Text
Menuju Minggu
Dari waktu yang berlalu, anak manusia terus mencari tuju. Menjadi lebih akrab dengan rundung pula sandung.
Dan dunia tetap berputar walaupun terlihat lebih mendung.
Tanggalan di dinding mengering, selembar daun kering tak memilih tempat untuk jatuh. Dia tahu, tangkai yang akan ditinggalkannya melahirkan tunas baru.
Di mana kita hadapi peraduan, di mana kamu menjelang Minggu?
‘Jejak Perlawanan Mandela’ rampung di lembar 374. Sekondan muda-mudi tergelak, di antara mereka adalah sepasang kekasih menabur romansa.
Apa yang menjadikanmu ada, dan tak sudahlah kita menerabas rindu yang diam-diam menyelinap dari atap sebuah kedai kopi mungil di Jalan Ciliwung Dalam.
Sederhana, tidak ada yang bisa menenangkan sebaik kopi.
Bandung, 13 April 2024
0 notes
Text
Dongeng pagi untuk Rabu
Selalu ada yang pertama dalam setiap perjalanan. Di kehidupan kita lebih sering menerima kalah, diminta banyak sabar, didorong belajar merelakan dengan hati lapang. Dari semua likuk, setiap kita akan sampai pada waktu di mana setiap detik kehidupan adalah upacara perayaan. Merayakan menang dalam melawan ego, merayakan pilihan untuk mengalah saat tahu itu adalah satu-satunya jalan bertahan, merayakan tubuh yang masih bisa berdiri di kaki sendiri, dan merayakan sisa usia yang masih dipunya.
Bukan kah selalu ada pemeriah pesta, di setiap perayaan? Hari ini bangsa sedang mensyukuri hari jadi, hari yang katanya merdeka adalah harga mati. Tentu, itu sahih. Bapak pernah bernasihat, jika kamu dianugerahi usia muda, maka jalan hidupmu akan penuh juang. Dan jika kamu mati muda, berjalan lah tanpa ada kesia-siaan. Ibu menyeduh secangkir kopi untuk Bapak dan teh di teko tanah liat yang dibelinya dari pasar tua di Kota Purbalingga. Ceritanya dimulai, seorang pemuda cerdas mati muda, seorang lagi tidak, dia mati di usia 57 tahun.
Salah satu di antara mereka adalah seorang trengginas yang pandai berbahasa asing. Mana bisa telinga rakyat saat itu mendengar siaran radio, tapi pemuda itu bisa. Dia bawa apa yang didengarnya kepada seorang flamboyan penulis sastra. Trengginas itu berkata, Jepang kalah ini saatnya kita melangkah, memerdekakan diri, memerdekakan bangsa. Terjadi lah kisah Rengasdengklok.
Di sisa pagi, aku sampaikan cerita Ibu 21 tahun lalu ke telinga Rabu. Tapi dia hanya sibuk menjilati bulu di perutnya. “Rabu, aku beri tahu, pria trengginas yang pertama kali mendengar Jepang kalah, dan merencanakan penculikan Sukarno dan Hatta itu bernama Sjahrir. Sutan Sjahrir.
Dan pemuda yang pertama kali mendengar cerita Sjahrir tentang kekalahan Jepang adalah Chairil Anwar. Dia lah pemuda yang mati muda, tanpa ada kesia-siaan.
Bidak catur sudah siap, sudah waktunya berangkat. Seduhan kopi di sisa pagi memberi lebih banyak energi.
Selamat hari jadi Ibu Pertiwi.
0 notes
Text
How’s your day?
Pesan itu semalam datang tiba-tiba, secara sengaja, terbaca, dan dijawab sebelum pengirim pesan menghapusnya.
Masih ada sepekan menuju Minggu terakhir di bulan Juli, tersisa sepekan untuk menyelesaikan satu jurnal ilmiah. Kabar pemilu menghegemoni laman berita.
Sepotong roti panggang, beberapa irisan pepaya manis, yoga pagi, dan Rabu yang girang menyambut paket datang. Dia tahu itu miliknya dan hanya akan berpikir antara makanan atau mainan baru yang dijanjikan Aksara minggu lalu.
Akhir pekan memang hari libur meski nyatanya tidak murni demikian. Link Gmeet terjadwal pukul satu siang yang seharusnya hanya berlangsung singkat. Dan akhir pekan adalah hari di mana Rabu menagih raw food, entah dada ayam yang direbus atau salmon yang di-grill 3 menit.
Kopi pagi ini gayo anaerob yang kusangrai sendiri dengan banyak ke-soktahuan dan sedikit pengetahuan. Jika orang lain menikmatinya, kuberi tahu ya, sangraian ini adalah keegoisan tentang kerinduan mendapat seesap rasa kayu manis.
Aksara mengesap kopinya, gelas kaca geometri itu menjadi favorit. Diameter dan shape yang dirasa pas untuk sebuah harga esapan winey pada kopi. Jarinya lincah mengetik di layar jinjing, pikirannya sesaat bertumpu tentang bagaimana disrupsi menggerus budaya bermain dan pengetahuan anak-anak generasi kemarin dan hari ini. Jika generasi kemarin adalah mereka yang kini berusia 30-40an dan generasi hari ini adalah mereka anak-anak yang sedang berkumpul membahas bagaimana menjadi pemengaruh di media sosial, adalah lumrah jika ada keterbelahan iklim dalam berbudaya. Hal ini menyangkut tulisannya dengan seorang guru besar di sebuah universitas.
Sebentar, aku baru menyadari, ternyata latihan mingguan tenis dimulai 30 menit lagi. Haruskah datang ke lapangan atau menyelesaikan tulisan?
Rabu, Rabu, Rabu… kita tenis nggak hari ini? Jika dia berjalan menuju pintu, itu artinya kami akan pergi latihan, dan jawabannya.. dia merebah di atas lemari pendingin, memamerkan bulu-bulu di dada dan perutnya yang perlu disisir. Baiklah, silakan bersantai Rabu, karena kamu hanya terlahir untuk itu dan aku akan sedikit datang terlambat latihan tenis.
Aksara kembali mengesap kopinya. Ah ya, tentang keegoisan dalam sebuah sangraian kopi. Siapa pun bisa menyangrai kopi, percayalah itu. Eyang buyutku menyangrai kopi degan wajan besar dan kayu bakar. Kopi itu disangrai, menerus diaduk sampai matang merata. Anak, menantu, cucu, dan cicitnya rata-rata peminum kopi. Bahkan aku dan adikku justru menjadi penikmat dan penyeduh kopi rumahan.
Eyang buyutku mana tahu tentang apa itu specialty coffee, baginya kopi itu harus ada di rak dapur, terseduh di pagi hari, dan terjamu di ruang tamu. Sederhana dan membudaya.
Jika petani dan industri menyebut kopi sebagai komoditi, itu adalah sahih. Maka jika aku menyebut kopi sebagai budaya, apa kamu bisa menerima? Secara antropologis, kopi memang produk budaya dan kebiasaan aku, kamu, kita yang memulai hari dengan esapan kopi adalah kebudayaan. Aku menghabiskan waktu 2,5 bulan untuk membaca, mempelajari, dan menulis jurnal ilmiah tentang budaya yang jamak dalam masyarakat dan implisit dalam sebuah komoditi.
Sebuah komoditi merupakan budaya. Kedelai, cabai, umbi, hingga kopi adalah komoditi nasional yang hampir di seluruh belahan dunia tertanam di tanah mereka. Kegiatan manusia yang berulang, rutin, menjadi kebiasaan membentuk pola hidup mengonsumsi sebuah komoditi, terserap sebagai kebudayaan.
Aku merindukan aroma dan rasa kayu manis dalam sebuah seduhan kopi. Dalam catatan ini dan catatan lain, selalu terselip bahwa aku tidak menyukai kopi dengan pascapanen natural. Tidak perlu ada alasan, bukan?
Dari berbagai jenis kursus, 13 tahun lalu aku memilih mengkuti kelas kopi. 13 tahun lalu, itu bukan hal yang umum, ibuku pun hanya bergeleng kepala. Hari ini, kelas kopi menjamur searah dengan giat industri kopi. Semakin banyak orang kritis dengan seduhan dan esapan. Bahkan tidak sungkan mencari kedai dengan profil kopi yang diinginkan, meskipun profil kopi adalah tugas penyangrai. Ah, cerita ini terlalu panjang.
Selain kopi dengan pascapanen natural, semua jenis pscapanen kopi menggunakan fermentasi dengan kadar oksigen baik dan terukur. Tidak demikian dengan anaerobic coffee. Green beans difermentasi dengan memompa CO2 alias karbondioksida untuk membuang oksigen untuk selanjutnya difermentasi dalam ruang kedap oksigen.
Sesunggunya aku tidak menyukai menulis hal yang terlalu teknis, itu hanya akan membuatku egois karena isi kepalaku sekarang sedang membayangkan tabel periodik senyawa kimia. Apa aku hafal isi tabel periodek itu? Hafal! Anak IPA! Coba sebutin! Yuk, sambil ngopi!
Mencari beans dengan pascapanen kopi anaerob dan menyangrainya sendiri. Mesin kopi ini milik sebuah roastery yang kekenal pemilik dan kuyakin rate of raise sudah pada pengaturan tertentu. Oh ya, rate of raise (ROR) dalam sangrai kopi merupakan laju perubahan suhu biji kopi dalam waktu tertentu selama proses sangrai. Jika tubuh manusia perlu cukup air, maka mesin roasting butuh airflow dengan tingkat tertentu agar bekerja konsisten. Dan tugas seorang roaster adalah mengatur airflow entah menambah ataupun mengurangi volume aliran udara pada mesin sangrai.
Percayalah, ini tidak sepelik soal UN fisika, karena menyangrai kopi adalah sebuah seni. Tidak ada yang paling benar dari seni menyangrai kopi, tidak ada rem pakam dalam seni menyangrai kopi. Rumusan dan grafik pada buku dan jurnal-jurnal ilmiah menyangrai kopi sebatas panduan. Seorang penyangrai kopi tidak mencapai istimewa dalam satu kali, dua kali, bahkan puluhan kali untuk mencapai roast profile yang diinginkan.
Dan percayalah, momen paling mendebarkan adalah saat first crack. Rasanya seperti jatuh cinta dengan seseorang yang membuatmu berdebar di setiap tatapan dan sentuhan.
Sudah saatnya latiihan tenis, Rabu tertidur lelap, dan aku merindu Rabu yang bertanya, how’s your day?
0 notes
Text
Aamiin Terkuat yang Kulepas ke Semesta
Jika semua hari itu baik, maka hari ini adalah utuh yang tidak bisa dieeja dan hamdalah menjadikannya sempurna.
Bumi Pasundan tidak pernah berhenti menyejukkan anak manusia, tidak ada celah untuk gerah. Daun kering, akar sepuh, jalan-jalan di persimpangan, dan berjuta memori di kota ini, bak bilangan prima yang hanya memiliki satu dan bilangan itu sendiri.
Sebuah rumah di pusat Kota Bandung, jaraknya satu kilometer dari pusat pemerintahan kota, usianya lebih dari 40 tahun berdiri dalam ruas jalan yang sedekit lebih luas dari sedepa. Aku pulang, kami pulang.
Hi, apakah kamu mengingat berapa banyak orang yang mendoakanmu dengan ‘semoga kita kembali bertemu dengan ramadan selanjutnya.’ Bagiku, doa itu begitu mengharukan. Getarannya sampai hingga lubuk hati terdalam. Aamiin terkuat yang kulepas dan kuharap semesta meresapnya.
Akhir dari ramadan adalah ketakutan akan kehilangan paling besar. Hari yang membuatku takut tidak lagi bisa bertemu dengan ramadan berikutnya, pun terakhir untuk orang-orang yang kusayangi. Yang hidup pasti akan berpulang, kehilangan selalu datang tiba-tiba dan tidak akan pernah ada kata siap. Penyesalan selalu datang terlambat adalah klise paling nyata dan berharga dalam setiap waktu di bumi.
Tidak ada sederhana dalam penyesalan, mengapa ramadan tahun ini masih ada kesia-siaan? padahal Tuhan memberikan satu bulan untuk menjadi ‘kemudahan’ menabung pundi bekal akhirat. Maka setiap ucapan itu datang, kujawab dengan Aamin penuh khidmat. Syukur adalah perayaan paling besar. Semoga kita dipertemukan dengan ramadan di tahun depan, dan tahun-tahun yang akan datang. Aamiin untukku, Aamiin untukmu.
Sering aku berada di persimpangan, manatap nanar potret diri di jendela kedai kopi atau jendela rumah yang basah diguyur hujan, pun mungkin dengan kamu seraya berdoa, aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dan dengan penyelamatan-Mu dari siksa-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak bisa menghitung pujian untuk-Mu. Engkau sebagaimana engkau menyanjung diri-Mu"
Keistimewaan itu datang dalam wujud sehat untuk meminta maaf, untuk memaafkan, mendoakan diri, dan mendoakan kamu yang mungkin kita sama-sama dipeluk rindu tapi tidak bisa memeluk raga.
Mohon maaf lahir dan batin.
Bandung, 22 April 2023
0 notes
Text
Dia Memilih Namanya, Rabu
Menyetir di BSD sore hari di akhir pekan sebenarnya sedikit menjengkelkan. Setiap kali pulang, ada saja jalan yang ditutup karena perbaikan. Tapi aku tetap menyukai kota kecil ini. Tidak, BSD tidak lagi kecil. Kota ini bertumbuh gesit dan menjadi semakin sibuk sejak kedatanganku 1995. Sekarang menjadi kota polutif seperti Jakarta.
Jika dulu aku mengisi bensin tiga hari sekali, sekarang aku bisa mengisi bensin penuh satu kali dalam sebulan. Mobil yang aku beli sejak 2015 lalu, sekarang kutinggal di rumah orang tuaku. Dalam 2,5 tahun sejak berkantor di Jakarta Pusat, keseharianku tidak lagi membutuhkan mobil. Jarak apartemen dengan stasiun, bahkan tidak sampai satu kilometer dan aku hanya perlu 15 menit untuk sampai kantor dengan commuterline.
Kompleks rumah tinggal Chika berjarak sekitar delapan kilometer dari rumahku. Selama delapan kilometer itu pula, ingatanku kembali ke masa belia, saat mengenakan seragam sekolah putih-biru.
Setiap jalannya adalah memori saat camping pramuka, olahraga lari di jam penjaskes, berjalan di trotoar di bawah pepohonan besar dan bergandeng tangan dengan pacar pertama, tertawa riang dengan geng remaja populer bintang sekolah. Sesekali aku memilih duduk sendiri di kursi kayu di bawah pohon angsana untuk membaca novel Pramoedya Ananta Toer dan mendengarkan lagu dengan walkman. Iya, aku sudah berkenalan dengan sastra karya Pramoedya, Umar Khayam, Mochtar Lubis, Sjumandjaya, Goenawan Mohamad, dan Pablo Neruda sejak usia 14 tahun. Sesekali membaca Kahlil Gibran dan novel percintaan remaja seperti Dealova layaknya remaja pada umumnya.
Lagu Clocks-Coldplay selesai berbarengan dengan aku selesai parkir di depan rumah perempuan yang kukenal sejak 2016. Dia berlari dengan raut sumeringah dan langsung memeluk erat begitu aku keluar dari mobil.
Chika: Snowy, Ibu kamu datang”
Aksara: “Damn, I’m a mom of a kitten” Chika membalas dengan tawa lebar. Anak kucing itu duduk menunduk mengumpat di belakang kursi begitu melihatku. Sesekali dia memandangiku, dan aku terus menatapnya sambil mendengar cerita Chika menemukan anak kucing ini. Aku tidak langsung menghampirinya, membiarkan dia terbiasa dengan keberadaanku. 15 menit berlalu, dia yang dipanggil Snowy, kembali bermain dengan empat kucing yang ada di rumah itu.
Aksara: Namanya Snowy karena bulunya seputih salju?”
Chika: Iya. Aku sama Bunda manggil dia Snowy. Kakak ganti aja namanya. Dia cantik banget, kan”
Snowy tiba-tiba menghampiriku yang duduk di sofa, mengendus, dan mengusapkan tubuhnya di kakiku. Aku mengusap kepalanya, memangkunya, aku bahkan bisa melihat diriku di bola matanya yang biru, sebiru langit cerah.
Jam empat sore aku pamit dari Chika, membawa anak kucing itu ke vet untuk konsultasi dokter dan grooming. Aku terpaksa menitipkan Snowy di vet karena waktu grooming sudah lewat dan dokter baru ada besok pagi.
Keesokan hari di jam 10 pagi, aku menjemput anak kucing itu. Tubuhnya sudah bersih, lembut, dan wangi. Biru bola matanya selalu mengingatkanku dengan air laut.
Dokter: Kucingnya sehat, suhu tubuhnya normal, dan sudah observasi kan ya, selama 2 minggu sejak di rumah teman Mbak?
Aksara: Iya, dok.
Dokter: Snowy saya kasih obat cacing ya, jangan kaget kalau nanti pupnya ada cacingnya.
Aksara: Ok. Dia ras apa ya, Dok? Saya cuma tau kalau dia betina. Teman saya yang rescue Snowy bilang anak ini betina
Dokter: Snowy jantan, Mbak. Sepertinya dia Anggora, tapi ada persianya. Dia mix Anggora persia.
Aksara: Hah.. (Halah, Chika. Dia yang pelihara banyak kucing, rescue kucing, tapi gak ngenalin kalo nih, anak ternyata jantan). Usianya berapa ya, Dok?
Dokter: Sekitar 6 bulan, Mbak.
Hari-hariku hidup dengan Snowy dimulai. Entah apa yang akan terjadi dengan kami besok, lusa, dan hari-hari ke depan. Snowy tidak pernah merespons setiap kali kupanggil, melirik pun tidak, menggerakkan ekornya saat dipanggil pun tidak. Entah lah…
Dering teleponku nyaring, “Rabu? Rabu meeting jam berapa?” Snowy langsung menengok dan menghampiriku, setelah dokter selesai memasukkan obat cacing ke mulutnya.
Aksara: Snowy, it’s ok. Good boy.
Him: Snowy? Who’s Snowy? Perempuan yang meneleponku bertanya penasaran
Aksara: My cat.
Lagi-lagi anak kucing itu mengabaikanku saat kupanggil. Saat keluar ruang dokter, aku bergumam “Rabu kenapa ada meeting pagi, sih? Rabu kan gue kerja lebih awal” Saat itulah Rabu mengeluarkan suara mengeong halus.
Aksara: Rabu aku ada meeting pagi
Snowy: (Mengeong…)
Aksara: Iya, Rabu
Snowy: (Mengeong dan mencium pipi Aksara)
Langkahku berhenti di anak tangga yang baru kutapaki turun. Kupandangi mata kucing ini, aku menemukan tenang, aku menemukan nyaman. Pikiranku menuju satu titik, tentang seseorang yang kupanggil Rabu. Seseorang yang tetap menjadi Rabu dalam hidupku, meski kami sudah selesai.
Aksara: “Rabu..” Kucing dalam gendonganku kembali mengeong. Aksara masih tidak percaya dengan itu.
Aksara: “Rabu…” anak kucing ini kembali mencium pipiku.
Aku menghela nafas panjang. Semesta memang suka bercanda. Usia Rabu 6 bulan, itu artinya dia lahir di bulan Agustus. Kucingku menengok, menggerakkan ekor, menatap, dan menciumku saat aku memanggilnya, Rabu. Dia bahkan lahir di bulan Agustus dan aku adopsi di hari Rabu.
Aksara: Ya Tuhan, kisah macam apa lagi ini? Rabu dan Agustus. Aku kini hidup bersama Rabu dengan zodiak Leo dalam wujud seekor kucing. Semesta sedang mengajakku bercanda.
Sepanjang perjalanan BSD-Pancoran, berkali-kali kusebut nama itu. Rabu.
Selamat datang di rumah, Rabu. Rabu yang selalu menatapku ketika kupanggil, Rabu.
0 notes
Text
Rabu, di Awal Februari
Tidak ada yang namanya kebetulan, semua perihal datang dengan alasan dan tujuan. Bahkan daun kering yang jatuh dari ranting pohon.
Perkenalkan, aku Aksara.
Februari baru saja dimulai, dan hujan adalah teman paling akrab untuk wilayah tropis yang memiliki dua musim. Jam delapan pagi dari bangunan lantai 19, sebuah apartemen di Jakarta Selatan.
Haruskah aku memulai hari dengan menyeduh kopi, atau membuka pintu untuk melihat anak siapa yang menangis di depan pintu rumahku.
“Bismillahirrahmanirrahim. Selamat memulai Rabu”
Begitu caraku mengawali hari, meneguk segalas air putih, menggosok gigi, mengoles sunscreen meski belum mandi. Pekerja malam tidak butuh mandi pagi, bukan?
Ijen Lestari, 20 gram, light roast, grind size medium coarse, aeropres method, iced Japanese. Aku mendapat beans ini dari Pepeng Klinik Kopi, Yogyakarta. Aku sudah lama mengenalnya sebelum Rangga dan Cinta datang ke Kaliurang, Sleman dan membuat Klinik Kopi menjadi bagian dari Ada Apa Dengan Cinta? 2013, Klinik kopi yang kukenal ada di tengah Gejayan. Sang Empu, pasangan suami istri Pepeng dan Vivi kala itu hanya membuka kedainya di sore hingga malam.
Ah, bukan itu yang ingin aku ceritakan. Sebentar, aku mau meneguk kopiku dulu. Percaya deh, rasanya enak. Aku tidak sempurna dalam matematika, tapi kopi adalah matematika dan rumus kimia paling indah di semesta. Aku tidak peduli jika kamu tidak percaya. Tapi, ratio kopi yang tidak seimbang, tidak akan mengeluarkan karakter kopi itu sendiri. Seperti kamu, aku, dia, mereka, kita semua yang lahir dan tumbuh membentuk karakter, pun demikian dengan kopi.
Aku selalu terbawa suasana jika menulis tentang kopi, jika ada roaster, brewer, dan Q-grader yang membaca tulisan ini, hi, jangan dianggap serius ya. Album tulisan ini bukan tentang kopi kok, tapi tentu selalu ada cerita di tengah aksara yang ada.
Hmm… aku menghela nafas sedikit lebih panjang begitu membuka pesan dari salah satu grup WhatsApp. Memeriksa tautan yang dikirim lebih teliti dan memastikan link artikel itu siap terbit. Tap.. tap.. tap.. manusia-manusia pagi sudah mengunggah insta story. Dan, di sinilah cerita ini dimulai.
“Hi, adopt me please. Adopt me please” suara itu jelas terdengar di salah satu unggahan teman baikku. Seekor anak kucing ras, berbulu putih lebat, dan warna ekor yang bercampur dengan cokelat muda sedikit orange. Aku memandanginya berkali-kali. Aku pikir temanku baru saja menyelamatkan lagi satu kucing yang terlantar di jalan. Aku mengirim pesan dalam unggahan itu. “Mau!’
Setelah mengirim pesan, aku kembali meneguk kopi, memandangi layar kerja dengan pikiran yang tidak lagi fokus. “Damn, gue beneran mau adopt kucing itu? How come? Mau gue pelihara di mana? pelihara kucing aja nggak pernah.” Tidak lama, pesan WhatsApp masuk.
Chika: “Kak, kakak serius mau adopt kucing ini? Kalau kakak mau, aku gak akan biarin yang lain adopsi anak ini. Besok anak kucing ini mau aku bawa ke shelter biar dia dirawat di sana. Kebetulan kakak sepupuku cuma bisa anterin besok pagi”
Aksara: Jadi!
Chika: Ok kalau jadi, aku biarin di rumah dulu sampai Kakak ambil.
Aksara: Titip ya, Chika. 2 minggu lagi di hari Minggu aku jemput dia.
Sejak hari itu, Rabu, 1 Februari 2023, aku memiliki seekor anak kucing.
Entah siapa nama dan darimana asalnya, Chika memanggilnya Snowy. Potret inilah di mana pertama kali aku melihatnya dalam unggahan Chika di hari Rabu 1 Februari 2023. Tubuhnya kotor dan entah berapa banyak kaki kecilnya melangkah untuk sampai pada rumah yang menemukannya.
2 notes
·
View notes