Text
Inovasi stagnan
Pelik malam desertai hirur pikuk hedon manusia-manusia yang katanya akademisi, melejit erat dengan postingan yang ingin terinspeksi dengan dalih estetika. Mungkin akan menjadi ambivalensi bagi kalian pembaca, maka itulah kausa kalian adalah golongan yang akan saya ceritakan.
Organisasi, komunitas, aliansi atau apalah yang menjadi instrumen kalian hari ini adalah semu jika tidak berpijak dari ranah eksistensi, atau kalian ingin berdalih kembali? Secara tersirat saya bosan bercengkrama dengan golongan saya untuk membahas golongan kalian dan inilah waktu yang tepat untuk daya menuangkan ampas itu disini.
Program kerja yang mengerjakan berpuluh puluh tenaga tanpa ranah edukasi tanpa substansi perjuangan itukah inteklektual? Saya akhirnya perlu meniscayakan kata van Deventer kalian adalah calon pekerja yang patuh, beradap dan produktif sebuah eufimisme yang konyol di mata kami saat berlaku di era kolonial. Dari ketiga elements of darkness tersebut pada ujungnya mengkaratkan ujung tajam pedang kalian yakni Nalar - Kritis.
Terlatih bekerja dengan rasa kekeluargaan ( Taik! ) yang pada halnya apatis tidak ada bekas solidaritas di ranah akademis, bisa dibuktikan apakah pemimpin kalian menjajikan kemenangan yang sama untuk kalian? Atau kalian hanya menjadi tim hore untuk merayakan kemenangannya ? Apakah dia menggaransikan kesejahteraan kalian dimasa yang akan datang dengan rangkulan pahit dan tawaan dia sebagai seorang pemimpin? Trus apa timbal balik kalian dari botol tersebut ? Kenapa tidak memilih apatis saja ?
Logika terbaliknya apa jadinya jika kalian tidak berpartisipasi? Jika berbicara kondisi kemarin maka itu benefit kalian tidak menjadi bagian itu! Iya benar tidak ada hal fundamental karena layaknya karyawan pabrik, Kecuali ada penghargaan penuh bagi kalian para berkemeja apapun warnanya apapun logonya apapun emblemnya dengan perihal jangka panjang dan kemaslahatan banyak orang.
Ayo teman sudah berapa semester kita di lingkungan jenuh ini dan masih saja kita terjajah dengan pikiran sempit nan angkuh. Asensinya kalian seorang mahasiswa merupakan tentara cadangan proletar yang memiliki pistol-pistol intelektual mskipun intuitif untuk menembak aparat negara yang mengkilat nan rakus. Sistem negara yang longsor dimanfaatkan bagi perut-perut berdiameter tangki tinja.
Mahasiswa Kampus 2 yang memiliki elegansi di SPP menjadi sekat dengan konteks mahasiswa lainnya, idealisme dan nalar apakah milik mahasiswa fisip saja? Kita yang membayar mahal diberlakukan untuk menghafal dan mereka dengan standar dibawah diberi keleluasan yang kompleks untuk memahami, merefleksi dan menafsirkan, trus sistem fisiologis cerebrum yang kita pelajari cuma menjadi mesin buat mereka gitu tanpa implementasi nyata dari kita, jelas buat kita nice to know paradoks, debu adalah rasionalisasi kita jika diajak turun ke jalan, polusi apalagi karena kita paling sehat gitu, UP yang sudah dihafal 2 lembar portofolio bias ditelan bersama saos makanan cepat saji yang utopis dikonsumsi kalangan mustadafin. Terus masih bergunakah instrumen kalian ? Apa kontribusinya ? Rapat - Rapat - Tipes - Apendisitis
Selamat lebaran para calon buruh kesehatan yang terjajah!
2 notes
·
View notes
Text
Dielaborasi Preverensi Rakyat Dalam Euforia Pesta Demokrasi : Kesehatan Mau Dibawa Kemana?
Dalam beberapa minggu ke depan, rakyat akan berbondong-bondong ke bilik suara untuk menentukan pilihan mereka. Diantara riuh euforia ini tibalah kelegaan sebagian masyarakat bahwa akhirnya masa kampanye pesta ini berakhir. Bagaimana tidak? Keabsurditasan dari kampanye pilpres hari ini penuh akan pergulatan yang masif di tayangkan di berbagai media informasi diantaranya dikendalikan oleh kedua kubu. Media sosial menjadi ajang baku pukul antara supporter masing masing calon, yang ditunjukan bukanlah konsep ideal yang akan membawa masa depan negara ini lima tahun kedepan, melainkan berlomba-lomba saling menjatuhkanterhadap blunder yang dilakukan cebong maupun kampret.
Kedua pasangan calon terlihat lebih sibuk mempersiapkan retorika politinya masing masing, berdasarkan kisi-kisi yang diberi oleh KPU mulai dari penyelesaian kasus HAM sampai baru baru ini pada aspek pendidikan dan kesehatan. Perdebatan ini mulai bias dan mengecawakan berbagai pihak terutama permerhati kebijakan kesehatan yang kita ketahui isu kesehatan cukup seksi di superficial publik beberapa hari kemarin. Meskipun argumen yang diberikan meyakinkan, kedua pasang calon tidak memberikan solusi konkret, dan tidak menawarkan terobosan jangka panjang pada aspek kesehatan yang selalu stagan bahkan dekaden untuk saat ini.
Pasca perdebatan tersebut kita bisa melihat tidak ada intensifitas kedua calon untuk menyelesaian permasalahan kesehatan. Seakan-akan permasalahan kesehatan hanyalah untuk sembuh bukan bagaimana mempersiapkan pencegahan akan mobiditas dan mortalitas. Ataupun permasalahan JKN – KIS yang membutuhkan perbaikan sistem dibandingkan sekedar menyelesaikan defisit BPJS Kesehatan dan situasi tenaga kesehatan yang terjepit dengan program ini yang membengkak hingga 16,8 Triliyun pada 2018 yang pada akhirnya kompleksitas maslah kesehatan hanya berputar diwilayah untung-rugi negara dan instansi terkait. Dramatisasi warga yang tidak mendapat haknya sebagai peserta bpjs malah dikembalikan atas persoalan defisit JKN begitupun tenaga kesehatan yang tidak mendapat intensif tepat waktu.
WHO dalam kubus Jaminan Kesehatan ada tiga dimensi penting : yang pertama, seberapa besar persentase penduduk yang dilindungi. Kedua, seberapa lengkap pelayanan yang dijamin dan yang terakhir seberapa besar biaya langsung yang masih di tanggung penduduk. Seharusnya ada inovasi yang diberikan terkait upaya memberikan akses layanan kesehatan seluas-luasnya dan seadil-adilnya kepada publik tanpa mensangkut-pautkan lonjakan utilisasi yang membebani anggaraan kesehatan karena kesehatan adalah hak serta hal primer yang harus diprioritaskan terlebih dahulu. Apakah Undang UU no 40 tentang jaminan sistem jaminan Sosial nasional (SJSN) yang mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termaksud jaminan kesehatan nasional masih berlaku?.
Berdasarkan hasil utama Riskesdas 2018 ada lima isu yang harus diselesaikan dalam beberapa kurun waktu kedepan yaitu angka kematian ibu atau angka kematian neonatal yang masih tinggi, stunting, tuberculosis (TTBC), Penyakit Tidak Menular (PTM), dan cakupan imunisasi dasar lengkap, dan tidak dipungkiri akan ada peningkatan isu yang mengancam negeri ini khususnya daerah yang minim fasilitas kesehatannya. Hingga hari ini keterediaan fasilitas kesehatan terbaik dari belakang berada di wilayah timur indonesia bisa dilihat Rasio Puskesmas per kecamatan dapat menggambarkan kondisi aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan primer. Aksesibilitas masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya kondisi geografis, luas wilayah, ketersediaan sarana dan prasarana dasar, dan kemajuan suatu daerah. Hal ini dapat disebabkan karena wilayah kerja yang luas dengan medan yang sulit serta keterbatasan sistem transportasi untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
Selain berbicara persoalan fasilitas kesehatan perlu juga untuk meninjau berbagai aspek yang mendasari ketidakadilan ini, yaitu pemerataan pendidikan kedokteran di wilayah yang kurang instutusinya serta biaya pendidikan yang cukup luar biasa murahnya bagi para borjuis. Program beasiswa dari LPDP hanya diperuntukan bagi kelanjutan jenjang dari dokter umum ke spesialis sedangkan kurangnya distribusi anggaran ke calon mahasiswa berekonomi kelas menengah kebawah dibidang kesehatan yang sejatinya mendukung persebaran tenaga kesehatan khususnya dokter ke daerah yang dikategorikan 3T. Itu semua menjadi kewajaran jika sampai 2018 anggaran yang dialokasikan ke sektor kesehatan dibawah 5 % dan penggunaan anggaran pendidikan di bidang kesehatan yang belum maksimal padahal sudah mendapat proporsi 20%.
Ini perihal yang memalukan bahwasannya negara tidak lagi memperdulikan kemaslahatan rakyatnya tebukti dengan alokasi anggaran kesehatan yang kalah dari negara miskin misalnya Kuba. Sebagai kesimpulan apakah pesta demokrasi ini membuat optimisme kepada kesejahteraan khususnya aspek kesehatan? Jawabannya tentu tidak, meninjau definisi kesehatan sesuai UU nomor 36 tahun 2009 Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kuba dengan kemiskinannya mampu mengalokasikan tak kurang dari 10% anggarannya untuk aspek kesehatan, bagaimana Indonesia? Kuba dengan kemiskinannya hanya mendapat 5% balita stunting, bagaimana Indonesia? Cakupan Program imunisassi di Kuba mencapai 99%, bagaimana Indonesia? Dengan kemiskinannya Kuba menggratifikasi layanan kesehatan gratis dan berkualitas, Bagaimana Indonesia? Dengan kemiskinannya negara kuba mampubersandar pada motto : lebih baik mencegah dari pada mengobati? Tak pentingkah kesehatan bagi rakyat Indonesia wahai capres dan cawapres?.
“The life of a single human being is worth a million times more than all the property ofthe richest man on earth” – dr. Che
0 notes
Text
Resisten pada dogma sesat bukan berarti kita adaptif pada orientasi fundamental.
0 notes
Text
Kalau eufimisme dari kepasrahan bisa saya ganti dengan batasan usaha dan kemerdekaan boleh kak?
Manusia merencanakan, Tuhan menetapkan. itulah kehidupan, persandingan antara usaha dan kepasrahan.
Hereuy Riwayat Anwar
841 notes
·
View notes
Text
Jadilah perusak, agar terbiasa memperbaiki. Revolusi! (Kamerad, 2019)
0 notes
Photo
Terkesima dengan hemat, buku, serta hijaunya halaman
Casa Havaí / grupo garoa + Chico Barros
Photos © Pedro Napolitano Prata
537 notes
·
View notes
Text
Melodi tawa
Melihat senyuman orang yang sebenarnya tak memiliki banyak hal seperti kita adalah harta sebenarnya, mampu bersua entah dengan gurauan atau berbagi sedikit materil yang sebenarnya berapa sih bagi kita? .. itulah sosial selalu menghidupkan, sehingga aku tak perlu percaya dengan indeks kebahagiaan karena itu sebenarnya semu, diciptakan untuk mereka yang bahagia dengan harta dan kerakusan.
Hai kawan kaulah komerad dengan gitar dan senyum meskipun kau tak sering bergulat dengan buku atau surat kabar, tapi kau secara tersirat mengajarkan untuk apa aku berjuang.
Teruskan melodimu hingga dalam diam
1 note
·
View note
Text
Mama jangan khawatir yah
Pagi di akhir tahun ibuku menelpon, aku tersadar kalau sudah jam 10 lewat beberapa menit. Biasalah sebagai orang tua menanyakan pertanyaan prioritas “ibadah lalu sarapan”, kemudian memberi untaian omelan yang diakhiri penyemangat kebetulan hari ini tidak ada kuliah, sebelum ibuku menutup panggilannya ibuku bertanya planing apa hari ini kecuali rapat? ngopi lagi?, hari itu adalah hari rabu dimana ada amanat yang diharuskan kepada kami untuk turun jalan terkait rupiah yang semakin anjlok, akupun agak risau untuk mengatakan hanya saja, ibuku adalah orang yang terbuka dan menuntut kejujuran sebagai aspek dasar seorang manusia.
Setelah aku paparkan sekian panjang termaksud rasionalisasinya, hentak gugup dadaku beliau hanya menjawab “hati hati kalau begitu, kamu sering lupa minum air putih, segera minum” tanpa ada kerisauan sama sekali, dalam benakku akan ada ancaman setelahnya. aku hanya ingin kau tahu ataupun ibu sudah tahu bahwa aku selamanya akan dijalur ini, kesehatan tak pernah menjadi trending, pendidikan mahal untuk siapa? ingatkah anak kecil dipinggiran lampu merah yang ibu ibakan? kira kira siapa lagi bu? kolegalku tak menginginkan hal seperti yang aku inginkan, bagaimana lagi bu? semua hanya sibuk dengan nilai dan kertas bercap serta tanda tangan. bu aku rindu di rantau izinkan aku berjuang untuk mengobati rinduku padamu dan ketidakadilan.
0 notes
Text
4.0 Katanya
4.0 itu yang saya selalu dengar dari pengisi materi sekaligus pengarang yang saya bingung apa substansinya selalu dikaitkan dengan pendidikan. pendidikan toh! setahu saya pendidikan merupakan ladang untuk memproduksi manusia yang memiliki kematangan intelektual, estetika nalar dari buku yang diwajibkan untuk dibeli, dan kesadaran pergerakan untuk peradaban rakyat.
Apalagi ketika saya mendengarkan angkuhnya pemantik mengatakan “dokter masa depan, era industri 4.0″ ini adalah suatu kekonyolan argumentasi yang tidak dikomparasikan dengan realitas kesehatan dan sistematika dalam mengekskalasikan kualitas kesehatan. Pada hari ini kita sulit sekali menemukan ada forum diskursus yang kompatibel dan seharusnya untuk mahasiswa, tidak di kampus , tidak diorganisasi hanya mentransformasikan kemapanan penggunaan teknologi, “hello bosku” kalian tahu tidak wahai mahasiswa itu hanya menipulasi agar obsesi kalian hanya terhantarkan menjadi seorang pekerja atau buruh berjas putih. Bagaimana dengan kita nantinya hanya berorientasi pada kuratif saja. teknologi hanya teruntuk mereka para penguasa wahai saudara mahasiswa, sedangkan bagaimana dengan masyarakat? pake bpjs lu kira bebas bos manggunakan kemajuan teknologi yang kita bahas diforum minim substansi itu, dikenalkan sana sini alat A alat B ampe Z yang diproduksi para kapital pasar, gua ya bilang o aja toh bukan untuk masyarakat kecil, tu BPJS menjamin baru gua mau kenal.
Coba kembalikan khitah mahasiswa dalam objek preventif seperti bagaimana sih pendidikan kedokteran yang berkeadilan negeri sama swasta harganya sama sama terjangkau, noh mahasiswa aktif dalam promosi kesehatan minimal atu minggu sekali lah, bagaimana sistem kesehatan kita kritik lampaui dulu tapi validitasmaupun efektifitasnya biar selalu mengalami perbaikan dan tercapainya sistem yang relevan untuk masyarakat , ups! tapi ingat secara komperehensif yah! masyarakat kecil prioritasin ini malah disinggung dalam sebuah forum besar yang tidak sedikit saya dan kawan seperjuangan saya harus mengeluarkan budget buat kesana kwkwk.
“Kalian kesini bukan untuk mengkritik” (01 mahasiswa kedokteran “kata orang orang”, 2018) ini sama halnya dia menhalalkan kita untuk memuja mereka sebagai rezim fasis keintelektualan. begini saja analoginya dari mahasiswa saja sudah mendoktrin masalah ketaatan emang moral seperti apa yang mau anda ajarkan kepada saya dan adik-adikmu ini wahai 01. Hilanglah mimpi hebat untuk jadi pemberani karena yang dibutuhkan hanya ketaatan, dan kalian hanya mangabadikan kepatuhan ketimbang keberanian! Sadarlah wahai 01,01 selanjutnya.
kesimpulan!, Pengetahuan dewasa ini hanya dibangun untuk mapan secara ekonomi, rasionalitas yang ujuknya materi kwkwk, tau gak mahasiswa kita udah cacat secara intelektual dan miskin secara sosial. semoga nanti kawan kawan yang pingin jadi dokter dengan IPK tinggi dan cepat kaya yah!
Mari bangun Kesadaran Kelas!
#hiduprakyat #hiduppetani #hidupburuh #hidupnelayan #hidupmahasiswasukabelokkiri #Teknologitai
0 notes
Text
Berdiskusi mulai dari situlah kita seharusnya memandang, perspektif dan teori hanyalah untaian kata semu yang sejatinya tergeletak dalam kabut, perih, dan sesak.
0 notes
Photo
Coba katakan siapa di negeri ini yang hidup paling sejahtera? Tolong katakan, siapa di negeri ini yang koleksi mobilnya melebihi jumlah anggota keluarganya? Jelaskan pada kami, bagaimana mereka memiliki harta yang melebihi jumlah penduduk se-desa? Itukah yang namanya keadilan dan kesejahteraan? - Eko Prasetyo
0 notes
Text
Gambaran kebohohonganku pada lelahnya mentari, bahwa optimisme hijau harus menang melawan apapun warna dan bentuknya, tembok dan kaca tak kan pernah memberi kita kehidupan.
0 notes
Photo
Mahasiswa Gedung F dan Polemik Negri
Mahasiswa mahasiswa, susah memang yah … terkadang keambiguan posisi mahasiswa milenial terlalu naif dan serba salah untuk dibahas. Zaman yang mulai meregresi pola nalar kritis yang sangat dibutuhkan saat ini. Betul memang jika banyak mengatakan kita harus kreatif, inovatif, dan eufimisme lainnya yang memerosotkan tapi apakah kita tak perlu bergerak untuk peduli pada negara dan pemerintah yang saat ini … ah sudahlah.
Banyak yang terpukau bahkan ada juga yang menyayangkan pemikiran seperti kolegal kami, kok kontemporer banget sih?, kuno ah!, ruwet ae! ndang dadi dokter bi!, cuma satu feedback yaitu “siapa yang menjamin kemaslahatan kalian saat jadi dokter dimasa depan nanti? apakah ada keyakinan kalau kalian sudah dijamin negara? yang ada kalian hanya meraup profit dan kesehatan masyarakat kita yang mayoritas adalah KALANGAN EKONOMI MENENGAH KEBAWAH! emang ada yang kalian pelajari dalam ilmu parasitologi mengenai kesehatan berkeadilan ? atau mungkin di kedokteran keluarga terkait Relevansi jaminan kesehatan yang saat ini jelas tidak memiliki sistem yang jelas dan timbal balik yang merugikan, bahkan jaminan yang setengah-setengah untuk masyarakat.
Diatas terik kami berteriak mengancam, kami rela menghirup aroma polusi yang jelas merupakan predisposisi kanker, dihina-dituduh-dicerca membuat kegaduhan di jalan, menggangu akses transportasi, ditonton oleh puluhan bahkan ratusan mahasiswa apatis di dalam warung kopi dengan terbahak yang terletak di jalan yang kami pijak untuk memperjuangkan hak asasi dan memaparkan konsep keadilan pada mereka sang “penguasa”.
Saya setuju kemudian ada yang mengatakan “kan gak harus turun ke jalan” benar! langkah saya disini salah satunya, tapi siapa yang mau lihat tulisan saya ini apakah Prof fahmi idris atau bapak jokowi melihat update- an saya tiap harinya? kan tidak. Lihatlah kawan kawan ku perang keintelektualan untuk melawan rezim mulai terbit, ini hanya pemantik untuk revitalisasi gerakan kita untuk rezim berikutnya, mahasiswa mahasiwa! jangan pernah ada konsepsi sukses konsepsi sukses di era ini hanya didefinisikan sebagai memperkaya diri dan keberhasilan kalian atas penindasan. Jika kau meniscayakan zaman dan menutup oralmu dengan steples maka saya ucapkan selamat dan semoga berhasil para calon penjajah, kami menunggumu dan siap menelanjangimu kemudian hari.
HIDUP MAHASISWA
0 notes
Text
Problematika dan Kamuflase Jaminan Kesehatan
Jaminan Kesehatan mungkin ketika faham sari sudut pandang perkata adalah sebuah peyakinan mengenai sebuah situasi dan kondisi fisiologi tubuh yang tetap selalu survive dan meskipun terjadi gangguan kenormalan akan dikembalikan pada kondisi fitrahnya. Mengenai dari pandangan pengertian diatas tentu kita akan sadar bahwa sebuah kesehatan bukan hanya tanggung jawab seorang indiividu melainkan tanggung jawab setiap insan dimuka bumi. Menurut UU Nomor 36 tahun 2009, Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Mungkin pengertian yang disertakan oleh undang undang tersebut tidak sekompleks WHO tetapi sudah menyleluruh pada tujuan sehat yang tidak terkerucut pada kondisi fisik tetapi bagaimana tatanan fisiologis, sosial, dan spiritual bisa berjalan sinkron dan stagnan.
BPJS Kesehatan (Badan Pelaksana Jaminan Sosial) merupakan badan hukum yang menyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional jika melihat dari rate recordnya bisa dikatakan dalam kondisi yang tidak baik baik saja. Polemik mengenai Jaminan kesehatan Nasional saat ini yang seharusnya memberikan jaminan pada masyarakat tentang keadaan normal tubuh banyak menimbukan persoalan mengenai program yang tidak simplimatis dan memberikan kerugian pada masyarakat luas. Dimulai Prosedural BPJS Kesehatan yang cukup rumit apalagi dibarengi tentang pengetahuan masyarakat akan adanya jaminan kesehatan yang kurang hal tersebut tentu merugikan bukan hanya dari kondisi kesehatan tetapi juga kondisi finansial.
Fenomena yang saat ini tentu menjadi titik permasalahan awal adalah terdapat perbedaan atau dualisme jaminan kesehatan nasional, yakni bentuk fisik kartu BPJS Kesehatan yang masih eksis sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhono dan Wujud kartu yang menterterakan tulisan Kartu Indonesia Sehat yang merupakan Program Jokowi yang mulai didengungkan saat kampanye Pilpres tahun 2014. Ini membuat timpang tinding antara program yang dijalankan pemerintah sebagai opsi jaminan kesehatan atau menggunakan ketiga-tiganya sebagai alternatif untuk mengatasi masalah kesehatannya.
Tidak hanya berhenti sampai disitu kesenjangan soal proporsi yang diberikan pemerintah pun berbeda seperti KIS yang rata-rata diperuntukan untuk warga miskin yang iuran kepesertaanya dibayar oleh pemerintah yang dialokasikan dalam APBN (PBI/Penerima bantuan iuran) dan BPJS Kesehatan (JKN) dengan sistem Iuran disetor dan dikumpulkan yang nantinya digunakan kala Ia sakit pada dasarnya prinsip gotong royong yang disetorkan oleh setiap anggotanya. Hal ini akan berimpak pada kesenjangan pelayanan tenaga kesehatan melihat juga bagaimana peran utuh pemerintah dalam menjalankan program KIS dan Program JKN dengan sistem gotong royong saja memiliki permasalah detail mulai dari pelayanan yang berbeda dengan pasien yang membayar Tunai hingga ada beberapa obat yang tidak bisa ditebus oleh pasien sehingga harus ditanggulangi dengan biaya pribadi.
Kemudian, Permasalahan tentang defisit biaya oprasional yang ingga 2017 mencapai 6 triliun membuat premi yang diterima tidak mencapai 100 persen yang seharusnya. Ini pun seakan tidak boleh terdiam apalagi yang dipermasalahkan adalah perilaku yang salah sebagian masyarakat yang menjadi peserta ketika saat membutuhkan pengobatan atau terapi dari Instansi penyedia layanan kesehatan. Bahkan banyak yang justru bukan membutuhkan penanganan pada penyakit yang tergolong berat sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tidak sedikit mulai belasan hingga ratusan juta dan harus ditanggung negara secara kontinyu, sementara iuran yang dibayar peserta jamkes hanya berkisar puluhan ribu rupiah saja.
Pada hakikatnya keberpihakan penyedia jaminan kesehatan tidak hanya pada sisi penerima bantuan oprasional tetapi juga pelayan kesehatan yang turut mengambil andil dalam menjalankan program ini. Jika memandang dari pihak petugas kesehatan, dokter khususnya, hak dokter yang sebenarnya harus dipenuhi tapi malah imbal jasa yang diberikan justru minim dan tidak sesuai dengan standarisasi keahlian seorang tenaga kesehatan. Dan juga masih banyaknya jumlah kasus perseteruan antara penyedia fasilitas kesehatan, mulai dari puskesmas hingga rumah sakit yang sampai saat ini pun masih ada laporan tentan klaim yang tidak tepat waktu, bahkan ada yang mandet hingga 4 sampai 5 bulan.
Situasi urgent seperti ini tidak hanya merugikan masyarakat sebagai penerima bantuan layanan kesehatan tetapi berbagai komponen mulai dari individu hingga Instansi Kesehatan pun terlibat dalam kerugian dalam menjalankan program negara ini. Melihat problematika yang sangat kompleks seperti ini membuat masyarakat memandang program kesehatan yang diberikan pemerintah dari berbagai kacamata, ada yang berbalik menilai BPJS bukan lagi sebagai badan hukum tapi badan usaha yang menjalankan fungsinya sebagai salah satu sektor peruntungan bagi pemerintah yang menjadi citra buruk BPJS dimata masyarakat. Sudah seharusnya pemerintah harus tegas dalam keberpihakannya dalam menanggulangi kesenjangan pelayanan kesehatan diantara tiap kelompok masyarakat agar tidak ada prioritas mengenai klasisfikasi pelayanan. Perihal jaminan kesehatan tidak bisa hanya kita khusus kan juga pada aspek penyelenggaranya tetapi pemerintah harus bisa mendorong secara komperehensif stakeholder untuk mengoptimalkan pelaksaan program Jaminan kesehatan nasional.
BPJS Kesehatan pun harus segera berbenah melakukan pebaikan sejumlah regulasi yang diproyeksikan dari permasalahan dan juga evaluasi agar dapat memperbaiki pelayan pada penerima dan memberi hak seorang tenaga kesehatan khususnya dokter sesuai dengan standarisasi keahliannya. Pemerintah juga harus segera meningkatkan biaya oprasional kesehatan pada JKN yang pada hari kemarin diperuntukan pada aspek kesehatan dinilai kurang memadai, dengan mengalokasikan lebih banyak dana termasuk jumlah penerima bantuan iuran pada BPJS kesehatan. Kesehatan bukanlah hal yang hanya terkhusukan bisa dinikmati oleh segelintir orang. Keadilan adalah sebuah kesehatan sosial, dengan kesehatan dan keadilan masyarakat akan meningkatkan produktifitas sosial dan ekonomi yang akan membawa pada Indonesia berkemajuan.
0 notes
Text
Pendidikan Dokter bukan untuk orang Miskin!
Menarik sekali ketika saya membaca tulisan Kanda kami Eko Prasetyo yang berjudul “Orang Miskin Dilarang Sakit” Batin saya tersinggung dan merasa saya salah memilih alur pendidikan yang saya tempuh saat ini, mungkin dengan keresahan kalbu ini sedikit saya kembangkan pada pendidikan dan output berdasarkan realitas yang ada. Bisa dibilang Pendidikan adalah sebuah tempuhan dimana seorang insan akan mendapat segala bentuk pemaparan empiris yang merupakan hasil pembelajaran dan pengembangan dari masa masa. Pada Hakikatnya pendidikan adalah sebuah lahan pencerdasan dan semua orang berkewajiban dan memiliki hak atas itu. pada zaman yang kompetitif ini pendidikan merupakan parameter awal dari sebuah kualitas sesorang karena selain substansi keilmuan tetapi eksistensi yang akan diraih apalagi pendidikan tersebut bukanlah sebuah aspek pendidikan yang bisa dibilang tidak biasa, akan penuh dengan kebanggan tanpa ada pertimbangan akan konsekuensi yang akan dihadapi, salah satunya adalah “Pendidikan Dokter”.
Membbahas pendidikan dokter, ini mungkin akan sangat fenomenal dikalangan akademisi, mahasiswa, bahkan pelajar sekolah yang berpretasi dan cerdas, berambisi demi bisa berbicara dengan lantang “saya adalah calon dokter masa depan” mungkin dengan tawaan kesombongan dibelakangnya hehe layaknya. melihat fenomena pada saat ini bukan hanya ketika seorang anak yang berkeinginan tetapi orang tua yang membatasi dengan berbagai kendala, adapun seorang anak yang tidak menginkan tetapi orang tua yang berkeinginan karena kemampuannya, atau mungkin keinginan kedua duanya. Melihat impak kebanggan secara parsial tadi membuat para orang tua berlomba lomba untuk merebut kursi pada Perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Kedokteran tak main-main mereka rela merogo kantong yang dalam demi bisa melihat anaknya menggunakan jas putih yang nantilnya juga akan lusuh. Lantas sebenarnya apa yang kita cari disini?
Melihat fenomena yang menurut saya irasional ini kita harus kritis dalam menanggapi. dilain sisi pendidikan yang sebenarnya adalah unsur yang bebas bisa di tempuh oleh siapa saja, malah terjadi sekat yang solid dimana ada pengkategorian kasta yang dikhususkan untuk menembuh pendidikan yang didambakan ini. bayangkan saja berapa biaya yang harus dibayar , belum lagi jika seorang di daerah tertinggal berapa tambahan lagi milai akomodasi hingga kehidupan di tanah rantau, inilah faktor mengapa sistem pendidikan berlambangkan Aesculapius ini diambil alih pada orang yang rata rata berkemampuan sangat cukup dibandingkan kalangan menengah keatas yang memilih alternatif bekerja ataupun memilih program studi yang lebih terjangkau. Sangat disayangkan kebebasan berpendidikan malah ditiadakan di negri ini karena syarat dan tarif. Padahal kita sadar negeri ini memiliki ideologi demokrasi dan pancasila apalagi merujuk pada sila terakhir “Keadilan Sosial Bagi SELURUH Rakyat Indonesia” yang baru terpikirkan beberapa menit yang lalu kalau posisi dari dasar negara ini hanya berupa kalimat lantang dalam upacara bendera tanpa adanya refleksi.
Bagi Paulo Freire, Pendidikan adalah cara memanusiakan manusia. Pendidikan tidak boleh dianggap semata mata sebagai bisnis dan Inventasi yang berorientasi profit. sangat disayangkan lantunan syair Freire tak di gubris di negri ini, yang justru memazhabkan sitem pendidikan gaya bank pada sistem pendidikan nusantara. Pemikiran seperti yang sebenarnya membuat nilai materil adalah kepantasan untuk memasuki gerbang pendidikan kedokteran bukan kapasitas dan kualitas.lembaga pendidikan seolah pabrik yang menciptakan tenaga kerja dengan upah murah.
Komersialisasi Pendidikan Kedokteran yang membuat biaya yang begitu mahal membuatnya menjadi investasi yang harus mampu mengembalikan modal. inilah yang mendasari Moral hazard terbentuk, saling timpang tindih antara profesionalisme dan kebutuhan. Model pendidikan gaya kapitalis seakan bermetastasis ke seluruh belahan negri. Baik Lembaga pendidikan milik negara maupun swasta tak ada bedanya. sama sama memiliki harga yang mahal dan belum mampu dijangkau oleh lapisan masyarakat. Alhasil output lulusan yang diharapkan menjadi pengabdi malah manjadi pedagang jasa yang harus menghasilkan keuntungan. Tak bisa membantah realita lihatlah mahalnya jika sekali kita berobat kedokter apalagi dengan rata rata membawa ketidakpuasan akan pelayanannya belum lagi obat dan biaya perawatan yang harus ditebus. Mungkin para dokter akan membantah jika mahalnya biaya berobat merupakan upaya untuk mendapatkan keuntungan sebesar besarnya karena perhitungan pada besarnya modal pendidikan.
Berbicara tentang sejarah kita bisa menyinggung STOVIA di Jakarta (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang didirikan tahun 1899 adalah sekolah untuk penddikan dokter pribumi pada saat itu. Dulu para calon dokter itu mendapatkan beasiswa hingga tak memusingkan persoalan Tarif pendidikan. Ataupun berkaca pada negara kecil di Amerika Latin bernama Kuba menjadikan urusan kemanusiaan adalah landasan yang paling utama dalam didunia kedokteran dibandingkan urusan birokrasi yang selalu apatis akan profit. Revolusioner Kuba, Fidel castro mendirikan Escuela Latinoamericana de Medicina (ELAM) sebagai tindakan untuk mananggulangi dari kekurangan tenaga dokter di kuba. Di ELAM semua biaya ditanggung pemerintah mulai dari pendidikan, tunjangan dan juga buku buku yang serba gratis pada seluruh mahasiswanya.
Melihat dari perbandingan tersebut betapa mirisnya sistem pendidikan kedokteran yang ada di Indonesia dengan problematika kesehatan yang segitu segnifikan sudah seharusnya pemerintah membuka ruang pada semua lini agar bisa mengakses pendidikanyang tidak hanya terkerucut pada pendidikan dokter tetapi juga keilmuan kesehatan lainnya bukan memikirkan tentang keuntungan keuntungan tanpa mengemukakan keadilan merata perihal pendidikan. Apabila pemerintah dapat menganalisa pada sisi objektifnya tentu tidak hanya berimbas pada kemajuan penddikan kedokteran dan kesehatan tetapi juga kesehatan masyarakat indonesia yang Komperehensif dan Holistik. yang akan membawa Bangsa ini ada Produktifitas dan Kesejahteraan.
“Para Mahasiswa menyadari bahwa tugas dokter tidak sekedar menyembuhkan penyakit dibadan. Dokter juga mesti membangkitkan jiwa bangsa yang memendam ketidaktahuan. Siapa lagi yang melakukan kalau bukan para terpelajar?” - Pramoedya Ananta Toer
0 notes