Text
Kamu ga usah sedih lagi ya, ga usah kecewa sama diri sendiri. Kamu yang udah buat keputusan itu, kamu juga harus yang rasain resiko itu kalau tidak berhasil. Kamu udah berjuang sampai dititik ini buat keluarga bahkan buat orang lain juga, aku bangga banget.
Kamu ga usah ngerasa bersalah sama siapapun, bahkan ke diri sendiri. Semua rezeki udah diatur sama Allah, tetap berdoa dan jangan putus asa ❤
2 notes
·
View notes
Text
Aaaa gemes bacanya wkwk
Menjadi Ibuk : Ge Er Tingkat Dewa
Dulu gw ngetawain nyokap yang nganggep kalo cucunya (Atta) adalah kidz terkiut di seluruh dunia. Pernah di Madinah gw kasih lihat ada anak kecil kiut banget, kata nyokap,
“ih masih lucuan cucu Ibu, cucu Ibu yang paling lucu pokoknya.”
Ngaco emang ini nenek-nenek. Tapi setelah gw punya anak, gw juga ngerasain hal yang sama : BODO AMAT POKOKNYA ANAK GW YANG PALING KIUT. Walaupun, tetap aja gw mengakui anak orang-orang itu kok kiut-kiut juga.
Kadang gw bingung, anak gw kok kiutnya unlimited kayak kuota ya, padahal bapaknya ya segitu-gitu aja?
Ternyata emang mata ibu-ibu itu dibutakan oleh miliknya sendiri. Apapun bentuk anak/keponakan/cucunya, pokoknya itu yang paling kiut. Mau dibandingin sama anaknya Teuku Wisnu lah, anaknya tetangga sebelah lah, pokoknya kepunyaannya lah yang paling kiut.
Meski kurang masuk akal dalam teori visual, tapi kebodohan ini benar terjadi.
75 notes
·
View notes
Text
Thank you ✨
Bismillah..
Tadi pagi dapet nasehat yang uwadidaw sekaliii.. jadi ingin share~ semoga bisa menjadi nasehat buat kita semua yha.. terkhusus diriku pribadi :")
Sebenernya ngga hanya untuk perempuan ya, laki-laki pun sama. Karena emang hidup itu ya harus belajar terus.. belajar sepanjang hayat!
Semoga Allaah mudahkan yha.. Semangat belajar dan selamat bertumbuh!
Barakallahu fiikum..
Terima kasih Mbak Lola yang sudah menulis.. semoga Allaah menjaga beliau.. aamiin.
662 notes
·
View notes
Text
IKUT PADA PEMBERI KEBAIKAN
“Anak saya tidak mau nurut sama saya, maunya sama teman-temannya” _
Seorang bapak bercerita, anaknya itu susah diatur, tidak mau nurut. Tapi, anaknya turut pada teman-temannya.
Alasannya? Karena anak itu, mengikuti pemberi kebaikan.
_
Sejak kecil, sang bapak ini melarang banyak hal pada anaknya. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Setiap kali sang anak mau explore, mau menjawab rasa penasaran, sang bapak melarangnya.
Suatu ketika, ia main ke rumah temannya, bermain bersama. Di rumahnya, ada sebuah TV besar. Sang anak penasaran, lalu ia bertanya apakah ia boleh menonton TV, tentu sang teman menjawab boleh. Akhirnya, untuk kali pertama, sang anak bisa menonton TV. Hal yang selama ini, dilarang oleh bapaknya.
Banyak hal yang dilarang dilakukan di rumah oleh bapaknya, justru dilakukan di rumah temannya. Mulai dari menonton, bermain, eksplore, dan banyak hal lainnya. Bagi sang anak, temannya ini bukan hanya teman, lebih dari itu, tapi pemberi kebaikan.
Dan konsep manusia, ternyata seperti itu, Ia akan mengikuti sang pemberi kebaikan.
Sejak saat itu, ia selalu mengikuti apa perkataan temannya, dan tidak menuruti apa perkataan bapaknya. Simple, karena bagi sang anak, bapaknya bukan seorang pemberi kebaikan, melainkan orang yang menahan kebaikan.
_
Seringkali, Orangtua, melakukan banyak hal yang sebetulnya baik, terutama bagi anak. Sayang, terkadang cara yang tidak tepat, membuat anak menjadi salah paham, dan bahkan bisa jadi memiliki stigma negatif terhadap orangtua.
Maka, jika yang membaca ini adalah orangtua, pastikan kita belajar, bagaimana mengkomunikasiikan setiap niatan baik kita, sehingga anak tahu, bahwa apa yang kita lakukan itu demi dirinya sendiri.
Tapi, jika yang membaca ini adalah seorang anak, pastikan kita memaafkan mereka. Karena apa yang mereka lakukan, tak lebih adalah demi diri kita sendiri.
_
Yang pasti, jangan sampai orangtua, dianggap bukan pemberi kebaikan. Karena yang namanya manusia, ia akan ikut dan turut, pada pemberi kebaikan.
Bukankah begitu?
===
IKUT PADA PEMBERI KEBAIKAN Bandung, 2 November 2020 @choqi-isyraqi
182 notes
·
View notes
Text
Imposter Syndrome,
Kesempatan Untuk Mengenali Diri Sendiri.
Setelah mendapat gelar S.Pd banyak tetangga di kampung dan teman lama yang menganggap saya di atas mereka (soal pengetahuan). Mereka menganggap sarjana itu hebat dan pencapaian yang membanggakan.
Tapi dalam batin saya, saya tidak sehebat itu. Saya belum pandai bahasa inggris, mengerjakan skripsi juga banyak pakai Google translate. Copas jurnal sana sini. Bahkan, menurut saya anak SMA pun bisa mengerjakannya jika punya waktu dan niat.
Skripsi saya biasa saja. Aktifitas kuliah juga biasa saja. Anak SMA pun bisa duduk di kelas menyimak dosen, mengerjakan presentasi kelompok selama 8 semester.
Menjadi mahasiswa bukan sesuatu yang WAH seperti anggapan orang-orang. Bergelar S.Pd rasanya tidak membuktikan kalau saya sudah benar-benar menguasai jurusanku.
Toga dan jubah yang kedodoran seperti menanyai saya, apa yang berbeda dengan diriku 5 tahun lalu. Kok rasanya sama saja. Kenapa sekarang saya mengenakan jubah ini dan punya gelar baru. Apa saya pantas. Bukannya jubah ini untuk mereka para akademisi, para peneliti dan ahli yang kompeten di bidangnya. Kenapa saya ikut memakainya.
Selepas perayaan dan selebrasi ini, di luar sana beberapa tahun lagi mungkin ada yang tanya apa judul skripsiku. Apa yang saya teliti. Bagaimana hasilnya. Barangkali saya tidak bisa menjawab. Saya mungkin lupa dan tidak mempedulikan penelitianku dulu. Semua sudah berlalu. Seperti melewati halang lintang. Lakukan, lewati lalu lupakan.
Saya tentu lupa sebab saya tidak betul-betul concern dan ahli di dalamnya. Mahasiswa nyatanya tidak perlu ahli untuk bisa wisuda. Yang penting sudah terlewati. Yang penting sudah selesai. Yang penting sudah dapat ijasah. Yang penting sudah dapet gelar. Hidup mesti berlanjut. Dunia baru harus dijalani. Fokus baru mesti ditempuh.
Lalu mungkin ada yang bercanda, kamu beneran kuliah kan? Sudah lulus kan?
Mungkin saya bisa membela diri. Tentu. 8 semester penuh perjuangan, mengerjakan skripsi sampai berdarah-darah, mengejar-ngejar dosen pembimbing, minta tanda tangan, koneksi internet susah dll.
But I can't. That's fake. That's drama. Apa yang saya kerjakan dan lalui sepertinya semua orang juga mampu. Saya tidak sehebat itu. Saya hanya bekerja keras. Orang lain yang bekerja sama kerasnya dengan saya pasti juga bisa. Lalu di mana hebatnya saya?
Tahun 2018 saya sempat ikut program unggulan kampus. Saya lolos bersama 20an mahasiswa pilihan dari semua fakultas, dari ribuan mahasiswa. Mahasiswa lain mengganggap kami spesial. Mahasiswa pilihan yang paling unggul. Dapat treatment spesial.
Di luar diri saya bangga, tapi di dalam saya merasa fake. Saya bisa lolos bukan karena saya hebat, tapi karena keberuntungan.
Salah satu form-nya yang harus diisi dalam program itu adalah esai rencana exchange, study abroad dan setelah lulus S1 mau ngapain.
Waktu itu esai yang saya tulis cukup panjang dan ambisius. Sebetulnya saya hanya mengarangnya dan tidak berpikir bisa mewujudkan cita-cita di esai itu semua. Saya buka google, mencari nama Universitas keren di UK dan jurusan yang menurut saya masuk akal. Kebetulan panitia sangat memperhatikan esai yang ambisius. Alhasil saya diloloskan.
Saya tidak tahu berapa nilai toefl saya setelah keluar. Mungkin paling buruk. Saya melihat peserta lain juga tidak jauh berbeda dengan mahasiswa biasa. Kami hanya menang di keberuntungan dan kemauan mendaftar.
Semua mahasiwa bisa saja lolos jika kuota tidak terbatas. Saya tidak sehebat dan sespesial dalam bayangan mahasiswa lain. Keadaan dan programnya saja yang dianggap spesial.
Rektor secara langsung meresmikan program kami di depan ratusan peserta sidang senat terbuka. Kami diharapkan menjadi mahasiswa unggulan. Tapi benarkah kami unggulan. Benarkah saya unggulan. Kemampuan bahasa inggris saya saja masih di bawah mahasiswa-mahasiswa yang tidak lolos. Ada banyak mahasiswa yang lebih kompeten dari saya, tapi kebetulan tidak mendaftar.
Setelah program selesai, saya mendirikan komunitas menulis, menerbitkan buku bersama, mengadakan bedah buku, diundang di seminar. Barangkali mahasiswa lain takjub dan menganggap saya hebat, tapi di tempat duduk saya melihat kosong ke depan.
Kenapa mereka mau melihat saya bicara dan menganggap saya memotivasi mereka. Mereka juga bisa seperti saya. Saya tidak hebat. Saya tidak lebih unggul dari mereka. Tulisan saya tidak bagus-bagus amat. Banyak typo dan editing yang kacau. Jika disuruh membacanya kembali mungkin saya akan merobeknya. Saya kadang malu dengan tulisan saya sendiri. Tulisan saya tidak dahsyat dan sebaik tulisan penulis profesional. Saya sadar itu. Kemampuan saya biasa saja.
Di luar diri, saya bangga berdiri di depan peserta seminar dan melayani orang yang meminta tanda tangan. Di dalam diri, saya sadar bahwa kemampuan saya tidak sehabat itu. Saya tidak pantas bangga. Semua orang juga bisa melakukan apa yang saya lakukan.
Kadang saya takut orang lain tahu kalau yang saya lakukan itu biasa saja. Tidak sehebat yang dikira. Saya hanya menipu keadaan. Saya hanya beruntung. Saya hanya pura-pura jadi mahasiwa dan bergelar S.Pd. padahal kemampuan saya tidak beda dengan anak SMA.
Saya pura-pura ahli dalam penelitian skripsi saya, padahal saya hanya copas jurnal sana-sini, masukan data lapangan, dan pengolahan yang tidak serumit yang dipikirkan. Saya hanya pura-pura menjadi mahasiswa unggulan yang masuk program (yang katanya unggulan). Saya hanya pura-pura menjadi mahasiwa cumlaude. Saya hanya pura-pura jadi penulis yang tulisannya sebenernya tidak hebat-hebat amat.
Suatu hari seorang kawan mengenalkanku pada istilah psikologis yang mirip dengan keresahan yang selama ini saya alami.
Jauh pada tahun 1978 lalu, Psikolog klinis Pauline R. Clance dan Suzanne A. Imes seperti sudah mengenal baik saya. Mereka berdua menyebut kondisi ini Imposter Syndrome.
Katanya bahkan penderita berpikir bahwa bukti kesuksesan yang telah didapatkan merupakan hasil dari menipu orang sekitarnya, agar mereka terlihat kompeten dan berprestasi dibandingkan orang sekitarnya.
Jadi Imposter Syndrome ini merujuk pada kondisi yang dialami orang-orang "berprestasi" yang tak mampu menginternalisasi pencapaiannya. Gejalanya yaitu ketakutan akan dianggap sebagai "penipu".
Apakah saya sendiri?
Ternyata tidak. Di Vogue Inggris, Emma Watson berujar "Ketika saya menerima penghargaan atas akting saya, saya merasa benar-benar tidak nyaman. Saya merasa tidak pantas menerimanya."
Selain Emma, aktris asal Amerika Serikat, Natalie Portman yang menjadi pemeran utama Black Swan pun ternyata juga mengalaminya. Ia adalah sarjana psikologi di Harvard, ia bahkan mengatakannya saat berpidato tentang apa yang dirasakannya. "Hari ini, saya merasa sama seperti saat saya masuk Harvard pada 199.. Saya merasa seperti ada kesalahan - bahwa saya tidak cukup pintar untuk ada di sini dan setiap saya membuka mulut, saya mesti membuktikan bahwa saya bukan sekadar aktris bodoh,"
Menurut wikipedia orang-orang terkenal ini juga pernah mengalami sindrom tersebut, diantaranya: Tom Hanks, penulis skenario Chuck Lorre, Neil Gaiman, John Green, Tommy Cooper, Sheryl Sandberg, Mahkamah Agung Amerika Serikat Sonia Sotomayor, dan pengusaha Mike Cannon-Brookes.
Terlepas dari bukti eksternal kompetensi mereka, orang dengan sindrom ini akan tetap yakin bahwa mereka adalah penipu dan tidak pantas atas kesuksesan yang mereka capai.
Bukti kesuksesan mereka tersebut diatributkan pada keberuntungan, waktu yang tepat, atau sebagai hasil menipu orang lain, hingga berpikir bahwa orang lain lebih cerdas dan kompeten dibandingkan dirinya.
"Saya telah menulis sebelas buku, tapi setiap kali saya berpikir, 'oh, mereka akan tahu sekarang. Saya sudah mempedaya semua orang, dan mereka akan membongkar saya.''" — Maya Angelou
Ingat ayat bahwa Tuhan menutupi aib kita. Apabila aib kita dibuka, maka alangkah hinanya kita. Seandainya dosa kita berbau, barangkali tidak ada yang mau mendekati kita. Nah, orang dengan Impostor Syndrome ini merasakan rasa takut dan was-was jika aib atau keadaan sebenarnya mereka terbuka.
Namun kemudian psikolog Clance, sang pencipta istilah Imposter Syndrome ini menamakannya ulang dengan istilah “pengalaman penyemu” (Impostor Experience).
Dalam kutipan kata-kata Clance, "Jika saya dapat melakukannya lagi, saya akan menyebutnya sebagai pengalaman penyemu, karena hal tersebut bukanlah suatu sindrom atau suatu kompleks atau penyakit mental, hal tersebut adalah sesuatu yang hampir setiap orang mengalaminya."
Penggantian kosakata ini akhirnya mengubah perspektif orang agar dapat memahami bahwa mereka pun tidak terbebas dari pengalaman tersebut. Bahwa pengalaman penyemu merupakan fenomena umum.
Menurut jurnal "The Impostor Phenomenon" International Journal of Behavioral Science halaman 73–92 yang ditulis oleh Jaruwan Sakulku (2011), 70% orang akan mengalami setidaknya satu episode fenomena penyemu ini dalam kehidupan mereka.
Jadi ini pengalaman "experience" bukan syndrom atau penyakit mental. 70% orang di dunia mengalaminya dan punya pengalaman berada di kondisi seperti saya.
Pertanyaannya, berapa lama orang berada dalam kondisi ini?
Menurut saya ada orang yang nyaman berada di posisi "dianggap hebat atas pencapaian" dan tidak mau terlalu menghiraukan fakta kalau pencapaiannya itu biasa saja atau semua orang aslinya juga bisa (mengabaikan kemampuan asli diri sendiri).
Ada orang yang sadar dan jujur kepada diri sendiri bahwa "duh, aku gabisa terus-terusan pura-pura gini. Aku tahu aslinya akutu biasa aja gak seperti yang orang lain kira. Aku capek pura-pura hebat di hadapan banyak orang."
Orang semacam ini sadar bahwa pencapaianya belum seberapa. Jika ada yg bilang, "wih kamu hebat ya" dia malah malu sendiri. Sebab apa yang dilakukannya sebetulnya biasa saja. Orang lain hanya belum mencapai titik yang sudah ia raih dan orang lain tersebut barangkali punya keinginan untuk mencapai hal yang sama.
Contohnya, orang gak bisa nyetir mobil melihat orang bisa nyetir mobil. Dia akan bilang, wah hebat kamu bisa nyetir mobil. Padahal sopir itu merasa itu biasa aja. Nyetir mobil gak sesusah yang dibayangkan kok.
Wah kamu hebat ya bisa jadi guru. Padahal kita yang jadi guru merasa tidak sesulit dan serumit kelihatannya.
Wah hebat, kamu bisa menerbangkan pesawat. Padahal setiap penumpang bisa menerbangkan pesawat jika tahu caranya dan berlatih.
Wah hebat, designmu bagus. Padahal saya hanya ambil bahan dari freepik.com dan belajar Adobe Ilstrator dari Youtube.
Wah hebat ya, laporanmu rapi dan cepat selesai. Padahal saya hanya memakai formula excel yang bertebaran di google.
Wah bagus ya tulisanmu, bisa detail dan menarik. Padahal saya hanya melakukan riset dengan membaca data peristiwa di buku-buku sejarah, menjadikannya latar waktu dan tempat dalam cerita.
Wah bagus ya puisimu, padahal saya hanya banyak membaca puisi-puisi penyair besar dan meniru gayanya.
Wah hebat ya kamu gini gitu, padahal begini begitu. Semua orang bisa! Saya bukan nabi yang punya mukjizat khusus yang bisa melakukan sesuatu yang hanya saya saja yang bisa.
Masalah yang dihadapi orang yang nyaman berpura-pura adalah dia akan dihantui dengan perasaan was-was jika orang lain tahu bahwa dirinya biasa saja atau tahu rahasia yang disembunyikannya. Ia takut kalau sisi asli yang gak sesuai dengan penilaian orang lain itu terungkap. Pekerjaan yang dilakukan tidak serumit kelihatannya. Pencapaian yang didapatnya sebenarnya karena kebetulan atau orang lain aslinya juga bisa berada di posisinya.
Dulu waktu sekolah sampai awal kuliah saya senang dan bangga jika dianggap unggul/menonjol. Makin lama saya capek pura-pura bahwa saya gak sehebat yang mereka pikir. Saya capek membangun persona hebat dan hidup dalam rasa was-was kalau orang lain tahu bahwa kemampuan saya biasa saja. Bahkan semakin ke sini semakin gak nyaman dengan pujian dari orang lain.
Masalah orang yang sadar dan ingin keluar dari kepura-puraan seperti saya ini merasa tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri karena sadar bahwa kemampuan saya aslinya tidak hebat-hebat amat. Sadar bahwa jauh di dalam diri tidak sesuai dengan penilaian orang lain.
Bahwa saya kurang kompeten di bidang mengajar bahasa inggris meskipun anggapan orang saya ahli karena sarjana keguruan bahasa inggris. Saya kadang tidak percaya diri dengan kemampuan saya karena saya sadar saya belum menguasainya.
Tapi barangkali itulah definisi jujur pada diri sendiri. Yaitu sadar dan berani membaca keadaan diri yang sebenarnya. Menurut saya itu lebih layak dijalani daripada hidup dalam kepura-puraan dan dalam rasa takut.
Jujur pada diri sendiri ternyata lebih menyehatkan mental. Bisa membuat lebih rendah hati juga, bahwa jika tidak kompeten di bidang A maka saya mesti jujur. Bahwa meski dianggap hebat saya bisa tetap rendah hati karena sadar diri bahwa aslinya saya tidak sehebat yang orang lain prasangkakan. Bahwa yang saya lakukan hanya prosedural, pelatihan yang bisa diajarkan dan dikuasai oleh semua orang, tidak hanya saya.
Untuk menghadapi rasa malu saat orang lain kagum pada saya, "Wah hebat kamu ya sudah wisuda, wah hebat kamu ya sudah menerbitkan buku dll" saya dengan percaya diri akan menjawab "ah gak juga. Saya ndak sehebat itu. Semua orang bisa kok seperti saya."
Setelah itu, saya baru merenung. Ya, saya memang tidak sehebat yang mereka kira. Kemampuan saya biasa saja kok. Saya akan jujur pada orang lain sekaligus pada diri sendiri karena kenyataannya memang begitu.
Barangkali pengalaman penyemu ini adalah kesempatan saya untuk lebih dewasa dan rendah hati. Bahwa profesi apa pun tak bisa disombongkan, bahwa pencapaian apa pun tak bisa ditinggi-rendahkan. Bahwa banyak pekerjaan yang bisa dilatihkan dan semua orang bisa.
Saya tidak perlu menyembunyikan "proses mudah yang nampak wah" untuk mendapatkan pujian atau penilaian orang. Saya tidak perlu takut dan was-was. selama saya jujur pada diri sendiri, tidak menghebatkan diri dan tidak mendewakan karya yang saya hasilkan.
Syaikh Abdurrazaq Al Badr Hafidzahullah pernah bilang, "Orang berakal tidak akan memperhatikan pujian dan sanjungan manusia kepadanya karena ia lebih mengetahui kekurangan dirinya sendiri dibanding dengan mereka."
Menurut saya, mengambil penilaian orang lain dalam porsi besar dan menjadikan itu sebagai patokan pencapaian dan kemampuan diri adalah kesalahan. Apa yang orang lain nilai dari saya barangkali adalah persona saya, bukan apa yang sebenarnya. Apa yang sebenarnya hanya saya yang tahu, dan itu jauh lebih penting.
Seharusnya saya yang lebih mengenali diri saya bukan orang lain.
Mengeliminasi penilaian diri (karena nilainya rendah) lalu memakai penilaian orang lain (karena nilainya tinggi) adalah bentuk membohongi diri sendiri. Orang yang paling saya percayai seharusnya adalah diri saya sendiri, bagaimana jika diri saya sendiri saja saya tipu. Siapa lagi yang saya punya.
Saya membayangkan satu waktu, ketika saya sendirian. Yang saya punya hanya saya sendiri. Saya menjalani hidup dengan kaki dan tangan sendiri, kemampuan diri sendiri. Saya berdiri di dalam aula besar dunia asing yang hiruk pikuk. Sebuah negara asing dan semua orang tidak mengenali saya. Yang bisa saya andalkan hanya kemampuan yang saya punya, bukan "Katanya kamu hebat ini itu, katanya kamu sarjana ini itu, katanya kamu dulu pernah ini itu ya?" Tidak ada yang kenal dengan saya. Saya sendirian di negara tersebut.
Pada akhirnya, penilaian orang lain tidak penting lagi. Jika saya mengikuti penilaian orang, saya akan hidup dalam hidup mereka bukan hidup saya sendiri.
Barangkali akan ada suatu waktu ketika saya diberikan pekerjaan yang mereka anggap saya hebat dan kompeten di dalamnya, (padahal saya biasa saja), akan ada rentetan penyembunyian-penyembunyian hasil kerja yang saya lakukan, karena saya tidak sehebat yang mereka kira, dan saya sendiri akan tersiksa untuk memenuhi ekspektasi mereka.
Dalam kesempatan pengalaman penyemu ini saya akan bersikap jujur pada diri sendiri dan berkenalan lebih dalam dengan diri sendiri. Saya yang akan menentukan saya hebat atau tidak. Saya yang akan menentukan berhak diberi pujian/penghargaan (karena sudah melakukan sesuatu dengan sepenuh hati) atau tidak. Saya sendiri yang akan menilai diri saya sendiri. Saya akan memerdekakan diri saya sendiri.
Barangkali inilah kesempatan saya untuk berkenalan dengan diri saya sendiri.
Sehingga "saya" yang ada di kepala saya bukan lagi "saya" menurut orang lain, tapi "saya" yang paling dekat dan paling saya kenal kemampuan dan proses yang sudah ia lewati.
Image: IG @rahasiagadis
500 notes
·
View notes
Text
Suka tiba-tiba pusing gara2 ngeliat orang2 udah pada semhas 😅😅😅
3 notes
·
View notes
Text
Ga ngerti lagi cara komunikasi yang baik dan benar :")
1 note
·
View note
Text
Allah Tercipta Dari Apa?
Penasaran, kalau suatu hari ditanya gini saya bisa jawab dengan baik ngga ya:
“Allah itu tercipta dari apa?”
Jawaban dari ini emang bersifat aksiomatik, artinya sebuah kebenaran yang “emang begitu adanya”, tinggal diterima.
“Allah tidak tercipta dari apa-apa, karena Allah tidak ada yang menciptakan. Allah ada tanpa diawali dan tidak akan pernah berakhir seperti manusia. Kalau sesuatu terbuat dari sebuah material dan ada yang menciptakan, berarti namanya makhluk, dan ngga pantas dianggap tuhan.
Yang pantas disebut tuhan itu adalah sesuatu saking hebatnya hingga mampu menciptakan apapun tanpa ada yang menciptakan dirinya sebelumnya. Kamu mau menyembah tuhan yang diciptakan oleh sesuatu yang lebih kuat darinya?”
Tapi, jawaban aksiomatik gitu akan sulit diterima bagi yang belum menjalani proses berpikirnya, apalagi untuk anak-anak. Makanya mungkin lebih baik kalau dijawab dengan ngajak mikir dulu.
Gini. Kalau kamu bikin robot, apa berarti kamu adalah tuhan karena menciptakan robot? Enggak? Kenapa? Karena kamu harus dibuat dulu lewat rahim Ibu kamu, terus dilahirkan ke dunia. Masa tuhan harus dibuat dulu, terus dilahirkan? Kalau begitu yang lebih berkuasa yang dilahirkan atau yang melahirkan?
Terus, apakah Ibu kamu adalah tuhan karena melahirkan kamu? Enggak? Kenapa? Karena Ibu kamu juga ada yang membuatnya lewat rahim nenek kamu, terus dilahirkan ke dunia juga.
Begitu terus, nenek kamu dilahirkan buyut kamu, sampai ke Nabi Adam. Terus, apa Nabi Adam adalah tuhan karena mengawali semua manusia? Enggak? Kenapa? Karena Nabi Adam juga ada yang menciptakan. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama “Allah”.
Yang menciptakan Allah siapa? Engga ada. Udah mentok. Sang Pencipta Nabi Adam ada tanpa ada yang menciptakan dan ngga pernah ngga ada.
Kok bisa sih Allah ada tanpa ada yang menciptakan? Padahal segala sesuatu pasti ada penciptanya?
Gini. Segala sesuatu yang kita tau, termasuk aturan “segala sesuatu pasti ada penciptanya”, itu adalah ciptaan Allah. Allah juga bikin aturan-aturan lain, kayak fisika, matematika, kimia, biologi, astronomi, semuanya aturan yang dibikin Allah.
Semua aturan itu tunduk sesuai perintah dan kehendak Allah, tapi Allah ngga tunduk sama aturan-aturan itu–ya karena mereka semua cuma ciptaan Allah.
Jadi, hukum fisika, matematika, kimia, biologi, termasuk aturan “segala sesuatu pasti ada penciptanya” itu tidak berlaku buat Allah. Allah bisa ada tanpa perlu ada yang menciptakan, tanpa bahan-bahan seperti yang kita pahami di kimia, tanpa ada yang melahirkan seperti yang kita pahami di biologi.
Itulah kenapa kita menyebutnya “Tuhan”–karena Dia ngga sama dengan apapun yang diciptakan-Nya.
Hmm, nampaknya itu pun masih terlalu kompleks untuk anak-anak.
Let me try this one more time:
“Allah itu tercipta dari apa?”
Allah itu ngga tercipta dari apa-apa, Nak, karena Allah ngga diciptakan. Allah ada sendiri tanpa proses penciptaan. Kenapa bisa begitu? Karena Tuhan memang seharusnya begitu, tidak bergantung pada apapun. Satu-satunya yang bisa kayak gitu cuma Allah, makanya kita mengakui dan menyembah-Nya sebagai Tuhan, saking hebatnya.
1K notes
·
View notes
Text
🥺🥺🥺🥺
Bahkan jika kamu simpan di dalam hati, Allah sudah lebih dulu mendengarnya sebelum sempat kamu utarakan.
—Taufik Aulia
2K notes
·
View notes
Text
Kenapa? Karena hati kita gak bersih.
Satu-satunya sudut pandang yang sering kita gunakan cuma sudut pandang duniawi. Iman hanya kita letakkan di tepi sehingga sudut pandang ukhrawi sudah berdebu dan jarang kita pakai.
Ya gimana ya, emang di sini bagian sulitnya jadi orang beriman. Kita hidup di dunia namun orientasinya harus tetap akhirat. Dari semua sisi kita dikepung godaan dan kecemasan duniawi. Sedangkan akhirat, gak bisa dilihat oleh mata dan hanya bisa dirasakan oleh hati. Dan sedihnya, akhirat cuma dibahas di tempat-tempat tertentu saja. Gak sedikit orang yang bahkan gak pernah dengar nama 'Allah' dalam kesehariannya selain dari adzan yang terdengar sayup-sayup dari kejauhan.
Dunia kalau dijadikan satu-satunya tujuan, lama-lama akan menutup hati dari cahaya. Gelap, tersesat, dan tak tau arah jalan pulang. Dalam kondisi semacam ini, kehilangan akan membawa sedih tak berkesudahan dan keberuntungan akan membawa keangkuhan.
Tenggelam di lautan dunia membuat hatimu buta dalam memahami hakikat nasib baik dan nasib buruk.
Bagi orang yang hatinya hidup dan mengingat akhirat, satu-satunya nasib baik adalah mendapat kasih sayang Allah dan satu-satunya nasib buruk adalah mendapatkan murka-Nya. Maka bagaimanapun liku dalam hidupnya dia akan selalu bertanya, bagaimana agar apapun masalah yang dia alami bisa membawanya lebih dekat dengan Pencipta.
Berorientasi pada akhirat bukan berarti melupakan dunia. Karena hidup dalam dimensi bernama dunia dan berada di tengah-tengah semua sumber dayanya, orang beriman yang cerdas akan memanfaatkan dunia untuk meraih kesudahan yang baik di akhirat kelak.
Akhir kata, semoga kita semua dibersihkan hatinya, dilapangkan dadanya, dan diberikan kejernihan dalam memandang kehidupan.
© Taufik Aulia 2020
735 notes
·
View notes
Text
Gatau mau cerita ke siapa😅
Kepada siapapun yang berjodoh dengan tulisan ini, bukan berarti kamu harus berpura-pura kuat dan membohongi dirimu sendiri atas apa yang terjadi. Hanya saja, tak semua orang perlu melihat sisi lemahmu.
Boleh saja kamu jatuh dan babak belur karena satu ujian. Silakan menangis, silakan luapkan semua sedu dan sedanmu itu. Namun luapkan pada tempat dan orang yang tepat. Karena tak semua orang akan berdampak baik buatmu.
Saat kamu sedang sulit dan terjepit, mungkin kamu sedang diuji sampai ujung batas kemampuanmu karena Allah memberi ujian tak pernah melebih batas kemampuan hamba-Nya.
Maka saat kamu sedang kesulitan, kelelahan, atau dihantam badai yang belum pernah kamu rasakan sebelumnya, tenangkanlah dirimu. Badai ini mungkin besar sekali, namun masih dalam batas kemampuanmu jika kamu mau lebih bersabar sedikit lagi saja.
Setidaknya bertahanlah dalam remuk-redammu itu sampai semuanya kembali normal. Memang sakit, tapi semuanya akan membaik.
Semangat ya, kamu!
© Taufik Aulia 2020
1K notes
·
View notes
Text
😫😫😫😫
Kita Gak Lagi Sial
"Apapun itu, seberat apapun ujian yang sedang kita jalani, kitalah orang yang terpilih untuk menjalaninya dari miliaran orang yang pernah hidup di dunia."
Kita gak lagi sial, kok. Kita juga gak lagi diprank sama yang namanya semesta. Tuhan gak sekurangkerjaan itu sama hamba-Nya. Gak mungkin kan manusia diciptain ke dunia cuma buat dikerjain.
Yang benar itu, kita lagi di uji sama ujian yang gak setiap generasi mengalami. Kita dipilih untuk dapat ujian ini.
Di lauhul mahfudz, ada nama kita dalam daftar orang yang lulus ujian ini dan yang enggak. Kita yang mana? Gak tau.
Namanya ujian, pasti dikasih untuk menaikkan derajat manusia. Kecuali kalau ini hukuman. Menurutmu, untukmu sendiri, ini lebih layak disebut ujian atau hukuman?
Jika menurutmu ini ujian, maka jalani dengan sabar. Cuma ini caranya biar bisa lulus terus naik tingkat.
Jika menurutmu ini hukuman, maka bertaubatlah dengan taubat yang sebenarnya. Cuma itu cara biar selamat dari hukuman.
Baiklah, ini bisa jadi ujian atau hukuman. Yang jelas bukan kebetulan atau sekadar kesialan.
© Taufik Aulia 2020
477 notes
·
View notes
Text
Hahahahaha sama bangetttt... Orang ngira aku sangat polos yang tidak mengerti tentang cinta dan patah hati wkwkw
Ada satu temenku yang mengimajinasikan diriku sebagai manusia dari planet lain. Menurutnya aku berbeda dari orang lain. Dia mengira aku tidak pernah membicarakan percintaan, aku tidak kenal patah hati, aku tidak pernah pacaran.
Barusan dia mengira aku tidak nonton drama Korea. Dia bilang aku berbeda.
Sampai suatu hari, dia bertemu langsung dengan mantanku yang sedang kerja lapangan ke sekolahnya. Dan mereka cerita banyak. Dia terkaget-kaget.
Sama kagetnya kayak barusan kubilang aku penonton drama Korea.
Wk wk
Dia membalas dengan emot 😭😭
Aku ini manusia biasa. Patah hatiku ambyar-ambyaran cuma aku ga ekspos selain di tumblr aja 🙄
16 notes
·
View notes
Text
Sudah ku lewati masa-masa seperti ini, tidak dan cukup sampai disini hal seperti ini.
#Unek-unek
Nggak tau ini cerita apa tapii,
Hfttt.. hari ini hari yang menguras emosi bin nguras tenaga bin gak tahan mau bilang apa lagi. Judul besarnya tugas kelompok, tapi yang ngerjain cuma satu orang. Hal-hal yang kayak gini emang bukan yang pertama, tapi mau marah? mau kesal gimana? Salah-salah ucap kadang bisa merusak hubungan. Mau adu mulut dulu? Kerjaan juga nggak bakal selesai kalau saling tarik urat leher. Nggak ada di kasih pilihan, ngalah aja, itu satu-satu nya jalan yang terfikir.
Udah hari deadline pun mereka masih no respect. Nggak ada yang berniat mau bantu, jangan kan bantu, sekedar nanya aja nggak ada. Banyak alasan, ini nggak ada, itu nggak dapat, materinya dimana di search.
Harus ya kayak gitu? Ini tugas kelompok loh, cuma butuh kesadaran sendiri, kamu juga punya tanggung jawab dan ikut andil dalam proses nya, ada nama kamu bukti pertanggung jawabannya, dan kamu malah enak-enakkan ngerjain yang lain. Kamu pikir aku juga nggak ada kerjaan, seniat itu ngerjain sendiri tugas-tugas atas nama kamu. Ini demi kerja kelompok, kalau kamu nggak peduli dengan tugas mu, aku peduli dengan tugas ku, tanggung jawab ku, ada namaku disana, dan aku peduli dengan nilai yang aku dapat. Aku sepeduli itu dengan tanggung jawabku. Aku sepeduli itu menghargai bagian ku, tapi kamu malah melempar bagian mu padakuu.. jangan kira aku sebaik itu.. mengambil alih semua tugas kamu-kamu, aku hanya peduli pada kerja kelompokku, kebaikan nama kelompokku, bukan seniat itu peduli dengan kamuuu...
Jujur... Nyatanya kerjasama dan sikap tanggungjawab itu belum juga di sadari bagi kebanyakan orang, bahkan dalam hal-hal kecil seperti ini pun masih sering di abaikan. Menganggap semua bisa tercover sempurna dengan mudah tanpa tau rumitnya proses yang di jalani, orang kebanyakan akan acuh, hal ini terjadi sudah bukan hal yang baru dalam kehidupan manusia. Kesadaran, tanggung jawab dan pentingnya harga menghargai itu kian tenggelam dalam kehidupan. Tak ada lagi rasa tenggang rasa yang dahulu di agungkan oleh orang-orang terdahulu, tata krama, kian terganti dengan budaya-budaya kekinian yang buat kepala mengeleng-geleng.
Kadang pernah sesekali terpikir, maunya diam aja, pura-pura nggak mau tau, pura-pura nggak dengar, dan abai dengan keadaan, tapi nggak bisa... Mau nya selau sadar, maunya selalu peduli, maunya selalu tanggung jawab, mau ya selalu baik dan kontrol ucapan, maunya selalu ikut andil, maunya selalu terlibat.
Ku pikir, akunya yang terlalu baik sama orang, berfikir positif terus sama orang, padahal saat aku baik sama orang belum tentu juga feedback dari orang tersebut akan positif juga kadang dari orang yang nggak tahu diri malah memanfaatkan kebaikan orang lain itu.
Nggak ada maksud mengagungkan kebaikan, "aku ini orang baik..." Nggak gitu.
Hanya ngerasa kesal aja. Hari gini masih ada orang-orang yang abai sama tugasnya, padahal disini porsi kita sama. Sama-sama bayar, sama-sama menuntut ilmu, tapi kenapa setiap kali ada kerjaan kayak gini, kamu nggak ada usaha sama sekali, paling tidak jangan saling melempar bagian. Semua ada porsinya.
Aku nggak akan pamrih, kalau kamu mau bekerjasama. Mau berbagi, bukan malah membebani yang lain sedang kamu nanti terima beres, terima enak nya aja.
Untuk yang ada baca tulisan ini, atau kadang hanya sekedar tulisan numpang lewat di pembaharuan kalian, atau di apalah namanya. Jangan kayak orang di tulisan ku ini ya, yang aku cerita kan, ini cuma uneg-uneg, jangan diambil hati, tapi ambil hikmahnya, dengarin suara hati dari orang yang dlu pernah atau sekarang juga masih kalian abaikan. Sama tugas, kerjaan, laksanakan sesuai porsi ya.. jangan kayak aku kelewat peduli dan kelewat baiknya, tugas orang dikerjain juga, sikapi dengan tegas orang-orang yang kayak gini, yang nggak sadar posisinya, yang nggak sadar tanggung jawabnya dan yang nggak sadar dengan kewajibannya.
Tetap usaha dan semoga berkah puasa nya :)
Salam
-narapagi-
12 notes
·
View notes
Text
Siapa yang naro bawang disini
Saat kita marah, kita menutut keadaan untuk bisa mengerti apa yang sedang sedang kita rasakan.
Bukannya berusaha menyadari kemarahan, kita malah menuntut orang lain untuk mengikuti apa yang kita inginkan.
Dengan kemarahan, kita berharap keadaan bisa berubah sesuai yang kita harapkan.
Padahal yang seharusnya bisa memaklumi keadaan adalah diri kita sendiri, bukan orang lain, bukan keadaannya yang harus berubah.
Hingga untuk menghindari perasaan kita sendiri, kita akhirnya menyalahkan orang lain, kita menyalahkan keadaan.
Kita enggan menemui rasa tidak nyaman yang ada dalam diri kita. Rasa tidak nyaman karena hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Entah kejadian masa lalu apa yang akhirnya menyulut masalah yang kita hadapi menjadi begitu sensitif.
Mungkin kehilangan, penolakan, kegagalan, rasa bersalah, pengkhianatan, ataupun perasaan tidak dihargai.
Hingga akhirnya kita tidak mampu lagi menahannya.
Hal-hal yang selama ini kita tekan, kita simpan, dan berusaha kita lupakan, akhirnya kita luapkan melalui kemarahan-kemaran kita.
Padahal jika boleh jujur, mungkin sebetulnya kita hanya sedang kecewa pada kesalahan-kesalahan kita sendiri.
Kita sedang kecewa pada kesalahan-kesalahan kita di masa lalu.
—ibnufir
553 notes
·
View notes
Text
Aamiin yaa Allaah
“Tidak semua kebaikan kita akan dibalas kebaikan lagi oleh makhluk Tuhan lainnya. Nyamuk saja tetap menggigit kita walaupun tidak kita gigit. Tapi yang pasti, kebaikan kita akan dibalas oleh Allah. Jika tidak di dunia, setidaknya di akhirat kelak. Maka tak perlu khawatir dalam berbuat kebaikan.”
— Choqi Isyraqi
280 notes
·
View notes