I sometimes search for myself at the bottom of many a cup of tea while writing you a letter(s).
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Jarak, Kecepatan, Waktu; Bagaimana Aku Mendeskripsikanmu?
Aku ingin melipat jarak yang terbentang di antara kita, agar semua terlihat dekat dan jadi mudah, ku harap aku bisa mempermaknya agar terlihat sejengkal, namun kita sama-sama tahu bahwa lagi-lagi bukan aku yang Maha Kuasa.
Tapi, tolong biarkan aku berusaha ya?
—————————————————————
Jarak, kecepatan, waktu, harus bagaimana aku mendeskripsikanmu?
Ambisiku banyak sekali; ingin jadi ini, ingin jadi itu, mau punya ini, mau punya itu, pingin bikin ini, pingin bikin itu, dari yang super klise sampai yang paling kompleks. Aku harap aku bisa mewujudkan semuanya.
Tapi kemarin aku cuman pingin satu; bisa merayakan lebaran sama keluarga. Aku lupa rasanya, atau ritualnya, perlahan hologram yang otakku berusaha deskripsikan itu hilang, dan aku mulai kewalahan mempertahankan serpihan bayangannya. Makin bertambah umur, aku makin sadar betapa jarak dan waktu adalah hal sakral yang hampir jadi variabel yang harus aku korbankan apabila menyangkut ambisiku.
Aku jadi bertumbuh menghargai waktu dan punya pemahaman bahwa meluangkan waktu adalah bentuk kasih sayang. Aku mulai menganalisa tempat dan ruang bersenda gurau dengan orang-orang tersayang, memberi perhatian lebih atas segala kata yang mereka ucap. Aku ingin lebih banyak mendengar, semata-mata takut lupa intonisasi orang tersayang. Aku ingin lebih banyak bertanya, agar aku bisa memahamimu selalu terlepas ruang dan waktu.
Aku terus berharap, disetiap waktu aku panjatkan ke langit, berharap semua satu-persatu ambisiku terwujud, tapi aku lupa meminta agar diberikan kekuatan untuk menanggung resikonya; Menanggung jarak yang jadi berkali-kali lipat jauhnya atas nama ambisi. Tahun pertama, tahun kedua, rasanya seperti dijebak, berputar dan bertanya di setiap tahunnya, dengan segala macam rintangan yang kasat mata maupun tidak, apakah cita-cita ini sesuatu yang masih layak aku lantunkan dalam doa agar Yang Maha Mendengar bantu terus wujudkan?
Meminta belas kasihan Tuhan untuk membantuku menjadi ikhlas dengan segala kelemahan jiwa, tapi yang terucap rupanya hanya diri ini minta dikuatkan dan diberikan ketabahan, kesabaran, keikhlasan untuk menjalani apapun yang Tuhan rasa layak untuknya.
Jarak, kecepatan, waktu; untukmu, aku harap aku bisa mengendalikan ketiganya.
0 notes
Text
Pada akhirnya, mencari ilmu itu untuk diri sendiri; membenahi cara pikir yang keliru, membersihkan hati yang berkarat, serta memperbaiki perilaku yang terkadang serampangan
Tapi apakah menunggu sesempurna itu kita mengingatkan dengan ilmu? tidak juga, kita manusia, memanglah sesuai artinya yaitu lupa; maka perlu diingatkan oleh sesama
Apalagi, sejatinya makna lupa itu berkaitan dengan kesaksian dahulu di alam ruh (–oleh Prof Naquib Al Attas, disebut "alam alastu") bahwa Allah adalah Tuhan kita.
Maka, makna ibadah kata Ibnu Abbas, salah satunya yaitu "untuk mengenal". Siapa yang perlu kita kenal? Allah! Untuk apa kita kenal? Untuk menjawab "Man Rabbuka" Dengan apa kita mengenal Allah? dengan Ilmu!
Lalu bagaimana soal Rasulullah? seharusnya, ketika kita mengenal Allah melalui ilmu, disitulah kita juga menyakini Rasulullah, sebagai orang yang paling dekat dengan Allah, dan yg diberikan Ilmu, yang terwariskan melalui para ulama, sehingga sampai kepada kita hari ini
68 notes
·
View notes
Text
Jika banyak target-target yang belum tercapai, coba perbaiki lagi kualitas shalat yang mulai terbengkalai. Jika manajemen waktu masih berantakan, coba perbanyak lagi interaksi dengan Al Qur'an.
Bisa jadi target-target itu tertunda karena shalat yang sering ditunda-tunda atau khusyu' yang tak lagi ada. Dan bisa jadi pula, keberkahan waktu menjadi hilang sebab interaksi dengan Al-Qur'annya semakin jarang.
Yuk, perbaiki lagi kualitas shalatnya. Yuk, perbanyak lagi membaca Al-Qur'annya.
Kita usahakan menjadi hamba Allah yang bersegera ketika diseru. Kita usahakan menjadi hamba Allah yang dekat dengan Al Qur'an itu.
Semangat ya! Allah itu senang sekali dengan hamba-hamba-Nya yang terus berusaha memperbaiki diri.
Ukhtukum fillah,
@rizqan-kareema
171 notes
·
View notes
Text
Tidak ada keadaan yang lebih menenangkan dibanding ketika imanmu kepada Allah sedang hebat-hebatnya dan tawakalmu kepadaNya sedang kuat-kuatnya dan tidak ada keadaan yang lebih menggelisahkan dibanding saat imanmu kepada Allah sedang payah-payahnya dan tawakalmu kepadaNya sedang lemah-lemahnya.
(Mereka berdoa) "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi." (QS. Ali Imran: 8)
©Fajar Sidiq Bahari (@fajarsbahh)
113 notes
·
View notes
Text
Ketenangan itu buah dari keyakinan kita kepada Allah; yakin Allah maha pengasih dan penyayang, yakin Allah maha tahu, yakin Allah maha bijaksana, yakin akan seluruh sifat dan namaNya yang indah dan sempurna. Sayangnya kita belum seyakin itu padaNya, sehingga buah ketenangan itu tak kunjung ranum dalam jiwa.
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahKu) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS: Al-Baqarah: 186)
©Fajar Sidiq Bahari (@fajarsbahh)
112 notes
·
View notes
Text
Yang namanya bismillah dan bismirabbika itu bukan lagi sekadar melibatkan, tapi bergeraknya sudah atas nama.
Kita tidak membawa kehendak diri lalu kemudian meminta Allah turun tangan untuk memudahkan, tetapi kita (dengan bangga dan bertanggung jawab) memposisikan diri sebagai petugas, perpanjangan kehendak-Nya untuk melakukan hal-hal yang Dia ridhai.
Artinya kita menggunakan resource dan tools di dalam dan luar diri sebagai fasilitas dalam ketugasan tersebut.
"Ya Allah, hari ini aku pinjam ya mata dan telinganya untuk mengambil input yang dibutuhkan. Ya Allah, hatinya izin kupakai untuk memproses inputan itu ya. Ya Allah, tubuh, lisan, dan tangan ini, izin kupakai untuk bergerak dan berbicara menyebarkan cahaya-Mu ya!"
Betapa tenangnya bergerak "atas nama" sebab Dia akan menanggungjawabi hasil akhirnya. Kita hanya perlu menjalankan tugas sebaik mungkin (ahsanu amala), dengan sepenuh hati (wholeheartedly) dan segenap kemampuan (istitho'ah), tanpa terbebani oleh kegagalan atau kesempurnaan menurut ukuran dunia.
Ketika bergerak atas nama-Nya, kita tidak lagi terjebak pada ketakutan akan kekurangan diri, sebab yang bertindak bukan hanya kita, melainkan Dia melalui kita. Kita hanyalah sarana, alat dalam orkestrasi besar yang sudah diatur-Nya dengan presisi.
Diterima atau tidaknya usaha kita, itu urusan Dia. Apakah hasilnya sesuai harapan atau tidak, itu kehendak-Nya. Yang terpenting adalah willingness dan effort kita, sejauh mana kita menyerahkan diri pada misi yang Dia titipkan.
Bukankah di situ letak indahnya tawakal? Menjadi hamba yang yakin bahwa ketika kita berjalan menempuh ikhtiar dengan membawa gagasan-gagasan langit, Dia pula yang akan membuka jalur-jalur langit sebagai pertolongan berlapis-lapis. Karena itu, kita tidak perlu ragu, tidak perlu takut salah, sebab tugas kita hanya satu: menjadi sebaik-baiknya pelaksana, seikhlas-ikhlasnya hamba, dengan sepenuh-penuhnya keyakinan.
— Giza, pada akhirnya, semua kembali kepada-Nya, sebab kita memang hanyalah milik-Nya.
367 notes
·
View notes
Text
Kerendahan hati adalah mengetahui bahwa kau bisa mendapatkan jawaban dari siapa pun: baik itu anak-anak, orang lain, atau alam.
— Tariq Ramadhan
185 notes
·
View notes
Text
"Cari kebahagiaan yang lain."
Ada dua akun sosmed yang suka aku ikuti: Dokter Tono di Instagram dan Dokter Amira di TikTok. Dokter Tono adalah konsulen fertilitas yang praktik di RS Limijati Bandung, sedangkan Dokter Amira adalah satu-satunya dokter spesialis kandungan di Fakfak, Papua Barat. Dua dokter spesialis kandungan dengan konten yang isinya bumi dan langit.
Kalau liat konten Dokter Tono, mayoritas isinya adalah para pasutri yang sudah menikah lama dan sedang berikhtiar untuk bisa mempunyai anak. Sudah berkeliling ke banyak tempat dan dokter, sampai ke luar negeri segala, tapi masih belum dapat anak juga. Sedangkan isi konten Dokter Amira mayoritas adalah anak-anak di bawah umur yang datang dengan beragam penyakit menular seksual, hamil di luar nikah, sudah aktif berhubungan seksual sejak umur belasan tahun, ibu yang datang dengan pendarahan hebat karena sudah hamil ke-5 atau lebih karena suami masih mau punya anak laki-laki, serta berbagai macam kasus kegawatdaruratan persalinan yang sungguh bikin prihatin.
Akhir-akhir ini konten Dokter Tono banyak yang isinya adalah beliau menyampaikan dengan lugas bahwa ya, memang, pasangan yang datang tidak bisa mempunyai anak. Entah rahimnya sudah rusak, ovum sudah tidak terlihat, menopause dini, sperma suami yang juga jelek - kondisi-kondisi dimana usaha bayi tabung seperti apapun, secara sains, tidak akan bisa berhasil. Hanya akan menghabiskan uang saja, dan entah kesedihan seperti apa yang akan datang dari kegagalan demi kegagalan yang mungkin datang.
Dan ada satu kalimat yang sering beliau ucapkan setelah menyampaikan putusan menyedihkan itu: "Cari kebahagiaan yang lain, ya."
Itu, juga saran untuk meningkatkan kualitas hidup - entah dengan operasi besar untuk angkat rahim supaya tidak sakit setiap bulannya, untuk menikmati waktu bersama pasangan, atau cari cara lain untuk punya keturunan seperti melalui proses adopsi.
Kadang ucapan itu disampaikan sambil beliau bilang: "Jangan nangis dulu..." karena gak terbayang juga sih seperti apa rasa kecewanya, bahwa harapan yang masih dijaga untuk tetap ada itu pada akhirnya harus dipadamkan juga. Ada yang sudah belasan tahun menikah, ada yang umur masih awal 30-an, ada yang sudah gagal bayi tabung berkali-kali.
Tapi sebenarnya apa sih, kebahagiaan yang lain itu? Kata 'kebahagiaan' dan juga 'yang lain', sepertinya bukan dua frasa yang bisa disandingkan untuk diterima seseorang dengan mudah dan hati yang lapang. Karena tetap saja, ketika kita sudah mendefinisikan kebahagiaan yang lain, kebahagiaan itu tetaplah bukan kebahagiaan 'yang itu'. Dalam konteks kehidupan yang lain, misalkan anak SMA yang gagal SNMPTN untuk masuk ke universitas yang dia idamkan - dan dia harus mencari universitas 'yang lain'. Tentu, bisa saja ternyata universitas itu adalah pilihan yang lebih baik untuknya, tapi tetap saja itu bukan universitas 'yang itu'. Atau ketika seseorang masih mencintai seorang yang lain, tapi hubungan itu harus berakhir mengecewakan dan dia harus mencari orang 'yang lain', tapi tetap saja orang itu adalah bukan orang 'yang itu'..
Kalimat "Cari kebahagiaan yang lain" itu singkat saja, tidak bertele-tele, tapi implikasinya panjang. Ada keikhlasan yang harus diusahakan, ada mimpi-mimpi yang harus dilepaskan, dan ada jalan-jalan lain dan cerita hidup lain yang harus dicari, untuk diterima. Agar mungkin, suatu hari nanti kehidupan 'yang lain' itu adalah kehidupan yang bahagia, yang bisa terbebas dari perandaian mengenai situasi kehidupan 'yang itu'.
45 notes
·
View notes
Text
Perjalanan Emosi dalam 365 Hari
Desember tahun lalu, dalam sebuah momen family coaching, suami saya bertanya, "Kalau dibuat seperti tema, apa tema hidupmu di tahun depan?" Dengan penuh percaya diri, saya menjawab, "Grow in peace." Entah dari mana datangnya kepercayaan diri itu, tetapi saat itu saya begitu yakin bahwa tahun 2024 akan menjadi tahun dimana saya banyak bertumbuh dalam sunyi, ketenangan, dan kedamaian.
Satu dua bulan pertama, rasanya hari-hari bergulir dengan damai. Saya lebih banyak fokus pada peran saya sebagai istri yang mensupport mimpi-mimpi suami sambil saya pun merawat mimpi saya sendiri. Tapi di bulan berikutnya, perjalanan takdir membawa saya kepada skenario-skenario yang berbeda.
Skenario "kehilangan" ternyata hadir. Memang bukan yang pertama di dalam hidup, tetapi rasanya tetap menyakitkan. Kehilangan itu dihadirkan Allah lewat berbagai perantara: kepulangan orang tersayang, terpisah dari anak-anak ideologis yang sudah saya "rawat" sejak lama, pergantian amanah, dsb. Dalam perasaan-perasaan yang tidak bisa dijelaskan, saya berteriak di dalam hati, "Ya Allah, ternyata memang nggak ada yang milikku ya di dunia ini?" Di satu sisi merasa menemukan hikmah, tetapi disisi lain saya harus rela menjumpai sisi diri saya yang ternyata masih terikat dan bergantung pada apa-apa yang tidak seharusnya.
Setelah kehilangan, selanjutnya ternyata adalah kekecewaan. Saya kecewa karena harus memaklumi orang lain atas kekeliruannya di saat saya sebenarnya tidak punya cukup energi untuk itu. Saya kecewa karena orang-orang yang saya pikir akan bisa melindungi saya dari rasa sakit tapi ternyata justru menorehkan luka yang dalam meski mereka tidak bermaksud untuk melakukannya. Saya juga kecewa karena ternyata saya harus melewati masa-masa kecewa ini sendirian: orang lain sedang sibuk dengan perasaannya, perubahan hidupnya, dsb. Sampai-sampai, saya muak mendengarkan cerita dari orang-orang terdekat. Seperti ingin berteriak, "Kenapa semua tentang kamu? Kapan kamu pernah bertanya tentang perasaanku?"
Belum cukup selesai dengan semua itu, saya pun harus berhadapan dengan sebuah kenyataan bahwa Allah menunda doa terbaik saya untuk dikabulkan. Sudah banyak waktu yang saya habiskan untuk menunggu, tapi rupanya Allah meminta saya untuk menunggu lagi. Pedihnya, dalam masa menunggu ini saya justru harus menyaksikan orang lain mendapatkan apa yang saya tunggu tanpa harus mereka menunggu sebagaimana saya menunggu. Sisi kekanakan saya berkata, "Ya Allah, boleh nggak sih saya ini dikasih bahagia? Boleh nggak doa yang ini tolong dikasih aja?" Hopeless~ Saya bahkan sempat merasakan tubuh saya begitu lemah, seperti tanpa tulang untuk bergerak.
Alih-alih grow in peace, rupanya Allah "memaksa" saya untuk grow in chaos. Saya merasa tidak punya prestasi apa-apa di tahun ini selain urusan bertahan hidup dan mempertahankan kewarasan diri. Rasanya seperti benih yang ditanam jauuuuh di dasar tanah. Pada suatu fase di hidup kita, bertumbuh itu ternyata bisa terasa sangat menyakitkan, ya!
Emosi saya di tahun ini naik dan turun. Banyak stabilnya, tapi episode tidak stabilnya pun qadarullah sering terjadi. Tapi setidaknya saya punya beberapa takeaways untuk reminder diri saya sendiri:
Grow in chaos masih lebih baik dari pada tidak bertumbuh sama sekali.
Hal-hal yang bisa membuat kita merasa utuh ternyata ada pada hal-hal kecil, sederhana, dan bahkan tidak diketahui orang lain, tetapi kita merasakannya.
Semua takdir adalah bentuk kasih sayang Allah meski sekarang kita belum bisa memahaminya.
Orang lain hidup dengan takdirnya, diuji dengan ujiannya, begitu juga kita dan keluarga.
Kata guru saya, nggak apa-apa kalau masalahnya belum selesai, toh penyelesaian juga datangnya dari Allah. Tetapi, selama kita tetap naik keimanannya, maka sebenarnya kita sedang menjemput keberhasilan kita dalam menghadapi ujian.
Subhanallah. Semoga Allah mengampuni atas setiap kekeliruan respon terhadap setiap situasi dan kondisi. Dan semoga Allah hantarkan diri kepada hikmah dari semua gelap dan rasa sakit. I'm planted seed, then I will grow and heal beautifully. InsyaAllah.
Kalau kamu, punya cerita apa di tahun ini?
70 notes
·
View notes
Text
Puncak ketenangan hati manusia adalah saat ia ridha dengan apa pun yang ditetapkan oleh Rabb-nya. Tidaklah ia melihat segala yang terjadi di hidupnya, kecuali dari sudut pandang yang penuh dengan prasangka baik. Fokusnya cuma satu; ridha Allah semata.
Rizqan Kareema
264 notes
·
View notes
Text
Bahkan saat doamu belum juga terkabulkan, ia telah dikonversi kedalam bentuk yg lebih baik, disimpan sebagai tabungan dan atau hanya ditunda untuk lebih banyak bersabar
Percayalah hari ini adalah takdir terbaik yang semestinya dijalani. Semoga Allaah karuniakan hati yang lapang. Tidak marah meskipun mampu, tidak menyalahkan meskipun ingin. Allaah lebih ngerti kapan dan dimana hatimu diletakkan.
142 notes
·
View notes
Text
Dan Aku Tak Pernah Setenang Ini
Biasanya apapun yang menyangkutmu membuatku melayang.
Ku lakukan segalanya penuh penasaran.
Mencari atensimu sering kali kuselipkan sebagai tujuan.
Menyangkutmu,
Aku tak pernah mengenal rasa lain, selain menjadikan segalanya penuh angan.
Namun kutemukan dirimu dalam kehati-hatian.
Apapun yang kau lakukan, perlahanlah yang jadi pedoman.
Membuatku paham.
Menyangkutmu, aku ingin mawas diri.
Bukan karena menujumu penuh keraguan.
Melainkan karena semua tentangmu adalah kumpulan kepastian yang ingin aku selaraskan.
Dan aku tidak keberatan sama sekali.
Melihatmu, aku paham betapa apapun yang menyangkut perasaan manusia, hal yang paling baik dilakukan adalah tidak gegabah.
Karena ada garis tipis antara menyegerakan dan tergesa-gesa.
Dan aku, maupun kamu, sudah ada dalam satu tempo.
Sepaham mengenai apapun yang berkaitan dengan perasaan, kadang lebih baik dipendam sampai riuhnya setenang mungkin.
Agar berbagi kebahagianlah yang jadi tujuan utamanya.
Bukan untuk merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan satu sama lain.
Dengan dalih menyalamatkan satu sama lain.
Ku simpan kau dalam sunyi,
Sebisa mungkin apapun yang menyangkutmu ku pastikan segalanya hanya aku dan Tuhan yang tahu.
Aku ingin meminimalisir gemuruhku, agar apapun yang menyangkutmu adalah benar yakinku.
Sampai datanglah hari di mana kembalinya aku kerutinitasku
Yang sering kali membuatku kalut dan kelabu.
Dan ku kira, adanya dirimu akan menambah pilu.
Ternyata aku keliru.
Mengenalmu, aku tak pernah setenang ini.
Meninggalkanmu, di kotaku, hari itu, aku tak pernah setentram ini.
Karena aku tahu.
Apapun yang terjadi kamu adalah orang yang akan selalu mengusahakan yang terbaik. Dimanapun dan atas apapun yang kamu tekuni.
Jadi,
Bila nanti nyatanya akhirnya bukan aku.
Aku tahu,
Dan juga percaya,
baik dia, maupun aku,
sudah mengusahakan yang terbaik.
Untuk takdir kita masing-masing.
Dan aku tidak pernah setenang ini.
1 note
·
View note
Text
Dipertemukan dengan Tujuan
Yang membuat kita bertemu dengan orang-orang sefrekuensi adalah tujuan, tujuan yang kita buat. Pernah baca tulisan dari bukunya mas Kurniawan Gunadi " Tujuan yang sama akan mempertemukan orang-orang dalam perjalanan" . Sejauh apa jaraknya, akan bertemu (secara langsung/tidak) jika tujuannya sama.
Maka jangan khawatir, yang mempertemukan kita dengan seseorang itu tujuan, maka buatlah tujuan. Jika disekitar kita saat ini tidak ada yang fit , karena memang tujuan kita dengan orang tersebut tidak sama, mereka ada, nanti pasti menemukan.
Maka penting untuk memegang teguh nilai, visi/tujuan hidup kita, suatu saat pasti dipertemukan dengan orang yang kita harapkan.
101 notes
·
View notes
Text
Mimpi yang terjeda
Pasti ada hari-hari dalam hidup kita di mana kita tidak lagi memikirkan mimpi-mimpi kita selama ini. Kita tidak lagi peduli pada orang yang ingin kita bahagiakan, karier yang ingin kita perjuangkan, tempat yang ingin kita kunjungi, sesuatu yang ingin kita jadikan nyata, atau bahkan perasaan yang ingin kita utarakan. Karena satu-satunya pikiran kita saat itu adalah bagaimana kita bisa tetap bertahan, bisa terus bangun. Pada hari itu, mimpi terbesar kita hanyalah bagaimana kita bisa terus melanjutkan langkah dan tetap bernafas.
Akan datang hari di mana kita seolah lupa pada apa-apa yang pernah membuat kita begitu bersemangat menjalani hidup. Kita tidak lagi berminat mengejar apa yang sebelumnya membuat kita merasa begitu bahagia. Kita tidak lagi tertarik pada banyak hal. Semua hal seolah tidak lagi punya arti.
Akan ada saatnya kita merasa harus menjeda semua usaha kita untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita selama ini. Kembali mempertanyakan apakah itu memang mimpi kita kalau selama ini hanya membuat kita semakin terbebani dan tak lagi merasa bahagia? Apakah itu memang benar-benar keinginan diri kita sendiri atau malah kita hidup dan berusaha sekeras ini hanya untuk menghidupi mimpi orang lain? Apakah itu sesuai yang benar-benar ingin kita jadikan nyata dan juga perjuangkan setengah mati atau itu hanya sebuah keinginan sesaat karena melihat orang lain punya mimpi yang sama?
Ambillah waktu sejenak untuk mengajak diri kita sendiri berbincang-bincang. Pikirkanlah kembali dengan bijak, mana mimpi-mimpi yang harus kita hentikan, ganti, atau tetap pertahankan. Kita tak harus selalu seambisi itu dalam hidup. Kita tak harus selalu punya kehidupan yang sama dengan kehidupan orang lain. Dan kita juga tidak harus selalu punya standar mimpi yang sama seperti mimpi kebanyakan orang.
Bila hidup sedang terlalu melelahkan, tidak mengapa bila usaha memperjuangkan mimpi-mimpi itu harus sejenak dihentikan. Atau bahkan tidak mengapa pula kita merasa tidak perlu lagi memperjuangkannya. Sebab terkadang, mimpi terbesar yang harus terus kita nyalakan adalah tentang bagaimana kita terus menerus hidup, sampai kita dijemput pulang.
60 notes
·
View notes
Text
Prestasi Perempuan
Menjadi seorang perempuan yang tidak terikut arus dan menjadikan tiktok/sosmed sebagai standar pemikiran dan pandangan adalah sebuah prestasi yang menurutku besar. Keep it up :)
I’m not generalizing about that. Tapi rasanya tak sulit menemukan postingan yang viral di sana tentang berbagai bias pemikiran dari perempuan, oleh perempuan, untuk perempuan. And you know what’s the effect dear?
Pemikiran yang bias bisa bikin kita salah dalam memandang sesuatu. Kesalahan cara pandang bisa jadi sebab salah mengambil sikap dan kesimpulan. Salah mengambil kesimpulan berakibat pada salah dalam mengambil keputusan dan tindakan. So keep it in mind. Tidak semua orang bisa diambil pandangannya meskipun viral, meski terlihat benar hanya karena banyak yang ngelike dan mewakili sisi perasaan. Jangan lupakan bahwa kamu masih punya kecerdasan untuk menimbang kebenaran dari sebuah pernyataan. 'Dear My Future' | Quraners
187 notes
·
View notes
Text
Tuhan dan Sifat Transaksional Manusia
“Kok bisa ya dia hidupnya selancar itu, padahal sholatnya aja bolong-bolong”
“dia kerjaannya dugem tiap malem, tapi kok ya hidupnya lancar, lulus S1, kerja di perusahaan bonafide, lalu kuliah S2 ke Amerika”
Haffffttt..
Berkali-kali pikiran seperti itu muncul di kepalaku akhir-akhir ini, sampe sempet beberapa kali aku bertanya pada beberapa kawanku, kok Tuhan begitu?
menilas balik kejadian tahun lalu, masih ada part marah dalam diriku. Aku kurang apa ya saat itu? dan semua pertanyaan “ternyata aku belum cukup” untuk Tuhan “melihatku” dan “menolongku”.
Sejak kejadian itu, aku enggan “mendekat”. Bahkan meminta dengan sungguh pun rasanya enggan. Kenapa? Banyak muncul perasaan “Ngapain aku berbuat baik dan ‘beribadah’ toh nyatanya pertolongan Tuhan jauh adanya?
“Ya mending aku gausah beribadah dengan baik aja, toh nyatanya beribadah dan tidak sama adanya?”
Sampai kemudian hari ini aku berpikir, bahwa selama ini aku menganggap hubungan dengan Tuhan hanyalah hubungan transaksional. Jika aku beribadah dengan tekun, maka harusnya Tuhan memudahkan seluruh hidupku. Jika aku melakukan ritual A B C, Tuhan akan memberiku apa yang aku mau. Yap, mungkin itu yang selalu terngiang di kepalaku sejak kecil.
“kalau mau hidupnya lancar, rajin sholat Dhuha sama Tahajud”, lalu aku melakukan itu semata-mata agar urusan duniaku lancar. Maka, saat tidak datang sesuai mauku, aku marah.
“kalau mau dilancarkan saat ujian, baca surat A B C, dzikir X Y Z”, sampai ternyata ujianku tidak lancar, aku marah.
Sekali lagi, hubungan dengan Tuhan aku anggap hanya hubungan transaksional biasa. Jika aku beribadah dengan baik, Tuhan harus memberiku apa yang aku mau dalam hidup.
Tapi padahal, ibadah dan “kesuksesan” yang aku harapkan adalah dua hal berbeda. Ibadah adalah kewajiban sebagai seorang manusia, terlepas dari segala atribut yang melekat, bahkan terlepas bagaimanapun takdir yang membersamai manusia. Jika aku mempercayai Tuhan, maka aku juga harusnya melakukan ibadah-ibadah yang harusnya datang dengan “kepercayaan” itu.
Sedangkan kesuksesan, pencapaian, atau apapun itu namanya, tidak hadir dari “karena aku beribadah dengan giat, aku akan mendapat apa yang aku mau”. Tidak. Kesemuanya datang dari usahanya diri, dan tentu saja takdir yang mengiringi. Tapi sekali lagi, ibadah, bagaimanapun bentuknya, sebagus apapun, tidak kemudian serta merta membuat Tuhan memberikan apa yang kita mau.
Itu hak prerogatif Tuhan :) Manusia, yaudah, menjalani hidup dengan bahagia aja heheh toh kalau mau lebih dalam melihat, ternyata banyak sekali nikmat yang sudah Tuhan berituh.
Bandung, 23 October 2024
119 notes
·
View notes
Text
Zonasi
Kalau di 2007 ada sistem zonasi, mungkin sekarang aku berakhir sebagai ibu 3-4 anak, gak kuliah, dan bekerja jadi buruh pabrik gaji sejuta/bulan di desa.
Gak akan ada "jiwa kompetitif" karna bersekolah di sekolah favorit satu kabupaten. Perlu bangun pagi, berangkat 05.45 biar bisa ngejar angkot ke Kota yang jaraknya 27km, sampai di sekolah 06.30. Pulang jam 3 sore, repeated again and again for 3 years.
"Untung" aku gak sekolah di SMA "favorit" di kecamatan ku, yang mana 90% teman SMP pasti sekolah disana. Pikir ku, bersekolah di kecamatan tidak ada "prestige" nya. Kalau dipikir sekarang, bukan soal prestige, lebih ke, lingkungan yang support untuk belajar, dengan teman-teman yang cukup "ambis".
Anak "kota" gak akan paham gimana rasanya bersekolah dengan fasilitas biasa dan teman-teman yang malas. Si anak desa ini, somehow, butuh lingkungan yang kondusif biar ga terus-terusan "miskin" pemikiran.
Mungkin zonasi bisa works di kota besar, tapi GAK di desa/kabupaten. Mereka, anak-anak "kampung" yang pintar, butuh lingkungan yang "pintar" di kabupaten/kota nya. Berlian butuh berlian lagi, bukan malah disimpen di pasir dan jadi stagnan sendirian.
Sistem zonasi hanya membuat sisi anak-anak medioker (yang porsinya besar) untuk malas-malasan semakin tinggi. Padahal, kalo mereka bisa di lingkungan yang "banyak orang pinternya", mereka bisa ikutan "pinter" walau dipandang "gak pinter-pinter" amat.
Yang ngide sistem zonasi siapa sih? gak aneh ada tiktok berseliweran kalo Jakarta itu termasuk ke Provinsi Jawa timur.
22 Oktober 2024
66 notes
·
View notes