Text
Kamu dan Dirimu Sendiri
Hari ini, genap sebulan lebih dua hari saya menjalani peran baru di ‘kampus’ baru. Ada begitu banyak tantangan baru yang saya coba hadapi di sana, sesuatu yang sebagian besar bertolak belakang dengan ‘kampus’ lama saya.
‘Kampus’ baru saya bergerak di industri Logistics dan Supply Chain, sesuatu yang kata orang bertolak belakang dengan latar belakang pendidikan saya, Matematika. Tidak sepenuhnya salah, karena sebagian besar yang berkarya di sana merupakan lulusan Teknik Industri. Tapi, tidak sepenuhnya benar, karena sebagian besar hal yang saya lakukan masih berkaitan dengan data, logika, dan angka.
Di sana, saya mengambil peminatan Business Development dengan spesifikasi area automotive dan industrial & materials science atau biasa disebut kelompok Business Group 1 (BG-1). Ada dua peran utama yang saya lakukan: pertama, merancang feasible study (FS) untuk masalah transportasi dan/atau pergudangan; dan kedua, merancang proposal projek berdasarkan FS yang telah saya rancang. Kelihatannya sedikit, mungkin juga sederhana, tapi nyatanya cukup menguras kemampuan berpikir desain dan detail. Walaupun demikian, saya senang karena kemampuan saya dalam menganalisis data kian terasah. Perencanaan adalah kunci sebelum implementasi.
Konsep ruangan di sana mengadopsi model cozy office, berupaya menghadirkan kenyamanan di balik atmosfer kerja yang lumayan menguras tenaga. Mirip seperti kebanyakan ‘kampus’ start-up di tengah Ibu Kota sana.
Hal pertama yang menjadi tantangan buat saya adalah pola karya di sana. Berangkat dari latar belakang ‘kampus’ yang begitu fleksibel dan agak santai membuat saya agak kaget bertemu dengan pola yang baru. Baru di sini karena tidak ada lagi jam ‘istirahat’ di sela-sela jam kerja. Di ‘kampus’ baru saya, istirahat ya di jam istirahat. Tidak ada yang salah, memang seharusnya demikian. Saya yang kaget, karena di ‘kampus’ lama saya kadang tidak demikian, sebegitu fleksibelnya. Semua orang di ‘kampus’ baru saya benar-benar kerja, kerja, dan kerja (bukan kampanye ya, faktanya demikian).
Hal kedua yang menjadi tantangan buat saya adalah lingkungan di sana. Bukan karena orangnya jahat-jahat, tidak. Jangan bayangkan demikian. Semua orang di sana baik, bersahabat. Bedanya, semua benar-benar bekerja di jam kerja, hanya sedikit sekali kesempatan yang saya lihat mereka bercanda di jam-jam kerja. Selepas jam kerja, memang keadaan mencair. Lagi-lagi, di ‘kampus’ lama saya, kadang kita tetap bercanda di jam kerja. Mungkin karena sebagian besar orang-orang di ‘kampus’ lama saya, berada di bawah usia tiga puluh tahun. Berkebalikan dengan ‘kampus’ baru saya, yang sebagian besar diisi oleh orang-orang dewasa yang jauh berumur. Terus terang, perjuangan adaptasi saya ada di bagian ini. Mencoba membiasakan diri dengan lingkungan kerja yang benar-benar profesional.
Hal ketiga dan seterusnya ada, tapi tidak saya sampaikan karena nanti takut terlalu banyak membanding-bandingkan. Saya menulis ini bukan untuk itu. Saya hanya sedang mencoba beradaptasi dengan dua hal tersebut. Karena menurut saya, dua hal tersebut krusial menjaga kita tetap hidup di ‘kampus’.
Pada akhirnya saya belajar, untuk tidak berusaha mengandalkan orang lain. Kesulitan atau tantangan baru yang dihadapi adalah khusus untuk kamu dan dirimu sendiri. Dan penyelesaiannya juga bukan oleh siapa-siapa, tapi hanya oleh kamu dan dirimu sendiri.
Semangat menghadapi tantangan baru dalam hidupmu ya!
------
Jakarta, 9 Februari 2019
syahrilramadhan
1 note
·
View note
Text
Pergantian Tahun Masehi
Pertama-tama, hola Tumblr! Akhirnya kamu kembali, setelah beberapa bulan menghilang.
Hari ini tepat hari ketiga di tahun 2019. Entah, tapi rasanya waktu melipat terlalu cepat. Perasaan saya baru kemarin, saya lulus dan memakai toga wisuda. Tapi hari ini, nyatanya sudah setahun lewat selepas itu. Sungguh cepat.
Saya awali kembalinya Tumblr dan tahun 2019 ini dengan narasi hati (baca: narhat) tentang tahun 2018 kemarin. Tahun di mana jungkat-jungkitnya rasa dan cerita terbangun, dan membangun saya di hari ini.
Kerjaan pertama. Ini hal terbaik yang saya alami di tahun kemarin. Terbaik dalam beberapa hal yang entah mungkin takkan saya dapatkan lagi di tempat manapun. Memulai langkah sebagai lulusan baru yang belum punya pengalaman magang apapun, saya diberi kesempatan oleh salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang media. Saya masih ingat betul bayangan awal yang terbentuk di kepala saya saat itu, bahwa orang-orang profesional akan sulit membahas hal-hal personal, bahwa orang-orang profesional akan segan untuk ditanyai hal yang sama berulang kali, bahwa orang-orang profesional akan bergerak layaknya “robot berperasaan” yang sulit menjadi manusia pada umumnya, dan beberapa pemikiran kaku lainnya yang saya dapatkan dari perkataan orang lain. Tapi, nyatanya tidak demikian selepas saya masuk ke sana.
Orang-orangnya begitu hangat, erat, dan dekat. Persahabatan dan rasa kekeluargaan yang terjalin, mungkin adalah yang terbaik yang pernah saya rasakan selama saya hidup. Memiliki tim yang solid, atasan yang baik, dan rekan kerja yang mendukung, adalah anugerah terbaik yang saya alami selama di sana. Dari sana juga, saya mendapat banyak pemahaman baru yang membuat saya mengerti untuk tidak menjadi manusia yang kaku. Iya, ada banyak nilai dan pegangan yang seiring waktu mesti disesuaikan. Ada yang memang harus kaku, tapi ada juga yang mesti menyesuaikan.
Dan keputusan terberat yang saya mesti ambil di tahun lalu juga berkaitan dengan tempat kerja pertama saya. Keputusan untuk pindah kerja dari sana adalah yang terberat. Saya mungkin tak bisa menceritakan betapa berharganya mereka, orang-orang di sana. Lingkungan yang sangat nyaman. Termasuk pertemuan dengan seseorang yang berarti. Tapi hidup harus terus berjalan, saya harus pergi dari sana. Meskipun demikian, saya senang dan bersyukur, bisa bertemu dengan mereka semua dan tetap terjalin komunikasi yang baik. Terima kasih banyak.
Hari ini, meski sudah di tempat yang berbeda, hati masih saja di tempat yang lama. Bersama orang-orang di sana. Semoga tahun ini, kalaupun tidak bisa sama, paling tidak lingkungan di mana saya dan kita semua berpijak mendukung setiap proses yang sedang kita lakukan ya.
Selamat mengarungi hari-hari di depan!
------
Jakarta, 3 Januari 2019
syahrilramadhan
0 notes
Photo
Tidak apa kalau sewaktu-waktu kamu berhenti sejenak dari rutinitasmu, membuka ruang dan melihat semesta ini. Hidup dalam kehidupan adalah bukan hanya soal menjalaninya saja, tapi juga soal menemukan makna di dalamnya.
(sumber gambar: unsplash.com)
2 notes
·
View notes
Text
Memaknai Kepentingan
Tak bisa dipungkiri, di setiap tingkatan umur yang sedang dijalani, kita diberikan tanggung jawab yang berbeda dari sebelumnya. Bentuknya bisa berbeda-beda, namun satu hal yang pasti bobotnya kian bertambah.
Bersamaan dengan ukuran tanggung jawab yang kian bertambah, cara pandang kita dalam melihat suatu kepentingan pun ikut berubah. Dulu, sewaktu kecil, tanggung jawab kita mungkin hanya sebatas pulang tepat waktu, belajar yang rajin, mengaji selepas maghrib, dsb. Penting-tidak pentingnya beberapa tanggung jawab tersebut, belum sama sekali kita perhitungkan. Beranjak remaja, tanggung jawab kita bertambah. Beberapa dari kita mungkin sudah diberi tanggung jawab untuk mengatur keuangannya sendiri—dalam periode harian, mingguan, sampai bulanan. Waktu itu kita sudah mulai sedikit menimang-nimang bagaimana baiknya mengatur uang jajannya masing-masing.
Dan hari ini, ketika usia dewasa mulai menemani. Tanggung jawab dari berbagai arah satu per satu datang. Sudah menjadi keniscayaan memang dan sudah seharusnya kita siap untuk itu. Hari ini, dengan beberapa tanggung jawab baru itu, seharusnya kita sudah semakin dewasa melihat setiap kepentingan di baliknya. Jika dulu kita masih menomor sekiankan urusan Tuhan, maka hari ini seharusnya kita mengutamakan urusan Tuhan di atas kepentinga-kepentingan lain. Jika dulu kita terlalu boros menggunakan uang, bahkan habis sebelum akhir bulan, maka hari ini seharusnya kita sudah mampu untuk bertahan, bahkan ada sebagian yang berhasil ditabung. Jika dulu kita terlalu perhitungan untuk memberi sedekah, maka hari ini seharusnya sudah teranggarkan dengan baik untuk disedekahkan. Jika dulu kita sibuk mengurusi bagaimana baiknya diri ini, maka hari ini seharusnya kita mulai menengok bagaimana baiknya orang tua dan adik-adik kita. Dan contoh-contoh lainnya.
Ada begitu banyak makna yang bisa kita lihat dengan jernih dari tanggung jawab yang kian bertambah. Ukuran kita dalam melihat dan memaknai kepentingan, utamanya. Dari kesemua itu, kita belajar bahwa hidup ini begitu indah dijalani hanya dengan kesediaan kita untuk mengikhlaskan diri dalam menjalani setiap keputusan-Nya. Karena hanya dengan keikhlasan, kita mampu melihat setiap sisi hidup ini dengan jernih—termasuk perkara tanggung jawab dan kepentingan.
------
Jakarta, 3 Maret 2018
syahrilramadhan
2 notes
·
View notes
Quote
Mengapa tiap kali rindu hadir, tiap itu juga rasa sakit ikut memelukku?
dipeluk dinginnya kenangan.
1 note
·
View note
Link
Untuk kamu, yang berjalan di atas mimpi dan berusaha mewujudkannya :)
2 notes
·
View notes
Text
Menjadi Seorang Ayah
Jangan membayangkan kalau diam-diam saya sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah. Bukan, bukan itu. Tulisan ini terbesit begitu saja, dari hasil berteman dengan ayah-ayah muda di tempat di mana saya berkarya.
Saya merasa bersyukur, hari ini di tempatkan bersama orang-orang yang begitu menyenangkan, tempat yang begitu nyaman, dan iklim belajar yang begitu terasa. Iya, di sana bukan hanya perihal mencari nafkah yang dapat terpelajari atau passion yang tersalurkan. Kesempatan memiliki rekan-rekan kerja yang sudah menikah adalah sebuah kenikmatan lain dari beberapa kenikmatan yang Tuhan berikan.
Muda dan sudah menjadi ayah. Dua kata itu yang belakangan ini memenuhi rongga kepala saya. Bagaimana tidak, karena hampir setiap hari saya bersinggungan dengan mereka, ayah-ayah muda, dan berbagi obrolan mengenai bagaimana rasanya menjadi seorang ayah. Lebih jauh, bagaimana rasanya menjadi seorang kepala keluarga.
Lewat mereka, saya jadi mengetahui, apa-apa yang harusnya dipersiapkan untuk menikah; bagaimana kesiapan menjadi calon ayah, memerhatikan istri, mengecek kehamilan sebulan sekali di mana pada bulan-bulan ketujuh sampai kesembilan bisa lebih dari sekali; mengatur waktu bersama keluarga; mengomunikasi perihal finansial kepada istri; dan tentunya bagaimana menjadi imam seutuhnya bagi keluarga.
Kesemuanya terpelajari begitu saja. Mungkin benar adanya, pepatah sambil menyelam minum air begitu terasa di sana. Bukan hanya lewat buku, melainkan pengalaman dari yang sudah menyelami, saya belajar itu semua. Setidaknya meski belum ada rencana ke sana dalam waktu dekat, mempersiapkan ilmu perihal hal tersebut mutlak. Bukan hanya bagi kaum Adam, pun demikian halnya dengan kaum Hawa.
Lagipula banyak belajar sebelum benar-benar mengarungi, tak harus menunggu kalau sudah ingin menikah bukan? Toh, kita sepakat bahwa menuntut ilmu itu wajib dan menjadi pembelajar seumur hidup itu prinsip.
------
Jakarta, 15 Februari 2018
syahrilramadhan
3 notes
·
View notes
Text
(Tak) Pernah Usai
Sejak kecil hingga berada dalam usia yang sekarang, kita senantiasa dihadapkan dengan berbagai tantangan dalam hidup. Satu per satu tantangan itu hadir di tiap fase yang sedang kita lalui, dalam bentuk yang terus berkembang dari sebelumnya—menyesuaikan pijakan di mana kita berdiri saat itu. Pertama kali ia datang dalam wujud yang menakutkan, kemudian kita berusaha tumbuh untuk melewatinya dengan baik.
Kalau kita coba menelisik ke belakang, melihat kembali tantangan yang pernah hadir menyapa, kita akan menyadari satu hal bahwa hari ini kita telah berhasil melalui berbagai tantangan itu. Sesuatu yang pada awalnya dianggap mengerikan, namun hari ini justru menjadi anak tangga yang membawa kita menuju ujung tertinggi kedewasaan. Dewasa dalam melihat dan memaknai kehidupan.
Dan karena itu, sudah menjadi keniscayaan bahwa ke depannya akan terus ada tantangan yang silih berganti mengetuk fase kita dari berbagai sisi. Bentuknya sudah pasti tidak semudah yang lalu-lalu, selalu berkembang, dan tentunya memiliki tujuan mulia. Meningkatkan level kelas kehidupan kita.
Bersyukurlah bila kita masih diberikan tantangan-tantangan baru dalam hidup, karena begitu banyak hikmah yang bisa diambil dari sana. Tantangan untuk berjalan di atas kata-kata sendiri, misalnya. Atau tantangan untuk menahan “jatuh” pada waktu yang belum seharusnya, dsb.
Tantangan dalam hidup akan selalu ada, takkan pernah usai. Satu datang, kita selesaikan, datang lagi yang lain, kemudian terus berulang tanpa pernah putus. Dan bila momen itu tiba, mari lihat dan maknai tantangan itu sebagai ruang untuk terus bertumbuh, menjadi pribadi yang kian dewasa.
Semoga bukan keluh yang keluar, melainkan syukur, tiap kali kita dihadapkan dengan tantangan baru di depan!
------
Jakarta, 15 Februari 2018
syahrilramadhan
2 notes
·
View notes
Text
Berbaur dengan Setiap Ritme
Lebih kurang tiga minggu sudah beberapa tulisan saya hanya berakhir menjadi draft, padahal niatan di awal sama sekali tidak mengarah ke sana. Sampai akhirnya lahirlah kembali sebuah tulisan ini, buah hasil penyempatan waktu dari kejadian yang mulai berbeda.
Semenjak melepas status mahasiswa dan melanjutkan langkah ke dunia kerja, ada banyak sekali perubahan yang perlu disesuaikan kembali. Menyisihkan waktu untuk menulis, misalnya. Dulu, waktu yang saya miliki untuk menulis terbilang banyak dan cukup luang—kapan saja. Namun sekarang, semua tak sebebas yang diinginkan. Hanya satu sampai dua jam saja, itupun di malam hari, selepas itu badan sudah tak mampu lagi melanjutkan. Dan istirahat menjadi pemutusnya.
Seiring berjalannya waktu, saya jadi berpikir panjang. Tentang bagaimana kita nanti, dengan waktu-waktu yang singkat ini dapat menjalankan segala sesuatunya dengan baik. Bekerja, Beribadah, bercengkerama dengan orang tua, menikmati hobi, berkumpul dengan teman-teman dsb. Tentu semuanya akan berubah dalam banyak ukuran, terutama soal waktu.
Terlepas seberapa cepat kita beradaptasi di dalamnya, ritme baru memang pada akhirnya perlu disesuaikan dengan berbaur atau tercebur langsung di dalamnya. Menyelami banyak lautan makna dari kejadian baru di hari ini. Sebab kita mengerti, ritme esok belum tentu akan sama dengan ritme hari ini, dan kita tentu perlu mempersiapkan diri untuk menyongsongnya.
Semoga kita senantiasa berada di dalam waktu yang penuh berkah dan bermanfaat.
------
Jakarta, 7 Februari 2018
syahrilramadhan
2 notes
·
View notes
Text
Menjaga Kewarasan
Disclaimer: Tulisan ini merupakan hasil perenungan tentang proses yang pernah saya alami, ketika berada di masa menunggu kabar baik tentang pekerjaan.
Lebih kurang tiga bulan, saya diberikan waktu untuk menunggu kabar baik atas doa-doa yang terus dipanjatkan—mendapatkan pekerjaan. Relatif lama bagi saya pada waktu itu, apalagi ketika saya melihat teman-teman seperjuangan yang lebih dulu menerima kabar baiknya. Sementara saya, belum ada tanda-tanda.
Saya masih ingat betul, bagaimana menjalani hari-hari di bulan kedua adalah saat yang paling sulit. Menjadikan malam sebagai ruang untuk memupuk peluang, sekaligus tempat menumpahkan air mata. Dan memutar kembali rekaman wisuda adalah hal yang rutin saya lakukan pada saat itu, untuk menjaga kewarasan. Iya, saya hampir pernah berada di ujung jurang keputusasaan. Hanya tinggal menjatuhkan diri saja ke dalamnya, maka resmi bergabunglah saya bersama orang-orang yang tidak meyakini janji Tuhan.
Beruntungnya tidak. Bertemu dan bercengkerama dengan teman-teman yang mampu menguatkan saya pada waktu itu adalah bagian dari menjaga kewarasan. Karena bersama mereka, saya mendapat banyak dukungan—bukan pertanyaan, sesuatu yang sama sekali tidak diperlukan.
Saya juga masih ingat betul, bagaimana pertanyaan yang pernah saya ajukan pada Tuhan di dalam hati, “Mengapa belum, padahal sudah a, b, c, ...” Dan kamu tahu, selepas beberapa hari Dia menjawab lewat pesan tersirat yang saya baca di salah satu tulisan. Bahwa pertanyaan seperti itu tidak selayaknya ditanyakan oleh orang-orang yang beriman. Sebab hidup bukan perihal apa-apa yang diinginkan saja. Hidup adalah soal penerimaan, bersedia menjalani jalan yang sudah ditetapkan-Nya.
Dan mengenai bulan ketiga, saya sudah benar-benar memasrahkan segalanya pada Tuhan. Usaha dan doa tak luput mengiringi di setiap waktunya. Ditambah kalimat penguat dari kedua orang tua, “Kalau sudah waktunya nanti, rezeki juga datang. Sekarang belum waktunya berarti.”
***
Hari ini, sebulan selepas tiga bulan itu, saya melihat semua pembelajaran di baliknya. Tentang apa-apa yang sebenarnya Tuhan ingin ajarkan kepada saya.
Percayalah, pada waktunya nanti, semua akan sebaik doa-doa yang kita panjatkan pada Tuhan—bahkan bisa lebih baik. Jangan menyerah, dan teruslah menjaga kewarasan dengan hal-hal yang menguatkan kita.
“ ... Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” Q.S. At – Thalaq: 2-3
------
Jakarta, 13 Januari 2018
syahrilramadhan
3 notes
·
View notes
Text
Merangkul Kenyamanan
Alhamdulillah, hari pertama di tahun 2018 telah sama-sama kita lalui. Aromanya pun telah kita hirup bersama bahkan sejak dini hari tadi. Mungkin sebagian masih tenggelam dalam euforianya, sebagian mulai menatap luas 365 hari ke depan, dan sebagian lainnya sama sekali menganggapnya sebagai pergantian hari pada umumnya—tidak ada yang spesial. Tidak masalah, semua ekspresi itu bagian dari pilihan. Hendak memaknainya seperti apa.
Sepanjang 2017 kemarin, kita tentu memiliki banyak momen, cerita, dan kisah yang mewarnai. Sebagian mungkin telah kita bagikan, sementara sebagian lainnya kita simpan sendiri rapat-rapat. Iya, karena tidak semua hal perlu disebarkan kepada khalayak—beberapa saja, tanpa unsur ingin dipuji orang tentunya. Terlepas bagaimanapun rasanya, hari ini kita telah melihat dan merasakan itu semua sebagai sebuah lorong pembelajaran yang menjadikan hari ini kian mendewasa. Ada begitu banyak urat-urat pemikiran yang dipaksa meluas, melihat hidup dari berbagai sudut pandang. Agar semakin hidup kepekaan dan rasa syukur dalam jiwa ini.
Melihat tahun-tahun sebelumnya, bahkan sampai hari di mana kita dipaksa keluar dari tempat yang paling nyaman, rahim ibu, sadar atau tidak hidup ini adalah proses merangkul kenyamanan. Keluar dari zona nyaman satu menuju zona baru, yang pada saat itu jauh dari kata nyaman, lalu kemudian kita menjadikannya zona nyaman baru. Begitu seterusnya hingga hari ini. Entah sudah seberapa besar diameter zona nyaman kita, yang jelas setiap waktunya akan terus bertambah. Lewat kisah baru yang belum pernah kita jumpai sebelumnya.
Jangan pernah takut untuk keluar dari keadaan ternyaman kita. Kalau beruntung, semesta dengan caranya yang akan membuatmu keluar dan belajar untuk terbiasa. Tetapi sayangnya, hidup bukan untuk sekadar menunggu sesuatu yang baik-baik saja. Kitalah yang harus memulai, membuka, dan merangkul kenyamanan itu.
Hari ini, atau mungkin tahun ini. Mari memiliki resolusi sederhana, untuk bertemu orang-orang baru, untuk bertemu keadaan-keadaan baru, dan untuk bertemu tantangan-tantangan baru. Semoga kita dan hidup ini semakin saling memahami satu sama lain.
Selamat menjalani hari baru dengan pribadi yang baru juga tentunya!
(Sumber gambar: WWF - Indonesia)
------
Jakarta, 1 Januari 2018
syahrilramadhan
1 note
·
View note
Text
Ada Masanya
Genap beberapa minggu sudah, saya menjalani peran baru di tempat baru. Sebagian hal lama yang empat tahun belakangan saya tekuni masih ikut terbawa. Sementara sebagian yang lain, adalah sesuatu yang baru. Tidak terlalu asing, tapi sama sekali belum pernah dilakukan sebelumnya. Menjadi seorang Marketer berdasarkan analisis digital.
***
Dulu, sewaktu masa-masa kuliah, saya dan beberapa teman seangkatan saya mengikuti seminar pasca kampus—yang tenyata itu adalah muara ketidaksengajaan dan mengantarkan saya pada gerbang di hari ini. Tentang lika-liku, dinamika, persiapan dan peran yang bisa diambil lulusan saya pada saat itu. Dan salah satu peran itu adalah yang saya jalani pada hari ini, menjadi seorang Marketer.
Saya merasakan betul bagaimana keputusan-keputusan penting dalam hidup ini hadir lewat momen ketidaksengajaan yang belum disadari langsung ketika itu. Baru kemudian selang beberapa saat, kesadaran itu hadir dan membuka sisi perjalanan silam hidup kita. Bahwa kita pernah merencanakan kejadian di hari ini, sengaja maupun tidak. Tempat di mana kita menimba ilmu, pencapaian yang direncanakan, sampai tempat di mana kita tinggal sekarang. Sengaja maupun tidak, kita pernah merencanakan semuanya.
Begitupun halnya peran baru yang saya jalani hari ini. Di tengah ruang perenungan, saya membuka kembali hal-hal yang menghubungkan sesuatu di masa silam dengan kejadian di hari ini. Rupanya, ada benang merah yang pernah begitu jelas mengikat keduanya. Mulai dari ketidaksengajaan saya mengambil mata kuliah Mikro-Makro Ekonomi, yang jelas-jelas berbeda haluan dengan major perkuliahan saya, hingga berakhir pada ketertarikan saya memelajari lebih jauh mengenai dunia marketing. Semuanya terjadi begitu saja pada saat itu, hanya berlandaskan keingintahuan memelajari hal-hal di luar kebiasaan, tanpa mengetahui ke depannya seperti apa. Tapi ternyata, keputusan itu yang akhirnya mengantarkan saya sampai pada gerbang di hari ini.
***
Tiga bulan lebih waktu luang yang Tuhan berikan pada saya selepas wisuda, hari ini amat saya syukuri. Saya jadi belajar untuk lebih bersabar, di saat teman-teman saya yang lain justru tengah memulai membangun karya di tempat barunya, waktu itu saya masih terus memilih dan mencari sambil terus berdoa sesuatu yang baik dari Tuhan akan segera datang. Saya juga belajar untuk lebih menghargai waktu luang, di saat kini hari Senin-Jumat menjadi hari wajib bekarya, hari Sabtu-Minggu adalah harinya berkumpul dengan keluarga dan teman-teman dekat. Saya baru benar-benar mengerti mengapa quality time itu perlu di setiap waktu luang—meski hanya satu dua jam, misalnya. Dan kita, selayaknya manusia dan makhluk sosial, memang membutuhkan hal itu.
Meski air mata tak pernah absen ketika beriringan membuka lowongan pekerjaan, tapi saya mencoba menguatkan diri dengan kalimat afirmasi: semua ada masanya. Semua ada waktunya. Saya selalu menasihati diri ini ketika itu, bahwa Tuhan hanya sedang memberi waktu dan ruang kepada saya untuk lebih banyak belajar. Tidak sama waktu tiap-tiap orang, dan jangan pernah menjadikan itu sebagai indikator persamaan. Karena tidak akan pernah kita temukan titik singgungnya.
Kalau kamu sedang berada di fase belajar itu, teruslah berjuang sambil belajar. Hargailah setiap waktu luang yang masih diberikan Tuhan, karena boleh jadi nanti kamu tidak akan merasakannya lagi. Ketika masa itu tiba, semuanya akan berubah. Dan mudah-mudahan, waktu belajarmu cukup untuk mengarungi peran baru yang selalu kamu gantungkan pada Tuhan dalam sujud-sujudmu.
Jangan menyerah, karena perjuangan sebetulnya baru dimulai. Teruslah berprasangka baik pada Tuhan!
Karena nanti, saat kita baru memahami masa yang belum dipahami ini, akan banyak rasa syukur yang kita alamatkan pada-Nya.
Photo by Dmitry Ratushny on Unsplash
------
Jakarta, 25 Desember 2017
syahrilramadhan
2 notes
·
View notes
Text
Mengawali Kesudahan
Dalam hal apapun, tentu akan ada yang namanya istilah rehat. Bukan mengakhiri, melainkan berhenti sejenak—menarik napas panjang sekaligus meregangkan urat-urat yang tegang. Seperti malam, yang hakikatnya dijadikan Tuhan untuk berselimut, karena terlalu banyak kesibukkan yang mendera di kala siang. Tak terkecuali bagi saya. November ini akan jadi bulan penghabisan dalam menulis. Melahirkan sebuah novel dan beberapa tulisan (terakhir sebelum rehat) yang akan saya muat di sini, untuk kemudian akan mengawali kesudahan yang (mungkin) berkepanjangan.
Saya ingin berhenti sejenak, menata ulang cakrawala kehidupan. Memahamkan kembali diri ini tentang hakikat hidup yang seharusnya. Mendewasakan diri untuk melihat segenap peristiwa yang hadir di sepanjang pelupuk mata.
Mulanya.
Lebih dari lima tahun sudah, saya mulai tertarik membaca lalu menuangkannya dalam tulisan. Waktu kecil tidak pernah ada bayangan untuk memiliki hobi menulis. Hobi saya sewaktu kecil, menjadi seorang pilot. Namun ada seorang teman sewaktu SMA yang memperkenalkan saya dengan tulisan-tulisannya. Tiap minggu selalu ada tulisan baru bernada positif yang diberikannya pada saya, untuk dibaca. Hingga berakhir pada kebiasaan saya sekarang ini.
Saya bukan penulis, tapi orang yang suka menulis. Pembaca yang menulis adalah sebuah kalimat sederhana yang menjadi dasar saya sebelum menulis, yaitu membaca. Dan membaca, bukan hanya soal buku-buku. Realita yang ada di sekitar kita pun bisa menjadi sumber bacaan nyata, yang kisah baiknya bisa dibagikan lewat tulisan. Karena bagaimanapun realita yang kita lihat, pasti ada kisah baik yang bisa dibagikan. Hanya tinggal masalah sudut pandangnya saja.
Pembaca.
Dan bagi siapapun yang sedang menggeluti hobi yang satu ini, menulis, tugas mulia sedang kalian emban. Dalam sebuah buku yang pernah saya baca, menulis itu sama halnya dengan mengajar. Membagikan pemahaman yang kita miliki ke khalayak. Maka apapun bentuknya, cerita pendek, curhatan pribadi, tulisan kehidupan, sebaiknya terselip pesan baik yang bisa diambil. Karena kita tidak pernah tahu, seseorang di luar sana yang sama sekali tidak kita kenal bisa berubah karena membaca tulisan-tulisan sederhana kita. Paragraf yang muatannya menyentuh sampai ke hati.
Jangan khawatirkan soal siapa yang akan membaca tulisan kita, karena setiap tulisan memiliki pembacanya masing-masing. Niatkan saja menulis untuk berbagi pemahaman baik, maka mudah-mudahan satu kebaikan yang termuat dalam tulisan kita bisa menjadi bekal yang membaikkan kita, di kemudian hari.
Aksara Mimpi.
Mengenai novel saya ini, kondisi terakhir masih dalam tahap editing. Saya menjadwalkan semuanya akan selesai di akhir pekan kedua atau di awal pekan terakhir bulan ini.
Di dalam novel ini, sebagian besar idenya adalah buah riset dan pemikiran saya selama tiga tahun belakang. Mulai dari tokoh, alur, sampai pada konflik yang terbangun di dalamnya. Sementara sebagian kecilnya, saya meminjam kejadian nyata yang pernah saya alami—bukan meminjam tokoh saya.
Saya sengaja menaruhnya di penghujung bulan, agar mudah-mudahan menjadi penutup manis awal dari kesudahan saya.
Terima kasih.
Iya, Desember dan seterusnya saya tidak akan memuat tulisan lagi di sini. Mudah-mudahan tidak lama. Ada sesuatu yang ingin saya lakukan di luar sana, di dunia nyata. Tanpa sekat, maupun stigma yang selama ini terbang mengawan.
Akhirnya, saya ucapkan terima kasih kepada siapapun yang telah bersedia membaca tulisan-tulisan saya.
------
Jakarta, 14 November 2017
syahrilramadhan a.k.a. esar durmer
0 notes
Text
Jika kamu tidak bisa menambah kebaikan atau—bahkan—keimanan seseorang dengan postinganmu, hendaknya jangan membuat mereka membuang-buang waktu dengan postinganmu itu.
Jangan posting hal-hal tak berguna yang membuat orang lain membuang waktunya.
579 notes
·
View notes
Conversation
Menunggu Hujan Reda
Mahesa: Apa yang kamu lamunkan?
Durmer: Tidak ada.
Mahesa: Jangan bohong!
Durmer: Hujan ini.
Mahesa: Kenapa dengan hujan ini?
Durmer: Melepaskanku dari kesendirian. Aku senang melihatnya ramai-ramai berjatuhan.
1 note
·
View note
Text
Cerpen: Warung Kopi
“Aku mulai tak betah di rumah,” ujar seorang laki-laki seraya menyeruput kopi yang ia pesan.
Tiap kali senja hampir datang, warung kopi Mbah War selalu ramai didatangi pengunjung. Penuh dengan orang-orang yang baru pulang kantor dan memutuskan untuk duduk-duduk sebentar. Meregangkan penat yang melanda selama delapan jam belakangan.
Keberadaan warung kopi Mbah War bisa dibilang cukup strategis, sebuah perusahaan penjual kendaraan roda empat bermerek sepasang sayap berdiri gagah di sebelahnya. Menjadi sumber penghasilan utama warung kopi yang sudah berdiri sejak dua puluhan tahun tersebut. Bukan hanya kopi, warung kopi Mbah War juga menjual roti bakar beraneka rasa.
“Memangnya kau kenapa?” tanya teman laki-laki tersebut.
“Istriku, bawelnya setengah mati. Selalu tanya kegiatanku setiap hari. Pusing aku,”
“Kau kan tahu setiap istri macam itu. Tak usahlah kau mengeluh,”
Keduanya menyeruput kopi bersamaan, menghabiskannya.
“Iya aku tahu, tapi buat apa tanya setiap hari? Kan dia tahu kalau aku bekerja,”
“Itu tanda dia memperhatikan kau, cemana kau ini.”
“Bukan seperti itu seharusnya. Kamu tahu kan, tiap pulang bagaimana capeknya kita. Aku ini butuh dukungan, bukan pertanyaan.”
Di saat yang bersamaan, duduk seorang anak muda yang sedari awal tanpa sengaja mendengarkan perbincangan keduanya. Anak muda yang berpakaian sama dengan kedua orang itu, pulang dari kantor. Ia tersentak dengan kalimat terakhir yang disampaikan dalam perbincangan. Hal yang sedang ia cari beberapa waktu belakangan. Orang-orang terlalu sibuk memberinya pertanyaan ketimbang dukungan.
“Hei, kau tak boleh begitu. Biar cemana juga, dia istri kau. Mungkin kau saja yang terlalu berlebihan. Kau bisa seperti ini juga karena dukungan istri kau, yang tetap setiap menemani kau waktu kau susah dulu. Bukankah itu dukungan?”
“Kamu benar. Tiap istri mungkin punya caranya masing-masing dalam mendukung suaminya. Termasuk istriku,”
Kumandangan adzan Maghrib menandakan akhir perbincangan keduanya. Menghabiskan roti bakar yang mereka pesan untuk bisa bergegas menuju masjid terdekat.
Sementara anak muda tadi, ia masih duduk di tempatnya, merenungi dalam-dalam perbincangan kedua orang tadi. Tentang arti sebuah dukungan, tentang rumah yang mulai tak nyaman, dan tentang perbedaan waktu datangnya rezeki. Dan bagaimanapun, semua keresahan itu akan kembali dalam wujud kerelaan pada setiap putusan Tuhannya. Ikhlas menjalani setiap skenario kehidupan.
------
Jakarta, 12 November 2017
syahrilramadhan
2 notes
·
View notes
Text
Di Tepi Jalan
Kebaikan itu bukan terletak pada siapa yang melakukan, tetapi pada apa yang diniatkan dan dilakukan.
Kemarin, kali ke sekian saya berkesempatan berbicara banyak mengenai salah satu kelompok masyarakat dengan seorang kakak yang fokus dalam ranah sosiologi.
Semenjak kuliah, saya memang menyukai hal-hal bernada humaniora. Beberapa kali bahkan saya pernah melakukan riset sosial kecil-kecilan untuk menjawab rasa penasaran saya. Berbaur dengan masyarakat (kecil) seperti memberikan kebahagiaan tersendiri, momen terbaik di mana kita bisa bertanya banyak hal.
Kembali pada perbincangan saya dengan kakak tersebut, yang mengangkat sebuah topik mengenai pekerja prostitusi. Lebih khusus tentang bagaimana keadaan pendidikan anak-anak di bawah asuhan keluarga pekerja prostitusi.
Saya tidak membahas benar salah pekerjaan tersebut. Juga tidak dengan beragam alasan yang melatarbelakangi mereka melakukannya, yang memang sebagian besar mengarah pada faktor ekonomi. Kami membahas mengenai pendidikan anak-anak mereka.
Di luar dugaan, dari penelitiaan yang dilakukan kakak tersebut, ada anak-anak yang memang disekolahkan dengan harap mampu mengubah nasib keluarga. Menjadi manusia yang lebih baik dari kedua orang tuanya.
Memang, di zaman yang serba mudah melakukan justifikasi ini, hal-hal seperti itu takkan ditemukan di tempat yang terlihat oleh mata. Kita perlu turun langsung ke tepi jalan, berbaur, dan menanyakannya secara langsung. Bukan melakukan justifikasi sebelah pihak dan membiarkan stigma yang belum jelas keabsahannya berkembang beranak-pinak.
Karena di tengah oase yang sudah melekat dalam pandangan kita dalam melihat mereka, ternyata masih ada setetes air sejuk. Niat untuk menjadi lebih baik, niat untuk tidak menurunkan ‘kebiasaan’ pada anak-anak mereka.
Iya, terlepas dari apa yang mereka lakukan, mereka tetap saja seorang manusia yang memiliki nurani untuk menjadi lebih baik. Lewat anak-anak, mereka menginvestasikan harapan juga kebaikan yang kelak menghadirkan hujan di tengah oase kehidupan mereka.
Dan mungkin saja, karena mereka mengerti bagaimana seharusnya menjaga titipan Tuhan dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan dengan itu, Tuhan berkenan mengampuni ‘perbuatan’ mereka.
------
Jakarta, 11 November 2017
syahrilramadhan
1 note
·
View note