sarah gabriela. a professional sleepyhead. a part-time shakespeare.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Quote
Mungkin kita memang ditakdirkan hanya sebatas itu. Sebatas pernah bersama. Kisah singkat yang tak kerap lengkap. Kisah sementara yang tak berpengaruh apa-apa.
(via mbeeer)
2K notes
·
View notes
Quote
Pertanyaan besarnya sekarang adalah, Apakah ia yang kau cintai, mencintaimu sebesar cintamu itu? Atau, Apakah ia yang mencintaimu, bisa kau balas cintanya sebesar cintanya kepadamu itu? Juga, Apakah mereka yang tengah mendampingimu sekarang, adalah seseorang yang benar-benar begitu kau inginkan untuk menemani hidupmu sampai akhir menutup mata?
(via mbeeer)
909 notes
·
View notes
Text
12
Dari jiwa untuk raga, Aku masih mengharapkan nya. Bahkan seluruhnya. Bukan untuk niat menyakiti, hanya saja terlalu mencintai. Hai malam-malam kelabu penuh bising, maukah tetap tinggal meski tak bertemu?
0 notes
Photo

Where'd you go? I miss you so Seems like its been forever That you've been gone
0 notes
Quote
Selamat malam langit-langit kamar, kebisuanmu membuat ku mengerti, diam adalah cara terbaik untuk dapat mendengar
s.g
0 notes
Text
Ayam Potong
Tau ga? Kita itu macam ayam potong Merengek rengek minta makan Merengek rengek minta belas kasihan Merengek rengek minta perhatian Tapi tau ga? Kita hanya untuk dipotong Di makan sampai habis Digiling sampai halus Bodoh Naif Malu-malu Bahkan tak sadar kapan akan dipotong Yang kita rasa badan makin berisi Fisik semakin indah terjaga Kulit putih tak bercela Tapi tau ga? Kita hanya untuk dipotong Di gorok lehernya setengah Menggelepar berharap mati Karna tak kuat menahan hidup Lucunya hidup kita Merasa luar biasa, padahal bukan apa-apa Hanya ayam potong
0 notes
Text
Masih
Dia masih lelaki yang sama. Yang kukenal 10 bulan lalu karena sebuah pertanyaan polos yang terlontar. Masih pula lelaki yang sama. Yang 9 bulan lalu memulai percakapan lebih intensif dan menunjukkan keseriusannya. Pun masih lelaki yang sama. Yang 8 bulan lalu memperlurus keadaan dengan sebuah komitmen dan kejelasan arah. Tetap masih lelaki yang sama. Yang 7 bulan lalu dengan berani menyatakan perasaannya padaku dan keinginannya memilikiku. Bahkan... Masih juga lelaki yang sama dengan 6 5 4 3 2 1 bulan lalu. Yang tulus mencintaiku. Menjaga dan bertanggung jawab atasku. Berusaha memberikan yang terbaik untukku. Mengalahkan egonya demi aku. Menebus kesalahannya dengan perubahan. Mendistribusikan tenaga dan pikirannya kepadaku. Dia masih sama. Sama seperti Jefebry Dale yang ku kenal sebelum hari ini. Yang tatapannya menenangkan dan penuh kasih. Dia masih lelaki yang sama. Yang aku cinta sejak awal sekali aku mencintainya.
0 notes
Text
12 Desember 2016
“Lihatlah lagi matanya lebih dalam. Barangkali masih ada cinta tersisa disana”
——————————————————-
12 Desember 2016. Seperti biasa aku harus kembali kepada peradabanku sebenarnya, kembali memasuki realita cukup keras demi selembar kertas. Ya, kembali ke tempat dimana aku menuntut ilmu. Seperti biasa pula aku tidak sendiri dan ditemani oleh seseorang yang kalian sudah pasti bisa menebak siapa dia. Jam ku menunjukkan pukul 14.00. Aku menunggu kedatangannya dengan gelisah, karena perjalanan kami jauh, meleset sedikit saja kami bisa sampai berjam-jam di jalanan. Belum lagi kami harus berganti bus kelak. Tak lama, ia datang dan kami sesegera mungkin naik ke bus paling depan agar lebih cepat berangkat. Hari itu langit cerah. Tidak hujan. Semua berjalan sangat normal, seperti biasanya. Aku dan dia juga seperti biasanya, tak kehabisan bahan obrolan sepanjang perjalanan. Sesaat setelah berganti bus, kami masih asyik dengan obrolan kami yang waktu itu pastilah seru. Karena kami tertawa-tawa sembari bercerita. Tak sengaja, aku melirik ke layar hpku. Hm, hari ini tanggal dan bulannya serasi. Tanggal 12 bulan 12, pikirku. Hampir aku keceplosan untuk memberi tahu kepada dia. Tapi hal itu tak terjadi karena aku dengan cepat menyadari, takut kalau-kalau ia akan menganggap aku memberinya kode untuk meresmikan hubungan kami. Ya….kami saat itu masih “berteman”.
Sesampainya di perhentian bus, kami masih harus menyambung perjalanan dengan angkutan online untuk bisa mencapai tempat tinggal kami masing-masing yang berada di dalam komplek perumahan. Semua berjalan sangat normal, seperti biasanya. Ia pun bertindak sangat normal, seperti biasanya. Kami juga tidak membahas mengenai hubungan kami beberapa waktu terakhir, jadi aku berfikir kami baik-baik saja dengan status hubungan kami saat itu. Sesaat aku memandang keluar jendela mobil. Merasakan betapa bahagianya berada di samping orang ini, pikirku. Aku bisa merasa kembali hidup di tengah keriuhan yang kurasa di masa-masa perkuliahanku. Saat itu aku berfikir, akan lebih indah jika kami mempunyai status hubungan yang jelas yaitu berpacaran. Namun di sisi lain si pikiran naif menyergap masuk untuk menyerahkan segalanya pada takdir. Asal aku bisa tetap bersamanya, mungkin itu sudah cukup bagiku. Saat itu yang kurasa, ia mampu menyeimbangkan diriku. Mampu mengikuti aku berjalan tanpa membututi, tapi mendampingi. Tipe-tipe pria yang sangat aku idamkan memang. Saat itu juga aku melihat diriku tidak harus menjadi orang lain ketika bersamanya, cukup menjadi aku saja, dan dia dapat menerimanya. Memang terkadang hati ku ragu karena perbedaan usia kami, tapi seiring berjalannya masa pendekatan kami, aku dapat melihat dirinya yang nyata terlepas dari perihal angka-angka itu. Aku tersenyum kecil. Membayangkan bagaimana jika kami benar-benar pacaran? Sudah tergambar jelas dalam otakku, bagaimana aku dibuatnya tertawa terpingkal-pingkal setiap hari dengan tingkah konyolnya. Dengan keluguan dan kebodohnya yang kadang disengaja hanya untuk melihatku tertawa. Sejenak hatiku terasa sangat hangat. Bahkan hanya dengan membayangkannya saja, aku bahagia. “Sar, kamu mau gak jadi pacarku?” Aku tersenyum lagi. Lucu sekali aku ini. Bahkan disaat sedang membayangkan caranya menyatakan cinta padaku, semua terasa begitu nyata. Suaranya sangat jernih di otak dan pendengaranku. Ya, pendengaranku. Tunggu dulu.
Pendengaranku???
Tidak. Aku tadi hanya sedang membayangkannya kan? Aku menoleh ke arahnya. Tidak. Oh yaampun. Wajahnya mengarah kepadaku dengan tatapan menunggu jawaban. Matanya memandang lurus tepat di mataku. Kata-kata itu sungguh nyata.
“Ha?” “Iya kamu mau gak jadi pacarku?”
Oh yaampun. Ya Tuhan tolong aku. Wajahku pasti merah. Perutku saat itu juga terasa melilit. Aku harus ke toilet.
“Hahaha. Kamu bercanda?” Astaga. Responku bodoh sekali.
“Aku serius. Sarah Gabriela Manein, kamu mau gak jadi pacarku, Jefebry Dale Todingbunga Tanan?” ulangnya. “YA JELAS LAH AKU MAUUUUU. AKU SANGAT MAU WOY. KAMU GAK PERLU TANYA AKU PASTI MAUUUUUU.” aku berteriak sendiri dalam hati. Dan akhirnya aku hanya menganggukan kepala sambil tersenyum. Ugh. Bodoh.
Hari itu, kami resmi jadian. Kamu bisa bayangkan betapa bahagianya aku? Semoga kau bisa kawan. Karena aku sangat sangat sangat bahagia. Rasanya seperti kau menabung untuk sesuatu yang harganya mahal, kau menabung dengan jerih payahmu, sedikit demi sedikit kau simpan uangmu demi membeli sesuatu itu, dan akhirnya tibalah hari dimana kau memecahkan celengmu. Menghitung uang tabunganmu yang ternyata PAS dengan harganya. Dan kau langsung bergegas membelinya, dan akhirnya kau mendapatkan barang yang kau mau itu. Rasanya bahagia dan puas sekali. Sama seperti perasaan ku kala itu. Ingin rasanya aku berteriak seperti orang gila di jalanan, memberi tahu bahwa aku sudah resmi berpacaran dengannya. Yaampun. Sebegitunya aku.
Hari-hari pacaran kami sangat indah. Yah, setidaknya dulu sangat indah. Meskipun sekarang tetaplah indah, namun tidak mungkin bisa disamakan seperti dulu saat awal sekali kami memulainya. Bagiku, ia tetaplah ia yang kucintai sejak pertama sekali. Dan cintaku masih dan akan selalu sama untuknya. Aku telah merasakan begitu bahagia dan begitu sedih ketika bersamanya. Jadi aku tak perlu lagi mencari-cari pembenaran akan diriku sendiri untuk kenyataan yang kini tak lagi sama. Aku akan selalu menjadi aku yang mencintai ia dengan segala kelemahan dan kelebihannya. Dan ia akan selalu menjadi ia laki-laki yang mampu mengisi hatiku. Terakhir kali sebelum kusudahi tulisan ini, Aku sedang menatap langit-langit kamarku dengan perasaan bercampur jadi satu, Ku ingat kembali masa-masa indah kami dulu Ku ingat kembali alasan mengapa aku memutuskan untuk menerima cintanya dulu Ku ingat kembali bagaimana ia berjuang untuk mendapatkan hatiku dulu Ku ingat kembali bagaimana kami saling memaafkan dan memaklumi keterbatasan kami masing-masing Dan seketika, Hatiku kembali terasa hangat. Hatiku kembali bersyukur. Beberapa detik kemudian aku menyadari
Aku benar-benar mencintainya.
0 notes
Text
:)
Lakuna
Banyak hal menyedihkan di dunia ini.
Salah satunya menemukan ruang kosong yang semula terisi penuh;
dekat namun terasa begitu jauh,
tertawa hangat demi menutupi jenuh,
mencinta tetapi banyak mengeluh,
seluruh yang berbalas tak sampai separuh,
bertahan badan namun jiwa inginkan siuh,
seolah singgah namun tak sungguh.
Banyak sekali yang menyedihkan di dunia ini;
Kamu yang tak lagi padaku.
Aku yang masih utuh padamu.
185 notes
·
View notes
Quote
Saya tidak bisa menghitung berapa lama saya mencintaimu. Rasanya sebanyak apapun saya menghitung, hanya berputar-putar saja. Kembali lagi ke angka satu; hari pertama saya jatuh cinta padamu.
(via aksarannyta)
Aku kepada kamu.
242 notes
·
View notes
Text
Dulu Sekarang
Bagaimana kamu mendefinisikan cinta? Rela berkorban untuk ia yang kau cintai? Atau, memberikan segala yang kamu miliki untuk ia yang kau cintai? Atau mungkin, memaklumi segala kebodohan dan kesalahan ia yang kau cintai? Bagaimana sebenarnya kamu mendefinisikan cinta itu sendiri?
——————————————————–
18.40 Aku baru saja melewati percakapan tertolol dalam hidupku. Siapa yang tolol? Tentu saja aku. Sesaat aku menyesali apa yang sudah ku perbuat, mengutuki diri sendiri kenapa bisa bertindak seceroboh itu. Kenapa dengan mudahnya tergiur oleh egoisme yang menyala-nyala dalam diri? Padahal sebelumnya, aku bangga pada diriku. Aku bangga bisa menahan seluruh emosi dan keegoisan yang sering muncul tanpa permisi. Beberapa menit sebelum tulisan ini kubuat, aku menutup aplikasi LINE di handphone ku. Sudah cukup, pikirku. Aku tidak harus mengeluarkan kata-kata sampah seperti tadi, aku harus mengasihani diri sendiri dan menyayangi diriku. Bukan menjatuhkannya di depan orang lain. “Maafkan aku diriku”, sesaat aku berkata di hati kecilku.
Kini aku terdiam di atas kasurku. Membiarkan tubuhku mendingin karena pendingin ruangan kunyalakan dengan suhu sangat rendah. Ingin rasanya aku menangis mengingat beberapa menit yang lalu. Namun rupanya respon tubuhku tak mengizinkan aku menangis. Padahal hatiku seperti teriris sakitnya. Sudahlah teriris, disirami perasan lemon pula. Kau bayangkanlah betapa sakitnya. Sesaat aku merenung, mengingat betapa bahagianya kami dulu. Ya, kami. Aku dan dia. Rasanya setiap hari dipenuhi canda dan tawa. Rasanya setiap hari ada kegilaan baru yang kami ciptakan. Rasanya selalu ada euforia yang muncul setiap kami bersama. Suatu hari aku pernah memberanikan diri untuk menceritakan apa yang aku rasakan, tentang yang terjadi di antara kami pada masa dulu dan sekarang. Lagi-lagi, jawabannya membuat nyali ku ciut. Aku dianggap tidak bisa menerima apa yang terjadi sekarang. Aku tidak ingin memperpanjang urusan, juga tidak ingin beradu kata dengan orang yang paling ku sayang setelah orang tua dan adikku. Jadi perasaan itu kuputuskan untuk kusimpan sedalam mungkin. Agar ia tidak pernah muncul lagi ke permukaan hatiku. Agar aku tidak lagi memunculkan pertanyaan rumit yang mengganggunya. Yah, sesayang itu aku padanya. Sebenarnya, satu hal terpenting yang selalu aku rindukan antara dulu dan sekarang, adalah aku selalu ingin mendengar lebih banyak cerita dari mulutnya. Rindu kehangatan saat kami berbincang lama mengenai suatu hal yang kami suka. Rindu kedekatan kami seperti telah mengenal lama. Sekarang diriku dan dirinya seperti berjarak. Seperti sulit menemukan satu dengan yang lainnya. Seperti kami berada di dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Aku selalu mencintainya. Selalu. Tak ada alasan lain bagiku untuk tidak mencintainya. Apapun kesalahan yang ia lakukan selalu ada hati yang tulus dari ku untuk memaafkannya. Seberapa jauhnya ia pergi, aku akan mengajaknya kembali pulang agar tidak ada ketersesatan yang menakutkan. Aku selalu ingin mencarinya, tidak ingin kehilangannya di kerumunan permasalahan. Terkadang, aku berfikir, Apakah orang dewasa menjalani cinta seperti ini? Apakah aku telah dewasa sehingga tak boleh lagi berangan-angan palsu tentang cinta yang ku baca atau dengar? Aku hanya bisa menertawai pemikiran bodoh itu. Lagi-lagi nyaliku ciut, takut dengan segala kemungkinan. Tak lama kemudian, handphone ku bergetar, membuyarkan lamunanku. Panggilan masuk dengan namanya tertera di layar. “Ini yang membuatku tetap disini” kataku pada diri sendiri seraya tersenyum miris.
1 note
·
View note
Text
20/05
Untuk yang hatinya pernah terluka karena cinta, Tidak. Cinta tidak pernah melukakan. Subjeknya lah yang menorehkan luka. Untuk yang hatinya pedih melihat tatapan kaku sang cinta, Lihatlah lagi matanya lebih dalam. Barangkali masih ada cinta tersisa disana. Untuk yang malam-malamnya dihiasi tangis terisak tanpa suara, Tenanglah. Mungkin sang cinta butuh ruangnya. Kemana harus mencari ruang? Bagaimana harus mencari ruang? Seberapa banyak harus ada ruang? Cinta memang selalu memaafkan. Tapi apakah aku tau kemana berjalan bila semua terasa kosong dan gelap? Bahagiaku, bahagia cinta. Sedihku, sedihku sendiri. Sepi.... Mana yang cinta bilang sempurna?
1 note
·
View note
Text
Berlalu Menjauh
“Ketika sakitnya semakin terasa, apa yang akan kamu lakukan?”
———————————————–
Hari itu langit gelap. Sepertinya akan turun hujan. Sudah biasa rasanya berada di tempat ini ditemani hujan setiap hari. Aku masih di dalam gedung biru bertingkat 9, dengan beberapa mahasiswa lain yang….kurang tau lah aku mereka sedang apa. Yang jelas sibuk mondar-mandir. Tak lama, hujan benar turun. Kecewa sudah aku dengan tempat ini. Maksudku kenapa tak sabar menunggu aku sampai di rumah, baru bolehlah hujan. Hehehe.
Aku yang sedang melihat keluar jendela, terkesiap dengan panggilan masuk di handphone ku. Ah orang ini. Lama ku tunggu kabarnya, muncul juga akhirnya. “Udah selesai mainnya?” “Udah sih. Tapi hujan. Tunggu reda ya?” Aku hanya bisa mengiyakan kata-katanya. Benar juga sih, di luar hujan, masa mau main hujan-hujanan. Bisa sakit anak bujang orang.
10 menit… 20 menit… 30 menit… Akhirnya tempat ini berbaik hati mengizinkan aku pulang tanpa kebasahan. Hujannya berhenti. Senangnya bisa pulang. Bukan apa-apa, bayi-bayi kecilku di dalam perut sudah berontak minta makan, jadi haruslah disegerakan kita pulang dan, makan. Hehehe.
“Halo. Udah reda nih, yuk.” “Bentar lagi ya. Tanggung” Hffftttt anak ini, mulai lagi, aku menggerutu.
Setelah menunggu beberapa menit, sang yang ditunggu muncul di tepi tangga. Sambil senyum-senyum gak karuan, sang yang ditunggu berkata “Pulang sekarang? Hujan lagi tapi. Gimana dong? Hehehe” :) Ingin rasanya aku loncat dari gedung ini.
Akhirnya drama hujan dan tak jadi pulang pun selesai. Kami pulang. Bersama. “Kamu mau makan apa?” “Seblak kali ya. Tapi hujan. Apa ya?” jawabku. “Yaudah aku beliin deh. Tunggu ya” Sesaat sebelum aku menghentikannya, dia sudah pergi dengan motornya. Padahal di luar hujan mulai deras lagi. Terkadang, aku bingung dengan tingkahnya. Sulit rasanya menebak apa yang ada di isi kepalanya. Membuat ku kadang juga gak karuan karena gak tau harus berbuat apa. Satu hari dia bisa menjadi orang yang begitu dewasa, membuatku takjub dengan pemikiran-pemikirannya yang luar biasa tentang hidup ini. Namun di hari lain, dia bisa menjadi orang asing yang benar-benar asing bagiku. Kadang pula aku berfikir, apa mungkin ini hanya bagian dari proses pencarian jati diri seseorang? Terlampau banyak asumsi di kepalaku yang membuat aku terkadang gusar. Ingin rasanya menanyakan semua pertanyaan yang muncul di otakku kepadanya. Tapi hati ini terlalu takut untuk melakukannya. Lagipula selama ini, tak ada jawaban yang dapat memuaskan pertanyaanku. Sehingga aku hanya memutuskan untuk menunggu, dan melihat. Apakah perlakuan akan menunjukkan kasih sayang seperti yang selama ini di deklarasikan.
Malam sudah menunjukkan pukul 7 tepat. Selesai makan, ia pamit pulang karena harus mengerjakan suatu projek mata kuliahnya. Seperti biasa aku mengantarnya ke depan, sampai lalu ia menjauh dan tak terlihat. Seiring motornya melaju, fikiran yang sama datang lagi “Apa besok kamu kembali?”
0 notes
Text
Wish
I wish I could explain your eyes I wish I could read your mind I wish I could see your pain I wish I could fight away your fears I wish I could hear you cry I wish I could wipe your tears I wish I could hold you close And I'm wishing a wish harder
0 notes
Text
One Last Cry
My shattered dreams and broken heart Are mending on the shelf I saw you holding hands Standing close to someone else Now I sit all alone Wishing all my feeling was gone I gave my best to you Nothing for me to do But have one last cry One last cry Before I leave it all behind I gotta put you out of my mind this time Stop living a lie I guess I'm down to my last cry Cry. I was here You were there Guess we never could agree While the sun shines on you I need some love to rain on me Still I sit all alone Wishing all my feeling was gone Gotta get over you Nothing for me to do But have one last cry I know I gotta be strong 'Cause round me life goes on and on I'm gonna dry my eye Right after I've had my one last cry I guess I'm down To my last cry
0 notes