itu barangkali.
Ketika menemu jalan bercabang, aku pun berjalan sekedar berpatok pada arah mata angin. Juga sebuah bukit yang sebisa mungkin sudah aku tanda sebelumnya.
Beberapa kali aku menemu jalan yang buntu. Terhenti pada sesemakan liar atau persawahan yang menyempil di antara perbukitan karst; ada sepetak yang bersaung kecil di dekatnya, sayang tak ada orang yang sedang berada di sana dan bisa aku tanyai jalan ke Kampung Berua.
Tapi tak apa, kalau pun jalannya buntu, aku tinggal kembali ke jalur semula dan mengambil arah yang selainnnya lagi. Tak ada perlunya terburu buatku.
Semakin mendekati perbukitan karst, jalan setapak yang aku ikuti mengarah untuk melintasi daerah rawa-rawa yang berlumpur, menembus rerimbun tanaman bakau dan nipah yang menghijau dengan segarnya. Juga meniti jembatan sederhana dari batang-batang bambu yang dilintangkan, menghubungkan kedua sisi daratan di pinggir Sungai Pute.
Lalu turunlah hujan. Deras sekali. Hujan di bulan Desember.
Aku berhenti, membuka tas dan memakai jas hujan. Rasanya berjalan di bawah hujan akan menyenangkan. Aku pun tetap berjalan, berjalan dan berjalan sampai kulihat ada bangunan seperti saung yang terlihat di depanku sana.
Aku berhenti.
Meneduh.
Menunggu hujan reda.
Tertidur.
Pulas sekali.
Dan baru terbangun ketika matahari sudah menghilang tertutup bukit-bukit karst.
Cerdas benar.
Mau tak mau, kembali ke arah perkampungan adalah pilihan yang paling bijak. Sebelum gelap tiba dan aku masih di tengah-tengah area rawa yang entah ini.
Kulipat jas hujan yang tadi kupakai dan mulai kembali berjalan. Berbalik arah menuju tempatku datang sebelumnya.
Lalu, melintaslah sebuah perahu berwarna kuning hijau. Bergerak perlahan menyusur pinggiran sungai di dekatku. Seorang laki-laki duduk di atasnya. Kulihat daun-daun nipah yang sudah dipotong ada di tengah-tengahnya, saling bertumpuk ke atas sampai melebihi tinggi perahu. Ada mesin tempel yang terpasang di bagian buritan, tapi tak ia nyalakan.
Melihatku, bapak itu merapatkan perahunya. Berhenti. Lantas bertanya, sedang apa aku di situ? Hendak kemanakah aku akan pergi? Maka baku bicara lah kemudian kami berdua, bertek-tok ini dan itu.
Ya, begitulah ceritanya hingga di sini sekarang aku berada. Justru duduk manis alih-alih sedang berjalan kaki. Menikmati pemandangan sore dari tengah-tengah Sungai Pute yang mengalir dengan tenang dan perlahan. Menumpang perahu milik Daeng Baso, nama laki-laki yang barusan saja aku temui. Ia penduduk Kampung Berua. Tempat yang aku tuju di hari itu.
Maros, Desember 2013.
0 notes
Text
Dua Lagu Terakhir Silampukau di EP Sementara Ini
Kau tahu apa yang lebih menyedihkan dari sebuah perpisahan? Ialah perpisahan yang kalian sepakati bersama dan kalian pikir itu adalah hal terbaik yang semestinya harus kalian lakukan. Kau tahu apa yang lebih menyedihkan dari perpisahan yang kalian sepakati bersama dan kalian pikir itu adalah hal terbaik yang semestinya harus kalian lakukan? Ialah perpisahan yang kalian sepakati bersama dan kalian pikir itu adalah hal terbaik yang semestinya harus kalian lakukan dan kau justru mengucapkan sampai jumpa alih-alih selamat tinggal. “Semoga detik ini mengendap selamanya. Semoga rindu tak membebani kita. Semoga.“ Apa salahnya, Tuan, dari sebuah ucapan sampai jumpa, katamu sekali waktu. Dari pelantang di pojok ruangan, terdengar sebuah lagu yang mengalun dengan suara pelan. Mengucapkannya, Nona, kau tetap menaruh harap untuk bertemu di lain waktu, kataku menjawab pertanyaanmu. Harapan, kau tahu, adalah sumber malapetaka besar jika kau tak pandai-pandai menjaganya. Lagipula, bagaimana bisa kau melupakan fakta bahwa pertemuan selalu bertaut erat dengan perpisahan? Itu adalah sebuah kepastian bukan? Dan kita hanya akan mengulang siklus ini kembali, lagi dan lagi. “Sudah saat berbenah. Sampaikanlah doa. Kuatkan kaki kencang bertahan.” Pada akhirnya kau hanya meninggalkan luka, aku hanya meninggalkan luka, kita sama-sama terluka. Kipas angin yang tergantung di langit-langit mendadak terbatuk-batuk. Suaranya sumbang sekali. Aku tak mau melukaimu, kataku. “Jika terpaksa, pisah di tengah-tengah langkah. Selamat tinggal, semoga bahagia.” Kau diam dan mematikan pemutar musik yang kian bersuara letih. Tak apa luka selama kita pernah bahagia, katamu. Aku akan tekun merawatnya seperti Sisiphus mendorong sebongkah batu. Itu pilihanku dan kau tak perlu mengkhawatirkannya. Hanya ada keheningan setelahnya. “Sampai jumpa. Sampai jumpa lagi.“
0 notes
Text
South Celebes Overland: Sebuah Pembuka
Aku melewati berjam-jam di depan monitor komputer kantor dengan rasa tidak tenang. Masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai dan tampaknya tak akan bisa terselesaikan hingga beberapa jam ke depan. Berdasarkan jadwal, pesawat yang akan membawaku ke Makassar berangkat pada pukul 21.30. Ini berarti aku harus meninggalkan kantor lebih cepat dari biasanya.
Hari ini hari Jumat, dan kita semua tahu, akses ke bandara nanti sore pasti akan padat-padatnya.
Kuingat, aku juga belum packing. Beberapa perjalanan terakhir, kebiasaan lamaku kambuh; aku jadi suka menunda-nunda untuk packing. Pun kali ini. Belum ada barang-barang yang sudah kumasukkan ke dalam tas. Tadi malam aku hanya memastikan barang yang akan kubawa sudah jelas keberadaannya; terutama pakaian. Hari-hari belakangan, hujan makin rajin mengguyur Jakarta, jemuran pun jadi lebih lama keringnya.
Untungnya, di antara beberapa hal yang mengganggu pikiran, ada satu yang cukup melegakan: aku sudah memesan tiket travel ke bandara. Sebelumnya hal ini cukup mengkhawatirkan juga. Dari kemarin sore aku sudah berusaha menelpon salah satu agen travel yang ada di dekat tempat tinggalku. Tapi hanya dering nada sambung saja yang terdengar, telponku tak pernah ada yang mengangkat. Maka tadi pagi kuputuskanlah untuk datang ke kantor perwakilan agen travel tersebut sebelum berangkat ke kantor.
Di sana aku mendapati hal yang mungkin menjadi penjelasan kenapa kemarin telponku tak pernah diangkat. Sekitar lima belas menit menunggu, di meja resepsionis hanya ada satu orang petugas. Dia melayani pelanggan yang datang, menjawab telpon yang berdering, juga mengurusi tetek bengek keperluan sopir-sopir dari mobil perusahaan travelnya.
Kupikir beruntung sekali perusahaan travel ini bisa mempekerjakan pegawai tersebut. Bayangkan saja, pekerjaan yang harusnya dikerjakan beberapa orang musti ditanganinya sendirian. Agak keterlaluan juga sih, sebenarnya.
Tapi aku tak bertanya dan memastikannya lebih lanjut, apakah benar ia hanya bertugas sendiri atau hanya kebetulan saja rekan kerjanya yang lain sedang tak kelihatan batang hidungnya. Rasanya tak bijak banyak bercakap dengan petugas tersebut, ada penumpang lain yang tengah menunggu pelayanan.
Begitu mendapat kepastian kursi, aku pun meninggalkan tempat tersebut dan berangkat ke kantor.
***
Aku terbangun dari tidur yang tak pulas. Kulihat jam di tangan, beberapa menit lagi menjelang tengah malam. Sejurus kemudian, dalam kondisi yang belum sadar sepenuhnya, terdengar instruksi dari pramugari untuk mengencangkan sabuk pengaman. Rupanya sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Hasanuddin.
Persis dengan perkiraan yang tadi telah disampaikan oleh pramugari, cuaca selama penerbangan memang tak bagus. Mulai dari Jakarta, hujan sudah lebat dan di jendela, kilatan cahaya sesekali muncul dari gulungan awan-awan hitam.
Beberapa kali pula terasa olehku pesawat seperti bergetar hebat. Rasanya mirip dengan naik angkot di jalanan yang berlubang di sana sini. Ngeri juga sebetulnya. Maka dari pada dirundung perasaan yang tak enak, aku pun memaksakan diri untuk memejamkan mata: tidur.
Ternyata, begitu bangun, rasanya sungguh tak nyaman. Kepalaku justru terasa pusing, mata berkunang-kunang, pun badan menjadi pegal. Aku sendiri tak paham betul apa pasti penyebabnya.
***
Desember ini, akhirnya aku punya kesempatan untuk mengadakan perjalanan ke Pulau Sulawesi. Sudah sejak lama aku ingin pergi ke sana. Kebetulan kali ini aku punya libur yang cukup panjang, 13 hari. Rasanya akan ada banyak tempat yang nantinya bisa aku kunjungi.
Semasa kuliah, aku punya banyak kawan baik yang berasal dari Sulawesi. Mulai dari kawan sekelas hingga saudara satu organisasi di mapala. Pada tahun terakhirku kuliah, aku bahkan sempat diajak untuk menjadi kiper tim futsal Sulawesi di kejuaraan kampus.
Ini stereotip memang, atau anggap saja hipotesis ngawurku saja, tapi mereka yang berasal dari Sulawesi umumnya punya korsa dan rasa setia kawan yang luar biasa. Aku punya banyak pengalaman yang menunjukkan hal itu. Ini sedikit menjelaskan juga sih kenapa ada banyak berita tawuran yang sering sekali kita dengar dari pulau alfabet K tersebut.
Adalah saat yang menyenangkan ketika menyimak kawan-kawanku dari Sulawesi sedang mengobrol. Logatnya seru. Nada bicara mereka seperti bertangga nada. Pun ada suku kata tertentu yang seringkali mereka tambahkan pada ujung kalimat: “ji”, “mi”, “pi”, “ki”, “to” dan rasanya masih ada banyak lagi lainnya. Oh iya, jangan lupakan “kodong”. Aku sering menahan senyum kalau ada kawan yang bilang gitu. Rasanya geli begitu di telinga. Hehehe…
Di luar alasan kedekatan personal, memangnya, ada apa saja di Sulawesi? Wah, ini pertanyaan yang keterlaluan sekali rasanya.
Sulawesi adalah pulau tempat Alfred Russel Wallace, si bapak biogeografi itu, mendapatkan banyak pencerahan terkait teori seleksi alam yang sedang ditelitinya. Banyak fauna ajaib yang ada di sini dan hanya ada di sini.
Sulawesi adalah pulau dimana kapal layar yang legendaris itu dibuat dan dilayarkan ke segenap penjuru lautan. Iya, aku sedang menyebut Phinisi, si cantik dua tiang tujuh layar.
Lalu, ini adalah pulau dimana ada tempat yang kehidupan tidak akan berakhir setelah kematian datang. Bahkan kabarnya, di tempat itu, pada momen-momen tertentu, kamu bisa melihat orang mati bisa berjalan kaki seperti manusia hidup pada umumnya.
Dan aku yakin masih banyak hal menarik lainnya di luar tiga hal utama yang menjadi perhatianku itu.
Oh satu lagi, Sulawesi adalah tempat dimana berperjalanan darat akan menjadi sangat menyenangkan. Di sana ada jalan raya Trans Sulawesi yang kesohor itu. Juga bus malam yang kabarnya luar biasa keren dan jauh sekali bandingannya dengan bus malam yang beroperasi di pulau Jawa.
Aku juga ingin sekali mampir ke Poso. Yang ini absurd memang.
***
Jauh hari sebelumnya, aku sudah mengirim pesan pendek perihal rencana perjalananku ke Sulawesi kepada Oca. Aku berencana mengajaknya untuk turut ikut serta dalam perjalanan ini. Kalaupun ia tidak bisa ikut, setidaknya bertemu dengannya berarti ada tempat buatku menginap selama beberapa hari singgah di Kota Makassar.
Tidak begitu juga sih sebetulnya, alasan utama dan yang paling utama, sudah lama nian kami tidak berjumpa. Aku penasaran betul bagaimana kabarnya sekarang.
Pagi di hari keberangkatanku ke Makassar, aku mengirim pesan pendek kepadanya. Berisi jadwal kedatangan pesawat yang nanti akan kutumpangi. Sampai aku masuk ke dalam pesawat, tak ada balasan pesanku yang datang darinya.
Berkomunikasi dengan Oca memang lumayan susah, seperti undian saja. Kalau cukup beruntung, dia akan membalas pesan yang kita kirim. Kebanyakan sih berujung pada tepuk sebelah tangan, tak ada balasan yang akan datang. Begitu juga aduan beberapa kawan yang sering mampir ke telingaku.
Oca kawan perjalanan yang menyenangkan. Orangnya santai, tak banyak mengeluh. Berkali-kali aku berperjalanan dengannya, hampir tak pernah kudengar ada gerutuan yang keluar dari mulutnya.
Banyak kawan yang merasa kehilangan dirinya semenjak ia pulang kampung. Apalagi ia menghilangkan diri dengan cara yang dramatis: suatu hari ia tak ada begitu saja, seperti tanpa pemberitahuan, kecuali sepucuk surat buat Muron yang secara khusus ia tinggalkan.
Nama terakhir ini sempat mengajakku untuk mengadakan “Ekspedisi Pencarian Kautsar”. Tentu saja ini hanya bercanda, namun aku yakin itu dilandasi dengan niat yang setulus-tulusnya.
***
Malam ini aku memutuskan untuk tidur di bandara saja. Perjalanan ke Kota Makassar akan aku lakukan pada esok hari. Aku memang tidak terburu-buru untuk memulai perjalanan. Lagipula, kupikir sayang menghabiskan uang untuk membayar penginapan yang hanya ditinggali beberapa jam saja.
Bandara Hasanuddin letaknya di luar kota. Ada beberapa moda transportasi yang bisa dipilih untuk menuju Kota Makassar. Yang pertama adalah bus Damri. Ini adalah moda favorit untuk para pejalan. Tiketnya murah. Sayangnya, bus Damri memiliki jadwal yang terbatas.
Yang kedua adalah taksi. Kebanyakan taksi yang mangkal di sekitar bandara menerapkan sistem tembak. Kamu musti pintar bernegosiasi untuk mendapatkan harga yang sama-sama enak untuk kedua belah pihak. Enaknya taksi, ketersediaannya adalah dua puluh empat jam. Kamu tak perlu takut kehabisan.
Selain dua itu, kabarnya ada pula pengendara ojek. Yang terakhir ini aku tak begitu tahu pastinya.
Begitu menemukan deretan kursi panjang yang kosong, aku pun segera merebahkan badan, berharap agar bisa segera terlelap dan mengenyahkan pusing yang masih hinggap di kepala. Sejak sampai tadi, dari pengamatanku Bandara Hasanuddin terlihat cukup rapih. Nyaman. Tidur di tempat ini rasanya tak akan buruk-buruk amat.
Di dekatku, ada pula penumpang lain yang juga memilih untuk menginap di bandara. Ini membuatku sedikit merasa tenang. Kalau pun sewaktu tertidur nanti ada gangguan, apapun itu, setidaknya aku punya banyak teman senasib sepenanggungan.
***
Baru sebentar terlelap, telpon genggamku bergetar. Aku melihat ke layar dan mendadak merasa gembira. Sangat gembira. Panggilan aku angkat dan di seberang sana, Oca berbicara dengan nada bergumamnya yang tak jelas itu. Lama tak jumpa, masih saja ia sulit bicara.
“Gue udah di luar, Muth. Lu dimana?”
Kawanku yang satu ini memang benar tiada dua kelakuannya. Kau tak akan pernah bisa menduganya sama sekali. Malam ini, ia dengan gemilangnya membuatku ketawa bahagia.
Makassar, Desember 2013.
0 notes
Text
Sebagai Pengingat
Yang mengecewakan adalah beberapa bulan selepas kursus narasi di Pantau, saya malah tak menyelesaikan satu pun tulisan. Ada sih keinginan menulis ini-itu, atau corat-coret paragraf pembukaan yang sudah bejibun, tapi toh tak ada satu pun yang mewujud menjadi sebuah tulisan yang rampung. Ndak perlu pikir panjang pun saya sudah menemukan alasannya. Malas. Tak ada disiplin. Juga komitmen. Walaupun buat saya menulis bukan suatu kewajiban yang musti dilakukan, tetap saja ini suram. Karena saya suka menulis. Karena menulis itu menyenangkan (meskipun ini bukan perkara yang gampang tentu saja). Oh, dan satu hal lagi, yang terpenting malah, rasanya menulis menjadikan saya tetap waras. Setidak-tidaknya selama beberapa tahun belakangan ini. Oleh sebab itulah maka, huh, tempo hari saya mencoba memaksa diri untuk menulis lagi. Kebetulan, memang ada yang sedang ingin dituliskan sih: cerita perjalanan ke India Utara. Lah eh, kok ternyata itu pun mentok, rasanya kehabisan suara; kata-kata. Bunyinya itu-itu saja. Monoton. Membosankan. Ya. Sebabnya jelas. Selain menulis, rupanya saya juga sedang kurang membaca. Kau tahu, Bung dan Nona, hampir mustahil kau bisa menulis bagus jikalau kau tak banyak membaca. Begitulah. Buku terakhir yang saya baca, yang mana itu sudah sebulan yang lalu, adalah Mati Bahagia-nya Albert Camus. Saya tamatkan sewaktu terkapar di ranjang hostel karena kena AMS. Suram. Hehehe. Lalu apa pasal saya malah menuliskan ini? Tak ada alasan khusus sebetulnya, sekedar ikhtiar pengingat diri saja, supaya bisa menulis dan membaca lagi, serta tidak banyak buang-buang waktu untuk “hal-hal kecil” yang rasanya kurang penting. Perihal terakhir inilah yang coba dijelaskan oleh penulis idola kita semua, Eka Kurniawan, di posting termutakhir blog-nya: “10.000 Jam Latihan (dan Mungkin Ketololan)”. Saya merasa tercubit setelah membaca tulisan tersebut. Ehh bukan, tertoyor sih lebih tepatnya. Di kepala. Dari belakang. Oleh tangan tak terlihat. Atau ya seperti itulah kira-kiranya. Ada juga sih rencana buat mencetak tulisan ini di beberapa lembar kertas dan memasangnya di dinding kamar. Saya sedang senang memasang berbagai macam hal yang musti saya kerjakan di dinding kamar. Biar gampang dilihat dan bisa menghantui pikiran. Seperti mimpi buruk yang datang sesuka hati. Oh iya, foto di atas adalah Dengarlah Nyanyian Angin-nya Haruki Murakami. Diambil pada sebuah sore yang hangat di Danau Segara Anak, sekitar awal Juni 2014. Novela bagus. Entahlah buku itu sekarang ada di tangan siapa.
0 notes
Text
Shuttle Bus Tiba Pukul Berapa?
Pesawat baru saja mendarat, sedikit meleset dari jadwal. Mesin masih terdengar menderu dan dua orang penumpang sudah bersitegang karena berebut giliran mengambil barang kepunyaan mereka dari bagasi kabin. Tak jauh dari situ, seorang pramugrari berdiri dan memangu, hanya melihat tanpa berusaha memisahkan; barangkali ia lelah.
Saya masih duduk di kursi dan memilih untuk menunggu. Memang tak ada perlunya untuk terburu-buru.
Di dalam bandara, tentara bersenapan laras panjang terlihat di banyak sudut. Ekspresinya serius, mukanya tegang seperti hendak berangkat perang. Saya memilih untuk tidak mencari-cari perkara meski hanya dengan bersitatap mata dengan mereka. Sedang malas ditanya macam-macam.
Melewati lorong-lorong yang cukup luas, saya melangkah mengikuti tanda panah di papan-papan informasi, menuju pengecekan di bagian imigrasi. Penumpang lain pun begitu. Bunyi pengeras suara sesekali terdengar, seorang perempuan mengumumkan perihal-perihal tertentu, bergantian menggunakan dua bahasa yang berbeda.
Sesampainya di sana, antrian di depan meja-meja sudah mengular. Saya asal memilih karena semua meja tampak sama ramainya.
Sepasang wisatawan berambut pirang terdengar sedikit beradu argumen dengan petugas imigrasi yang berbicara sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. Entah soal apa.
Antrian di desk imigrasi bergerak dengan lambat.
Saya mengecek tiket sekali lagi. Dari Kuala Lumpur pesawat mendarat di Terminal T3 dan pesawat saya ke Srinagar nanti akan berangkat dari Terminal T1. Terminal T3 adalah terminal untuk penerbangan internasional, sedangkan Terminal T1 adalah untuk pernerbangan domestik.
Saya melihat layar handphone, lumayan masih ada jeda beberapa jam. Masih sempat mencari makanan, pikir saya. Perut terasa lapar karena belum sempat berbuka puasa.
Begitu urusan imigrasi dan lain-lain beres, saya pun bergegas keluar bandara. Belasan orang langsung mengerubung; sopir taksi, sopir rentalan, calo tiket bus, petugas hotel, penjual togel, agen wisata, siluman serigala, manusia biasa, dll; mereka menawarkan macam-macam hal. Saya tak mengacuhkan sembari memasang muka datar saya yang kata teman saya menyebalkan itu.
Saya pun melangkah menuju loket tempat pengambilan tiket shuttle bus. Ada layanan shuttle gratis antara Terminal T3 dan TI di Bandara Indira Gandhi jika kau harus menyambungkan penerbanganmu di kedua terminal itu. Jika tidak, sayangnya, bung dan nona, kau musti membayar untuk layanan shuttle bus antar terminal itu. Tak ada yang gratis di sini, kata petugas bandara yang barusan tadi saya tanya.
Ohh iya, jangan tukar uangmu di dalam bandara. Kalau memang terpaksa, ya sedikit saja. Sudah kursnya jelek, ada potongan biaya pula. Pintar sekali memang.
Maka, di sini lah saya sekarang, menunggu bus yang sudah satu jam terakhir tak kunjung datang. Duduk dan melamun saja di atas trotoar. Di depan hilir mudik petugas bandara yang mendorong kereta troli panjang sekali.
Dan ketika tersadar sedang berada di India, rasanya saya jadi ingin bernyanyi: "Shuttle bus tiba pukul berapaaaa?"
0 notes
Text
Prolog
Kami berhenti di dekat belokan sungai dan Yash kemudian duduk di sebelah saya, di atas sebongkah batu, menyeka peluh di mukanya lantas menunjuk ke arah Desa Stok yang sudah tak jauh lagi. "Sebentar lagi kita sampai, Ang," ujarnya pada saya yang sedang berusaha mengeluarkan kamera dari dalam saku raincoat.
Pemandangan di sekitar kami ini indah betul, persis seperti lukisan mooi indie. Suasana habis hujan, arus Zanskar yang beriak putih, tanah yang merah, reruntuhan tembok, pepohonan berdaun hijau kuning dan kabut yang bergerak naik menuju ketinggian pegunungan Stok.
"Rasanya enam hari berlalu cepat sekali," kata saya padanya. Hari menjelang sore. Burung-burung mulai berterbangan dari entah. Saya membenarkan pemasangan rain cover di kerier yang sudah tidak rapih. Masih ada satu dua tetes gerimis yang jatuh dari langit.
Lalu saya teringat dengan puncak Stok Kangri, "Kemarin pagi itu rasanya seperti mimpi ya?"
Yash adalah satu dari beberapa rekan saya yang kemarin berhasil mencapai puncak Stok Kangri. Summit attack yang gila dan membikin saya ketakutan setengah mati, kami terjebak di tengah tebing gletser dan Yash sempat jatuh terperosok, terguling hingga belasan meter.
Setelahnya kami hanya diam, terpekur dalam keheningan masing-masing sampai kemudian Sidh datang dari belakang dan mengatakan sesuatu dengan nada bicaranya yang kocak itu, "Come on, mate. Chalo-chalo!"
Itu adalah ujaran yang dua minggu terakhir ini sering sekali saya dengar dan sampai saat ini saya tak tahu arti tepatnya. Yang jelas, ketika ada yang mengucapkan itu maka kami akan berdiri dan bergegas melanjutkan perjalanan.
"Hei, Yash. Apa arti chalo yang sering kalian ucapkan itu?" Yash adalah penerjemah nomor dua saya selama di India, ia banyak membantu saya jika sudah terjebak dalam obrolan panjang yang menggunakan bahasa India.
"Ehh, kau tidak tahu? Chalo artinya Lets Go, Ang. Bergerak, Ang, bergerak. Chalo-chalo!"
Ia kemudian berdiri dan menggerakan tangan kanannya dengan gestur mengajak, saya pun menyambutnya sembari tersadar bahwa perjalanan yang saya lakukan ke India ini tak akan pernah jadi jika saya tidak terus meyakinkan diri dengan mantra yang hampir serupa, "pokoknya jalan sisanya dipikir sambil jalan".
Rasa-rasanya India adalah sekalinya saya jalan dengan persiapan yang lumayan beneran, tapi malah banyak sekali rintangannya, bahkan hingga detik-detik terakhir sebelum berangkat. Dan mantra tadi itulah yang kemudian jadi pelecutnya.
Lahh, nggak ada hubungannya ya? Biarlah. Hehehe.
"Chalo-chaloo!"
0 notes
Text
Silampukau - Dosa, Kota & Kenangan
Alih-alih bernyanyi, mendengar Silampukau di album Dosa, Kota & Kenangan adalah seperti mendengarkan seorang kawan yang sedang berkisah perihal kota tinggalnya. Dalam hal ini, Silampukau bercerita tentang Kota Surabaya.
Sebagai kota yang dianggap metropolis, tentu kita mafhum dengan berbagai persoalan yang mendera ibukota provinsi Jawa Timur itu. Oleh Eki dan Kharis, persoalan-persoalan itulah yang kemudian mereka angkat lewat lagu-lagu dalam album yang dirilis pada bulan April 2015 ini.
Tema-tema sub urban semisal kemiskinan, kemacetan, lokalisasi, persoalan tanah (kami hanya main bola, persetan dengan gedungmu), miras ilegal, hingga kebusukan aparatur negara bisa mereka olah sedemikian rupa menjadi lagu-lagu yang terdengar segar.
Salah satu kuncinya tentu saja adalah perihal penulisan lirik lagu. Lirik di album ini adalah kualitas nomor 1. Par excellence. Liriknya dekat dengan realitas. Tidak berbunga-bunga. Pun berima tanpa terdengar seperti dipaksa.
Membacai lirik di Dosa, Kota & Kenangan bisa membuat kita merasa gemas, kadang sebal, sesekali juga mengundang senyum dan gelak tawa.
Dan bahkan untuk yang tak pernah sekalipun pergi ke Surabaya, saya kira akan terbius oleh suasana syahdu yang begitu baiknya dikesankan oleh lirik di dalam lagu “Malam Jatuh di Surabaya”.
Untuk penyimak lama Silampukau, kita masih bisa menemukan kesederhanaan mereka di EP Sementara Ini yang dulu membuat jatuh hati. Pun akan menemukan beberapa hal yang lumayan baru semisal penggunaan instrumen terumpet dan piano.
Secara umum, Silampukau terdengar lebih ramai dan semarak di album ini.
Album Dosa, Kota & Kenangan adalah salah satu hal terbaik yang dihadirkan oleh riuh rendahnya musik folk yang belakangan sedang popular kembali di Indonesia. Saya kira kita semua akan (sudah) bersepakat dengan hal ini.
Bandung, Desember 2015.
0 notes
Text
Deugalih & Folks - Anak Sungai
Album ini seperti pengharapan yang akhirnya terkabul juga, setidaknya buat saya. Kabar tentang pengerjaan album ini sudah terdengar sejak beberapa tahun yang lalu, tapi entah karena alasan apa, tak juga dirilis.
Sampai kemudian pada bulan Maret 2015 Deugalih & Folks melepas single “Bunga Lumpur” sebagai bagian dari promo album baru. Ada kabar pasti juga akhirnya, pikir saya.
Pada bulan Maret 2015, Anak Sungai dirilis di bawah label Demajors.
Deugalih & Folks sendiri bukanlah nama baru. Secara resmi mereka terbentuk sejak tahun 2010. Tapi sejak tahun 2007 pun sebetulnya embrionya itu sudah ada. Anggotanya adalah nama-nama lama yang sudah lumayan terkenal di scene musik Bandung, tempat saya dulu berkuliah. Beberapa di antaranya pernah merilis album sendiri (Galih – Siluet, Yadi – The Oracle, Galant – About A).
Di album Anak Sungai, terdengar Deugalih & Folks mencoba bereksperimen dengan genre folk yang mereka mainkan. Ada upaya untuk memadukan nafas musik tradisional dan musik modern. Dan hasilnya pun oke. Misalnya saja di “Heyya Kid” dan “Earth”, perpaduan kedua unsur tersebut terdengar pas dan rancak sekali. Di antara bunyi gitar, bas dan drum, tiupan tin whistle flute dan gesekan biola terdengar sangat catchy di telinga. Yang gandrung dengan musik ala-ala Irlandia pasti suka dengan dua lagu ini.
Ada beberapa hal yang sepertinya ingin disampaikan Deugalih & Folks lewat album Anak Sungai. Mulai dari pencemaran lingkungan, petani, rasialisme, perdamaian, juga tentang anak-anak. Mereka seakan ingin mengembalikan khitah musik folk sebagai musik yang asalnya memang dekat dengan isu sosial.
Oh ya, tentang Deugalih & Folks, susah buat saya untuk tidak menyebut musikalisasi puisi “Buat Gadis Rasyid”-nya Chairil Anwar. Bila pernah menyaksikan aksi panggung mereka, saya kira anda akan tertegun dan terdiam ketika mendengar teriakan (atau lolongan) Galih di bagian akhir lagu tersebut. Itu adalah pengalaman menonton konser yang tiada duanya saya kira.
Namun itu pula lah yang menurut saya agaknya sedikit hilang di album ini. Luapan energinya seperti tertahan. Tidak lepas. Seperti ada sesuatu yang membatasi mereka. Entah apa itu.
Salah satu teman saya dulu pernah bilang bahwa Deugalih & Folks adalah band yang tidak perlu bikin album, cukup tampil live saja. Saya tak tahu apakah ia sekarang masih keukeh dengan kata-katanya tersebut. Saya sendiri hanya ingin bilang, setidaknya sekali saja, kamu harus menonton live Deugalih & Folks. Lagu-lagu di album ini akan terdengar jauh lebih bagus lagi dari atas panggung.
Bandung, Desember 2015.
0 notes
Text
Warung Ayam Bewok
Barangkali kita bisa bersepakat dengan hal ini--kalaupun menurutmu tidak, aku rasa itu tak akan menjadi soal yang teramat penting sampai harus diperdebatkan--bahwa tak banyak hal yang lebih menyenangkan daripada bertemu dengan kawan lama yang sudah jarang untuk dijumpa.
Bersama mereka, ada banyak hal yang lantas bisa dibicarakan dengan bebas, baku sapa tanpa perlu mengikutsertakan prasangka, hubungan imbal balik atau perhitungan untung rugi laiknya sebuah proses transaksi--saya menjual dan kamu membeli.
Bertemu kawan lama adalah saat untuk mengingat kembali perihal remeh yang terjadi di masa dulu, seperti kisah-kisah lucu yang tak usang diceritakan ulang. Seraya menertawainya dengan perasaan yang selepas-lepasnya.
Atau di lain waktu, adalah saat dimana kita bisa saling berbagi tanya. Tentang segepok kecemasan-kecemasan yang kita rasakan. Seperti masa depan yang makin terentang dan kian bercabang-cabang. Apa yang barangkali kita sama-sama tak pahami dengan benar
...
Saya meraih segelas besar kopi es yang tadi saya pesan. Meneguknya dalam-dalam sembari mengingat-ingat sudah berapa gelas kopi yang saya minum hari ini. Empat atau lima saya tak ingat dengan pasti.
Di samping depan saya, Rendy duduk bersandar di punggung sofa. Sebatang rokok terselip di antara jari jemari tangannya. Sudah beberapa menit berlalu sejak ia terakhir menghirup rokok di tangannya tersebut; ujungnya terlihat memuntung sebagian, menunggu untuk patah dan jatuh menjadi abu.
Duduk di kursi sebelahnya, Anul menopangkan sebelah tangannya pada pinggiran kursi. Pandangan matanya tertuju pada layar smartphone yang ia pegang, jarinya naik turun seperti sedang men-scroll sesuatu.
Pada momen yang singkat itu, kami bertiga seperti sedang bersepakat untuk mengambil jeda sebentar, usai beberapa menit yang menyenangkan bertukar cerita. Malam itu, Rendy jadi bintang tamu utamanya.
Suasana di Bakoel Koffie, tempat dimana kami berada, lumayan ramai. Susunan meja dan kursi sudah terisi hampir seluruhnya. Terlihat satu dua orang pramuniaga yang berhilir mudik membawakan pesanan para pengunjung. Beberapa diantaranya sedang bergurau di dekat meja bartender.
Dari pengeras suara yang ditaruh di beberapa titik, terdengar tembang-tembang populer yang disuka banyak orang. Coldplay, The Script, Katy Perry dan Elly Goulding adalah sedikit nama yang saya ingat di antaranya. Sesekali mulut tanpa sadar bergerak mengikuti lirik lagu yang sedang diputar.
Saya melihat jam di layar handphone. Masih ada beberapa jam yang panjang hingga menutup hari. Di luar, orang-orang masih ramai berlalu lalang ke tempat-tempat yang mereka ingin didatangi. Deru mesin dan dering klakson kendaraan yang sayup-sayup terdengar dari jalan raya di seberang kafe adalah salah satu penandanya.
...
Rendy terlihat sedikit berbeda. Raut mukanya memancar lebih cerah. Suara tawanya pun terdengar dengan lepas. Ia tampak jauh lebih berbahagia dibanding tiga bulan yang lalu ketika saya terakhir kali bertemu dengannya.
Selepas mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang kontraknya sebagai pegawai di kantornya dulu, ia berubah suram. Kharismanya sebagai laki-laki terganteng nomor dua di sekre pun seakan melenyap begitu saja.
Hari-hari tersebut, boleh dikata Rendy seperti tak bersemangat menjalani hidup. Persis seperti samurai Jepang yang baru kehilangan tuannya di medan perang. Ronin yang keberadaannya tidak dihiraukan.
Saya ingat saat itu Rendy bercerita bahwa ia bercita-cita untuk memiliki usaha sendiri. Ia mengungkapkan rencananya untuk membuka sebuah warung makanan. Saya tergelak mendengar rencananya tersebut, sembari menyangsikan kemampuannya dalam memasak.
Di antara kawan-kawan yang lain, sepengetahuan saya, Rendy jarang terlihat sedang bersibuk-sibuk di dalam dapur. Sukar kemudian membayangkannya sedang berdiri di belakang kompor, atau duduk di depan cobek untuk meracik bumbu-bumbu. Hehehe...
Di sekre kami, laki-laki yang punya kemampuan untuk memasak sebetulnya adalah hal yang biasa. Apalagi yang jam terbang berkegiatannya lumayan tinggi. Biasanya, kemampuan mereka dalam masak-memasak pun akan berbanding lurus dengan jam terbangnya di lapangan.
Salah satu hal yang sering disepelekan ketika seseorang berkegiatan di alam bebas adalah mengenai makanan. Sering kali, bahan makanan yang dibawa berkegiatan tidaklah memadai, bahkan terkesan seadanya saja. Bahan makanan yang dibawa biasanya tidak jauh-jauh dari mie instan, sarden atau roti.
Padahal idealnya makanan yang kita konsumsi selama di lapangan dengan apa yang sehari-hari kita makan haruslah sebanding. Terutama dari segi kalori dan asupan gizinya. Komposisi dan pemilihannya harus diperhatikan betul karena menyangkut keselamatan dan keamanan diri.
....
Sekira tiga bulan yang lalu, bersama dengan Ebol, kawan satu angkatannya di sekre, Rendy me-launching usaha warung makannya yang diberi nama Ayam Bewok. Belakangan ikut pula bergabung satu kawan seangkatan mereka yang lain, Ilfan.
Sesuai namanya, menu utama yang mereka jual berbahan dasar daging ayam. Mulai dari ayam penyet, ayam jambang, ayam jenggot hingga ayam kumis.
"Semua punya rasa khas masing-masing, Nuk," begitu penjelasan Rendy kepada saya malam itu.
Selain menu ayam, mereka menjual pula beberapa menu sayuran seperti tumis kangkung, tumis toge dan sayur asem.
Malam itu, Rendy mengungkapkan pula rencananya untuk membuka warung di salah satu kawasan yang terbilang ramai di Kota Bandung.
Selama ini, Ayam Bewok memang masih terbatas pada layanan delivery order. Cakupannya pun belum terlalu luas, hanya di sekitaran kawasan Kampus Telkom saja. Pelanggan tinggal memesan dan makanannya akan segera diantarkan.
Membuka warung betulan tentunya memiliki tantangan tersendiri. Variabel-variabelnya menjadi semakin kompleks. Butuh strategi dan langkah-langkah jitu untuk meraih hasil yang diinginkan.
Dari segi keuangan saja, mereka kini harus memperhitungkan pula biaya sewa tempat, listrik, pajak hingga membayar uang keamanan. Pun cara-cara marketing yang harus mereka pilih untuk mempopulerkan warungnya hingga ramai didatangi pembeli.
Tapi sebanding dengan resiko yang menjadi semakin besar, begitu pula dengan potensi keuntungan yang bisa mereka didapatkan.
Apakah kelak Ayam Bewok akan berkokok makin kencang atau justru dipotong dan dijadikan gulai ayam, tak ada yang bisa memastikan itu hal itu sekarang.
Toh Rendy, kawan saya ini, sudah pernah membuktikan bahwa selama ada niat dan tekad, selama itu pula keinginan dan cita-cita pasti bisa diusahakan.
Ia adalah siswa yang tersebab kecerobohannya yang legendaris, eksistensinya “diabaikan” selama hampir dua per tiga akhir masa pendidikan. Dan ia tetap sukses bertahan hingga hari penutupan. Kisah klasik yang hingga puluhan tahun kelak barangkali akan selalu kami ceritakan-ulang jika sedang bersua. Untuk mengejek ia tentu saja. Hahaha..
Yang jelas, selamat memasak, ehh berjuang, Bung! Jangan lupa traktir untuk saya satu porsi.
0 notes
Text
Pulang Sebenar-benarnya Pulang
“Bagaimana cara menghentikan laju mobil di turunan?”
“Injak saja remnya. Repot betul.”
“Sudah.”
0 notes