Her
Suasana tenang menemaniku saat kalimat-kalimat ini tertuang dalam bentuk hitam di atas putih. Tidak hujan, tenang saja. Aku bukan pria yang suka termakan omongan orang mengenai hujan. Hujan tidak semenyedihkan dan se-mengharukan yang telah kau baca atau lihat di televisi.
Padahal sudah jelas, ketika kau merasakan perih, tayangan komedi kesukaanmu secara praktis dapat berubah menjadi drama melankolis yang memenangkan penghargaan tahunan. Kapan saja, bahkan saat matahari sedang tertawa lebar di atas kepalamu.
Tapi orang benar ketika mengatakan bahwa hidup itu selalu punya dua kutub berbeda yang terhubung oleh suatu garis membentuk siklus. Jujur saja, memang begitu, ‘kan?
Aku benci ketika orang mengatakan pria sejati tidak boleh menangis. Pernyataan tidak masuk akal. Perempuan saja disakiti, menangis ditakuti. Jadi, beri tahu aku definisi berani jika menangis itu sesuatu yang menjadi tolok ukur kelemahan pria. Persetan, kalian tahu?
Omong-omong, namaku Baryu. Baryu Aksantara. Sedikit melebih-lebihkan, mungkin itu sebabnya aku menyukai rangkaian huruf yang meskipun sederhana, kau dapat merasakan emosi yang terkandung. Terserah bagaimana kalian membayangkan rupaku. Orang-orang sering mendeskripsikanku dengan tubuh jangkung (well, ini klise, tapi kurasa 180 sentimeter itu cukup masuk akal untuk dapat dikatakan demikian), hidung bangir, mataㅡatau lebih tepatnya tatapankuㅡtajam, dan tampan. Oh, ya, aku tidak sungkan mengatakan ini walaupun sebenarnya aku sedikit geli. Tapi ayolah, lelaki mana yang tidak senang diberi julukan tersebut?
Aku harap kalian mulai jatuh cinta padaku di bagian ini. Karena aku ingin mengeluarkan tabiatku sebagai lelaki pada umumnya, yang senang dengan atau tanpa sengaja mematahkan hati perempuan. Walaupun aku juga tidak diberi kepastian akan gender pembaca tulisan ini. Aku tetap akan mengeluarkannya, karena aku sama seperti kebanyakan lelaki di luar sana, tidak suka dikatakan banci.
Namanya Valerie, kekasihku. Pada titik ini kalian boleh berhenti berpikir bahwa aku sedang bersedih, tertekan, atau apapun menyangkut paragraf-paragraf awal tulisanku. Aku sedang baik-baik saja, atau justru merasa lebih diberkahi hari ini karena merasa hidup. Cukup, ya, basa-basinya. Maaf, aku terlalu buruk dalam pembukaan, padahal itu point penting untuk mengangkat mood pembaca. Tapi aku tidak sepayah itu, tenang.
Tulisan ini tentang Valerie, sudah lama aku ingin untuk mendedikasikan sesuatu untuknya.
Because never did a woman do so much to me.
__________________________
Ketika kata berpisah menjadi sesuatu yang menakutkan bagi pasangan-pasangan di dunia biadab ini, aku tidak. Tak ayal, berpisah memang menyakitkan. Tapi toh tali sepatu yang sudah dipastikan terikat pun suatu saat membuatmu tersandung. Setelahnya, adalah sakit.
Aku dan Valerie tidak takut akan kata berpisah, meskipun aku yakin tidak ada salah satu di antara kami yang sempat membuang-buang waktu dengan memikirkan bagaimana jika kita memang ditakdirkan untuk berpisah. Aku berhenti di sini membahas perpisahan, ternyata cukup mencubit hati.
Tanganku bergerak meraih silinder putih di dalam kotak hitam kemudian membakar salah satu ujungnya. Mataku terus menatap layar ketika tangan dan mulutku sibuk memainkan benda ini, menyakiti diri sendiri. Padahal Vale tidak suka ketika aku merokok. Aku jadi teringat beberapa tahun lalu, saat aku diberi kesempatan untuk berlibur bersamanya di Maldives. Hilangkan pikiran tentang betapa kayanya diriku atau Valerie sekarang. Itu hadiah dari orang tuaku.
__________________________
Aku pembual ketika tidak menganggukan kepala saat ditanyai apakah Miranda Kerr lebih cantik ketimbang Valerie. Bagaimanapun aku ini lelaki normal, jangan termakan doktrin yang mengatakan jika lelaki mencintai seorang wanita, maka ia akan berpikir bahwa wanita itu ialah yang tercantik. Omong kosong, tentu saja. Well, mungkin sekitar lima puluh persen itu benar di saat tertentu.
Tapi kali ini, aku berada pada titik di mana jika seorang Miranda Kerr yang aku agungkan keindahannya mengajakku menikah, maka jadilah aku tolol di mata kaum adam karena tentu sebuah tolakan akan kulancarkan demi tetap bersama Valerie. Demi apapun, balutan gaun putih senilai jutaan rupiah yang ia gunakan saat acara penting saja terbanting disandingkan dengan senyum yang terukir di wajahnya. Cantik, sangat.
“Cantik.” yang satu ini, aku bersumpah, sungguh tidak tertahankan. Tapi aku lega dan tidak jadi mengurusi wajah bodohku saat mengatakannya ketika gelak tawa Valerie menyapa indra pendengaranku.
“Iya? Terima kasih. Tidak sia-sia aku membawa gaun ini kemari, my fiancé.”
“Cukup romantis.” Aku tersenyum menanggapi, kemudian menjulurkan tanganku untuk diraihnya. Menuntunnya menuju meja makan yang telah kusiapkan khusus untuknya. Karena walaupun Valerie tidak pernah mengatakannya secara gamblang padaku, perempuan mana yang tidak senang diperlakukan dengan spesial?
“Sudah berterima kasih?” Pertanyaannya itu menimbulkan sebuat kerutan di dahiku akibat kepayahan dalam mengartikan.
Dan Vale hanya tersenyum. “Tuhan, Baryu. Siapa lagi? Ketika tiket liburan ini diberikan oleh orang tuamu pada kita, aku tidak bisa berhenti bersyukur.”
“Oh, sudah, tentu. Itu artinya senang, 'kan?”
“Bahagia.” Setelahnya, bibirku membentuk sebuah lengkungan bersamaan dengan senyumnya yang melebar.
“Makan, anggap diet itu tidak pernah ada.” Ujarku yang lalu memotong daging steak kategori well done di hadapanku.
Valerie sama seperti perempuan pada umumnya. Insecure, ingin melakukan diet, takut gendut, atau juga senang melihat lelaki tampan. Tapi mengesampingkan semua itu, ada bagian dari dirinya yang tertaut dengan milikku begitu saja, seperti magnet. Aku tidak akan mengatakan dia berbeda, karena nyatanya memang tidak. Tapi ya, untuk masalah bagian tertaut tadi, itu berbeda.
Makan malam itu berlangsung cukup mengesankan. Baru tahu, makan bersama Valerie dapat membuatku tidak berhenti tersenyum. Hingga tengah malam menyapa pun, aku masih betah mengingat bagaimana senyum itu disuguhkan olehnya padaku. Kini aku berada di pinggir kolam, berdiri dengan tangan kiriku terapit oleh saku celana, dan tangan kanan sibuk memegangi putung rokok yang sudah memendek.
“Sudah lima batang, tega, ya?” aku menoleh ketika pertanyaan itu terdengar.
“Satu lagi, ya?”
“Sudah lima batang, Bay.”
“Iya, iya. Tunanganku ini sudah seperti agen CIA.” Valerie berjalan ke arahku, aku sibuk menekan silinder putih itu di asbak, mematikan api yang terus membakar benda tersebut hingga menghasilkan asap.
Dapat kurasakan sebuah sentuhan menyapa punggungku, kemudian bergerak menuju leher dan sentuhan tangan lain pada pipiku. Valerie sudah berdiri di sana, memegangi wajahku dengan matanya menatap milikku lamat-lamat.
“Tidak melarang, ingat 'kan? Hanya tidak suka.” Ucapnya lembut. Sebuah kecupan mendarat di bibirku.
“Iya, sayang. Ingat.” Aku meletakkan kedua tanganku pada pinggangya.
“Merokok itu hakmu, Baryu. Tapi melihatmu mengisap benda itu seperti melihat kau tengah menyakiti dirimu sendiri,” tangannya mengusap keningku, dan tangan yang lain memainkan rambut bagian belakang kepalaku.
“dan itu menyakitkan untukku.”
“Iya, Vale. Hakmu menghentikan rasa sakitnya.” Ia tersenyum.
“Paling tidak, jika tak tahan, jangan melakukannya di hadapanku.”
“Baiklah, setuju.”
Setelahnya, sebuah ciuman manis tercipta sebab aku memutuskan untuk mendaratkan bibirku pada bibirnya. Malam itu, semakin berkesan.
__________________________
Kekasihku itu bisa sangat dewasa saat mengurusku. Maksudku, aku benar-benar merasa seperti anak kecil ketika itu terjadi. Tapi di sisi lain, ia bisa menjadi manja, menjadi gadis yang akan memelukku dalam waktu cukup lama hanya karena merasa nyaman melakukannya. Sebentar, aku jadi merindukan dia sekarang.
Mengingat kejadian di Maldives saat itu membuatku mengangkat salah satu ujung bibirku. Aku ingat betul, rasanya seperti jatuh cinta untuk kedua kalinya. Untuk masalah yang pertama kali, pertemua kami diawali oleh ketidak sengajaan, dan kemudian dilanjutkan dengan hal-hal wajar yang termasuk ke dalam tahap suka, sangat suka, jatuh cinta, sayang, kemudian cinta.
Walaupun sejujurnya aku masih payah dalam mengartikan kata cinta itu sendiri.
Tentu masih ingat, aku ini manusia biasa. Lima tahun hubungan kami, aku tidak lepas dari kata menyakiti. Iya, aku pernah menyakiti Valerie. Kendati aku berani bertaruh perasaanku sangat besar saat itu, aku pernah menyicipi julukan brengsek.
__________________________
Aku melempar ponselku ke sembarang arah, tidak peduli meskipun pada akhirnya hanya sim card yang dapat aku gunakan, masa bodoh. Kepalaku terasa bebal, hingga pesan-pesan dari kekasihku membuatku marah. Hubungan kami yang masih berada di usia muda ini sepertinya tengah memasuki tahap apa yang orang sebut dengan bosan. Tapi aku belum sadar akannya saat itu.
Ketika setumpuk tugas kuliah masih harus aku rampungkan tetapi otakku menolaknya dengan keras, hal itu membuatku kesal luar biasa. “Bangsat.” Aku mengumpat, di luar ramai sekali. Tenanglah sedikit, sebentar saja!
Aku memutar kedua bola mataku, lalu menutupnya erat barang sejemang. Ponselku berbunyi lagi, rupanya masih sehat. Aku mengerang pelan, merasa benar-benar marah dan bangkit dari dudukku untuk meraih ponsel tersebut, dengan mengikuti arah sumber suara, tentu saja. Helaan napas kuat terhembus begitu saja saat mataku menangkap nama Valerie di layar ponsel. Merasa tidak tega, maka kuangkat panggilan itu tanpa mengucapkan sepatah katapun, hingga ia yang mulai membuka mulut.
“Bay?”
“Ya?”
“Bisa bertemu sebentar?” Suaranya terdengar berbeda. Oh Tuhan, ia menangis lagi. Apa-apaan.
“Aku sibuk.”
“Sebentar saja, ya? Aku ke tempatmu.”
“Aku sibuk, Vale. Dengar?”
“Iya dengar. Maaf mengganggu.” Aku diam, tidak merespon apapun dan ingin cepat-cepat memutus hubungan telepon.
“Baryu,” Aku masih diam, dan dapat merasakan gadisku kembali menangis. Tapi saat itu, aku tidak peduli. Meskipun ada bagian dari diriku yang terang-terangan membenci tangis Valerie.
“kalau bosan denganku, bilang.”
“Iya.”
Aku menunggu selama beberapa saat, barangkali gadis itu ingin bercakap lebih banyak lagi, aku dengarkan. Toh, tidak akan aku pedulikan pada akhirnya. Tapi hening, hanya samar-sama suara isakan merayap di telingaku. Setelahnya, aku memilih untuk memutus panggilan.
Kuusap wajahku lelah, baru pertama kali aku merasa ingin berpisah, namun di saat yang sama, tidak ingin. Ponselku kembali bergetar, siapa lagi kalau bukan Valerie. Dan ya, tak ayal lagi, tak acuh aku membaca setiap pesan yang masuk ke dalam ponselku.
Di saat yang bersamaan, pesan lain aku terima. Kali ini dari teman satu jurusanku, yang akhir-akhir ini sering bersama karena tugas kelompok yang harus dikerjakan. Anehnya, saat itu aku lebih memilih untuk segera membalas pesannya ketimbang hanya sekadar membaca milik Valerie.
Kesal dengan pesan Valerie yang terus masuk, karena tidak mendapat jawaban dariku, selepas decakan yang kubuat, aku memutuskan untuk menghubungi teman wanitaku itu.
“Halo.”
“Baryu! Kenapa?”
“Itu, tugas.”
“Oh? Kenapa harus telepon?”
“Supaya lebih jelas. Bagaimana?”
“Kita kerjakan bersama saja, bisa bertukar pikiran jika begitu.”
“Oh, oke.”
“Oke? Kapan, Baryu?” Aku diam beberapa saat. Berpikir, dan otakku saat itu memutuskan untuk berkata sekarang. Sungguh, aku benar-benar merasa tidak peduli jika di luar sana ada gadis yang tengah mengkhawatirkanku, menungguku untuk membalas pesannya.
“Sekarang saja, agar lebih cepat selesai.”
“Ya? Dimana?”
“Aku ke tempatmu.”
__________________________
Aku bersyukur karena gadisku memilih untuk bertahan, melawan segala sakit yang kubuat. Kuharap, salah satu dari kalian ialah bagian dari kaumku. Membaca ini, aku ingin kalian tahu bahwasanya perempuan itu memang sulit. Tapi itu karena kita sendiri yang mempersulit. Mereka sulit karena bukan perasaan mereka saja yang dipikirkan. Milikmu juga.
Ketika kaum adam memaki segala tingkah kekanak-kanakan wanitaㅡatau setidaknya begitu menurut kamiㅡmaka hanya maklum ya aku pinta pada kaum hawa. Ya, boleh dikata kamilah yang kekanakan. Tapi sebenarnya, itu karena kami tidak ingin repot. Praktis, memudahkan apa yang tidak mudah.
Oh, ya. Jelas sekali kata brengsek mungkin lebih tepat kusandang ketika mengingat kejadian itu. Kini, memikirkannya, aku mengutuk diri sendiri. Sesungguhnya saat itu aku mungkin sedang tidak waras. Karena ya, tadi, kalau dipikir-pikir, memang sudah seharusnya gadis itu mengkhawatirkanku, menjadi mengesalkan di saat seperti itu adalah wajar.
Kuhela napas, menimbulkan kepulan asap tipis di depan wajahku. Tangan kiriku bergerak meraih gelas berisikan kopi hitam dan menenggaknya. Setelah itu, giliran tanganku yang lain mendekatkan silinder putih yang masih separuh panjang awalnya ke bibirku.
Aku seolah tidak percaya dapat tersenyum lebar saat ini, seolah Tuhan tengah memberikan sebuat kelebihan padaku, untuk yang kesekian kalinya sampai saat ini. Aku bangkit dan menutup laptopku, membiarkannya dalam mode sleep lalu meraih bungkus rokok, ponsel dan jaketku, kemudian keluar. Aku senang sekali melakukan hal dengan spontan, seperti tiba-tiba memutuskan untuk menjelajahi kota.
Sebenarnya untuk yang saat ini, bukan keinginan yang mendadak juga. Aku sudah lama ingin menjelajahi kembali tempat-tempat yang dulu pernah kukunjungi bersama Valerie. Apa ya, supaya nanti, ia saat membaca tulisanku dapat merasakan detail perasaan dan suasana yang kuungkapkan di sana. Setelah mengetahui sisi brengsekku, tolong jangan berspekulasi bahwa aku masih saja seorang bajingan pada titik ini.
Aku sedang belajar memaafkan diriku untuk kesalahan di masa lalu, jadi berhenti memandangku sebelah mata. Karena aku serius mendedikasikan tulisan ini pada Valerie, kekasihku. Dan jika kalian masih berpikir bahwa aku menyebalkan, semoga nanti akhirnya sebuah andai-andai berkeliaran, berharap akulah pasangan yang seharusnya ditakdirkan bersama salah satu dari kalian.
Sejalan dengan pijakan gas mobil, aku memperhatikan sekeliling kota dengan lamat-lamat, menikmati apa yang aku lihat saat itu. Mulai dari sini, boleh ya, aku menceritakan bagian di mana aku dan Valerie mulai memiliki hubungan yang stagnan dan terkendali? Karena saat itu, aku berani menjual ginjal ketika ada yang mengatakan bahwa rasa sukanya pada Vale lebih besar ketimbang milikku.
__________________________
“Hey.” Aku menoleh ketika suara yang begitu familiar tersebut menggema dalam ruangan. Sebuah cafè kecil di tengah kota ini memang menjadi salah satu tempat favorit kami saat berkencan. Memasuki tahun ketiga hubungan kami, rasanya aku perlahan disadarkan akan pentingnya ia dalam hidupku.
“Sudah lama, Bay?”
“Baru saja. Temanmu bagaimana?”
“Dia kan menggunakan mobil, tenang saja.” Valerie tersenyum.
Untuk saat itu, nyatanya memang sedang hujan. Mungkin ini sebuah kebetulan, momen seperti ini dan hujan mengguyur. Terdengar klise dan biasa, tapi aku bersumpah kejadiannya memang seperti ini.
Tanganku bergerak merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan akan hujan. Ia kembali tersenyum tipis kemudian menyubit hidungku gemas. Aku juga gemas sebetulnya melihat Valerie seperti itu. Tapi kutahan dan hanya tersenyum menanggapi.
“Bagaimana kuliahmu?” Tanyaku.
“Lancar. Hanya saja, Bay,” Ia berhenti lalu menghela napas.
Aku menoleh menunggu kelanjutan kalimatnya. “temanmu, Josh.”
“Iya? Mengganggu?” Valerie terdiam. Ia menggigit bibir bagian bawahnya, seakan mencoba mengatur kalimat yang tepat untuk ia sampaikan padaku. Kebiasaan kami berdua, selalu berusaha sebisa mungkin menceritakan segala sesuatu.
“Tidak juga. Hanya saja,” Valerie menatapku.
“ia tidak melakukan apapun terhadapmu, 'kan?”
“Melakukan apa?”
“Oh, tidak ya. Bagus kalau begitu!” Senyumnya mengembang.
“Kenapa?”
“Boleh jujur?” Tuhan, percayalah ketika aku merasakan bagian diriku dicubit mendengar ini. Kalau aku boleh menjadi seorang yang kelewat tempramental, maka aku akan menyimpulkan gadisku berbohong. Namun rasanya di tahap ini, aku butuh suatu penjelasan sebelum mampu mengambil kesimpulan.
“Ya, boleh.”
“Saat kita sempat putus, sekiranya Josh pernah mendekatiku, kau marah?” Aku benar-benar tidak dapat mengeluarkan suara saat itu. Seolah sebagian besar dari tubuhku melarang aku untuk berulah barang berkedip sejemang pun.
“Marah, ya?” Sejujurnya bukan marahlah yang kurasakan. Ini lebih ke dimana aku merasa marah pada diri sendiri, membiarkan gadisku menjadi incaran lelaki lain.
Hubungan kami tidak sesempurna yang kalian pikirkan. Hingga mungkin berharap menjadikan ini sebuah relationship goal. Kami juga pernah merasakannya, berpisah. Tapi kami tidak takut, karena pada saat itu, sesuatu seperti meyakinkanku akan kembalinya Valerie pada diriku.
“Bukan marah. Hanya saja, sebal.”
“Maaf, baru memberi tahu sekarang. Aku hanya membutuhkan waktu yang tepat untuk menceritakan ini.”
“Toh, saat itu kau bukan milikku. Yang penting, sekarang tidak, 'kan?” Valerie menggeleng lalu tersenyum.
“Aku orang paling setia yang kau tahu.” Di sini, aku memaksakan senyum. Bagai tertohok, mengingat bahwa aku pernah lebih memilih menggubris wanita lain ketimbang ia.
“Tapi aku boleh cemburu?”
“Kenapa?”
“Iya, Josh. Kau belum menyelesaikan kalimatmu dan aku mulai berspekulasi sekarang.”
“Oh, dia. Iri denganmu.”
“Karena aku bisa menarikmu kembali?” Sebuah anggukan kudapat sebagai jawaban darinya.
Valerie dan aku memutuskan untuk mengepak permasalahan yang ada dan memulai sesuatu yang baru. Saat itu, kita harus menjalani tahap putus karena alasan klasik, 'sibuk’. Tentu tabiatku sebagai lelaki labil kembali. Masa itu, satu dua perempuan kubiarkan masuk untuk menggoda, atau mungkin kugoda. Iya, brengsek.
“Omong-omong, aku juga cemburu, Bay.”
“Silakan.” Kemudian sebuah pukulan pelan mendarat di lenganku.
“Serius.”
“Aku juga serius. Memang tidak senang mengetahui orang yang kusayang merasa tidak ingin kehilangan diriku?”
“Percaya diri sekali aku tidak mau kehilanganmu. Tahu dari mana?”
“Itu, matamu.” Rasanya, bahagia. Ketika aku melihatnya tertawa lebar karena kata-kataku. Oh ya, yang barusan itu benar adanya.
“Vale.”
Gadis manis itu menyesap minuman yang sudah kupesankan untuknya, lalu menengadahkan pandangannya padaku.
“Bisa tolong ambilkan pesananku?”
“Oh, tentu. Kau pesan apa?”
“Ah, namanya sulit. Bilang saja dari meja ini, ya?” Ia mengangguk lalu bangkit kemudian melenggang pergi menuju bar pesanan.
Jantungku sedikit berdegup saat ia sudah bercakap-cakap dengan bertender di sana. Tak lama kemudian, gerakannya menjadi lebih pelan, dan dapat aku terka secara jelas, ekspresi kebingungan tengah menyelimuti wajahnya saat ini. Benar saja, ia memutar pandangannya, menatapku curiga, dengan dahi berkerut.
Aku percaya sebuah ucapan terima kasih ia lontarkan pada bartender yang tadi kumintai tolong sebelum kaki cantik itu melangkah kembali mendekati tempat kami. Valerie masih tersenyum hingga ia kembali duduk di hadapanku.
“Lagi?”
“Lagi apa maksudmu?”
“Ini.” Tangannya menyodorkan sebuah surat dengan amplop berwarna abu-abu, setangkai bunga mawar palsu dan telur dadar yang sudah diberi cabai berduet dengan daun bawang kesukaannya.
“Tidak suka?”
“Suka, Baryu. Boleh dibaca?”
“Pakai speaker juga tidak masalah.” Ia terkekeh dan membuka amplop itu.
“Aku serius, baca dengan suara.”
“Malu, Bay.”
“Malu karena tulisanku jelek?”
“Bukan begitu.”
“Ya sudah, baca.”
Valerie menyisir kertas suratnya terlebih dahulu secara keseluruhan. Kemudian ia bersiap membaca dengan senyumnya yang perlahan mengembang.
Aku rasa ia mulai membaca kalimat pertama saat tawanya tergelak. Ia menggeleng pelan, masih menatap kertas surat yang ia pegang.
“Apasih, Bay! Nggak ah, malu bacanya.” Aku ikut tertawa mendengar itu lalu membiarkan Valerie membacanya dalam hati.
Isinya singkat, ya, lumayan. Kurang lebih isinya seperti ini:
“Dear, Valerie. Iya, aku menggunakan kata 'dear’ di awal kalimat hanya untuk mengingatkan bahwa sekarang kau sudah resmi menjadi milikku lagi. Jika kau sedang membaca ini, maka aku ada tepat di depanmu, karena memang kubuat demikian.
Ingat ya, aku tidak takut berpisah bukan karena aku tidak mencintaimu. Tapi karena aku tahu kau memang milikku. Oke? Sampai di titik ini, aku ucapkan maaf yang banyak karena telah mengecewakanmu. Lalu, sebuah kalimat pisah yang kita putuskan.
Jadi, kita simpan masa lalu yang buruk, tolong keluarkan yang manis-manis saja, dan mulai dengan kita yang baru. Setuju?
Note: aku menyayangimu.”
Setelahnya, adalah sore yang menyenangkan.
__________________________
Memasuki tahun ke-lima, saat aku mulai ditugaskan untuk bekerja, kesibukkan kembali datang dan jujur saja, tingkat emosiku kembali menjadi sangat labil. Hubunganku dengannya baik-baik saja, tapi tentu kekhawatiran itu selalu ada, ya? Khawatirku hanya sebentar, selanjutnya lupa. Tapi untuk Valerie, tidak ada habisnya.
Saat ini, Valerie tengah sibuk dengan skripsinya, sedangkan aku, seolah ayahku benar-benar melimpahkan segala sesuatunya padaku. Mungkin beliau berpikir untuk memberiku sedikit pemanasan. Bahasa mahasiswanya, ospek. Sialan, aku bisa menjadi pemarah di saat seperti ini. Tahu kenapa? Aku rindu Valerie. Tapi waktu seolah menjadi benar-benar biadab, melarangku untuk bertemu dengannya. Dan saat itu, aku tidak paham akan ini.
Pertengkaran-pertengkaran kecil kami berhasil lalui. Hingga tiba suatu masa dimana aku benar-benar tidak dapat menyentuh ponselㅡwell, bisa sebenarnya. Tapi aku lebih memilih untuk membalas pesan yang menurutku saat itu lebih penting ketimbang mengabari Valerie. Aku terduduk di kursi meja kerjaku, menghela napas sembari memejamkan mata dan memutar pergelangan leher. Lelah luar biasa, sungguh.
Ketika itu, aku ada pada posisi dimana rasanya sudah terbiasa hidup tanpa Valerie. Jangan salah paham. Maksudku, dalam kehidupan sehari-hari. Sejujurnya, sebelum ini pun kami tidak se-intens itu berkirim pesan. Biasanya hanya saat pagi dan malam hari. Jadi terasa kurang jika tidak berhubungan dengannya barang sehari. Iya, aku juga punya sisi manja. Tapi sekarang, belakangan ini jika kutafsir, tiga kali aku ingat sempat menghubunginya. Atau dua mungkin. Tidak jauh dari itu lah. Dan aku tidak merasa ada yang kurang. Saat itu aku biasa aja, karena aku mulai kembali menjadi orang brengsek.
Pandanganku bergerak mengikuti arah getaran yang ditimbulkan ponselku sendiri. Pengakuan, aku tidak terpikirkan oleh Valerie kala itu. Dan sebuah decakan justru terlontar ketika hazelku membaca nama Valerie yang terpampang jelas di layar. Tapi, tetap kuangkat.
“Bay, aku tidak akan lama,” Belum apa-apa, gadis itu sudah membuatku mengerutkan dahi. “besok tolong luangkan waktumu, barang lima menit. Mari bicara.”
“Aku sibuk, Vale.”
“Lima menit atau kita lebih baik putus.” Aku terdiam ketika kalimat ini ia ucapkan. Tahu apa yang aku lakukan setelahnya? Mengumpat.
“Oh,”
“Oh apa?”
“Oke, diusahakan.” Setelahnya, ia memutus hubungan telepon.
Ini kembali terulang. Masa-masa tahun pertama hubungan kami terjadi kembali. Aku sibuk, Valerie menjadi begitu cerewet, pengertian yang seharusnya ada justru menghilang, egoisme satu sama lain tengah berada di puncak. Ini kembali terulang.
Aku tidak berhenti mengumpat ketika ada rasa marah yang membuncah di dalam dadaku. Rupanya mudah, ya, memutuskan hubungan hanya karena jarang bertemu. Di dalam otakku yang sedang terbakar api kemarahan, aku memaki gadisku sendiri. Mengatakan bahwa ia terlalu kekanakan untuk hal ini. Aku benar-benar marah hingga merasa bahwa besok aku harus ke sana bukan karena takut putus.
Aku menyanggupi hanya untuk melepaskan rasa ketidaktegaanku.
1 note
·
View note