Tumgik
acupofdisaster · 13 hours
Text
Ternyata, lebih baik bangun pagi langsung ke dapur untuk memasak dua porsi nasi goreng atau bubur.
Lebih baik kerepotan memapah dan menggandeng dua lansia ke toilet, menggosok kulit keriput dengan sabun, menggosok rambut memakai shampoo, menyikat gigi yang sedikit jumlahnya.
Lebih baik memakaikan baju dan sarung, mengoles perut dengan minyak telon. Menyisir rambut yang memutih.
Lebih baik menyuapi bubur yang toppingnya hanya dengan telur dan kecap. Menyiapkan dua tempat duduk di depan rumah untuk berjemur.
Aktivitas yang melelahkan, tetapi jauh lebih melelahkan karena menghadapi perasaan duka yang tidak kunjung mereda.
- 20 September 2024
45 notes · View notes
acupofdisaster · 18 hours
Text
Kesalahan Sebelumnya
Mungkin, ada orang-orang yang tidak pernah memaafkanmu atas kesalahan-kesalahanmu di masa lalu. Saat dirimu masih naif, keras kepala, mudah tersinggung, tidak peka, kurang sabar, dan segala hal reaktif yang pernah terjadi di masa itu, membuatmu mungkin pernah salah bertindak atau berucap. Hingga orang lain pun menjadi marah kepadamu dan kemarahan itu masih hinggap hingga hari ini.
Meski kamu telah berubah, telah memahami bahwa kamu salah, telah meminta maaf. Mungkin itu tidak akan membuatnya memaafkanmu. Jika sudah sampai di situ, ya sudah. Selama kamu sudah meminta maaf, sudah selesai. Karena selebihnya tidak ada dalam kendalimu.
Dari situ, mungkin kita akan sama-sama belajar bahwa sangat mungkin orang itu berubah. Hati seseorang sangat mungkin untuk berubah. Memang semua itu bukan dalam kendali kita, tapi mari kita sama-sama belajar untuk menempatkan diri sebagai orang yang mungkin tersakiti.
Jika suatu hari nanti orang yang telah menyakiti kita di masa lalu telah berubah, apakah kita cukup luas hatinya untuk memaafkan?
Kita pun kadang salah menilai orang, terlalu cepat menyimpulkan. Terlalu liar perkataan kita hingga tak sadar bahwa sebenarnya kitalah yang menciptakan masalah. Mungkin ketidaksukaan dan kebencian membuat pikiran kita tidak cukup adil saat itu. Tidak adil untuk melihat bahwa begitu banyak kebaikan yang sebenarnya ada di antara masalah-masalah yang sedang terjadi. Tapi, hati yang keras tentu akan susah diajak bicara.
Saat kita semakin tumbuh dewasa. Saat kita melihat dunia ini tidak hanya berkaca pada kebenaran dari persepsi sendiri, kita mungkin akan melihat bahwa ada banyak hal baik, ada banyak sekali niat baik di sekitar kita, ada banyak yang peduli, ada banyak sekali yang tidak memiliki niat buruk. Tapi karena hati kita yang sudah terlanjur keras, terlanjut sempit menilai, semua kebaikan itu menguap tak bersisa, menyisakan pandangan mata yang picik. Hingga merasa diri ini menjadi korban dari segala kejadian, alih-alih menyadari bahwa kesempitan hidup berasal dari sempitnya hati menerima perbedaan.
(c)kurniawangunadi
164 notes · View notes
acupofdisaster · 18 hours
Text
Barusan nemu kalimat di salah satu grup tele, kurang lebih begini :
"Belajar itu ibadah, berhasil atau tidak setidaknya kita sudah dapat pahala dari ikhtiar kita"
Seketika menyadarkanku bahwa dulu pemikiranku juga se idealis itu. Ketika belajar untuk ujian, buat tugas kuliah, baca buku sambil nunggu dosen. Ya semua diniatkan untuk ibadah dan agar waktu tidak sia-sia. Manusiawi jika berharap hasil ujian atau nilai tugas bagus, tetapi poin utamanya, semua itu adalah ibadah. Jadi kalaupun hasilnya tidak sesuai harapan, ya tidak perlu terlalu kecewa, setidaknya waktu-waktu belajar itu berpahala.
Dan sejak kapan aku semakin perhitungan soal hal-hal seperti ini. Seolah-olah semua hanya untuk duniawi. Padahal bisa diniatkan untuk ibadah.
Bekerja untuk ibadah, berobat karena sakit adalah ikhtiar sekaligus ibadah, berbicara baik ibadah, belajar juga ibadah, datang ke kajian ibadah. Hei, makna ibadah itu seluas itu.
Kalau akhirnya usaha itu tidak sesuai harapan, sudahlah. Jangan bilang aduh sudah capek-capek belajar, sudah jauh-jauh kesini, sudah mengorbankan ini itu. Tenanglah, Allah tidak tidur, Allah melihat ikhtiar mu. Tidak ada usaha yang sia-sia.
Banyak-banyak istighfar, mohon ampun atas sempitnya pemikiranmu atas setiap usaha.
~ note to my self
169 notes · View notes
acupofdisaster · 18 hours
Text
Kesopanan intelektual adalah kerendahan hati terhadap apa yang aku ketahui; kerendahan hati intelektual adalah kesopanan terhadap apa yang tidak aku ketahui.
— Tariq Ramadan
150 notes · View notes
acupofdisaster · 18 hours
Text
sejak memahami konsep privilege dan kemiskinan struktural, jadi memahami bahwa hidup bukan sekedar perkara pencapaian. Semoga Allah membantu kita untuk memanfaatkan privilege dengan sebaik-baiknya agar hisab kita di akhirat kelak ringan.
Layaknya manusia pada umumnya, kita masih butuh apresiasi atas pencapaian-pencapaian kita. Rayakan pencapaian itu bersama orang-orang yang mendukung kita, sewajarnya. Selebihnya, kembali ingat bahwa privilege itu titipan. Ada tanggung jawabnya di akhirat.
186 notes · View notes
acupofdisaster · 18 days
Text
skill kehidupan.
judul alternatifnya di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
pulang ke indonesia kemarin menyadarkan aku bahwa menuju tahun keempat aku tinggal di Belgia, aku perlahan-lahan kehilangan skills dan intuisi untuk bisa menjalani kehidupan sehari-hari di indonesia. cara aku berpikir, menavigasi, menentukan strategi dan mengambil keputusan-keputusan baik kecil maupun besar dalam hidup sudah berubah.
dan menurutku ini ya wajar saja. empat tahun bukan waktu yang sebentar, walau belum lama-lama banget juga. tapi, kalau aku ga berubah ya berarti aku juga gagal beradaptasi hidup di belgia.
pemikiran ini muncul dari hal-hal kecil yang aku alami dan jalani saat mudik kemarin. misalnya, untuk oleh-oleh buat saudara-saudara aku memilih barang yang sering dipakai di belgia, tapi ternyata kurang fungsional di indonesia. sebagai contoh: jaket windbreaker. kayaknya ini ga akan berguna dan utilitasnya sangat rendah kalau di indonesia kecuali kita sering aktivitas di luar rumah. kalau rutenya cuma rumah-mobil-gedung berAC-mobil-rumah ya buat apa ya kan? sedangkan di sini, karena paling tidak kita harus jalan kaki 1 km dalam satu harinya, jaket/outer adalah andalan.
contoh lainnya adalah botol minum. aku bawain botol minum ukuran <500ml (dopper, hello!). ternyata ini ga fungsional-fungsional banget ya di Indonesia! haha. kalau di sini bawa botol minum kecil masih bisa dipakai karena cukup mudah untuk kita bisa isi minum di mana aja. sedangkan tujuan orang bawa botol minum di Indonesia ya karena ga bolak-balik beli minum dalam kemasan. minimal 600ml lah.
atau aku awalnya ga papa harus jalan kaki kalau kira-kira durasinya 15 menit. yang akhirnya aku sadar bahwa ini tidak begitu praktis di Bandung misalnya, karena trotoar sangat tidak proper. terus yang paling sebel, kok ada catcalling? hhh.
atau ketika aku gapapa ga selalu berada di ruang ber-AC atau bahkan aku udah ga bisa lama-lama di ruangan ber-AC karena ternyata selama ini hidup dengan udara asli telah mengubah mekanisme tubuh aku dalam mengatur suhunya. ini bukan aku aja. tapi, beneran deh AC itu bikin kering dan buatku terlalu dingin! aku tetap pasang AC karena aku butuh sirkulasi udara, dan aku menyadari rumah-rumah di Indonesia banyak yang sirkulasi udaranya kurang baik karena didesain untuk ramah AC. contoh paling nyatanya: atapnya rendah. untungnya rumah ibu dan bapakku gak begitu, kita masih bisa survive tanpa AC kecuali memang lagi panas banget!
atau aku terbiasa menyapa "halo" kepada yang sedang memberikan aku jasanya, tapi ternyata aku harus hati-hati apalagi misalnya aku naik taksi sendiri. 'keramahan' bisa jadi bumerang buatku. baru ingat lagi betapa aku sangat 'judes' kalau aku di Jakarta. tapi ini problem kota besar sih, ga spesifik di Indonesia.
-
selanjutnya soal travelling. kemarin di Indonesia aku cukup banyak travelling ke berbagai kota untuk mengunjungi sanak keluarga di sana sini. tentu saja cara melakukan perjalanan di sini dan di Indonesia berbeda, dari akunya pun berbeda. di sini aku biasa flash-packer. mau bawa kendaraan sendiri pun aku berusaha untuk travel light. tapi, kemarin pas aku mudik ke lampung, ibuku membawa tentengan 8 buah untuk kembali ke bandung! haha. semuanya oleh-oleh dan bingkisan dari orang, tapi OMG! padahal kami melakukan perjalanan dengan menggunakan Bis DAMRI lho! transportasi umum! aku sempet mau protes ke ibuku, tapi aku sadar kalau aku lupa bahwa di Indonesia 'semua bisa diatur' dan selalu ada yang akan membantu untuk bawain barang-barang kita.
atau tentang cara berkendara di jalan raya. baru sadar bahwa kami (aku dan mamo) udah ga biasa lagi berkendara, baik sebagai pengendara maupun penumpang, di Indonesia. kami biasa pakai seatbelt mau duduk di kursi mana pun. tapi split second kami langsung ingat, jadi tetep ga pakai kalau kebagian duduk di kursi tengah/belakang. atau kami biasa patuh pada rambu, tapi di Indonesia rambu tidak terlalu banyak dan siapa sih yang patuh pada batas kecepatan di tol? menurutku batas kecepatan 60-80km/jam di tol itu halu deh! kami pun berpendapat bahwa: kalau di Indonesia kami sibuk memperhatikan pengendara lain kalau di jalan: hati-hati tiba-tiba bisa ada yang nyalip atau mepet, hati-hati tiba-tiba bisa ada motor, hati-hati angkot bisa berhenti tiba-tiba, hati-hati ada yang suka zigzag, dsb. kalau di sini kami harus cermat memperhatikan rambu lalu lintas yang banyak sekali dan banyak simbol yang kami ga hapal-hapal! harus tau kapan harus kebut, kapan harus lambat, kapan harus ngalah, dll dll.
-
hal-hal ini bukan hal yang besar tentu saja. tapi, split second keputusan-keputusan kecil ini sering dipertanyakan. split second berikutnya aku langsung eling kok, oh iya ini lagi di Indonesia, what would my-Indonesian-personality do in such situation? banyak skills yang harus kubangkitkan lagi dari tidur panjang, dan dalam waktu satu dua hari, atau maksimal seminggu sudah kembali lagi kok muscle memories-nya ;-)
seru juga dipikir-pikir punya dua kehidupan, bikin aku sadar betapa batas-batas kehidupan yang tadinya menutupi kepala, bisa di-stretch kalau memang harus dan terpaksa.
3 notes · View notes
acupofdisaster · 18 days
Text
kehidupan orang-orang yang terlihat bahagia itu apa karena mereka terus bergerak ya?
bukan, melainkan karena pertolongan Allaah. mereka terus bergerak sebab Allaah yang menggerakkan mereka untuk tidak berdiam diri..
maka tolong, jangan berpaku pada hal yang kamu lihat dan mungkin sangat jauh dari jangkauanmu. melainkan, berdayalah pada apa yang sudah kamu miliki, bersyukurlah pada apa yang telah ditetapkan untukmu.
234 notes · View notes
acupofdisaster · 18 days
Text
Memaknai Keputusanmu di Antara Pilihan
Orang lain hanya akan melihat keputusan yang kamu ambil, mereka tidak akan pernah melihat pilihan-pilihan yang kamu miliki.
Sehingga, ketika kita hanya dinilai dari keputusan kita, jangan berkecil hati. Sejatinya mereka tidak pernah tahu struggling-nya kita terhadap pilihan-pilihan yang ada saat itu. Dan keputusan kita saat itu adalah keputusan terbaik dari semua pilihan yang kita miliki.
Mari kita lihat dengan hati yang lebih lapang pada setiap pilihan yang kita miliki. Sebab, dalam hidup ini kita tidak perlu menjelaskan kepada semua orang tentang pilihan yang kita ambil.
Meski dinilai tidak menguntungkan, memilih yang tak pasti, memilih yang sulit, memilih yang nggak ada uangnya, dsb.
Selama kamu yakin sama pilihanmu dan mau sama risikonya. Ambil dan jalanilah, kemudian tutup telinga.
Pada akhirnya, kita perlu percaya kepada Allah bahwa keputusan yang kita ambil lahir dari ilham yang diberikan-Nya. Ada hal-hal yang tidak kita tahu soal masa depan, rasanya mungkin khawatir dan menakutkan. Tapi percayalah, jarak antara kita dengan banyak kebaikan di depan, kadang hanya di masalah keberanian buat mengambil keputusan. (c)kurniawangunadi
492 notes · View notes
acupofdisaster · 18 days
Text
Mewujudkan Mimpi di Umurmu Kini
Takut ya? Lebih menakutkan daripada bertahun yang lalu? Saat mimpi dibenturkan sama realita dewasa, bekerja dari pagi hingga petang, bahkan kadang jarang pulang. Harus membiayai diri sendiri, sebagian yang lain ikut membiayai keluarga, adik-adik, bahkan saudara jaug. Saat tanggungan diri seolah-olah hanya bertumpu pada diri kita. Mimpi kita terasa semakin tak nyata, jauh tak tergapai. Takut untuk mengubah lajur hidup, karena penuh ketidakpastian. Takut mengubah arah, karena takut ditertawakan.
"Buat apa susah-susah ke sana, padahal yang sekarang sudah pasti. Cari yang pasti-pasti saja!" Ujar mereka.
Aku tahu hatiku bilang apa, tapi otakku tak bisa menerima. Bahwa hidup yang sementara ini, jangan hanya memikirkan diri sendiri, katanya. Tapi hatiku bilang, kalau tidak bahagia, tiada ketenangan, buat apa dipertahankan?
Aku ingin sekali mengikuti kata hatiku. Tapi aku sangat takut tak bisa membeli makan besok. Takut tak bisa hidup nyaman. Takut sekali seperti tak bertuhan. Astaghfirullah hal adzim.
Kalau aku meniliki diriku berpuluh tahun lalu, aku tak sebahagia itu. Apakah aku bisa hidup dengan pilihanku? Apakah aku bisa menjalani hidup ini tanpa harus berpikir materialistik? Ya Allah, anugerahkan kepadaku rasa cukup, anugerahkan kepadaku keberanian. Anugerahkan kepadaku rasa aman. Bahwa menjadi hambamu, aku tahu takkan Kau biarkan kekurangan, takkan kau biarkan tersesat di jalan. Sebagaimana Engkau anugerahkan kepadaku saat aku kecil dulu, untuk berani bermimpi, mudah bahagia, dan tak melihat dunia ini dari sudut pandang uang. Sehingga aku merasa sangat berkecukupan :) (c)kurniawangunadi
309 notes · View notes
acupofdisaster · 18 days
Text
"Berapa banyak dari kita yang memperoleh ketenangan saat memperpanjang shalatnya?'
Jawabannya akan sama dengan,
"Berapa banyak dari kita yang memperoleh kemenangan saat mempersabar pengabdiannya?"
— Giza, sedang memperdalam sense of urgency dari shalat
120 notes · View notes
acupofdisaster · 18 days
Text
Dulu waktu kecil mikirnya sholat tahajud itu yaa untuk ngedapetin hajat-hajat duniawi kita. Misal mau menang lomba, mau daftar seleksi, dll. Kira-kira begitu yang lingkungan ajarkan kepadaku.
Kini setelah dewasa, aku lebih mengartikan tahajud adalah momen intimate untuk bertemu Sang Pencipta. Mau ngapain aja bebas. Curhat, minta dikuatin aja, minta diringanin beban, nangis tanpa sebab, dsb. Ga harus doa muluk-muluk nuntut duniawi. Kadang abis sholat juga aku cuma bengong ga ngapa-ngapain. Yah, karna di dunia yang aku sesendirian ini, mau sama siapa lagi nyandar kalo ga sama Allah.
Sekarang aku bener-bener pasrahin jalan hidupku sama Allah. Selama ini Allah udah kasih jalan yang terbaik sih menurutku. Jadi aku gausah sok ngatur gitu deh. Tinggal jalanin dengan usaha sebaik-baiknya.
292 notes · View notes
acupofdisaster · 20 days
Text
"Engkau tidak akan pernah mendapatkan arti kata sempurna pada hal yang diberikan padamu, engkau akan mendapatkan segala sesuatu dengan jumlah yang kurang, namun ia menjadi sempurna karena ridhomu."
Aku teringat kala itu Tuhan mengujiku dengan lebih banyak kekurangan daripada kelebihan, setidaknya itulah yang aku rasakan. Pekerjaan tidak sesuai harapan, impian yang seolah mustahil kugapai, dan banyak hal. Kekurangan yang aku alami terus bertubi-tubi ini, membawa maksud apa? tanyaku.
Aku terdiam, menerka-nerka akan rahasia Tuhan di balik semua ini. "Apakah memang ini bentuk ujian bagiku, atau justru anugerah yang Dia hendak ajarkan kepadaku nanti, ketika syarat-syarat menerimanya telah kupenuhi. Jika memang itu augerah, lantas apa syarat yang aku harus penuhi?" tanyaku pada hati saat itu.
Sampai suatu peristiwa dihadapkan padaku. Tentang seorang kakek yang sedang menyapu di jalan raya. Pakaiannya terlihat lusuh, namun wajahnya terlihat teduh, wajah dari seseorang yang terlihat ridho dan mencintai utuh pekerjaannya. Melihatnya, aku hanya terdiam. Lidahku kelu, perlahan air mata ini pun mulai berderai.
"Apakah syarat itu berupa keridhoan?" "Apakah keridhoan yang selama ini belum secara utuh kuhadirkan?"
tanyaku.
Di tengah kebingungan dan kegelisahan yang semakin menumpuk, perasaan hampa dan putus asa terus menghantuiku. Aku yang saat itu merasa hilang arah, tidak tahu harus berbuat apa, memaksakan agar ridho atas semua yang aku terima, bagaimanapun bentuknya. Ternyata benar, keridhoan betul-betul menjadi kepingan terakhir pelengkap kegusaran ini.
Keridhoan bukanlah sekadar menerima apa adanya, tetapi menemukan kedamaian dalam ketidaksempurnaan. Ketika kita meridhai apa yang diberikan, kita belajar untuk tidak terjebak dalam keinginan yang tidak terpenuhi, melainkan bersyukur atas setiap hal yang kita miliki, sekecil apa pun itu.
Mungkin, Tuhan tidak selalu memberikan apa yang kita maukan, tetapi Dia selalu tahu, memberikan apa yang kita butuhkan. Dan di situlah letak keajaiban ridho—di mana kita menemukan kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan, dan kebahagiaan dalam rasa syukur yang utuh. Dalam kekurangan dan ketidaksempurnaan, mungkin Tuhan sedang mengajarkan arti penerimaan dan ridho akan pemeberian-Nya.
Semoga keridhoan adalah hal yang mudah untuk terus kita hadirkan, pada setiap pemberian, pada setiap pencapaian. Di dunia yang terus menuntut kesempurnaan.
202 notes · View notes
acupofdisaster · 1 month
Text
Memandang Hidup Lebih Dalam
Hidup ini bergulir dengan jalan ceritanya, namanya takdir atau kita kenal sebagai Qada dan Qadar. Salah satu rukun yang perlu kita imani. Secara harfiah, bisa kita artikan jika kita tidak meyakini takdir kita sendiri = kita tidak beriman.
Keadaan kita saat ini, adalah yang terbaik. Masa lalu kita, darimana kita berasal, dari siapa kita dilahirkan, dengan segala dinamikanya, itu adalah yang terbaik. Memang susah sekali untuk meyakininya bahwa itu adalah yang terbaik, sebab saat kita menjalaninya saat ini rasanya jungkir balik, bahkan berobat rutin dengan antidepresan, dan sebagainya.
Tapi coba lihat lagi kehidupan kita ini, lebih teliti. Bagaimana selama ini rezeki kita dicukupkan, bagaimana selama ini kita bisa bertahan, bagaimana selama ini semua rentetan kejadian membuat kita belajar banyak hal. Dan semua hal yang kita miliki itu menjadikan kita seperti sekarang.
Mengimani qada dan qadar ini juga mampu membuat hidup kita lebih tenang, tidak mudah hasad dengan apa yang dicapai orang lain, tidak mudah iri dengan hidup orang lain, dan juga tidak mudah bersedih atas apa yang kita miliki. Karena semua ditakar dengan sangat baik, oleh Yang Maha Adil dan Bijaksana.
Kalau kita merasa kurang beruntung? Apakah memang keadaannya yang kurang beruntung, atau perasaan kita yang menciptakan rasa kurang beruntung karena membandingkan hidup kita dengan yang harapan kita atau dengan yang lain?
Kalau semua orang bisa memiliki rasa cukup dalam dirinya. Bumi ini takkan pernah kekurangan untuk mencukupi kebutuhan milyaran manusia. Tapi sekalinya ada rasa ingin lebih, lebih, dan lebih. Bumi ini takkan cukup untuk keserakahan.
311 notes · View notes
acupofdisaster · 1 month
Text
Jika ingin kebaikan itu datang padamu, maka belajarlah mendekati yang memberi kebaikan. Ya. Sebab, bagaimana kebaikan ingin mendekat, bila kita menjauh dari yang memberi kebaikan?
A fa laa Ta'qiluun (Tidakkah kamu mengerti?)
"...Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat." (Muttafaq alaih)
Jangan kita mengira kebaikan itu hanya sebatas diberi kebahagiaan dan diijabahnya doa, dan kebaikan-kebaikan itu ada banyak macamnya, diantaranya juga ; ketenangan hati, rasa takut kepada Rabb tatkala melakukan dosa dan kesalahan kepada manusia lainnya, serta diri yang selalu mau belajar agama dan bertaubat, sungguh hal-hal ini juga adalah bagian dari kebaikan. So, flee to Allaah.
218 notes · View notes
acupofdisaster · 1 month
Text
Menurut Umar al-Khattab, hati kita ada masanya sangat bersemangat dalam beribadah. Ada masa hati akan jadi lemah dan longgar dalam beribadah. Maka apabila sedang bersemangat, banyakkanlah amalan sunat. Apabila sedang lemah, kuatkanlah amalan wajib.
— Madarij al-Salikin, 3/542
568 notes · View notes
acupofdisaster · 1 month
Text
buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
menurutku masih wajar kalau anak mengikuti jejak orang tua dalam hal karir. bapak ibunya dokter, anaknya pas gede kuliah kedokteran dan jadi dokter. di spesialisasi yang sama. bapak ibunya itb, anaknya kuliah teknik juga, di itb juga. bapak ibunya pebisnis, anaknya pas gede buka usaha. bahkan kadang nerusin bisnis orang tuanya. bapak ibunya politikus, anaknya terjun ke dunia politik? ya gapapa.
wajar. karena kita akan 'tertarik' sama apa yang sering dipaparkan di depan mata kita. banyak kan yang dari kecil anaknya udah diajakin main ke itb, ngeliat betapa cantiknya area kampus itu. atau seperti aku, yang waktu kecil setiap pulang sekolah pulangnya ke klinik praktik ibuku, bukan langsung ke rumah (walaupun aku ga jadi dokter juga sih ujung-ujungnya). atau yang pulang sekolah bantuin orang tuanya di toko. paparan-paparan itu, sedikit banyak, akan mempengaruhi bagaimana seorang anak menentukan masa depannya, dia mau jadi apa.
dan wajar juga dengan privilege yang dimiliki. anak lulusan teknik pasti 'dibantuin' orang tuanya untuk masuk ke institut. seminimal mungkin diajarin matematika biar lulus ujian. atau diceritain hal-hal yang harus dilakukan untuk survive di perkuliahan teknik, apalagi kalau masuk ke kampus yang sama. anak dokter juga punya banyak buku referensi yang mungkin ga perlu beli lagi sendiri karena orang tuanya udah punya. karena beberapa ilmu ga berubah selama 20 tahun ke belakang. anak pebisnis juga secara otomatis udah biasa ngitung untung rugi karena itu yang dilihat dan dilakukan sehari-hari.
yang ga wajar apa? ketika dalam proses seleksinya, proses kompetisinya, proses ujian dan tesnya sang anak tidak dibiarkan menjadi manusia independen. individu yang mandiri, yang berdiri di atas kemampuannya sendiri dan pertolongan Tuhan. anak dokter bisa buka ruang praktik sendiri di klinik orang tuanya apakah wajar? ya masih gapapa. tapi, kalau anak dokter bisa jadi di dokter di RS karena orang tuanya kerja di RS tersebut, bukan karena anak tersebut beneran diuji kompetensinya, ya gimana? yang penting harus pasti, anaknya memang udah kompeten untuk jadi dokter. dokter gitu, kalo apa-apa soal nyawa. ketika anak pebisnis kenal dengan banyak investor karena kebetulan mereka rekan-rekan bapaknya yang sering main ke rumah atau main golf bareng, privilege itu ada dan nyata. jalur orang dalam? bisa jadi. tapi, tetap saja anak itu harus bisa pitching dengan baik dan membuktikan bahwa bisnisnya legit dan dia kompeten.
Tumblr media
kita yang ga punya privilege-privilege itu ga bisa ngapa-ngapain selain belajar lebih keras. ya gapapa, start semua orang ga harus sama di race ini. peralatan kita kita punya juga mungkin ga sama, ada yang pake sepatu lari paling empuk, ada yang pake sepatu olahraga biasa aja yang mungkin ga khusus lari. tapi, paling ga, gimana caranya sistem kompetisinya menjaga agar kompetisinya se-fair dan seobjektif mungkin untuk mengurangi efek dari privilege-privilege pribadi tersebut, dan penilaian berjalan by merit.
menurutku bias itu ada. menurutku privilege seperti itu ga bisa dilawan. tapi sejauh mana, sampai sejauh mana? kalau akal dan nurani masih bekerja dan sinkron, tentu kita tau jawabannya.
4 notes · View notes
acupofdisaster · 2 months
Text
Mungkin salah satu alasan kenapa kita harus berdoa bukanlah memberi tahu Tuhan apa yang kita mau. Tuhan maha tahu, Tuhan sudah tahu itu. Mungkin lebih ke diri sendiri, menyadari apa yang kita mau. Kadang beberapa dari kita tidak tahu apa yang benar-benar kita mau. Kita enggak menyadari sepenuhnya apa kemauan kita. Kalau gak tahu apa kemauan kita, bagaimana cara mewujudkannya? Kemauan harus jelas, kalau gak jelas namanya halu. Ya, sedihnya sepertinya itu adalah aku.
202 notes · View notes