Text
Serdadu tua
Seseorang telah pulang bertualang, dengan membuang pialang yang tadinya berharap akan menjadi peluang. Dia tidak menangis, malah menjadi bengis tak kuat dengan kenangan yang mulai teriris. Tipis.
Hampir empat pasang tahun -yang katanya- telah berjuang. Hanya sebatas memasang tiang menggunakan benang yang sejarak malam ke siang. Daya magis telah terlibat dalam bait yang hampir habis. Sadis.
Doa dari si jalang untuk sang tenang, maju hingga menang dengan perahu yang menerjang. Hingga akhirnya dikenang dengan bertabuh terang. Secara gratis dia yang lain telah menyediakan karcis. Manis.
0 notes
Text
Banal dalam kanal
Semakin terkenal semakin terjegal
Kicauan burung-burung yang binal mematahkan akal, bersama seorang nokturnal yang bergumal dengan urusan moral dan masalah mental
Amal yang -mungkin- sudah terbiasa kidal jangan sampai membual, apalagi menjadi sesal
Sial.
Seakan semuanya mual keluar modal memaksa akal, bertenaga maksimal dikirakan minimal
Matilah sang cikal yang tadinya bengal sekarang terkapar tersenggal
0 notes
Text
Pena Biru
Dalam pekat yang tadinya akan memberi warna, lambat laun menjadikan nyata
Hingga terpercikan sebuah cahaya, apakah akan menjadi menampikan atau malah menampilkan??
Entah, kapan
Namun guratan sedang dalam perjalanannya, sulit untuk dihilangkan, hanya bisa ditimpakan. Itupun akan tetap terjaga dalam perputaran.
Sekarang, perihal sendu
Apakah akhirnya akan menjadi keputusan yang terburu atau sebaliknya, menjadi candu?
Bias atau jelas setelah itu, ragu, atau mungkin akan tetap menjadi satu
Dua menjadi satu atau satu yang tetap satu
Jauh-jauh dari yang sebelumnya tertuju, malu-malu, akhirnya setuju (?)
Karena tetap melaju, semoga jangan hanya berlalu
Siapapun itu yang nantinya akan menjadi kamu
0 notes
Text
Takbir dalam tabir
Terlanjur membaur ketika sudah jujur, jika hancur jangan sampai gugur
Kenapa mencibir jika keadaanya sudah saling menyingkir?
Berpikir
Tentang seseorang yang sangat kikir hingga mangkir, menjadi lahan parkir untuk yang fakir
Peluh bercucur tak terukur struktur. Fraktur
0 notes
Text
Igau yang meracau
Tak habis pikir kenapa senang sekali dengan semu
Ketika pertama kali satu dengan dua sembilan bertemu
Jarak empat tidak masalah, itu katamu
Yang di tiap malam sering sekali bertamu
Sekarang halu, dulu mau
Ya mungkin memang aku yang tidak tahu malu
Tapi jika memang tidak disetuju
Tak apa asal jangan menjadi ragu
Untuk mencapai tuju
Apa harus menunggu hingga terbelenggu?
Dimana akan maju jika mengunci pintu?
Ah dasar kamu, rancu...
Huhuhu
Atau aku ya, yang terlalu candu...
Duuuh
0 notes
Text
Pecundang berdalih
Aku yang tengah merambat dengan keyakinan, mencoba meraihmu dengan segala angan.
Sedang kamu di ambang di sisi keraguan, juga berusaha tidak salah menerima untuk berada di kanan.
Mungkin belum cukup dengan kalori yang telah terbakar dengan kalimat yang telah berjatuhan, bukan juga dengan intensitas yang -mungkin- terlalu dini.
Tapi apakah bisa semuanya diserahkan kepada dentang yang terus berjalan?, lingkungan yang terbatas ini membuatnya terlarut iri.
Tapi, maaf, sampai kapan?
Bukankah sudah banyak panduan?
Atau masih menunggu 'mapan'?
Berbulan-bulan atau transisi perlahan?
Konsep pertemuan dan komitmen
Resep kebaktian yang permanen
Cerdas tidak memeras
Bebas tidak meretas
0 notes
Text
Theatre of Mind
Di bawah purnama yang teralih
Air-air padat telah berubah menjadi buih
Maaf kemudian tertatih
Teruslah berlatih wajar jika letih
Bagaimana bisa aku menjawab jika jawabannya itu kamu?!. Berat, pasti. Menyesal? Tidak. Hanya saja -baru- mulai disadarkan bahwa terpaksakan itu akan menyakitkan, mungkin akan berulang, juga. Egoku yang tidak mau menjadi ruang-ruang yang malang, semoga rendah hatimu juga tidak hilang terbilang halang.
Bagaimana bisa aku tergeming dengan wajah lugumu?!. Jika sebenarnya aku enggan untuk mengadu, itu juga kamu tahu. Mengingat hal-hal -yang nantinya- indah pasti akan tersendat oleh benalu, halu. Ragu?! Menunggu dan akhirnya berlalu.
Terimakasih pelangi, terimakasih lagi
Maaf merpati, maaf lagi
0 notes
Text
Dendang Belantara
Maybe, You're a beautiful lie and I'm a painful truth.
0 notes
Text
Gradasi Mitologi
Lihat! Singa singa itu sedang berenang di udara, berkeliling berburu domba domba yang hilang. Segerombolan angin memecah kebisuan di malam itu.
Dengar! Lautan yang memarahi pantai hingga berderu, lara lara itu memekik kesakitan menyelimuti karang. Entah, apa yang akan dilakukan selajutnya oleh para petani di petang ini.
Hirup! Sang Surya tidak akan menunggu ayam berkokok untuk memberikan kehidupannya di hari selanjutnya. Masih bimbangkah membedakan antara realis dan idealis?. Coba tanyakan pada anganmu yang -bahkan- hingga sekarang belum menemukan tempat singgahnya.
Rasa! Siapa bilang hanya raga saja yang merasa jika kehadirannya menjadikan nyawa lain disekitarnya terganggu? Jiwa juga, mereka membutuhkan ruang dan izin diantaranya, siapa yang sebenarnya harus memintanya? Yaitu hati hati yang yakin akan perjanjian lama yang telah bertaut. Ya hati dan hati, dua terbelah menjadi satu.
0 notes
Text
The Knight Templar
Di sebuah istana yang tidak begitu megah, tinggallah 2 penghuni di dalamnya, serpihan kaca dan pensil yang tumpul.
Keduanya hidup berdampingan, sudah beberapa pasang bulan mereka lompati, kenapa melompat? Karena ada banyak hal yang tidak mereka nikmati, ingin cepat sampai pada tujuan. Apa itu?. Entah, bagaimana bisa menetap dan berpegang teguh jika prosesnya tidak diketahui?. Keajaiban memang ada tapi langkah nyata yang pasti akan mengantarkannya.
Setiap minggunya serpihan kaca berusaha menajamkan pensil. Lama?. Memang serpihan kaca menyadari meskipun harus menggerus masing-masing bagian dari mereka. Apa yang dilakukan pensil setelah tajam? Menulis tentunya, menggambar sesekali, menghitung beberapa, tapi lebih sering terjatuh hingga serpihan kaca kembali melakukan tugasnya.
Sebagai bentuk terimakasih, pensil terlebih dahulu selalu menulis diatas serpihan kaca yang telah membuat dirinya runcing, tapi hingga kembali tumpul pun tulisan tersebut tak pernah jelas, serpihan kaca pun kembali berusaha meruncingkan pensil tumpul.
Di penghujung senja mereka baru menyadari, sampai kapan?
Gunakan media lain agar bisa saling mengungkapkan terimakasih dengan semestinya, caranya?
Saling mengukir.
0 notes
Text
Aku ≠ Kamu = Kita
Tenang. Bacalah dengan seksama. Jika kamu sudah melakukan itu dengan senang. Kita akan kembali bersama.
Ringan. Hadapi dengan bahagia. Jika kamu sudah menjadikan itu renungan. Kita akan menjadi sepasang manusia.
Aku tidak sepertimu yang sudah ketika bilang yasudah.
Aku tidak sepertimu yang tidak ketika bilang tidak usah.
Tidak apa jika rapuh tapi berkukuh.
Apakah harus selalu bersimpuh agar bisa luluh?
Aku berfikir kemudian, mungkin yang satu frekuensi bisa menjadikannya menarik dan penuh kejutan, tapi yang bertolak juga bisa saling menguatkan.
Tak apa jika belum mampu, aku akan membantu menyembuhkan lukamu dengan terluka tapi bukan dengan luka. Tenang. Aku bisa menyembuhkan diriku sendiri dengan kamu yang membantuku menguatkan secara tidak langsung, mungkin tidak sadar juga. Tak apa, itu caraku.
Tapi ku selalu berharap kau dapat ikut dengan caraku yang bersinergi dengan sikapmu.
0 notes
Text
Cemara yang tak lagi wangi
Rumah ini semakin sempit dengan ego masing masing yang semakin membesar.
Tidak ada lagi ruang untuk bicara, susah mencari peluang untuk memulai cerita.
Hanya sibuk dengan kata-kata yg -katanya- bersuara, tapi pada siapa?, patung-patung yang bernyawa?, raga-raga yang tak berdaya dihadapan dunia maya?, atau langkah nyata untuk membuka jendela dunia?. Lemah.
Mungkin saat ini yang disebut rumah bukan dulu tempat pulang.
Terlalu banyak perantara yang bisa mengalihkan dibanding ketertarikan dan keinginan yg besar untuk berkemuka dari buah hati.
Sementara ini hanya taman dan gedung yang bisa membantu bersuara tapi tak terbuka karena tertekan makna, dan juga tulisan-tulisan yang berujung pada kebimbangan -lagi- antara menyembuhkan atau menghancurkannya.
Yang jarang menjaring simpul diujung senang, tapi sering saling serang hingga meradang.
Apa masih bisa berkarya jika mati rasa?
Seberapa lama lagi dapat menunggu yang sudah diberi tanda sejak lama?
0 notes
Text
Menerka-nerka
Terbuka
Terpeta
Terbaca
Termakna
Terganda
Tersita
Terjala
Tergoda
Terlangka
Ternganga
Tersuka
Terduka
Terbawa
Tertawa
Tergema
Terwarna
Terkata
Terkita
Terkira
Tertata
Tercipta
Tercita
Tercinta
Terpinta
Tersirna
Terluka
Termurka
Terkemuka
Terpola
Termanja
Terhela
Terpana
Terbela
Terbuka
Terhina
Tercela
Tergila
Terdakwa
Terpidana
Terdenda
Terlunta
Tersara
Terbina
Terasa
Teraba
Terencana
Terkala
Tersisa
Terbisa
Terbiasa
Ter-renta
Ter-rela
Ter-rima
Ter-tidak-ada
Tertanda
Tertunda
Terima.
0 notes
Text
Di'te(re)ngah' Perjalanan
Sepatah kata terukir indah menjadi sebuah nama.
Sekeping canda terlampir sudah menjadi sebuah cerita.
Untuk cinta yang mengalir tanpa dipinta.
Dengan semoga yang akan menjadi kita.
Hampirku kehabisan kata untuk membuatmu, membantumu beranjak di tempat yang dirasa nyaman itu, bukan masalah fisik tapi lebih ke jiwa.
Bergemingkah? Ku kira belum.
Apa aku yang terlalu cepat? Kurasa tidak, jika bersambut.
Atau, terlalu banyak janji yang jatuh? Seberpengaruh itukah hingga bisa merubah karakter seseorang? Menggradasi.
Apakah cinta dapat dihitung? Jika begitu, apa logika juga dapat dirasa? Kenapa masih menanyakan pertanyaan yang sudah bisa diketahui arah dan hasilnya? Entah, aku hanya ingin memastikan saja yang langsung keluar dari hatimu melalui lisanmu, termasuk -mungkin- pengakuan. Menjadi pembeda boleh asal jangan jadi yang membeda-bedakan.
0 notes
Text
Seni Relasi
Suatu hari ada seekor mamalia yang sedang berjalan mencari pulang, sudah tak mau lagi dia mencari hanya berharap tapi tak berharap, rangkaian bulan berlalu singkat cerita -yang sebenarnya tidak ada yang singkat jika dinikmati dan dikaji ulang- setelah banyak asam garam kasih sayang yang telah dilaluinya dipertemukanlah dia dengan umbi dipersimpangan jalan peradaban yang baru, tak ada yang spesial sebelumnya, tapi si mamalia mulai sadar akan kehadiran si umbi. Waktu mulai berlari cepat saat itu, singkat cerita -lagi- mamalia dan umbi pun terikat dengan baik tapi tidak saling mengikat. Damai sekali sebelum isi dari mereka terkuak, perlahan dan mulai pasti dan memastikan, satu persatu mulai terlihat meskipun kurang begitu jelas sebelumnya. Tidak ada yang salah atau menyalahkan, kerikil mulai terlewati dengan baik, pun tidak ada ujian yang semakin lama semakin mudah bukan?. Karang, ombak, duri, ranting bahkan sayuran lama pun mulai berdatangan -lagi-. Mereka bukan tanpa angin tanpa ada hujan datangnya. Oh iya, dan pintu, kunci-kunci mulai dibuat tapi mungkin belum kuat sehingga masih ada -yang dibiarkan- masuk ke kediaman. Geram dan sesak mulai berdatangan menunggu mengikis mereka, tapi itu hal yang lumrah karena mereka ya mereka dengan keistimewaannya masing-masing. Apakah yang sama-sama istimewa tidak bisa dipersatukan? Tentu bisa jika salah satunya bisa beradaptasi, meskipun kata belajar dan saling itu diwajibkan ada dalam setiap ikatan -apapun- dan yakin, yakin akan kalimat-kalimat yang telah mereka catat dalam ingatan.
Seni yang bersemi dengan relasi yang ber-realisasi.
0 notes
Text
Angan Kala
Jarak mengajak berarak mengepak.
Anak mengoyak teriak membiak.
Tak apa hanya mata-mata saja.
Inginkan hanya saling mengiya.
Dari kamu berharap tapi menyimpan.
Itu aku yang sedang mencari harapan.
Resah masih dirasa tapi mulai menepi.
Indahnya yang masih selalu diyakini.
0 notes