#syarat kuliah di stanford universitys
Explore tagged Tumblr posts
Text
0 notes
Text
Kultur Riset
Sudah lama sekali saya ga buka email domain apps[dot]ipb[dot]ac[dot]id yang memang cuma buat naroh notifikasi researchgate sama email formal buat naroh tugas-tugas anak-anak sewaktu ngasisten dulu. Semacam ga begitu kaget sih karena banyak invitation letter buat publish paper (lagi) setelah dua tahun yang lalu pertama kalinya publish di konferensi internasional di Fukuoka, Jepang. Ada lagi undangan untuk publish di jurnal Springer, meskipun awalnya tidak berbayar tapi untuk publishnya tetep bayar. Karena publikasi ini merupakan kolaborasi projek riset dosen saya, saya pun menghubungi dosen saya, yang hasilnya pun tidak menyarankan untuk publish di jurnal internasional. Saya lupa lagi apa alasannya selain faktor biaya. Akhirnya saya manut.
Eh kemarin baru ngecek email lagi ternyata udah banyak berbagai macam email dari mulai ajakan nulis di beberapa bab untuk buku Artificial Neural Networks sampe diminta nulis buat expand lagi paper yang saya tulis 2 tahun yang lalu. Tentunya, kehidupan tulis menulis paper itu bagi saya semacam ajang bisnis yang akhirnya harus bayar sejumlah uang untuk sejumlah paper/artikel yang accepted. Saya belum begitu paham dunia peneliti saat ini seperti apa. Yang jelas, harus hati-hati juga karena begitu publikasi kita terindeks di jurnal abal-abal, gak ada ampun untuk peneliti sehingga pantas diberi skor 0.
:: Invitation untuk nulis di buku tentang Artificial Neural Network ini yang menjelaskan beberapa penelitian terbaru mengenai topik ini.
Dulu, sempat kepikiran juga pengen belajar neuroscience untuk tahu bagaimana matematikawan dan computer scientist terinspirasi dari kerja otak manusia untuk membangun algoritme ini. Sampai sekarang pun masih selalu interest sampe demen nonton video lecturing deep learning dari stanford atau MIT kalo di kantor lagi ga ada project hehe.
Ada juga email yang baru saya buka kemarin, terhura dipanggil Dr/Prof, padahal ngambil master aja gajadi-jadi hehe. Mungkin karena dulu saya yang jadi penulis pertama di paper dan nyantumin email korespondensi atas nama saya dan dosen pembimbing jadi lah sering ada iklan-iklan beginian. Saya jadi takut juga dan ingat apa yang dikatakan kemenristekdikti, sekarang banyak email dari jurnal predator atau jurnal yang memperhatikan aspek keuntungan finansial saja tanpa memperhatikan etika ilmiah. Wallahu a’lam. Apakah email-email yang dilayangkan ke alamat saya pun termasuk di antaranya karena besaran fee pun tidak main-main, mencapai 890 Euro atau sekitar 13 juta. Saya sampai berburuk sangka, apalagi ujung-ujungnya bayarannya ga kira-kira kalau accepted dan ingin publish. Belum lagi kita harus memastikan apakah jurnalnya terindeks scopus atau tidak, atau hanya iming-iming semata.
:: Email undangan expand paper berbayar (lagi)
Sejujurnya penelitian saya bagi saya jauh banget dari sempurna, saya merasa gagal ngaplikasiin ilmu statistika terapan saya, padahal itu hubungannya sama experimental design. Karena saya ngerjain skripsi yang durasinya cuma 6 bulan, bukan riset yang bisa dikerjain 1 tahun, yasudahlah akhirnya dosen pembimbing saya merasa kasihan dan hanya setengah metode yang dikerjakan dengan data hanya dari hasil pembacaan spektroradiometer di gelombang Visible. Yang awalnya mau ngehubungin analisis pola gelombang NIR dan Visible sama hasil analisis piksel lewat image processing, alakhir cuma analisis citra biasa aja dihubungin sama sedikit fisiologi tanaman dan prediksi pake Neural Network biasa. Jadi kalau ada yang ngehubungin di email buat expand paper teh suka rada semacam curiga.
Jujur, kerjaan menjadi peneliti sudah sering ada di benak saya pas ngerjain tugas akhir sampe bilang ke beberapa temen deket saya begitu ditanya mau kerja dimana. Eh alakhir emang ga jauh-jauh sih, begitulah Allah menjawabnya. Sempat pas ngerjain prediksi panen di startup tahun kemarin pun disuruh nulis paper lagi sama manager, kolaborasi sama lead data engineer yang ahli machine learning sebelum akhirnya saya keburu dipindahkan ke tim product development. Qodarullaah.
Tantangan terbesar bagi Indonesia sampai saat ini adalah menyelaraskan kebutuhan industri dengan kurikulum pendidikan Sarjana di PTN maupun PTS di Indonesia. Industri enggan untuk berkolaborasi dan memberi pendanaan projek dengan civitas akademik karena beberapa faktor (menurut saya pribadi) seperti topik riset yang obsolete dan tidak memberikan dampak luas bagi bisnis dalam jangka panjang maupun faktor SDM peneliti yang masih belum memiliki jiwa marketing untuk menjualkan hasil pemikirannya. Tapi dalam beberapa kasus saya salut dengan dosen pembimbing saya yang sampai sekarang masih semangat berkolaborasi dengan industri untuk menyelesaikan permasalahan Life Science menggunakan Computer Vision. Alasan klasik inilah yang membuat saya betah ngerjain skripsi dulu, bisa jalan-jalan menikmati alam. Terpenting, gratis hehe.
Dalam beberapa permasalahan pertanian, kurangnya data yang berkualitas seringkali menjadi penyebab gagalnya kolaborasi pemerintah dan industri swasta. Contohnya data cuaca di Indonesia masih menjadi permasalahan karena stasiun cuaca jumlahnya terbatas sehingga hasil interpolasi masih kurang akurat. Jadi, jangan heran bila aplikasi cuaca menunjukan cuaca cerah ternyata malah hujan badai. Di negara maju seperti Jepang, basa-basi mereka ketika bertemu bukan soal cerita sinetron tadi malam, tapi cuaca. Saya jadi teringat saat mampir di kampus Saga dulu, sensei sering mengingatkan kami untuk membawa payung karena diprediksi cuaca hujan. Eh ternyata beneran dong. Yaa, memang tidak adil kalau dibandingkan sih karena jelas stasiun cuaca kita masih sangat terbatas.
Kultur riset di dalam negeri saat ini mungkin masih dianggap sesuatu yang “intelek” dan terlalu identik dengan syarat kelulusan mahasiswa hingga akhirnya menghasilkan anggapan “yang penting cepet lulusnya”. Hal ini disebabkan riset tidak menjadi bagian dari kultur kampus. Contohnya saja, kegiatan Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang tiap tahun diikuti mahasiswa seluruh PT hanya berakhir pada pendanaan, belum ada tindak lanjut dari inovasi-inovasi keren mereka. Alhasil paper hanya dijadikan ajang perlombaan, tidak menjadi sebuah kebutuhan yang bisa menjawab permasalahan-permasalahan sosial dalam jangka panjang. Bahkan, dibandingkan universitas negara tetangga, jumlah publikasi ilmiah di kampus dalam negeri masih sangat tertinggal.
Sumber : Kemenristekdikti
Jadi, jumlah publikasi dari ITB, UI, UGM, dan IPB yang terindeks scopus itu setara dengan jumlah publikasi ilmiah Malaysia. Banyak ya selisihnya. Semoga pemerintah terus memperhatikan faktor-faktor yang mengakibatkan lemahnya kultur riset kita. Makin banyaknya bantuan-bantuan dana penelitian yang awalnya hanya 0.8% dari APBN serta mudahnya birokrasi yang dirancang semoga menjadi kabar baik untuk kultur riset kita.
Di Jepang, sebagaimana yang dituturkan Wahyudi Agustiono, M.Sc, keunggulan sistem PT nya terletak pada reputasinya sebagai universitas riset. Hampir semua mata kuliah yang diajarkan menuntut mahasiswa belajar mengidentifikasi masalah, mencari solusi melalui kegiatan riset laboratorium. Kultur ini didukung oleh pemerintah Jepang yang mengalokasikan dana riset mencapai 57 persen dari tahun 2000 hingga 2004. Pantas ya, banyaknya inovasi riset modern sangat memungkinkan dijalankan di sana. Di Jepang, publikasi sudah menjadi kewajiban mahasiswa. Meskipun terasa berat, dengan bimbingan profesor yang sesuai karakter dan keahliannya dengan minat kita maka semuanya bukan masalah berarti. Nampaknya, di Indonesia juga sekarang sudah mewajibkan mahasiswa S2 nya untuk mempublikasi paper di jurnal internasional. Selain di Jepang, kultur riset bisa dijumpai di Jerman, China, dan Korea. Inovasi yang mereka tulis menjadi inovasi yang siap dijual di pasar bisnis. Bahkan letak universitas seringkali mempengaruhi kualitas penelitiannya. Semakin dekat dengan lokasi industri maka tak heran bila kualitas riset kampusnya pun linear. Contohnya Humboldt University yang terletak di sekitar Adlershof, science technopark yang sangat maju di Jerman. Wajar bila riset-riset yang dilakukan di univ ini hampir selalu selaras dengan kebutuhan industri yang akhirnya didevelop untuk kepentingan bisnis.
:: Salah satu aktivitas kolaborasi antara Jepang dan Indonesia. Saking berharganya kolaborasi penelitian bagi mereka, saya dan beberapa rekan saat itu diundang secara gratis ke kampus mereka mulai dari penginapan sampai biaya jalan-jalan
Ada yang menarik di Jepang yaitu budaya Lab (kenkyou), minimal seminggu sekali setiap mahasiswa yang di laboratorium di bawah bimbingan profesor dan associate professor anggota laboratorium harus mempresentasikan progres risetnya. Di sinilah kemampuan akademik mereka akan diuji. Budaya inilah yang membuat dosen pembimbing saya menerapkan hal yang sama sehingga saya dan teman2 selab (dari mulai S1-S3) berpikir 2 kali untuk ketemu kalo ga ada progress hehe. Soalnya kadang kena dampak juga, satu orang dimarahin karena ga ngerti2 konsep algoritmenya yang lain kena getahnya -__-. Tapi, bagi saya ada progress atau tidak tetap harus disampaikan demi kelancaran penelitian agar tidak berakhir muntaber alias mundur tanpa berita.
Meski kualitas dan kuantitas riset kita masih menuju perbaikan, saya pikir kultur berpikir ilmiah sudah seharusnya diterapkan. Dalam menyaring informasi yang masuk saja, misalnya. Kadang gatel banget udah terprovokasi suatu berita yang ternyata belum dicek validitasnya tapi udah main share-share aja. Yah akhirnya nyesel juga. Dulu saya pernah sih sekali ngelakuin ini soalnya *duh. Saat itu saya merasa sangat bodoh dan tidak rasional dalam berpikir. Benarlah bahwa seiring perubahan zaman yang sangat cepat ini, menuntut orang-orang berpikir secara jelas dimana hitam dan putih kadang terbalik. Baik menjadi peneliti atau bukan, seorang muslim bagi saya seharusnya harus merasa sangat beruntung karena ia tahu tujuannya dalam berkarya adalah tidak hanya menjalankan misi untuk memberikan kontribusinya bagi masyarakat tapi juga dijadikan sebagai ibadah yang semoga bisa merayu Allah untuk memberikan ridho padanya.
…..Seorang Muslim harus menggabungkan tiga kekuatan sekaligus; kekuatan pribadi, kekuatan sosial dan kekuatan profesionalisme. Ia menjadi kuat secara pribadi, karena ia memiliki paradigma kehidupan yang benar dan jelas, struktur mentalitas yang solid dan kuat, serta karakter yang kokoh dan tangguh. Ia menjadi kuat secara sosial, karena ia memiliki kesadaran partisipasi yang kuat, asset kebajikan yang terintegrasi dengan komunitasnya, serta menjadi faktor perekat dan pembawa manfaat dalam masyarakat. Ia menjadi kuat secara profesi, karena ia bekerja di bidang yang menjadi kompetensi intinya. Hal ini menyebabkan ia selalu berorientasi pada amal, karya dan prestasi, serta secara konsisten melakukan perbaikan dan pertumbuhan yang berkesinambungan (Matta, 2009:11-12).
Mangats!!
0 notes