I sometimes search for myself at the bottom of many a cup of tea while writing you a letter(s).
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Bahkan saat doamu belum juga terkabulkan, ia telah dikonversi kedalam bentuk yg lebih baik, disimpan sebagai tabungan dan atau hanya ditunda untuk lebih banyak bersabar
Percayalah hari ini adalah takdir terbaik yang semestinya dijalani. Semoga Allaah karuniakan hati yang lapang. Tidak marah meskipun mampu, tidak menyalahkan meskipun ingin. Allaah lebih ngerti kapan dan dimana hatimu diletakkan.
106 notes
·
View notes
Text
Dan Aku Tak Pernah Setenang Ini
Biasanya apapun yang menyangkutmu membuatku melayang.
Ku lakukan segalanya penuh penasaran.
Mencari atensimu sering kali kuselipkan sebagai tujuan.
Menyangkutmu,
Aku tak pernah mengenal rasa lain, selain menjadikan segalanya penuh angan.
Namun kutemukan dirimu dalam kehati-hatian.
Apapun yang kau lakukan, perlahanlah yang jadi pedoman.
Membuatku paham.
Menyangkutmu, aku ingin mawas diri.
Bukan karena menujumu penuh keraguan.
Melainkan karena semua tentangmu adalah kumpulan kepastian yang ingin aku selaraskan.
Dan aku tidak keberatan sama sekali.
Melihatmu, aku paham betapa apapun yang menyangkut perasaan manusia, hal yang paling baik dilakukan adalah tidak gegabah.
Karena ada garis tipis antara menyegerakan dan tergesa-gesa.
Dan aku, maupun kamu, sudah ada dalam satu tempo.
Sepaham mengenai apapun yang berkaitan dengan perasaan, kadang lebih baik dipendam sampai riuhnya setenang mungkin.
Agar berbagi kebahagianlah yang jadi tujuan utamanya.
Bukan untuk merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan satu sama lain.
Dengan dalih menyalamatkan satu sama lain.
Ku simpan kau dalam sunyi,
Sebisa mungkin apapun yang menyangkutmu ku pastikan segalanya hanya aku dan Tuhan yang tahu.
Aku ingin meminimalisir gemuruhku, agar apapun yang menyangkutmu adalah benar yakinku.
Sampai datanglah hari di mana kembalinya aku kerutinitasku
Yang sering kali membuatku kalut dan kelabu.
Dan ku kira, adanya dirimu akan menambah pilu.
Ternyata aku keliru.
Mengenalmu, aku tak pernah setenang ini.
Meninggalkanmu, di kotaku, hari itu, aku tak pernah setentram ini.
Karena aku tahu.
Apapun yang terjadi kamu adalah orang yang akan selalu mengusahakan yang terbaik. Dimanapun dan atas apapun yang kamu tekuni.
Jadi,
Bila nanti nyatanya akhirnya bukan aku.
Aku tahu,
Dan juga percaya,
baik dia, maupun aku,
sudah mengusahakan yang terbaik.
Untuk takdir kita masing-masing.
Dan aku tidak pernah setenang ini.
1 note
·
View note
Text
Dipertemukan dengan Tujuan
Yang membuat kita bertemu dengan orang-orang sefrekuensi adalah tujuan, tujuan yang kita buat. Pernah baca tulisan dari bukunya mas Kurniawan Gunadi " Tujuan yang sama akan mempertemukan orang-orang dalam perjalanan" . Sejauh apa jaraknya, akan bertemu (secara langsung/tidak) jika tujuannya sama.
Maka jangan khawatir, yang mempertemukan kita dengan seseorang itu tujuan, maka buatlah tujuan. Jika disekitar kita saat ini tidak ada yang fit , karena memang tujuan kita dengan orang tersebut tidak sama, mereka ada, nanti pasti menemukan.
Maka penting untuk memegang teguh nilai, visi/tujuan hidup kita, suatu saat pasti dipertemukan dengan orang yang kita harapkan.
99 notes
·
View notes
Text
Mimpi yang terjeda
Pasti ada hari-hari dalam hidup kita di mana kita tidak lagi memikirkan mimpi-mimpi kita selama ini. Kita tidak lagi peduli pada orang yang ingin kita bahagiakan, karier yang ingin kita perjuangkan, tempat yang ingin kita kunjungi, sesuatu yang ingin kita jadikan nyata, atau bahkan perasaan yang ingin kita utarakan. Karena satu-satunya pikiran kita saat itu adalah bagaimana kita bisa tetap bertahan, bisa terus bangun. Pada hari itu, mimpi terbesar kita hanyalah bagaimana kita bisa terus melanjutkan langkah dan tetap bernafas.
Akan datang hari di mana kita seolah lupa pada apa-apa yang pernah membuat kita begitu bersemangat menjalani hidup. Kita tidak lagi berminat mengejar apa yang sebelumnya membuat kita merasa begitu bahagia. Kita tidak lagi tertarik pada banyak hal. Semua hal seolah tidak lagi punya arti.
Akan ada saatnya kita merasa harus menjeda semua usaha kita untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita selama ini. Kembali mempertanyakan apakah itu memang mimpi kita kalau selama ini hanya membuat kita semakin terbebani dan tak lagi merasa bahagia? Apakah itu memang benar-benar keinginan diri kita sendiri atau malah kita hidup dan berusaha sekeras ini hanya untuk menghidupi mimpi orang lain? Apakah itu sesuai yang benar-benar ingin kita jadikan nyata dan juga perjuangkan setengah mati atau itu hanya sebuah keinginan sesaat karena melihat orang lain punya mimpi yang sama?
Ambillah waktu sejenak untuk mengajak diri kita sendiri berbincang-bincang. Pikirkanlah kembali dengan bijak, mana mimpi-mimpi yang harus kita hentikan, ganti, atau tetap pertahankan. Kita tak harus selalu seambisi itu dalam hidup. Kita tak harus selalu punya kehidupan yang sama dengan kehidupan orang lain. Dan kita juga tidak harus selalu punya standar mimpi yang sama seperti mimpi kebanyakan orang.
Bila hidup sedang terlalu melelahkan, tidak mengapa bila usaha memperjuangkan mimpi-mimpi itu harus sejenak dihentikan. Atau bahkan tidak mengapa pula kita merasa tidak perlu lagi memperjuangkannya. Sebab terkadang, mimpi terbesar yang harus terus kita nyalakan adalah tentang bagaimana kita terus menerus hidup, sampai kita dijemput pulang.
55 notes
·
View notes
Text
Prestasi Perempuan
Menjadi seorang perempuan yang tidak terikut arus dan menjadikan tiktok/sosmed sebagai standar pemikiran dan pandangan adalah sebuah prestasi yang menurutku besar. Keep it up :)
I’m not generalizing about that. Tapi rasanya tak sulit menemukan postingan yang viral di sana tentang berbagai bias pemikiran dari perempuan, oleh perempuan, untuk perempuan. And you know what’s the effect dear?
Pemikiran yang bias bisa bikin kita salah dalam memandang sesuatu. Kesalahan cara pandang bisa jadi sebab salah mengambil sikap dan kesimpulan. Salah mengambil kesimpulan berakibat pada salah dalam mengambil keputusan dan tindakan. So keep it in mind. Tidak semua orang bisa diambil pandangannya meskipun viral, meski terlihat benar hanya karena banyak yang ngelike dan mewakili sisi perasaan. Jangan lupakan bahwa kamu masih punya kecerdasan untuk menimbang kebenaran dari sebuah pernyataan. 'Dear My Future' | Quraners
182 notes
·
View notes
Text
Tuhan dan Sifat Transaksional Manusia
“Kok bisa ya dia hidupnya selancar itu, padahal sholatnya aja bolong-bolong”
“dia kerjaannya dugem tiap malem, tapi kok ya hidupnya lancar, lulus S1, kerja di perusahaan bonafide, lalu kuliah S2 ke Amerika”
Haffffttt..
Berkali-kali pikiran seperti itu muncul di kepalaku akhir-akhir ini, sampe sempet beberapa kali aku bertanya pada beberapa kawanku, kok Tuhan begitu?
menilas balik kejadian tahun lalu, masih ada part marah dalam diriku. Aku kurang apa ya saat itu? dan semua pertanyaan “ternyata aku belum cukup” untuk Tuhan “melihatku” dan “menolongku”.
Sejak kejadian itu, aku enggan “mendekat”. Bahkan meminta dengan sungguh pun rasanya enggan. Kenapa? Banyak muncul perasaan “Ngapain aku berbuat baik dan ‘beribadah’ toh nyatanya pertolongan Tuhan jauh adanya?
“Ya mending aku gausah beribadah dengan baik aja, toh nyatanya beribadah dan tidak sama adanya?”
Sampai kemudian hari ini aku berpikir, bahwa selama ini aku menganggap hubungan dengan Tuhan hanyalah hubungan transaksional. Jika aku beribadah dengan tekun, maka harusnya Tuhan memudahkan seluruh hidupku. Jika aku melakukan ritual A B C, Tuhan akan memberiku apa yang aku mau. Yap, mungkin itu yang selalu terngiang di kepalaku sejak kecil.
“kalau mau hidupnya lancar, rajin sholat Dhuha sama Tahajud”, lalu aku melakukan itu semata-mata agar urusan duniaku lancar. Maka, saat tidak datang sesuai mauku, aku marah.
“kalau mau dilancarkan saat ujian, baca surat A B C, dzikir X Y Z”, sampai ternyata ujianku tidak lancar, aku marah.
Sekali lagi, hubungan dengan Tuhan aku anggap hanya hubungan transaksional biasa. Jika aku beribadah dengan baik, Tuhan harus memberiku apa yang aku mau dalam hidup.
Tapi padahal, ibadah dan “kesuksesan” yang aku harapkan adalah dua hal berbeda. Ibadah adalah kewajiban sebagai seorang manusia, terlepas dari segala atribut yang melekat, bahkan terlepas bagaimanapun takdir yang membersamai manusia. Jika aku mempercayai Tuhan, maka aku juga harusnya melakukan ibadah-ibadah yang harusnya datang dengan “kepercayaan” itu.
Sedangkan kesuksesan, pencapaian, atau apapun itu namanya, tidak hadir dari “karena aku beribadah dengan giat, aku akan mendapat apa yang aku mau”. Tidak. Kesemuanya datang dari usahanya diri, dan tentu saja takdir yang mengiringi. Tapi sekali lagi, ibadah, bagaimanapun bentuknya, sebagus apapun, tidak kemudian serta merta membuat Tuhan memberikan apa yang kita mau.
Itu hak prerogatif Tuhan :) Manusia, yaudah, menjalani hidup dengan bahagia aja heheh toh kalau mau lebih dalam melihat, ternyata banyak sekali nikmat yang sudah Tuhan berituh.
Bandung, 23 October 2024
116 notes
·
View notes
Text
Zonasi
Kalau di 2007 ada sistem zonasi, mungkin sekarang aku berakhir sebagai ibu 3-4 anak, gak kuliah, dan bekerja jadi buruh pabrik gaji sejuta/bulan di desa.
Gak akan ada "jiwa kompetitif" karna bersekolah di sekolah favorit satu kabupaten. Perlu bangun pagi, berangkat 05.45 biar bisa ngejar angkot ke Kota yang jaraknya 27km, sampai di sekolah 06.30. Pulang jam 3 sore, repeated again and again for 3 years.
"Untung" aku gak sekolah di SMA "favorit" di kecamatan ku, yang mana 90% teman SMP pasti sekolah disana. Pikir ku, bersekolah di kecamatan tidak ada "prestige" nya. Kalau dipikir sekarang, bukan soal prestige, lebih ke, lingkungan yang support untuk belajar, dengan teman-teman yang cukup "ambis".
Anak "kota" gak akan paham gimana rasanya bersekolah dengan fasilitas biasa dan teman-teman yang malas. Si anak desa ini, somehow, butuh lingkungan yang kondusif biar ga terus-terusan "miskin" pemikiran.
Mungkin zonasi bisa works di kota besar, tapi GAK di desa/kabupaten. Mereka, anak-anak "kampung" yang pintar, butuh lingkungan yang "pintar" di kabupaten/kota nya. Berlian butuh berlian lagi, bukan malah disimpen di pasir dan jadi stagnan sendirian.
Sistem zonasi hanya membuat sisi anak-anak medioker (yang porsinya besar) untuk malas-malasan semakin tinggi. Padahal, kalo mereka bisa di lingkungan yang "banyak orang pinternya", mereka bisa ikutan "pinter" walau dipandang "gak pinter-pinter" amat.
Yang ngide sistem zonasi siapa sih? gak aneh ada tiktok berseliweran kalo Jakarta itu termasuk ke Provinsi Jawa timur.
22 Oktober 2024
64 notes
·
View notes
Text
Terkadang setelah bekerja keras mengupayakan sesuatu, mengejar target, menyelesaikan ini & itu. Yang ditunggu bukan lagi soal hasilnya, bukan lagi soal seberapa banyak akan dapatnya, bukan lagi soal apresiasi apa setelahnya. Yang lebih ditunggu adalah kapan ada waktu untuk istirahat, walaupun itu hanya untuk sejenak.
@azurazie
126 notes
·
View notes
Text
Percaya Pada Pola
Kalau teliti mengamati sesuatu, maka kita bisa menemukan pola. Pola di kejadian, pola di keadaan, pola di karakter seseorang, pola di perilaku orang, dan beragam pola lainnya dalam hidup. Kejelian melihat pola ini perlu dibarengi dengan kesiapan untuk menerima kenyataan, kenyataan bahwa memang demikian.
Kalau kamu sedang dekat dengan seseorang dan berencana untuk menikah dengannya, maka perhatikan polanya. Pola berpikir, pola perilaku, pola interaksi, dan beragam pola lainnya yang menurutmu penting dan fundamental. Karena ia telah hidup dengan pola itu seumur hidupnya selama ini, tidak mungkin akan berubah dalam sehari semalam hanya karena menikah denganmu. Apalagi, jika kamu bercita-cita untuk mengubahnya. Mungkin kamu perlu berpikir ulang untuk itu. Kalau kamu bertemu dengan orang yang berlaku buruk dalam nilai-nilai yang kamu yakini, seperti suka bergunjing, berkata kasar, menoleransi suap, menolerasi hal-hal lain yang jelas-jelas tidak sesuai dengan keyakinanmu. Apalagi jika kemudian ia terlibat masalah atas perilakunya dengan orang yang lain, tidak sedang terjadi denganmu bukan berarti tidak akan pernah terjadi kepadamu. Lihatlah polanya seperti apa, suatu hari mungkin kamu yang akan mengalami konflik dengannya. Jadi, jauh-jauh sejak awal.
Kalau kamu lagi terpuruk karena hal-hal berat yang sedang kamu jalani. Coba lihat bagaimana pola kehidupanmu selama ini. Bagaimana Tuhan mengingatkanmu, menyiapkanmu, dan juga memberitahumu selama ini melalui beragam pola. Apakah kamu berhasil menemukan polanya dan berhasil mengambil hikmahnya. Apakah kamu berhasil memahami gambaran besar mengapa polanya demikian? Semoga kita dimudahkan untuk memahami pola, sehingga tidak terjebak dalam pikiran sendiri, apalagi terjebak pada pola-pola yang buruk. (c)kurniawangunadi
388 notes
·
View notes
Text
Mengapa perjalanan cinta akan selalu berujung di titik mengikhlaskan? Sebab tak boleh ada satu pihak pun yang kita cintai melebihi kecintaan kita kepada Tuhan.
Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Q.S At-taubah: 24)
Fajar Sidiq Bahari (@fajarsbahh)
172 notes
·
View notes
Text
Anak yang cengeng adalah anak yang memiliki bibit empati, tapi belum memiliki skill regulasi emosi. Anak yang sulit diberi tahu adalah anak yang berpendirian kuat, namun belum memiliki skill negosiasi. Anak yang peragu adalah anak yang mampu mempertimbangkan resiko, tapi belum memiliki skill problem solving. Anak yang berbicara nada tinggi adalah anak yang berani berpendapat, namun belum memiliki skill komunikasi.
Parents, jangan hilangkan bibit baiknya, tapi bangun skill yang tepat untuk mengasahnya.
-dr. Rina A. Sumantri
466 notes
·
View notes
Text
Cerpen : Selepas Sekolah
Masa-masa remaja yang dulu kulalui dengan ragam cerita, cinta monyet, merasa paling tahu, ke sana kemari tanpa harus tahu bagaimana caranya memenuhi kebutuhan hidup - karena masih ditanggung sama orang tua. Kini telah sirna.
Ternyata selepas sekolah, seumur hidup kita akan bekerja. Paling tidak mencari cara untuk bertahan hidup dan membiaya hidup sendiri, jika kita masih sendiri. Kalau sudah berkeluarga, maka lain ceritanya.
Ternyata selepas sekolah, kehidupan orang dewasa yang dulu kusangka penuh dengan kekebasan karena bisa bepergian kemanapun tanpa izin, membeli apa yang disukai, jatuh cinta, dan segala hal yang dulu aku sangat tak sabar untuk segera dewasa. Kini telah menjadi kehidupan yang membuatku ketergantungan antidepresan, jamu tolak angin, minyak kayuputih, koyo, dan segala macam obat-obatan lambung.
Ternyata selepas sekolah, kita akan berusaha bertahan hidup. Bekerja apa saja yang halal selama bisa menghasilkan. Cita-cita yang dulu ditulis di buku gambar waktu TK banyak yang sudah dilupakan. Sementara dulu waktu aku kecil, aku berani bermimpi apapun, menjadi apapun. Kini, aku terlalu takut bahkan untuk bermimpi bisa menikah dan berkeluarga yang harmonis. Aku tak punya keberanian untuk mewujudkan mimpiku yang terasa kekanak-kanakan dan tak mau ditertawakan. Aku bahkan takut untuk menjadi diriku sendiri. Tidak menyangka, kalau jalannya seseru ini. Sampai-sampai aku tak sempat untuk merasakan banyak hal, karena badan sudah lelah dan pikiran sudah penuh. Waktu yang terus bergulir sering membuatku memiliki sesal, mengapa aku tak kunjung beranjak dari keadaan ini.
Apakah benar bahwa aku memiliki banyak pilihan dalam hidup seperti apa yang kusaksikan di Tiktok dan Instagram? Jangan-jangan memang aku tidak memiliki banyak pilihan, dan aku mendamba sesuatu yang tidak pernah ada sebagai takdirku.
Bukankah tidak apa-apa menjadi biasa saja dalam hidup? Apakah aku harus mencapai segala sesuatu seperti orang lain? (c)kurniawangunadi
107 notes
·
View notes
Text
Ternyata, lebih baik bangun pagi langsung ke dapur untuk memasak dua porsi nasi goreng atau bubur.
Lebih baik kerepotan memapah dan menggandeng dua lansia ke toilet, menggosok kulit keriput dengan sabun, menggosok rambut memakai shampoo, menyikat gigi yang sedikit jumlahnya.
Lebih baik memakaikan baju dan sarung, mengoles perut dengan minyak telon. Menyisir rambut yang memutih.
Lebih baik menyuapi bubur yang toppingnya hanya dengan telur dan kecap. Menyiapkan dua tempat duduk di depan rumah untuk berjemur.
Aktivitas yang melelahkan, tetapi jauh lebih melelahkan karena menghadapi perasaan duka yang tidak kunjung mereda.
- 20 September 2024
52 notes
·
View notes
Text
Kesalahan Sebelumnya
Mungkin, ada orang-orang yang tidak pernah memaafkanmu atas kesalahan-kesalahanmu di masa lalu. Saat dirimu masih naif, keras kepala, mudah tersinggung, tidak peka, kurang sabar, dan segala hal reaktif yang pernah terjadi di masa itu, membuatmu mungkin pernah salah bertindak atau berucap. Hingga orang lain pun menjadi marah kepadamu dan kemarahan itu masih hinggap hingga hari ini.
Meski kamu telah berubah, telah memahami bahwa kamu salah, telah meminta maaf. Mungkin itu tidak akan membuatnya memaafkanmu. Jika sudah sampai di situ, ya sudah. Selama kamu sudah meminta maaf, sudah selesai. Karena selebihnya tidak ada dalam kendalimu.
Dari situ, mungkin kita akan sama-sama belajar bahwa sangat mungkin orang itu berubah. Hati seseorang sangat mungkin untuk berubah. Memang semua itu bukan dalam kendali kita, tapi mari kita sama-sama belajar untuk menempatkan diri sebagai orang yang mungkin tersakiti.
Jika suatu hari nanti orang yang telah menyakiti kita di masa lalu telah berubah, apakah kita cukup luas hatinya untuk memaafkan?
Kita pun kadang salah menilai orang, terlalu cepat menyimpulkan. Terlalu liar perkataan kita hingga tak sadar bahwa sebenarnya kitalah yang menciptakan masalah. Mungkin ketidaksukaan dan kebencian membuat pikiran kita tidak cukup adil saat itu. Tidak adil untuk melihat bahwa begitu banyak kebaikan yang sebenarnya ada di antara masalah-masalah yang sedang terjadi. Tapi, hati yang keras tentu akan susah diajak bicara.
Saat kita semakin tumbuh dewasa. Saat kita melihat dunia ini tidak hanya berkaca pada kebenaran dari persepsi sendiri, kita mungkin akan melihat bahwa ada banyak hal baik, ada banyak sekali niat baik di sekitar kita, ada banyak yang peduli, ada banyak sekali yang tidak memiliki niat buruk. Tapi karena hati kita yang sudah terlanjur keras, terlanjut sempit menilai, semua kebaikan itu menguap tak bersisa, menyisakan pandangan mata yang picik. Hingga merasa diri ini menjadi korban dari segala kejadian, alih-alih menyadari bahwa kesempitan hidup berasal dari sempitnya hati menerima perbedaan.
(c)kurniawangunadi
194 notes
·
View notes
Text
Barusan nemu kalimat di salah satu grup tele, kurang lebih begini :
"Belajar itu ibadah, berhasil atau tidak setidaknya kita sudah dapat pahala dari ikhtiar kita"
Seketika menyadarkanku bahwa dulu pemikiranku juga se idealis itu. Ketika belajar untuk ujian, buat tugas kuliah, baca buku sambil nunggu dosen. Ya semua diniatkan untuk ibadah dan agar waktu tidak sia-sia. Manusiawi jika berharap hasil ujian atau nilai tugas bagus, tetapi poin utamanya, semua itu adalah ibadah. Jadi kalaupun hasilnya tidak sesuai harapan, ya tidak perlu terlalu kecewa, setidaknya waktu-waktu belajar itu berpahala.
Dan sejak kapan aku semakin perhitungan soal hal-hal seperti ini. Seolah-olah semua hanya untuk duniawi. Padahal bisa diniatkan untuk ibadah.
Bekerja untuk ibadah, berobat karena sakit adalah ikhtiar sekaligus ibadah, berbicara baik ibadah, belajar juga ibadah, datang ke kajian ibadah. Hei, makna ibadah itu seluas itu.
Kalau akhirnya usaha itu tidak sesuai harapan, sudahlah. Jangan bilang aduh sudah capek-capek belajar, sudah jauh-jauh kesini, sudah mengorbankan ini itu. Tenanglah, Allah tidak tidur, Allah melihat ikhtiar mu. Tidak ada usaha yang sia-sia.
Banyak-banyak istighfar, mohon ampun atas sempitnya pemikiranmu atas setiap usaha.
~ note to my self
256 notes
·
View notes
Text
Kesopanan intelektual adalah kerendahan hati terhadap apa yang aku ketahui; kerendahan hati intelektual adalah kesopanan terhadap apa yang tidak aku ketahui.
— Tariq Ramadan
157 notes
·
View notes
Text
sejak memahami konsep privilege dan kemiskinan struktural, jadi memahami bahwa hidup bukan sekedar perkara pencapaian. Semoga Allah membantu kita untuk memanfaatkan privilege dengan sebaik-baiknya agar hisab kita di akhirat kelak ringan.
Layaknya manusia pada umumnya, kita masih butuh apresiasi atas pencapaian-pencapaian kita. Rayakan pencapaian itu bersama orang-orang yang mendukung kita, sewajarnya. Selebihnya, kembali ingat bahwa privilege itu titipan. Ada tanggung jawabnya di akhirat.
264 notes
·
View notes