"Menulislah, bumi tidak harus tahu bahwa penghuninya sedang patah lalu bergairah"
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Belum Sampai Titik
Rasanya memang tak pernah berakhir benar menggantungkan harap pada raga yang sudah tak ingin lagi. Lalu aku memilih terdiam dan berhenti berjuang; karena sepertinya aku tak banyak membantumu. Tapi sungguh, aku tak pernah menyesal; pernah merajut luka dengan ia yang terlihat begitu bersahaja.
Kau datang dengan gemuruh angin yang rusak
Kenalkan aku pada rintik paling keras di bumi
Riuh pikuk dalam kepalamu jadi sorotan utama
Menurutku ini gila, dengan aku yang seakan merdu dimatamu
Ku perhatikan tiap gusar dan gelisah di tiap malam tidurmu
Dan mencoba tegap menghadapi hari esok yang belum tentu
Keras pilu yang nampak pada punggung tanganmu
Menjadi genggaman paling tenang yang pernah bersatu denganku
Tak pernah rasa kasih tersebar sekuat ini
Energi yang rusak dari balik bijakmu
Menjadi doa paling serius yang aku panjatkan
Semoga kita bertemu pada pintu yang sama.
- @aineffable, 30 Juni 2019.
tag: @rubahlicik @makarimanaily
8 notes
·
View notes
Text
Comfortable in uncomfortable situation
Suatu hari diri di hadapkan dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspetasi, berharap bisa ikhlas merelakan seseorang yang sudah sangat sukar untuk di maklumi kehadiranya. Tentu kecewa rasanya, inginya dengan mudah berpindah begitu saja ke lain hati. Lalu nyatanya ikhlas datang dengan rasa yang lain.
Diri harus mengakui bahwa rasa ini terlampau besar untuk begitu saja dibuang dan dilupakan.
3 notes
·
View notes
Text
Pesan dari kebetulan
Di muka bumi begitu banyak kisah-kisah kebetulan yang akan mempertemukan sebuah arti pada pemiliknya. Seringkali kisah kebetulan tidak usah di hiraukan apa lagi di pikirkan sampai kesal sendiri bila si jawaban tak kungjung ketemu.
Suatu hari, semua orang bilang ini cuma kebetulan. Sudah tinggalkan saja. Tapi hati kecil tak pernah mau ikut berbohong. Rasanya sebuah kebetulan yang terjadi terus menerus dan terbaca polanya bukan lagi bisa di kategorikan sebagai kisah kebetulan yang “yaudahlah ya”. Bisa jadi itu sebuah pertanda, sebuah pesan yang ingin semesta sampaikan pada kita yang seringkali pura-pura tak peka.
Begitupun semua kebetulan yang membawaku terus saja ke arah mu, semoga bukan berarti pertanda yang buruk. Aku mendoakanmu, lucunya kadang aku lupa mendoakan diri sendiri. He
4 notes
·
View notes
Text
Patah Hati Produktif
Ku rakit semuanya; sekata, dua kata, tiga kata, empat kata, dan seterusnya tiap 24/7 dalam 3 tahun ini sampai seterusnya hingga membentuk langkah yang utuh. Tak banyak orang yang punya kesempatan untuk bicara sesukanya perihal hati, banyak yang terpaksa harus diam untuk meredam semuanya. Termasuk aku.
Ruam-ruam yang biru membekas pada memori, telah menjadi topik paling tajam untuk dituangkan. Seperti air ia begitu mudah mengalir dalam tulisan dari pada aku harus memilih kata untuk dibicarakan. Sudah selama ini rasanya tidak butuh lagi sebuah pembenaran secara dua arah, yang dibutuhkan sekarang hanyalah meyakinkan dan ikhlas pada diri sendiri.
Rasanya lucu, melihat luka paling menyayat bisa melahirkan diksi-diksi yang dalam. Bila kembali pada masa itu, rasanya memilih mati akan lebih baik. Tapi untungnya tidak mati, karena tulisanku bisa selalu membuatku merasa lebih hidup.
2 notes
·
View notes
Text
Random.
Bicara tentang 2 manusia yang sedang di mabuk cinta. Rasanya berbunga-bunga seakan dunia isinya cuma berdua, klasik kan? Tapi nyata. Seringkali membuat pelakunya lupa dan menutup mata akan realita sesungguhnya.
Banyaknya mereka refleksikan rasa kasih yang membuncah diibarat sebagai setangkai bunga yang sedang mereka kumpulkan, jika terus menerus akan berubah menjadi bucket bunga yang besar juga cantik. Tapi sehari saja lupa memberinya air, maka layu sudah jadinya. Bahkan sampai cepat mati tanpa sempat dirawat ulang.
Ketika di pikir-pikir lagi; mungkin akan lebih bijak apabila rasa kasih yang membuncah diibaratkan sebagai taman yang berisi tangkai bunga, duri, tanah, air hujan, matahari, cacing tanah, serangga, dan segala hal yang saling berkesinambungan. Sehingga ketika ada hal yang tak berjalan sesuai harapan, akan ada banyak perspektif yang mampu membantu kita tak sebegitu murkanya pada pengharapan yang palsu.
@aineffable
1 note
·
View note
Text
Karena aku sering sesak merindukan yang sudah mati,
Rindu yang masih hidup terasa manis.
2 notes
·
View notes
Photo
Forest: A Meditation. Manokwari, 2019.
(at Hutan Lindung Gunung Meja Ayambori Manokwari)
https://www.instagram.com/p/B0vqnS_BATt/?igshid=e1kzwcta00wp
Catatan tentang Hutan (Forest Notes)
Setiap kali aku berkunjung ke sebuah hutan, tak jarang aku dan Ben berakhir pada topik diskusi yang sama: Bagaimana ya jika suatu saat kami memutuskan untuk punya anak? Apakah kami bisa mengajarkan anak kami untuk memiliki sebuah kepedulian pada alam? Bagaimana caranya menunumbuhkembangkan sebuah kesadaran ekologis yang dalam, tidak antroposentris, namun juga kontekstual? Apakah kesadaran ini harus diturunkan, dituturkan, diajarkan, atau dialami sendiri oleh seorang anak? Aku merasa, kehidupan di kota besar seperti Jakarta hari ini sudah menggerus hubungan kasih antar kita dengan alam. Bahkan untuk menyempatkan sedikit waktu untuk mengalami alam sebagai sesuatu yang bernyawa dan kompleks dalam kesendirian saja sudah mustahi terjadi dalam keseharian kita yang banal ini. Sesederhana duduk dan menikmati detil lekuk akar beringin, megah warna-warni batang rainbow eucalyptus, atau silau-teduh di antara rimbunnya ketapang. Sesederhana menyadari bahwa kehidupan tidak melulu berputar di sekitar hidup manusia kota. Sesederhana menyadari bahwa kehidupan tidak melulu soal manusia dan keinginan-keinginannya saja.
188 notes
·
View notes
Text
Sikap adil pada diri
Seorang teman bertanya “nun kamu pernah ngga merasa kalo mantan kamu lebih bahagia sama pacarnya yang sekarang ditimbang sama kita dulu?” Dengan jujur aku jawab ngga pernah berpikir seperti itu.
Begini loh maksudnya. Setelah ditinggal ia yang pernah kita cinta sepenuh hati, pasti ada rasa sangat terluka dan muak tiap kali harus berpapasan dengan segala hal tentang dia. Jujur aja, hal-hal itu pasti menguras tenaga dan emosi. Seringkali menggunakan topeng jadi pilihan terbaik untuk terlihat biasa-biasa saja. Memang sebelum benar-benar biasa saja akan ada proses penyesuaian dari rasa sakit tersebut dan pembelajaran mengenai ikhlas yang harus kita imani, supaya damai aja hati.
Patah hati itu udah cape.
Jadi kalo ditambah dengan membanding-bandingkan diri kita terhadap hal yang ga berguna untuk apa? Udah cukup kamu telan bulat-bulat sebuah pengkhianatan yang hampir bikin kamu pingsan karena tersedak kan?
Sikapilah dengan dewasa.
Percaya kalo setiap orang punya porsinya. Contohnya ya itu, setiap orang yang pernah mengisi hati pasti punya ruangnya sendiri dalam memori kebahagiaan. Ruangnya tidak akan digantikan siapapun, hanya saja akan kosong memang ketika ia pergi. Dan tentu saja akan terganti oleh orang baru yang akan mengisi ruang lain.
@aineffable
1 note
·
View note
Text
Menulis
Sekarang ini menulis adalah satu-satunya cara agar bisa terasa didengar. Bukan untuk terdengar oleh orang lain, tapi lebih kepada mendengarkan diri sendiri mengenai diri ini (paham?). Ritual mencari tempat yang nyaman untuk membreak down pikiran supaya terbuka pintu-pintu ide untuk ditulis, rasanya jadi kondisi yang begitu hangat. Walau sekalinya pedih yang harus tertuang, dibuang, dan disayang rasanya akan berakhir lega meski belum ikhlas. Membiarkan jari berdansa bersama pena di lantai kertas, mulai dari kertas yang disiapkan dengan niat, ataupun diatas kertas bekas tumpukan draft tugas yang sudah lapuk. Diaduk oleh perasaan berkecamuk tiap kali menemukan kalimat pamungkas untuk ditulis. Benar-benar zona nyaman.
@aineffable
1 note
·
View note
Text
Berat Bergegas
Pertahananku runtuh seperti tak berpilar, aku terus terhanyut dan terbawa sedemikian rupa. Seperti tak mampu membentengi hati sendiri, dan aku terjerembab pada kisah semu yang klasik.
Tak terbayang rasanya bisa seperti ini, sorak sorai yang ku umbar hanya mampu jadi topeng yang tidak menenangkan. Ingin rasanya aku lepas dan berontak, lari mengejar mimpi yang lain. Berhenti, berbalik, meninggalkan dongeng yang tidur, acuhkan ia yang tak pernah beri senang.
Malam sudah semakin tua, Beritahu aku bagaimana caranya bebas. Sepeti apa yang selalu kau bilang, aku pun ingin terbebas. Bebas, jauh dari teduhnya tipuan matamu.
Lama sekali rasanya tidak menangisi seseorang.
Bukan, bukan tipikal menangis di kamar sendirian yang seperti itu. Tapi menangis begitu haru biru sebab bergetar melantunkan doa-doa sehabis sholat. Sudah lama sekali rasanya tidak.
Siang itu, setelah sholat dzuhur di hari jumat. Sungguh bergetar tangan ini menengadah memohon terkabulnya doa, sungguh berat kata keluar untuk meminta maaf pada diri, sungguh lelah menjumpai aku yang berpura-pura. Berdoa untuk keselamatan ia yang jauh disana, berdoa untuk ketenangan hati dari pedihnya penantian, berdoa dari jenuhnya hidup yang tak kunjung sampai, begitu banyak dan berkecamuk doa yang terucap.
Air mata mengalir tanpa ada rasa malu, membasahi alas yang tadi dipakai untuk bersujud. Lama sekali, setelah sekian lama memendam lelah dari rasa ikhlas yang masih dalam pencarian. Tentu tak semudah itu mencari ikhlas, tapi sungguh sudah benar-benar minta ampun atas rasa yang kucoba kubur dan tutup.
Hanya ini satu-satunya cara, kala 2 rasa manusia tak lagi bisa jadi sama.
Berdoa.
@aineffable
0 notes
Text
Dasar aku.
Aku tak mengenalimu lagi, serupa kerasukan jiwa yang lain dalam tubuhmu. Kau begitu lemah, begitu sukar, begitu tak berdaya juga begitu kalut. Dimana kau yang lalu; air wajahmu yang tegas, senyum hangatmu yang dalam, gelap matamu yang kuat, sentuhan jemarimu yang lembut dan tutur katamu yang rapih tertata. Seakan aku tak melihatmu pada dirimu, atau apa aku yang salah mengartikanmu?
Meski aku pernah tau. Jauh dalam di lubuk hatimu kau pernah membenci dirimu sendiri, seraya keparat kau juluki dirimu sendiri. Kau menangis seperti bukan laik-laki kuat, kau takut hidupmu hanya merugikan orang banyak. Wajar, itu namanya manusia punya kekhawatiran dan ketakutan terhadap dia dimasa depan. Tapi mengapa kali ini kau biarkan mereka merajai jalan hidupmu?
Kedua kakimu masih utuh, kedua tanganmu masih lengkap, otakmu masih mampu berencana dan hati nuranimu yang masih peka tuk merasa. Kuat dan bangkitlah, meski terlihat jelas gulungan ombak didepan mata siap menghantammu. Tapi sungguh kau sangat tau itu, karena kau lebih tangguh dari rasa takut yang kau pelihara.
Ada yang lebih pahit. Aku hanya bisa sampai disini, menulis keresahanku sendiri, tanpa tau harus berbuat apa. Bahkan sekedar menjadi tempatmu pulang untuk berbagi keresahan pun tak mampu. Tapi aku tahu Allah maha adil, mungkin raga ku takkan pernah sampai pada imajinasimu. Tapi dengan doa aliran energi akan dengan mudah tersampaikan padamu. Semoga baik-baik saja.
@aineffable
2 notes
·
View notes
Text
Belum sampai titik
Kau datang dengan gemuruh angin yang rusak
Kenalkan aku pada rintik paling keras di bumi
Riuh pikuk dalam kepalamu jadi sorotan utama
Menurutku ini gila, dengan aku yang seakan merdu dimatamu
Ku perhatikan tiap gusar dan gelisah di tiap malam tidurmu
Dan mencoba tegap menghadapi hari esok yang belum tentu
Keras pilu yang nampak pada punggung tanganmu
Menjadi genggaman paling tenang yang pernah bersatu denganku
Tak pernah rasa kasih tersebar sekuat ini
Energi yang rusak dari balik bijakmu
Menjadi doa paling serius yang aku panjatkan
Semoga kita bertemu pada pintu yang sama.
- @aineffable
1 note
·
View note
Text
Emotional Needs atau Expectation Needs?
note: tulisan ini sangat besar kandungan subjektifitasnya, jadi kalo ngga sepikiran its oke kan?
Waktu hidup menginjak di usia tengah belasan sampai umur 20-an memilih pasangan selalu didasari dengan ekspetasi, pemilihannya ditentukan berdasarkan keinginan yang secara ngga sadar dipengaruhi oleh harapan-harapan kita terhadap pasangan versi film/buku/idola kita. lucunya suka jadi begini, siapa yang paling dikira bisa memenuhi ekspetasi akan harapan “berpasang” paling mirip itu yang terpilih. Walaupun sering kali dibuat kecewa karena menaruh harap dan ekspetasi terlalu tinggi, hingga lupa kadang kenyataan sungguh lamban menggapai ketika dikendarai oleh orang yang tidak tepat.
Pada saat itu kegiatan lupa kenyataan sering terjadi, karena kenyataan di nomer duakan seakan hubungan akan selalu mulus sampai akhir waktu. Padahal hidup manusia itu harus terus berkembang dan perkembangan butuh kerikil, polisi tidur, tanjakan, turunan, dan banyak lagi halang rintang lainnya untuk dipelajari, dan ambil hikmahnya.
Setelah Umur 20an pasangan dipilih dengan 30% keyakinan, 40% ekspetasi, dan 30% kenyataan. Tentu masih ada ekspetasi, karena sejauh apapun kita lari dari ekspetasi akan selalu ada rasa harap yang tentunya disimpan walau hanya sekecil debu dan disimpan di relung hati. Dan menurutku harapan pun adalah awal dari ekspetasi bukan?
Saat ditinggal pergi jadi hal paling pait yang sangat sulit dilupakan, saat sudah all out dalam bahu membahu membangun hubungan yang diharapkan tahan lama. Saat sudah dibuat setinggi itu. Tapi saat itu pula diri mulai belajar ikhlas dan mengoreksi dimana salahnya, dimana yang harus dibenahi, apa yang harus dilengkapi. Dan lambat laun diri mulai lebih menyesuaikan dengan kebutuhan emosional, kebutuhan ekspetasi dijadikan sebagai hal kedua yang ditaruh setelah kebutuhan emosional.
Dan sekarang di titik ini, umur 24 tahun. Kalo harus flashback rasanya lucu melewati beberapa hubungan dari yang sangat standar sampai yang super bodoh dan diluar dugaan juga pernah. Dari yang namanya sangat mudah untuk lupa sampai yang bikin males makan berminggu-minggu juga pernah.
oke bukan itu pointnya.
Setelah melewati beberapa fase dan jatuh bangun dalam pilah-pilih pasangan, keinginan untuk dapat 1 orang yang paling tepat pun muncul tentu saja seiring makin banyaknya jumlah umur. Mungkin akan terlihat sangat pemilih setelah memiliki keinginan seperti itu. Namun lagi-lagi tak semua perempuan sama, mungkin untuk sebagian orang menjadi pemilih dan kompleks dalam memilih pasangan adalah untuk menenangkan hati dari ketakutan terulangnya paitnya masa lalu, dan mungkin untuk sebagian orang juga menjadi praktis dalam memilih pasangan adalah hal yang memang sudah di imani sedari lama. Kali ini memilih pasangan bukan lagi soal siapa profesinya, berapa banyak uang di tabungannya, apa saja prestasi yang sudah didapat, se-mancung apa hidungnya, setinggi apa badanya, sebobrok apa masa lalunya, atau segala hal yang seharusnya tidak menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan.
Kali ini pemilihan lebih didasari dari refleksi diri, seperti berkaca dan dalam-dalam coba dalami diri. Perhatikan kedalam diri, hanyut dalam gejolak emosional dalam diri. pikirkan matang-matang siapa kiranya yang bisa terima, sayang, tanggung jawab, dan setia pada diri ini. Dari 100 hal yang kita jadikan pertimbangan yang sesungguhnya hanya butuh beberapa point mendasar yang cukup untuk membuat kita akan merasa selalu dicintai, dihargai, dan bisa tenang menjalani sebesar apapun halangan di kemudian hari bersama ia yang tepat takarannya.
Dan lalu pada akhirnya perempuan-perempuan yang sadar akan kebutuhan emosionalnya lebih memilih ia yang nyaman untuk menjalani hidup yang selalu harus (mau sama-sama) berkembang ini. “You dont love someone because he’s perfect, but he’s perfect because you love him” -Anonim
- @aineffable
1 note
·
View note
Text
Nyore Sendiri
Bandung mendung sekali sore ini. Kebetulan sebuah kedai kopi sedang ada promo, akhirnya memutuskan untuk nyore disini. Persiapan perang sudah segala dibawa, dari mulai laptop, buku bacaan, notes, kotak pensil, dan laptop siapa tau mood berganti tiap 15 menit sekali. Ternyata kegiatan sore ini jatuh kepada melamun yang berkepanjangan, dengan sesekali menyerupun caramel machiato dengan extra caramel. Keributan dan hilir mudik yang sedari tadi mengerubung di pelipir mata ternyata tak mengganggu waktu melamunku sama sekali.
Melamun kali ini disponsori oleh kejadian yang terjadi beberapa minggu ke belakang ini. Hidup itu lucu ya, akhir-akhir ini jadi sering banget bepergian sendirian; sarapan, nugas, makan siang, nyari barang, dan lain-lain. Jadi seseorang yang menarik diri dari sekumpulan-sekumpulan yang dulunya menjadi kebiasaan untuk rutin hangout bersama. Bukan merasa ngga nyaman untuk pergi ramai-ramai seperti dulu, cuma memang asik ternyata pergi sendirian (ya walaupun kadang pengen juga ada yang nemenin).
Kalo lagi nyore sendirian kaya gini kadang suka kangen, ngebayangin di kursi-kursi kosong depanku ini isinya temen-temen aralku; yang kalo ketawa kaya dunia milik sendiri, tukar pikiran tentang ke-absurd-an hidup, update kisah-kisah yang terlewatkan, ngomentarin orang yang lewat, cerita keinginan di kemudian hari, dan sharing makanan juga minuman. Semua ingetan itu buat bibir setengah tersenyum, manis banget ingetan itu tapi sayang orang-orangnya sudah sulit di gapai.
Kadang juga kalo sedang nyore sendirian kaya gini, rindu sosok pendamping yang idealnya nemenin waktu-waktu senggang kaya gini. Meracau tentang segala hal, merancang visi misi bersama, bercanda hal-hal tak penting, cuma saling diam mengerjakan yang disukai, atau bahas buku yang udah di baca. seru sih, tapi sabar aja nanti juga pasti ketemu deh sama orang yang tepat hehe.
Perihal akan seperti apa aku 10 tahun lagi pun kadang nyempil juga ingin di lamunin. Kadang kalo lagi menerawang aku bayangkan akan jadi perempuan yang bekerja dengan kerjaan yang fleksibel, sehingga tak ada waktu yang terlewat antara aku dan anakku nanti. haha iya tau kejauhan, but why not?
Seru banget hidup sekarang ini, keputusan yang diambil ngga bisa semena-semena kaya waktu jaman smp. Sekarang berpikirnya harus panjang, meluas, tapi juga mampu taktis. Tiba-tiba bermasalah sama temen yang udah lama banget, tiba-tiba ketemu mantan yang lagi sedih, tiba-tiba mau magang, tiba-tiba udah harus tesis lagi, tiba-tiba harus nentuin kerja dimana, serba tiba-tiba (bukan mereka yang tiba-tiba, tapi emang langkahku yang terlalu santai). Semua masalah yang tiba-tiba muncul ini emang kelihatannya sederhana, tapi jujur lebih pusing sekarang harus gimana cari jalan keluarnya kalo dihadepin sama masalah secara jadi banyak pertimbangan, ya walaupun pembawaanya sudah bisa santay.
Ini obrolan ujungnya kemana sih? ngga ada. Cuma sekedar menceritakan hasil kontemplasi sore ini dengan diri sendiri aja, karena ya hidup ternyata se random itu. Yang harus di syukuri adalah masih diberi waktu senggang untuk sekedar rehat dari kebiasaan hari-hari yang lagi membosankan abis.
Nyore kali ini ditutup dengan melamun merhatiin hilir mudik dan pengunjung lain yang juga lagi ngopi. sampe yang bener-bener ngelamun kosong gitu, ah kenapa enak banget sih ngelamun.
@aineffable
1 note
·
View note
Text
“Ketika kamu harus merelakan fisik dan mental mu menjadi korbannya. Juga menjadi tertutup di waktu yg bersamaan agar tidak membuat oranglain susah. Saya ingin egois tersiksa, namun tidak ada bantuan pun saya tersiksa. Ketika saya ingin terbuka dan meminta pertolongan, pernyataan saya sering kali disangkal karena berlebihan. Akhirnya menjadi korban kembali lalu merelakannya. Bangkit pun enggan.”
—
1 note
·
View note
Text
Aku bisa (tak) kuat.
Ketika berlari untuk cari seseorang tepat guna yang mampu bantu kita untuk ringankan beban adalah satu-satunya cara ampuh agar kita cepat pulih? Lakukanlah. Biar semua bilang kau jahat menjadikannya pelarian, toh tidak ada salahnya mencoba bukan? Kalo pelarian itu berpotensi jadi tempat pulang seumur hidup, akhirnya bisa jadi indah bukan?
Langkah terasa semakin hina dina
Kemandirian yang sesungguhnya ada
Sejengkal demi sejengkal hilang sudah
Hanya kerapuhan yang merajai setiap tarikan napas
Dan keraguan di tiap kali kedipan mata
Terseok dalam gaduh mencari ini salah siapa
Sebab tingginya gelombang kerapkali mengetarkan langkah kaki
Sampai akhirnya sering kecewa saat pagi mata masih terbuka
Sampai hati hanya berlari mencari yang bersedia menampung
Menjadi tempat yang sungguh untuk bersandar
Menguatkan pundak tuk selalu percaya pada doa doa malam
Menyeka tangis jadi kuat yang tak terbendung
Menggenggam jemari untuk bisa saling percaya
Dan ku harap kita bukan hanya sekedar terbawa suasana.
@aineffable
2 notes
·
View notes
Text
Meracau
Sudah 3 tahun terakhir ini suara hujan sebelum tidur jadi kompani terbaik untuk mempercepat mata terpejam. Semenjak hantaman keras hari itu, di hari-hari selanjutnya tidur dengan tenang bukan lagi suatu hal yang mudah. Tidur dipaksakan memendam semua pikiran yang hinggap di kepala, lalu gelisah melewati malam dengan beberapa kali terbangun menjadi teman terbaik yang sangat mengganggu.
Mungkin ini efek dari alam bawah sadar yang terlalu terguncang, sehingga menyebabkan ketidak tenangan diri. Jawabanya? Tentu saja harus kita yang cari, agar masalahnya dan gangguannya cepat beres. Sebelum benar-benar beres kita bisa mengaturnya secara perlahan. Memang tidak bisa cepat penyelesaiannya (semua orang punya timeline yang berbeda) tapi setidaknya kita bisa buat supaya mereda. Sehingga akan mampu lebih jernih membreakdown apa sebenarnya yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu.
Munculnya kebiasaan baru (buruk) yang hadir akibat dari sebuah kejadian yang tidak sesuai harapan, akan sangat mampu melemahkan diri kita. Sehingga muncullah sifat-sifat yang berlebihan, seperti; gelisah, tidak percaya diri, sulit berkawan, ketakutan, merasa rendah, tidak mudah percaya, dan masih banyak lagi. Jangan sedih, ketika kamu menyadari perubahan itu maka berbahagialah sehingga kamu bisa menyelesaikannya satu persatu.
Jika memang awalnya kamu butuh untuk menyendiri? maka lakukanlah, tapi ingat jangan malu jika kamu butuh kawan untuk sekedar bercerita. Jika kepercayaanmu pada orang disekitarmu tidak sebegitunya, tenang saja masih ada fasilitas gratis dari para profesional yang akan membantumu meringankan beban.
Beri dirimu sebuah ruang penyembuhan yang layak tiap kali kamu merasa runyam. Sebuah masalah hadir bukan untuk membuatmu semakin manja karena terlalu banyak bertoleransi, tapi masalah akan membuatmu selangkah lebih kuat jika kamu terjang dan hadapi.
@aineffable
1 note
·
View note