adyastha
Adyastha.
1 post
For roleplay purpose only. @Adyaselalusalah on twitter.
Don't wanna be here? Send us removal request.
adyastha · 1 year ago
Text
Dia, dan Cuaca.
Tumblr media
Pertemuan pertama.
Cerah. Tidak, aku bukan membicarakan matahari yang sedang terik, menyinari lapangan dengan paparan cahaya yang hangat menerpa kulit. Cerah, mendeskripsikan sebuah tawa yang terlepas dari bibir seorang lelaki berambut ungu. Cerah, pancaran sinar bahagia dari matanya, menampilkan kilas balik kehidupan indah yang telah dilalui. Cerah... Lelaki itu, seperti matahari. Ah... Tidak, ia bahkan bersinar terang, melebihi sang surya penghangat bumi.
Adalah Madha, yang menyadari betapa terpesonanya aku akan eksistensi Sang Matahari. Ia merebut wadah berisikan pisang cokelat dari tanganku, membuatku tersentak kembali ke kenyataan yang menyebalkan.
"Mau kenalan sama Farhan?" Ujarnya saat itu. Sebuah elakan langsung terucap dari bibirku.
"Enggak. Farhan siapa?"
Madha tidak bisa menyembunyikan senyumnya, namun ia hanya bergedik. Paham akan diriku yang selalu menolak kenyataan.
Pertemuan ketujuh.
Hari ini, ada pelangi. Muncul setelah hujan ringan yang disinari oleh matahari. Wajah itu... Wajah itu, mengalahkan indahnya pelangi. Seringai kecil yang muncul setiap ia mencetak skor untuk timnya, atau tawa nyaring yang muncul tiba-tiba ketika ia sedang bercengkerama dengan teman-temannya. Aku tidak pernah bosan. Bahkan ketika lirikan matanya bertemu dengan fokus netraku, aku tidak beralih. Membuatnya tersenyum kikuk, dan melengos, menelan mentah-mentah salah tingkah yang terpancing.
Aku benar... Pelangi, muncul ketika hujan disinari oleh matahari.
Ia adalah matahari. Dan aku, akulah hujan yang selalu ia sinari.
Pertemuan dua belas.
Langit cerah, dengan matahari yang bersembunyi. Lelaki berambut ungu itu, terus-terusan menghindariku. Ntah, apakah aku ada salah? Apakah... Aku membuatnya terganggu?
Atau... Dia malu?
Frustrasi. Aku sangat ingin bertemu dan mengajaknya berbicara. Aku ingin melihat senyumnya kembali. Aku ingin mendengar tawanya yang—
"Adyas?"
Ah.
Matahari, telah kembali.
Pertemuan dua puluh.
Mendung. Mendung, suasana suram, isak tangis terdengar jelas di telingaku. Matahari sedang sendu. Kali ini, hujan memenangkan pertarungannya. Gemuruh di hati Sang Matahari terdengar jelas, menghiasi keheningan yang tercipta di antara aku dan Cerahku.
"Gue tuh, nggak pengen kayak gini," Ia berkata di sela-sela tangisannya. Tanganku refleks menjulurkan sebungkus tisu, yang diambil olehnya. "Gue bingung, kok bisa ya, gue nunjukin sisi gue yang begini di depan lo. Padahal kita belum lama kenal. Kita baru aja ketemunya."
Aku terdiam sejenak, merenung. Ah... Iya. Selama ini, aku yang selalu berusaha melihatnya. Karena ia adalah Matahari. Tapi Matahari, tidak bisa melihat Hujan.
"Ya, artinya lo nyaman gak sih, sama gue?" Jawabku, asal.
Yang kemudian, dibalas dengan anggukan. "Iya. Ada di dekat lo, bikin gue merasa aman, Adyas."
Pertemuan empat puluh tiga.
Cerah, namun berawan. Aku tidak bisa menebak suasana hatinya hari ini. Ia mengajakku pergi, ke sebuah kafe yang lumayan jauh dari kampus. Namun, lewat tiga puluh menit, ia hanya memutar sendok di minumannya yang sudah tercampur rata, tanpa berkata apa-apa.
"Lo lagi banyak pikiran, ya?" Mulaiku. Ia tersentak mendengar pertanyaanku, tersenyum, lalu mengangguk kecil.
"Iya. Kelihatan ya, kalau lagi berawan?" Jawabnya. Aku terkekeh. Ah, iya. Kita sudah cukup dekat, sampai ia hafal bahwa aku selalu mengasosiasikan dirinya, dengan cuaca.
Aku meletakkan alat makanku, menaruh fokus kepada lelaki rupawan yang sedang duduk di depanku saat ini. "Kenapa? Mind to share it with me?"
Ia menghentikan kegiatan mengaduk minuman yang hampir berbusa karena terus-terusan diaduk. Helaan nafas lolos dari bibirnya, membuatku mengernyit keheranan.
"Yas," Sorot matanya menajam. Aku terdiam, siap mendengarkan apapun yang akan terucap. "Lo pernah gak sih, naksir temen sendiri?"
Pertanyaannya menancap tepat di dadaku. Panik, bingung, malu, bercampur jadi satu. Nggak. Nggak, Farhan, lo nggak boleh naksir orang lain. Nggak. Gue... Gue suka sama lo, Farhan.
"Pernah." Tukasku, cepat. "Gue sekarang lagi suka sama teman sendiri deh."
Alis lawan bicaraku mengerut. Raut kecewa dapat aku lihat di wajahnya. Ia mundur, menyandarkan punggungnya sambil melipat tangan, sebuah kebiasaan yang ia lakukan saat sedang penasaran–namun–tidak–ingin–terlihat–peduli.
"Oh? Siapa tuh, Andhi?" Tanyanya. Aku tergelak.
"Ya bukan, lah. Andhi kan, sudah punya pacar." Aku menyedot minumanku dengan terburu-buru. Nervous, takut bahwa apa yang akan aku lakukan setelah ini, merupakan sebuah tindakan impulsif. "Gue... Suka sama lo, Han."
Dan hari itu, cuaca cerah berawan, terasa lebih hangat dan nyaman.
Pertemuan tujuh puluh delapan.
Berangin. Langit biru bersih, dengan matahari yang muncul malu-malu di balik awan. Aku sedang bersamanya, menyantap makan siang berdua merupakan hal rutin yang selalu kami lakukan semenjak pertemuan empat puluh tiga.
"Sayang, kamu malam ini kosong?" Aku ingin mengajaknya pergi. Menonton film bersama terdengar menarik untuk mengisi malam minggu, setelah satu minggu penuh drama dalam sebuah ormawa.
"Hm... Kayaknya kosong, kenapa?" Lucu. Ia menjawab, dengan mulut penuh chicken katsu.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung memesan tiket film yang pastinya kami sukai. "Kalau ada jadwal dadakan malam ini, tolak aja. Aku sudah pesen tiket nonton, aku mau nonton sama kamu."
Tawa kecil lepas dari bibirnya. Ia mengangguk, menyanggupi permintaanku yang sebenarnya terdengar kekanakan.
"Okay, Adyas. Malam ini waktunya sama kamu."
Pertemuan sembilan puluh empat.
Haaah. Lagi-lagi, Matahari 'meledak' di depanku. Aku... Capek. Pertanyaan yang terus berulang, usaha untuk mendapatkan validasi mengenai perasaannya, aku... Tidak bisa menahannya lagi.
Matahari itu, kini meredup.
Perubahan yang dapat aku rasakan, membuatku frustrasi. Aku ingin menjaga semuanya agar tetap baik-baik saja, tapi ternyata, semuanya melelahkan. Usahaku untuk membuatnya tetap dekat seakan tidak dilihat. Ia malah... Merasa bahwa semua adalah salahnya. Tidak. Aku yang memiliki isu, dan aku yang belum berdamai dengan masalahku sendiri.
Rasa sesal itu, kini hadir. Harusnya, malam itu, aku tidak mengiyakan pikiran yang berujung menjadi tindakan impulsif untuk mengakui semua perasaanku, terhadap sang matahari.
Kini, melihat cahayanya yang mulai memudar, membuatku tersadar— semakin lama aku menahannya, akan semakin menyakitkan untuknya.
Ketakutanku terbukti. Akulah yang tidak bisa melanjut semua ini. Sang Hujan, tidak ingin sang Matahari, terjatuh bersamanya menuju tanah yang dingin. Karena Matahari, tidak cocok dengan Hujan yang membawa bencana.
Matahari, harus tetap berada di tempatnya, menyinari dunia dengan cahayanya yang hangat.
Bukan pertemuan, bukan perpisahan.
Akhir-akhir ini, aku tidak memperhatikan cuaca. Aku juga... Tidak memperhatikan Sang Matahari. Hanya aku, aku, aku yang kupikirkan. Aku pusatkan seluruh perhatian dan pikiranku tentang diriku, sang Hujan, dengan gemuruh petir di dalam hatinya.
Aku... Mulai kehilangan arah.
Aku baru menyadari, bahwa diriku terlalu kompleks untuk Matahari yang cerah. Aku adalah Hujan. Hujan, disertai mendung, angin, petir, dan bencana. Matahari, adalah lambang bersyukur setiap insan, 'Syukurlah, aku masih dapat melihat matahari,' 'Syukurlah, matahari masih bersinar cerah!'. Sedangkan aku... 'Ah, hujan lagi. Sepatuku jadi kotor.' 'Hujan terus-menerus datang, lama-lama kita kebanjiran.'.
Pikiranku kacau. Semuanya berkecamuk. Awan-awan mendung dapat terlihat di kepalaku, menutupi berbagai kehangatan yang telah diberikan oleh Matahari selama berhari-hari ini. Takut. Yang tersisa, hanyalah sebuah ketakutan. Bagaimana... Bagaimana jika suatu saat, bencanaku, melukai Matahari dan menghilangkan sinarnya yang hangat? Bagaimana jika suatu saat, Matahari memilih untuk meninggalkan aku, karena aku telah melukainya?
Aku... Tidak bisa kehilangan Matahari. Tidak, aku tidak mau. Aku tidak mau mengambil risiko yang dapat merenggut apa yang telah kami miliki selama ini.
Ah... Ternyata, pelangi hanyalah bias cahaya yang dihasilkan oleh Matahari dan Hujan. Tidak permanen, walaupun sempat membuat bahagia.
Aku minta maaf, aku tidak bisa menjanjikan hal lebih yang dapat berisiko untuk menghancurkan apa yang kita punya saat ini, Matahari.
1 note · View note