Longlife Learner | Hobi merajut takdir dan menyulam cinta.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Hanya Sementara
Setiap masa ada rasanya, setiap rasa ada masanya. Mungkin sekarang kita merasa lelah, berat, dan susah, di hadapan begitu banyak rintangan dan cobaan yang harus dijalani setiap hari.
Tapi besok, bisa jadi kita akan merasa bahagia dan tertawa senang bersama teman lama yang sudah lama tidak bersua. Lusa, bisa jadi kita malah merasa putus asa dan seakan hidup tidak bermakna.
Apapun yang sedang kita rasakan dan akan kita rasakan nanti, semua perasaan hanyalah sementara. Tak ada yang abadi. Yang perlu kita ingat adalah, bahwa semua perasaan tersebut datangnya dari Allah.
Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini hanyalah milik-Nya. Rasa sakit, sedih, luka, senang, bahagia, tentram, semuanya dari Sang Maha Pencipta Rasa.
Maka, apapun situasi yang tengah kita hadapi, jangan lupa agar selalu dekat dengan-Nya, tempat bermuara segala rasa dan doa.
@alifrafdi | Kairo, 7 Oktober 2023
0 notes
Text
“When I met you, flowers started growing in the darkest parts of my mind.”
— Unkown
1K notes
·
View notes
Text
Menyadari Waktu
Kita selalu bersinggungan dengan waktu. Di satu sisi kita perlu waktu lebih banyak untuk mencerna dan mempertimbangkan. Tapi sampai kapan?
Karena bagaimanapun, waktu akan terus berjalan terlepas kita bergerak atau tidak. Keputusan ada di tangan kita. Harus kita yang tentukan.
Yang harus kita selalu sadari adalah, bahwasanya belajar adalah kegiatan seumur hidup. Tidak akan pernah ada kata usai.
Nah, karena itulah, skill untuk mengatur dan memanage emosi serta tenaga untuk mendapat hasil maksimal dengan usaha seminimal mungkin merupakan hal yang sangat penting.
Jangan lupa untuk selalu sadar akan apa yang sedang kita jalani. Selalu sadar bukan berarti selalu serius. Tapi, tentang memberikan makna dalam setiap aksi dan kata yang kita suarakan setiap harinya.
Kairo, 29 Juli 2023
2 notes
·
View notes
Text
Keterikatan Fana
Kita harus sering diingatkan berkali-kali bahwa segala sesuatu yang ada di dunia hanyalah perantara, bukan tujuan utama.
Ada kalanya kita sangat mencintai sesuatu (ataupun seseorang). Kita merasa bergantung pada harta, jabatan, kekuasaan, pasangan, tanpa menyadari bahwa semuanya hanyalah keterikatan palsu.
Kita harus sering diingatkan berkali-kali bahwa segala sesuatu yang ada di dunia hanyalah perantara, bukan tujuan utama.
Sebuah gelas harus dikosongkan terlebih dahulu sebelum diisi, begitu pula hati kita. Sayangnya, dewasa ini hati kita terlalu dipenuhi oleh dunia dan keindahan fana sehingga tanpa kita sadari hampir tidak ada ruang tersisa untuk mengingat-Nya.
Kalau ditelusuri, alasan Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembah Ismail adalah untuk membebaskannya dari keterikatan palsu.
28 Juli 2023
0 notes
Text
Tentu Saja Buat Kamu
Aku udah baca tulisan kamu. Suka, terharu, daan ga nyangka. Aku seneng bacanyaa, hhh daan kamu tuh aslinya emg kuat yaaa. Asli. Bener. Keren banget kamu tuh. Dengan segala apa adanya yang kamu punya.
Aku ge ngerasa sesupport itu, karena pada akhirnya kamu bisa karena diri kamu sendiri, kamu emg kuat, cuma perlu diyakinin ajaa tauu. You did well for this month, u did great, dan kamuu pasti bisa koo ngelewatin semua ini. Kamu punya kapasitas dan ketertarikan kaan di bidang dan tanggung jawab yg kamu jalani iniii :)
Kamu jangan lupa banyak2 terima kasih yaa sama diri sendiriii, semangatt teruuus, kalo lagi capek ya istirahat sebentar, kasih jeda, habis itu lanjut lagiii!!
28 Juli 2023
0 notes
Text
Pencarian Seumur Hidup
Salah satu bentuk menjaga diri adalah dengan membuat diri kita 'hidup' di lingkungan yang baik. Dan lingkungan yang baik tidak akan bisa ditemukan kecuali kita mencarinya terlebih dahulu.
Sesederhana mencari teman bertumbuh yang sevalue, sepemikiran, sefrekuensi. Mencari tulisan-tulisan dan postingan membangun yang membuat kita sering sadar dan intropeksi diri. Mencari makanan sehat, buah maupun sayur yang membuat tubuh lebih segar bugar.
Mencari konsumsi positif untuk otak, hati, dan tubuh merupakan proses panjang yang tidak mudah. Tapi bisa dicoba perlahan, satu-satu.
Kalau hari-hari dan lingkungan kita tidak dikelilingi dengan hal positif, maka hal-hal negatif lah yang akan hadir. Gak mau kan?
0 notes
Text
Just Do It
Kalau mau tulis, ya tulis aja. Kalau mau posting, ya posting aja. Kalau mau share, ya share aja. Lakukan apa saja yang mau kamu lakukan. Kita bebas melakukan segala sesuatu yang membuat kita bahagia. Apapun itu.
Loh, tapi kan kita ga bisa semena-mena dong. Ada pepatah yang mengatakan: Kebebasan kita sebenarnya dibatasi oleh kebebasan orang lain. Yang artinya, kita ga bisa melakukan semua hal tanpa mempertimbangkan orang lain.
Terus, harus gimana? Nah, di sinilah syarat dan ketentuan berlaku. Kita boleh melakukan apapun. Dengan catatan: lakukan semua hal tersebut secara sadar.
Sadar bahwa hal yang kita lakukan ini adalah sebagai bentuk menyenangkan diri sendiri, ataupun sebagai bentuk belajar, atauapun hanya ingin 'pamer' kerandoman diri, ataupun menyebarkan kebaikan dan hal-hal positif.
Sadar bahwa kita tidak bermaksud untuk menyakiti hati dan perasaan orang lain, sadar bahwa yang kita lakukan bukanlah suatu keburukan.
Intinya adalah: kita harus sadar, but don't overthink to much. Karena overthink will kill almost everything. Berapa banyak ketakutan muncul disebabkan kita terlalu banyak memikirkan pendapat dan opini orang lain atas tindakan dan tulisan yang kita sebarkan.
Padahal belum tentu mereka berpikir seperti itu. Bahkan, belum tentu mereka begitu serius ingin mengkiritik. Beberapa cerita kita hanya akan dianggap angin lalu oleh beberapa orang. So, jangan takut, jangan memperbanyak asumsi tak berdasar. Just do it mate!
0 notes
Text
Menemukan Rumus
Ternyata, ga semua konsep dan petuah yang kita dapatkan dari orang-orang hebat harus kita aplikasikan secara utuh. Beberapa hal harus kita coba untuk disesuaikan dan dimodifikasi dengan diri kita sendiri.
Kita bukan mereka, begitu pula sebaliknya. Dengan begitu, proses mengenal diri sendiri lebih jauh sebenarnya sangat penting agar output yang kita inginkan bisa menjadi jauh lebih maksimal.
Karena, jangan sampai. Kita ingin menjalani sesuatu yang ternyata belum sesuai dengan level diri yang masih terlalu rendah. Porsinya tidak sesuai, yang mana justru akan berakhir pada kesia-siaan. Bukannya meningkat, performa kita malah turun drastis.
Konsistensi adalah kata yang paling sering keluar untuk menerjemahkan segala bentuk keberhasilan dan kesuksesan. Namun, paling sulit untuk dijalani. Makanya, lagi-lagi: temukan cara yang sesuai untuk diri sendiri, rumus mana yang mau diambil?
0 notes
Text
Tulisan: Menata Usia
Ada beberapa orang, yang semakin bertambahnya usia maka semakin bertambah banyak pula kegelisahannya. Semisal perihal jodoh yang belum juga datang, atau rezeki yang sepertinya tidak bertambah. Seakan ia sedang berpacu dan dikejar oleh pencapaian dan usianya. Jika ada, coba tata kembali untuk apa hidupnya hari ini?
Tidak semua yang kita khawatirkan harus soal dunia, cobalah sejenak menenangkan diri dan bercermin pada kekhawatiran mengapa amal ibadah dan kebaikan kita tidak bertambah? Soal salat yang sampai hari ini masih tergesa-gesa? Perihal dzikir selepas salat yang tidak lagi kita rutinkan? Atau mungkin semakin jarangnya kita membuka lembaran Al-Quran padahal usia kita semakin menua.
Barangkali, kegelisahan kita itu semu, bias, sedikit yang mengkhawatirkan akhiratnya. Dan barangkali itu adalah aku sendiri, sang penulis nasihat ini.
Mari mulai menata usia, kembali bertanya untuk siapa hidup kita ini? Apa yang sebenarnya sedang kita perjuangkan? Kemana akhir dari perjuangan hidup ini?
Benar, menata usia. Agar tidak mubadzir usia kita, agar lebih terarah waktu yang akan kita gunakan yang ia pun akan terus berputar. Sampai masanya jatah waktu kita habis.
Menata waktu dan usia.
@jndmmsyhd
570 notes
·
View notes
Text
Momen Terbaik
Saat melihat ke masa lalu, aku semakin mengerti pola yang dari dulu selalu berputar mengelilingi semesta kecilku ini.
Bahwa aku semakin sering menulis catatan kecil atau sebait puisi dan sajak-sajak aneh ketika sedang dilanda jatuh suka.
Beberapa saat lalu, hal kedua yang aku rasakan setelah tertarik akan dirimu (yang pertama tentu saja bahagia) adalah: aku harus memaanfaatkan momen ini sebaik mungkin.
Sebagaimana kita semua tahu, setiap perasaan yang muncul, entah positif atau negatif, sifatnya fana. Akan selalu ada campur tangan Sang Maha Pembolak Balik Hati.
Karena itu, momen suka (aku biasanya menyebutnya cinta) ini akan aku nikmati. Kendatipun tidak hanya bahagia yang kurasa, aku dipaksa harus memeluk skenario terburuk yang setiap hari menghampiri di alam mimpi.
Bahkan, di tengah perjalanannya, keraguanku untuk bertemu seseorang perlahan menghilang. Aku sering menganggap bertemu orang yang cocok adalah sebuah kemustahilan. Tapi, semuanya berubah setelah bertemu kamu.
Ada harapan kecil yang muncul, kalaupun tidak membersamaimu (dengan segala pertimbangan cerdas dan rasional tentang kehidupan nyata yang harus selalu dihadapi), setidaknya aku jadi tahu bahwa (semoga) orang yang seperti dirimu dan dirinya tidak hanya satu.
Naasnya, aku bahkan masih suka malu-malu untuk menyebut namamu di hadapan-Nya. Sebab, belajar dari pengalaman: tingginya pengharapan berbanding lurus dengan rasa sakit yang dirasakan.
Di Atas Kasur, Di Depan Layar | Jumat, 19 Mei 2023
5 notes
·
View notes
Text
Pada Akhirnya
Pada akhirnya, ketidakpastian adalah kepastian yang selalu hadir dalam hidup, siapapun kita, di mana pun kita berada, masa depan selalu menjadi momok menakutkan.
Pada akhirnya, tak jarang, terlalu banyak memikirkan sesuatu (atau seseorang) menjadikan kita semakin cemas tidak karuan, lalu kebahagiaan serta senyuman yang kita pancarkan sehari-hari bagaikan topeng yang menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
Untuk apa kita berpura-pura? Memposting foto agar dikira bahagia, mengetik kata panjang agar dikira ramah, menyelipkan emot tertawa agar dikira humoris, memantik percakapan asyik agar dikira menyenangkan. Untuk apa?
Jangan terlalu sering berpura-pura. Karena pada akhirnya orang lain tidak akan sebegitunya peduli dengan apa yang kita rasakan. Kita bukanlah pemeran utama di kehidupan orang lain. Sama sekali bukan. Jadi untuk apa menghabiskan waktu menipu diri sendiri?
Walaupun, adakalanya menipu diri sendiri adalah kebohongan terbaik yang pernah aku lakukan: yaitu ketika aku setiap hari membuat sugesti betapa aku tidak menyukaimu, padahal yang terjadi adalah sebaliknya.
Tidak apa, lagi-lagi tulisan ini adalah pengakuan kesekian yang tidak akan sampai kepada pemiliknya. Tidak apa, lagipula aku yakin kita tidak bisa bersama.
Benar, aku rindu. Dan pesan singkat ini adalah obatnya. Bukan kamu.
Rabaa El-Adawea | 19 Mei 2023
0 notes
Text
Sehelai Akur dan Segenggam Jujur
“Assalamu’alaikum, yang.” Suara ketukan pintu beriring salam terdengar, Sarah langsung bergegas untuk menyambut suaminya pulang kerja.
“Wa’alaikumussalam, sayaang.” Balas Sarah sambil memeluk suaminya. “Duh, kamu pasti capek, sebentar ya. Aku buatin teh chamomile dulu. “
Namaku adalah Sarah Charlotte. Orang-orang banyak yang heran dengan namaku. Tentu saja, perpaduan nama ala Belanda dan Timur Tengah tidak banyak ditemui di sini. Selain unik, ada aja yang bilang bahwa namanya tidak cocok.
Jujur, sekarang aku sedang kebingungan. Sudah hampir 3 bulan kami menikah, namun Aku rasa Karl masih belum mau terbuka tentang profesinya. Setahuku, dia merupakan seorang pengacara. Tapi, ia sama sekali tidak pernah cerita apapun terkait teman kerjanya, kesulitannya, maupun kesibukannya di kantor.
Yang semakin meningkatkan rasa curigaku, kemarin lusa Lily (salah seorang tetangga) mengabari, bahwa ia melihat Karl keluar dari Rumah Sakit dengan baju yang berantakan. Bahkan, sekilas terlihat percikan noda darah di lengan bajunya. Padahal ketika di rumah, bajunya rapi dan bersih.
“Sayang, ini tehnya ya.” Ujarku sambil merapat ke pelukan Karl yang tengah duduk di sofa.
“Yang, aku ngerasa kayak orang paling bahagia sedunia tahu.” Ucap Karl tiba-tiba.
“Apaan sih? Kok tiba-tiba ngomong gitu?” Balasku.
“Bayangin aja, pulang kerja dipeluk istri, dibuatin teh, terus ngobrol santai kayak gini. Aku yakin para jomblo di luar sana banyak yang nangis kalau tau hidupku sebahagia ini. Haha.”
“Dih, malah gombal. Ga jelas. Aneh. Jelek. Sok keren. Huu.” Ledekku sambil tersenyum.
“Siapa yang gombal sih. Aku jujur kok ini, dari hati yang paling luar.”
Suamiku ini memang suka aneh. Harusnya kan hati yang paling dalam. Tadi pagi lebih parah. Dia nanya, menu apa yang paling enak. Aku jawab nasi padang plus rendang. Kata dia salah. “Jawabannya, menua bersamamu.” Ya ampun, waktu aku bilang penasaran sama isi kepalanya, malah dibalas, “Kepalaku isinya cuma kamu, sayang.”
“Dasar ga lucu, mana ada hati di luar. Yaudah, katanya kamu jujur. Aku mau tanya, kemarin lusa kamu ngapain? Kata Lily, dia lihat kamu keluar Rumah Sakit sekitar jam 5 sore. Yang sakit siapa? Bukannya kamu kerja?”
“Hah? Rumah Sakit? Mana ada. Dia salah lihat kali. Kemarin lusa sore itu, aku lagi rapat sama klien di Kafe. Ada kasus terkait harta warisan keluarganya. Kalo ga percaya, kamu bisa ikut aku besok. Kita ada janji ketemu.”
“Hmm, gitu ya. Iya deh, percaya. Maaf ya sayang aku curiga. Habisnya, aku kepikiran. Pengacara ngapain kok bisa keluar dari Rumah Sakit.”
“Gapapa kok, itu kan tandanya kamu perhatian. Aku malah sedih kalau kamu pura-pura ga tahu.” Balas Karl dengan lembut.
Saat itu, aku tidak menyadari bahwa Karl ternyata menghela napas lega. Lalu tersenyum tipis.
Keesokan harinya, aku menjalankan aktivitas seperti biasa. Pagi hari, sarapan sudah siap sedia. Siapa lagi yang menyiapkannya kalau bukan Karl. Ketika waktunya kerja, ia selalu berangkat sebelum aku bangun tidur. “Emang si paling workaholic,” gumamku.
“Tok, tok tok! Halo, Permisi! Ada orang di rumah!?”
Aku sempat heran, siapa ya yang datang. Aku kan belum check out belanjaan. Saat kuintip, ternyata benar kurir paket. Mungkin Karl memesan barang. Aku pun langsung membuka pintu.
“Iya, Pak. Suami saya memesan bar…” Loh, kepalaku kok tiba-tiba pusing? Kesadaranku perlahan memudar.
--
“Sar, Sarah! Ayo bangun, please! Sayang! Bangun, sayang!”
Mataku perlahan terbuka, aku perlahan mencoba mencerna suasana di sekelilingku. Tempat ini begitu berdebu, barang elektronik berserakan di mana-mana. Bahkan, lampu ruangan pun hanya remang-remang menerangi. Sepertinya aku ada di sebuah gudang. Kok bisa?
“Alhamdulillah, Alhamdulillah ya Allah. Syukurlah. Akhirnya kamu sadar. Kamu gapapa kan? Ada yang sakit gak?” Suara Karl terdengar sangat panik.
“Sakit? Ngga kok. Tadi aku lagi mau nerima paket kamu. Terus…, oh iya. Kok kita bisa ada di sini ya? Yang lebih penting, kok bibir kamu berdarah sih? Ada apa semua ini?” Balasku bingung.
“Maafin aku, Sar. Ini semua salahku. Gara-gara aku takut untuk jujur sama kamu terkait pekerjaanku. Aku takut, kalau kamu tahu semuanya, kamu bakal terancam bahaya. Aku takut kamu terluka, Sar. Aku gak nyangka bakal ada kejadian kayak gini.”
“Sekali lagi maaf ya, Sar. Sekarang, dengar baik-baik. Aku bakal ceritain semuanya ke kamu, tanpa terkecuali.”
2 notes
·
View notes
Text
Berdandan di Depan Cermin
“Pa, bangun, Pa. Udah jam 11 nih. Jadi berangkat ga?”
Aku seketika terbangun. Rasanya begitu menyegarkan, padahal baru 5 menit aku tertidur. Minggu pagi memang waktu paling nyaman untuk mengistirahatkan diri.
Di ujung mata, kulihat istriku sedang berdandan di depan cermin dengan raut wajah gembira. Setelah 25 tahun menikah, entah kenapa senyuman istriku justru semakin cantik. Ternyata benar apa kata orang, bahwa cinta sejati tidak pernah memandang fisik.
“Sebentar ya, Ma. Papa mau cuci muka dulu.”
“Loh, kok ngga mandi sih? Ini hari bersejarah loh buat anak kita. Kamu harus rapi dong, sayang.”
“Papa udah mandi kok tadi, pas Mama lagi belanja. Lagipula kan cuma tidur siang sebentar.” Jawabku sambil tersenyum.
“Alasan mulu. Yaudah deh, terserah. Buruan sana!” Balas istriku, ketus.
“Siap, Bu direktur.”
Hari ini merupakan hari kelulusan Rania, anak pertama kami. Dari kecil, ia selalu semangat membicarakan cita-citanya. Alhamdulillah, hari ini dia resmi mendapatkan gelar dokter spesialis kandungan dan ginekologi.
Bangga? Tentu saja. Orang tua mana yang tidak bangga melihat anaknya lulus dengan lancar. Di salah satu universitas ternama pula. Yang paling aku syukuri, anakku sangat senang dengan jurusan yang diambil. Tidak seperti ayahnya yang selalu mengaku salah jurusan.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah siap berangkat. Batik rapi, rambut klimis, sepatu pantofel mengkilap, bahkan mesin mobil sudah dinyalakan. Kurang satu hal. Yaitu istriku. Tidak heran, hal seperti ini sudah berulang kali terjadi.
Aku pun bersantai di mobil sambil mendengarkan penyanyi favoritku sejak masa SMA. Dari dulu, entah kenapa lagu-lagunya Tulus terasa begitu tulus dan lembut di telinga. Berkat lagu ini pula, Aku berhasil melamar istriku dengan mulus. Haha.
“Pa, yuk jalan.” Sapa istriku sembari masuk ke mobil.
“Yakin mau jalan sekarang? Ada yang ketinggalan ga?”
“Aman, Pa. Sudah Aku cek semuanya.” Balas istriku dengan yakin.
“Terus, kok aku telepon dari tadi ga diangkat? Handphone kamu di mana?”
“Wah, iya deh kelupaan. Sebentar ya, Pa. Sebentaar aja.”
“Tuh kan, kebiasaan. Dibilang cek dulu. Buruan gih.”
Perjalanan dari rumah kami ke UNAIR bisa dibilang cukup dekat. Hanya 40 menit kalau naik mobil, sudah termasuk macet. Namun entah kenapa, hari ini perjalanan terbilang cukup lancar. Bahkan menurutku terlalu sepi. “Wah, sepertinya ada yang aneh.” Gumamku.
Tidak terasa, tinggal belokan terakhir menuju Jalan Prof. Dr. Moestopo 47, tempat di mana Fakultas Kedokteran berada. Kami berencana untuk menemui Rania di sana, sebelum menghadiri acara wisuda.
“Ma, coba telepon Nia deh. Tanyain, dia lagi di mana.”
“Oke, sebentar ya, Pa.”
Di sisi lain jalan, terdapat truk sampah yang tengah melaju kencang. Sepertinya sopir truk belum tidur lebih dari 24 jam. Terlihat dari kantung matanya yang cekung menghitam. Kopi yang dibawanya pun sudah tak mempan lagi untuk melawan rasa kantuk yang semakin berat.
Aku yang sedang asik menyetir pun tiba-tiba kaget. Tidak ada sinyal atau pertanda apapun, truk di depanku bagaikan tidak ada pengemudinya. Aku hendak mengerem dan membanting setir. Namun, sudah terlambat.
“BRAKKK!!! PRANGG!!!”
Suara logam bertabrakan diiringi dengan nyaringnya bunyi pecahan kaca memecah kesunyian. Jalanan yang hening seakan berubah menjadi medang perang. Mesin mobil terbakar, bemper penyok, dan darah. Ya, darah. Darah istriku mengalir deras, sepertinya kita sama-sama terlalu syok untuk berteriak.
Aku mencoba untuk bangkit.
“Ma, bangun, Ma! Sadar! Bangun, sayang!” Ucapku lirih, memanggil-manggil istriku yang pingsan.
Namun, apa daya. Kesadaranku ikut memudar. Kepalaku pun berdarah, tangan kananku patah, kakiku remuk terhimpit. Abu-abu. Pandanganku semakin menghitam. Gelap. Padahal aku harus menolong istriku. Aku harus membawanya ke Rumah Sakit. Dan, bagaimana Rania?
--
Tiba-tiba, mataku terbuka. Langit-langit ruangan terasa sangat familiar. Lalu, aku mendengar suara yang tak asing di telinga.
“Pa, bangun, Pa. Udah jam 11 nih. Jadi berangkat ga?”
Di ujung mata, kulihat istriku sedang berdandan di depan cermin dengan raut wajah gembira.
2 notes
·
View notes
Text
Selamat Tinggal!
Dulu, entah waktu SD atau TK. Aku pernah kehilangan topi biru kesayangan. Itu topi hampir selalu dipakai ke manapun. Tapi hilang. Hilang di tengah perjalanan Kediri-Pare.
Kala itu aku dibonceng, angin kencang, padahal topinya sudah kupegang erat. Tapi apa daya, genggaman anak kecil yang sedang mengantuk sangat amat lemah. Sampai di Pare, aku menangis kencang tersedu-sedu sambil mandi. Merayakan kesedihan dengan air mata.
Sampai kapanpun, kehilangan sesuatu atau seseorang tidak akan pernah terasa menyenangkan. Pasti sedih. Bahkan sampai sekarang aku bingung, kenapa sih ada kata 'selamat' di dalam ucapan 'selamat tinggal'.
Selamat itu identik dengan hal yang membahagiakan. Selamat pagi, selamat ulang tahun, selamat dan sukses. Kalau 'selamat tinggal' mana ada unsur bahagianya. Make sense ga sih?
Tapi, hal yang ga masuk akal tadi baru ketemu jawabannya setelah bertahun-tahun. Kata 'selamat' dalam 'selamat tinggal' ternyata mengandung unsur bahagia secara tersirat.
Bahwa setelah perpisahan, akan ada pertemuan baru yang hadir. Bahwa, kesedihan setelah kita ditinggalkan ataupun meninggalkan tidak boleh berlarut-larut. Bahwa, setelah bersedih ga mungkin kita bersedih lagi, pasti opsinya cuma bahagia.
Boleh saja bersedih sepuasnya, kalau perlu dijadwal. Mau nangis berapa jam? Mau healing berapa hari? Setelah itu kita bisa kembali menjemput kebahagiaan. Jemputnya di mana? Dunia ini luas loh, jangan sampai kita terjebak di sudut pandang yang sempit.
Lagipula, dibanding selamat tinggal. Masih ada kata 'sampai jumpa' bukan? Bertemu kembali itu bukan sesuatu yang mustahil kok. Entah bertemu di masa depan, bertemu di keadaan yang jauh lebih baik. Atau bertemu di Surga-Nya.
Kamis | 9 Maret 2023
0 notes
Text
Gelas Pecah
Pernah ga sih merasa sakit hati karena omongan orang? Harusnya sih pernah ya. Karena setiap interaksi yang terjalin antar manusia pasti punya potensi untuk menyakiti. Baik yang baru kenal sampai orang terdekat sekalipun. Yang mana, hal tersebut wajar banget sih. Bahkan perkataan yang dibungkus dengan dalih 'bercanda' atau 'jokes' seringkali jadi penyebab sakit hati. Walaupun si orang yang bercanda tadi tujuannya bisa aja baik, cuma mau menghibur kita, bukan menyakiti. Nah, dari sini kita bisa paham. Mustahil untuk bisa tahu 100% niat, isi hati, dan intensi yang ada dalam pikiran orang lain. Impossible. Kita cuma bisa menerjemahkan apa yang kita lihat dan kita dengar. Jadi: jangan lupa untuk hati-hati. Hati-hati dalam berbicara. Ucapan yang kita utarakan itu adalah hasil dari pikiran dan perasaan kita. Kita mungkin ga sadar, kalau ada orang yang akan dan sudah tersakiti dari ucapan kita. Sepele sih, tapi justru hal sepele ini yang sering jadi sumber konflik. Hal inilah yang sering bikin aku berpikir setiap kali selesai ngobrol sama orang. "Duh, tadi aku salah ngomong ga ya? Candaanku bikin sakit hati ga sih?" Ini konteksnya general ya. Tergantung. Kalo sama bestie sih bisa jadi santai aja, mau jungkir balik juga bodo amat. Haha. Eh, tapi tergantung bestienya juga. Kata Sufyan Ats-Tsauri: "Aku melempar seseorang dengan anak panah lebih aku cintai daripada aku melemparnya dengan ucapan. Karena melempar dengan anak panah terkadang meleset dari sasaran, sementara melempar dengan ucapan tidak pernah meleset dari tujuan." (Tanbihul Ghafilin, Imam As-Samarqandi, hal. 219) Ucapan yang sudah terucap ga bisa ditarik, waktu ga bisa diulang. Mungkin kita bisa minta maaf. Tapi gelas yang pernah pecah ga akan kembali utuh seperti semula. Makanya, hati-hati, Lif. Kalau mau ngomong dipikir dulu. Asli dah.
Rabu | 8 Maret 2023
0 notes
Text
Balas Dendam?
Dua tahun belakangan, banyak manga dan manhwa yang mengusung tema reinkarnasi (lahir kembali) ataupun regresi (kembali ke masa lalu). Entah kenapa tema seperti ini tampaknya banyak digemari oleh pembaca, ratingnya tinggi. Melejit. Buat yang belum tahu, manga itu komik jepang, kalau manhwa komik korea (banyak di webtoon). Nah, saya pribadi cukup banyak juga membaca komik bergenre seperti ini. Seperti Solo Leveling, Medical Return, The Beginning After The End, Reborn Rich, Marry My Husband, dan sebagainya. Loh, kok malah jadi rekomendasiin komik ya. Yang saya amati, pola dari genre ini adalah: si MC (Main Character/tokoh utama, bukan pembawa acara ya) biasanya menghadapi situasi buruk. Entah dikhianati, gagal dalam kehidupan, bisa dibilang hidupnya terpuruk. Bahkan ada yang di situasi ingin bunuh diri. Lalu, entah dari mana kesempatan kedua datang. Kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang mereka lakukan, kesempatan untuk menjadi lebih baik dan balas dendam kepada si pengkhianat. Mereka belajar dari kesalahan, menjadi orang yang jauh lebih baik. Sekarang, kalau berkaca ke diri kita sendiri, pernah ga sih berpikir untuk kembali ke masa lalu? Atau setidaknya terbesit "Seandainya dulu aku begini, atau aku begitu." Saya sih pernah. Of course. Beberapa kali, tapi ga sering kok. Pikiran seperti ini biasanya hadir kalau kita merasa kurang, merasa gagal, merasa menyesal. Merasa kalau apa yang kita lakukan di 'masa lalu' adalah sebuah kesalahan. Padahal, masih ada 'sekarang' dan 'masa depan' yang sangat masih bisa diperjuangkan. Bukankah bagus kalau kita pernah gagal. Kegagalan adalah bukti kalau kita setidaknya pernah berjuang. Kita justru bisa belajar dari pola kegagalan tadi, dulu salahnya di mana? Kenapa ga berhasil? Sering dengar kan: bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman apapun: adalah guru. Terbaik. Terus apa tadi? Menyesal? Mau balas dendam? Nah, harus kita pahami bahwa balas dendam terbaik adalah bertumbuh dan berubah. Bukan mengubah masa lalu (yang ga bisa diubah). Yuk mulai satu-satu!
Selasa | 7 Maret 2023
0 notes
Text
Meong!
Mau cerita dikit nih, dikit aja. Jadi minggu lalu sekitar jam 3 malam gua tiba-tiba kebangun. Berisik banget. Si Cico entah kenapa meong-meong lama banget. Posisinya di ruang tengah (markasnya Cico) remang-remang tipis, plus sepi pula. Mungkin dia takut. Mungkin? Tapi takut apa? Atau dia lapar kah? Seketika gua berharap bisa ngomong pake bahasa kucing. Biar paham gitu. Dan akhirnya kepikiran lah. Kayaknya enak ya jadi kucing. Eh enak gak sih? Coba nih bayangin sebentar, sebentar aja. Kucing itu paling yang dia takutin: soal makan, minum, ya terus takut gelap kali ya kayak kasus si Cico tadi, haha. Kalau kita? Gua khususnya. Yah ga usah ditanya ya. Kalau dijelasin satu-satu ga bakal kelar walau ladang gandum udah berubah jadi koko krunch. Di posisi sekarang, entah orang-orang merasakan hal tersebut atau tidak. Sering aja gitu merasa takut. Takut perihal masa depan, pekerjaan, jodoh, karir, takut tidak bisa memberikan yang terbaik untuk diri sendiri, orang tua, keluarga, takut ini dan takut itu. Banyak takutnya, takutnya banyak. Banyak cemas, cemasnya banyak. Walau memang biasanya rasa takut dan cemas hadir karena ketidakpastian dan ketidaktahuan. Yang mana, justru hal paling pasti di dunia ini bukannya ketidapastian ya? Dan justru bagus kalau kita mengetahui bahwa kita ini tidak tahu, jadi bisa belajar. Jadi, sebenarnya gua jadi mikir justru merasa takut adalah anugrah. Rasa cemas adalah hadiah. Kalau kita tidak pernah merasa takut atau cemas sama sekali, kita ga akan punya 'strong why' untuk berkembang lebih jauh. Betul atau benar? Singkat cerita, karena tadi si Cico berisik banget. Gua langsung keluar kamar. Nyamperin Cico. Gua 'meong'-in balik. Tiga kali kalau ga salah. Udah. Habis itu dia diam. Dan akhirnya gua bisa tidur dengan tenang. Alhamdulillah. Eh tunggu dulu. Kok malah jadi overthinking: Kalau kucing Mesir dan kucing Indonesia ketemu, apakah mereka bisa berkomunikasi? Senin | 6 Maret 2023
0 notes