#makrifah
Explore tagged Tumblr posts
Text
L'enseignement spirituel suggère que l'objet de la concentration peut avoir un impact direct sur le cœur. Il est donc recommandé de se concentrer sur le sol, car l'ancrage est essentiel pour éliminer la négativité.
L'exposition prolongée à un objet peut remplir le cœur de son essence, ce qui rend la contemplation difficile car le cœur se remplit de la négativité absorbée par les yeux. Il existe donc une corrélation directe entre les yeux et le cœur.
Par exemple, si les enfants passent toute la journée à regarder des images et des messages subliminaux sur leurs appareils sans faire de pause, cela peut avoir un impact négatif sur leur bien-être.
Il est important d'entretenir régulièrement la santé cardiovasculaire pour prévenir les problèmes cardiaques et éviter de surcharger le cœur.
— Mle. AainaA-Ridtz A R, Mille Voiles, Mille Nuits
#Mise à la terre#travail de l'ombre#guérison#résonance#cymatique#état d'esprit#changement#Ayn Sof#Tasawwuf#Ladunni#Makrifah#Atman#fréquences#aainaa-ridtz#transcendance#sainte communion#amour#citation d'amour#citation du jour#voyage#Mille Voiles#Mille Nuits
2 notes
·
View notes
Text
isim nakiroh dan makrifat?
Nakirah
nyaeta isim nu masih asli, umum, teu tertentu, jeung teu khusus, jeung bersinonim jeung kata umum dina bahasa Indonesia.
isim Ma'rifah
nyaeta isim nu menunjukkeun kana sesuatu nu tertentu jeung bisa langsung dikanyahokeun maksudna, nu diistilahkeun dina bahasa Indonesia eta kata khusus.
0 notes
Text
Alhamdulillah Alloh Maha Sayang & Maha Menerima Tobat. Aku Jadi Kesayangan Alloh Saat Tobat Dari "Percaya Sihir & Zodiak" #Dakwah #Islam
DALAM SURAH AL-FALAQ DIAJARKAN BERLINDUNG DARI KEJAHATAN TUKANG SIHIR Dalam Tafsir Jalalain disebutkan, وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ السَّوَاحِرُ تَنْفُثُ فِى العُقَدِ الَّتِي تَعْقِدُهَا فِي الخَيْطِ تَنْفُخُ فِيْهَا بِشَيْءٍ تَقُوْلُهُ مِنْ غَيْرِ رِيْقٍ . وَقَالَ الزَّمَخْشَرِي مَعَهُ كَبَنَاتِ لَبِيْدَ المَذْكُوْرِ . Alhamdulillah Alloh Maha Sayang & Maha Menerima Tobat. Aku Jadi Kesayangan Alloh Saat Tobat Dari "Percaya Sihir & Zodiak" “(dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus), yaitu tukang-tukang sihir wanita yang menghembuskan sihirnya (pada buhul-buhul), yang dibuat pada pintalan, kemudian pintalan yang berbuhul itu ditiup dengan memakai mantra-mantra tanpa ludah. Zamakhsyari mengatakan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh anak-anak perempuan Labid yang telah disebutkan di atas.” Yang dimaksud dengan kejahatan di sini adalah kejahatan sihir. Karena sihir itu yang dihembuskan pada benang-benang (pintalan), di mana ditiupkan pada setiap pintalan tadi. Sedangkan “naftsu” adalah tiupan dari mulut tanpa ludah. “Naftsu” inilah aktivitas tukang sihir. Sihir itu berdampak jelek pada orang yang disihir. Sihir juga meminta pertolongan pada ruh-ruh jahat. Orang bisa saja terkena sihir. Itu terjadi dengan izin Allah, walau tidak Allah sukai perbuatan tersebut. Artinya secara izin Allah yang kauni qadari itu terjadi, tetapi tidak secara izin Allah yang syari. Perbuatan sihir yang jelas adalah perbuatan yang tidak benar, walau itu bisa terjadi dengan izin Allah. KENAPA DALAM AYAT DISEBUT TUKANG SIHIR PEREMPUAN? Sebagian ulama seperti juga Jalaluddin Al-Mahalli mengatakan bahwa tukang sihir dalam ayat ini dimaksudkan untuk tukang sihir perempuan. Karena pendapat seperti ini menyatakan bahwa yang menyihir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah putri-putri Labid bin Al-A’sham. Ini yang menjadi argumen dari Abu ‘Ubaidah dan yang semisal dengannya. Ini tidaklah tepat karena yang menyihir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Labid bin Al-A’sham, bukan putri-putrinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim. Sehingga yang dimaksud an-naffaatsaat adalah ruh atau sukma yang menyihir, bukan yang dimaksud adalah tukang sihir perempuan. Karena pengaruh sihir itu dari ruh jahatnya. Itulah kenapa disebut dengan lafaz muannats(perempuan), bukan lafaz mudzakkar (laki-laki). Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 704-705. HIKMAH DARI GHASIQ, AN-NAFFAATSAAT, DAN HAASID Ghasiq (gelap malam) dan haasid (orang yang hasad) dalam bentuk nakirah (tanpa alif laam) karena gelap malam tidak semuanya jelek; begitu pula hasad itu tidak semua jelek, karena ada hasad yang terpuji (disebut ghibtoh, yaitu ingin berlomba dengan yang lain dalam kebaikan). An-naffaatsat (tukang sihir, dengan bentuk makrifah, ada alif lam), artinya sihir semuanya itu berdampak jelek. Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 705. APA ITU SIHIR? Sihir itu sesuau yang samar dan halus sebabnya. Adapun pengertian secara istilah, sihir ada dua pengertian: 1- Mantra atau jimat yang digunakan oleh tukang sihir sebagai bentuk pengabdian pada setan untuk mencelakai orang yang hendak disihir. 2- Obat yang berpengaruh di badan, akal, dan pikiran orang yang disihir. Inilah yang disebut dengan shorf dan ‘athof (obat yang membuat orang lain tertarik atau benci). (Lihat Al-Mukhtashar fi Al-‘Aqidah karya Syaikh Khalid bin ‘Ali Al Musyaiqih, hlm. 131) Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sihir adalah mantra-mantra yang dibacakan oleh tukang sihir untuk memudaratkan atau membahayakan orang lain. Di antara pengaruh sihir yaitu ada yang sampai terbunuh, jatuh sakit, atau gila. Ada juga yang pengaruhnya sampai seseorang begitu cinta pada yang lain atau ada yang pengaruhnya hingga benci pada yang lain. Intinya, sihir ada berbagai macam. Namun, semuanya itu diharamkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri berlepas diri dari sihir atau meminta untuk orang lain disihir.” Demikian dijelaskan oleh Syaikh dari penjelasan beliau terhadap kitab Riyadh Ash-Shalihin karya Imam Nawawi, 6:573, terbitan Darul Wathan. SIHIR DAN MACAMNYA Tentang nyatanya sihir ditunjukkan pada firman Allah, وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ “Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” (QS. Al Falaq: 4). Meminta perlindungan pada Allah–Sang Khaliq–dari sihir di sini menunjukkan bahwa hakikatnya sihir itu ada. Begitu juga firman Allah Ta’ala, فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ “Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 102). Sesuatu yang dipelajari itu menunjukkan bahwa sihir itu ada. Jadi sihir hakikatnya memang ada. Sebagaimana juga ada riwayat dalam Shahih Bukhari yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terkena sihir di mana beliau seakan-akan melakukan sesuatu, tetapi kenyataannya tidak. Ada pendapat yang lain yang mengatakan bahwa sihir itu hanyalah tipuan pandangan, tidak ada hakikatnya. Inilah yang dipahami oleh kaum Mu’tazilah–para pengagum akal–. Mereka berdalil dengan firman Allah mengenai sihirnya Nabi Musa ‘alaihis salam, قَالَ بَلْ أَلْقُوا فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى “Berkata Musa: “Silahkan kamu sekalian melemparkan.” Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (QS. Thaha: 66). Namun, yang benar sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sihir itu ada, ada hakikatnya. Sihir pertama, sihir yang bisa membuat orang lain jatuh sakit, bahkan bisa mematikan yang lain. Sihir kedua, sihir yang hanya menipu pandangan, seperti pada dunia sulap yang kita sering perhatikan di layar kaca. Sihir seperti ini menipu pandangan, seakan-akan si pesulap masuk api padahal tidak, seakan-akan ia menikam dirinya sendiri padahal hanyalah mengelabui. Jika dipahami demikian, maka kita dapat mengompromikan berbagai macam dalil tentang sihir. Namun, perlu dipahami bahwa sihir atau sulap tidaklah bisa merubah bentuk suatu benda, misal batu atau besi diubah menjadi emas. Jika memang bisa demikian tentu saja tukang sihir seperti ini akan menjadi orang terkaya di jagad raya. BAHAYA SIHIR: TUKANG SIHIR ITU KAFIR? Apakah tukang sihir itu dihukumi kafir? Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Pendapat pertama, tukang sihir itu kafir. Inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ “Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 102). Dalil ini yang menunjukkan bahwa tukang sihir itu kafir. Pendapat kedua, kalau sifat sihirnya ada unsur kekafiran, maka tukang sihir tersebut kafir. Jika tidak demikian, maka tidaklah kafir. Sebagaimana ada riwayat dari ‘Aisyah bahwa ia tidak membunuh tukang sihir dari budak wanita. Riwayat ini disebutkan oleh ‘Abdurrozaq, Al Baihaqi, dan Ibnu Hazm dengan sanad yang shahih. Tidak membunuh tukang sihir di sini menunjukkan tidak kafirnya. Karena hukum asalnya, Islam seseorang tetap ada. Rincian paling bagus mengenai hukum sihir adalah: 1- Sihir yang dihukumi kafir yaitu jika ada di dalamnya meminta pertolongan pada setan. Karena ketika itu tukang sihir melakukan amalan sebagai bentuk pengabdian atau ibadah pada setan. 2- Sihir yang dihukumi dosa besar yaitu sihir dengan bantuan obat atau ramuan. BAHAYA SIHIR: TUKANG SIHIR KENA HUKUMAN MATI Antara kafirnya tukang sihir dan hukum membunuhnya adalah masalah yang berbeda. Mengenai hukuman mati untuk
tukang sihir, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama, menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, tukang sihir dihukum mati. Pendapat kedua, tidak dihukum mati kecuali jika melakukan sihir sampai derajat kekafiran. Inilah pendapat Imam Syafi’i sebagaimana disebutkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab Jami’nya. Pendapat yang lebih tepat, tukang sihir itu dihukum mati secara mutlak, baik bentuk sihirnya dihukumi kafir atau hanya dosa besar. Ada beberapa riwayat yang mendukung pendapat ini. Dari Jundub, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ “Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang.” (HR. Tirmidzi, no. 1460, yang tepat hadits ini mawquf, hanya perkataan Jundub sebagaimana diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dengan sanad yang shahih). Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Bajalah bin ‘Abadah, ia berkata bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab pernah menulis surah dan memerintahkan membunuh setiap tukang sihir laki-laki dan perempuan. Bajalah berkata, “Kami telah membunuh tiga tukang sihir.” Namun perkataan “setiap tukang sihir” terdapat dalam Musnad Imam Ahmad, bukan dalam Shahih Al-Bukhari. Dari Hafshah radhiyallahu ‘anha, ia memerintahkan untuk menghukum mati budak perempuan yang telah menyihirnya. Budak itu pun lantas dibunuh. Hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatho’nya. Imam Ahmad sampai berkata, “Ada tiga sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berpendapat bahwa tukang sihir itu dihukum mati.” Pendapat yang mengatakan tukang sihir dihukum mati, itulah yang lebih tepat. Wallahu a’lam. CARA MENGOBATI ATAU MENGATASI SIHIR Ada dua cara yang dilakukan dalam mengobati sihir, santet, kena guna-guna, atau penyebutan semisalnya: 1- Dengan membacakan Al-Qur’an, do’a atau dzikir yang mubah. Seperti ini dibolehkan berdasarkan keumuman dalil yang membolehkan ruqyah. Di antara dalilnya adalah, عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِىِّ قَالَ كُنَّا نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ��َيْفَ تَرَى فِى ذَلِكَ فَقَالَ « اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ » Dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’iy, ia berkata, “Kami melakukan ruqyah di masa jahiliyah, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ruqyah yang kami lakukan?” Beliau bersabda, “Coba tunjukkan padaku ruqyah yang kalian lakukan. Ruqyah boleh saja selama di dalamnya tidak terdapat kesyirikan.” (HR. Muslim, no. 2200). Dari ‘Imran bin Hushain, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ “Tidak ada ruqyah kecuali pada penyakit karena mata hasad (dengki) atau karena sengatan binatang.” (HR. Abu Daud no. 3884 dan Tirmidzi no. 2057. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih). 2- Mengobati sihir dengan sihir yang semisal. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara kedua ini. Namun, yang lebih tepat adalah tidak mengobati sihir dengan sihir. Demikian pendapat Al Hasan Al Bashri, Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah (penulis kitab Taisir Al-‘Azizil Hamid) dan jadi pendapat Syaikh Muhammad bin Ibrahim (mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam). Di antara dalilnya adalah: عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ النُّشْرَةِ فَقَالَ « هُوَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ » Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang nusyrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Itu termasuk amalan setan.” (HR. Abu Daud, no. 3868 dan Ahmad, 3:294, juga dikeluarkan oleh Bukhari dalam Tarikh Kabir, 7:53. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Yang dimaksud nusyrah yang terlarang di sini adalah mantra-mantra yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah seperti dengan menggunakan jimat-jimat. Itu termasuk amalan setan. Nusyroh yang dimaksud bukanlah dengan membacakan surah ta’awudzat (s
urah Al-Ikhlas, surah Al-Falaq dan surah An-Naas) atau dengan menggunakan ramuan yang mubah. (Lihat Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid, 2:846) Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Yang namanya sihir di dalamnya jin mengabdi pada tukang sihir dengan syarat tukang sihir tersebut berbuat syirik kepada Allah selamanya. Begitu pula menghilangkan sihir juga harus menghilangkan sebab sihir tersebut. Sihir tersebut bisa terjadi karena pengabdian setan jin kepada tukang sihir. Nah, inilah yang perlu diatasi. Kalau sihir diatasi dengan sihir, maka mesti tukang sihir kedua juga meminta bantuan pada jin yang lain untuk mengatasi sihri yang pertama.” (At-Tamhid, hlm. 349). TUKANG SIHIR BERTAUBAT Ada dua pendapat dari para ulama mengenai hal ini. Pendapat pertama, taubat tukang sihir tidaklah diterima. Inilah pendapat dalam madzhab Hambali. Kalau demikian, ia tetap dikenai hukuman mati–saat diterapkan hukum Islam–. Itulah hukum secara lahiriyah. Adapun di batin, itu adalah urusan dia dengan Allah. Jika memang taubatnya benar-benar jujur, moga Allah maafkan. Bila ternyata dusta, maka ia dihukumi secara lahiriyah. Pendapat kedua, taubat tukang sihir diterima. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِ��َّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53). Begitu pula dalam hadits, dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا “Sesungguhnya Allah -‘azza wa jalla- membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat dari yang berbuat dosa di siang hari. Dia pun membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat dari yang berbuat dosa di malam hari. Taubat terus diterima sampai matahari terbit dari arah tenggelamnya (arah barat).” (HR. Muslim, no. 2759). Dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ “Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selama nyawa belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, no. 3537 dan Ibnu Majah, no. 4253. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Dalil yang menyebutkan bahwa taubat setiap orang diterima amatlah banyak. Namun tentu saja bisa dikatakan taubatnya diterima jika memang ada bukti bahwa ia jujur dalam taubatnya. CARA MENCEGAH SIHIR Sebagaimana disebutkan oleh mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, ada beberapa sebab seseorang bisa mudah terkena sihir: 1- Lalai dari mengingat Allah 2- Tidak mau perhatian pada ketaatan (ibadah) 3- Tidak mau perhatian pada dzikir-dzikir syar’i (seperti dzikir pagi, dzikir petang, dzikir sebelum tidur, dzikir ketika masuk kamar mandi, -pen) Sedangkan orang yang senantiasa berdzikir, rajin ibadah dan perhatian dengan dzikir-dzikir yang ada dasarnya, maka asalnya ia selamat dari gangguan sihir. Orang yang istiqamah menjalankan hal-hal tersebut akan selamat dari penguasaan setan. Beda halnya dengan yang gemar maksiat dan lalai dari mengingat Allah, sangat rentan sekali mendapatkan gangguan dan was-was setan. (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 3:298) Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Rabb Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. Az-Zukhruf: 36). Kalau
orang Arab menyebut “ya’syu a’in”, maksudnya adalah pandangan melemah atau pandangan menjadi kabur. Sehingga maksud “ya’syu ‘an dzikrir rohman”, yaitu pandangannya tertutup dari Al Quran, artinya tidak mau memperhatikan Al Qur’an. Akibat dari berpaling dari Al-Qur’an, akhirnya dijadikan setan tidak berpisah darinya. Lihat bahasan Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir dan Zaad Al-Masiir karya Ibnul Jauzi. Sebagaimana diterangkan oleh Syaikh As-Sa’di rahimahullah, yang dimaksud dengan ayat di atas adalah yang lalai dari Al-Qur’an Al-‘Azhim, itulah dzikir Ar-Rahman. Al-Qur’an tersebut itulah wujud kasih sayang Allah pada hamba-Nya. Siapa yang menerima dzikir yang mulia ini, berarti ia telah menerima karunia yang besar, ia benar-benar telah beruntung. Adapun yang berpaling dari Al-Qur’an, bahkan menolaknya, dialah yang berhak mendapatkan kerugian dan tidak ada lagi kebahagiaan setelah itu selamanya. Akibat buruk pula bagi yang berpaling dari Al-Qur’an adalah akan senantiasa ditemani oleh setan, lalu setan akan menjerumuskan dalam maksiat. Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 813. Kesimpulannya, siapa yang lalai dari Al Qur’an, lalai dari dzikir, lalai dari shalat dan ibadah, maka akan mudah diganggu setan. Sedangkan sihir itu berasal dari setan. DOA MEMINTA PERLINDUNGAN DARI SIHIR DAN SANTET Do’a yang biasa diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta perlindungan untuk Hasan dan Husain, yaitu: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ “’AUDZU BI KALIMAATILLAHIT TAAMMATI MIN KULLI SYAITHONIN WA HAAMMATIN WA MIN KULLI ‘AININ LAAMMATIN (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari godaan setan, binatang beracung dan dari pengaruh ‘ain yang buruk).” (HR. Bukhari, no. 3371). Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, dulu bapak kalian yaitu Nabi Isma’il dan Ishaq meminta perlindungan pada Allah dengan do’a tersebut. Yang dimaksud dengan berlindung dengan kalimat Allah adalah Al-Qur’an, ada pula yang menyatakan nama dan sifat Allah. Kalimat Allah sendiri disifatkan dengan sempurna karena tak mungkin dalam nama Allah terdapat sifat kekurangan dan aib seperti pada kalam manusia. Juga ada ulama yang mengatakan bahwa maksud sempurna adalah bermanfaat, terjaga dari kekurangan dan sudah mencukupi. Sedangkan hammah yang dimaksud dalam doa tersebut adalah kita berlindung dari segala sesuatu yang beracun yang bisa mematikan. Adapun yang terakhir adalah meminta perlindungan dari ‘ain yang buruk, maksudnya ‘ain yang apabila mengenai seseorang bisa berdampaik buruk. (Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At-Tirmidzi, 6:212). — Selesai disusun di Darush Sholihin, Jumat siang, 26 Dzulqa’dah 1441 H (17 Juli 2020) Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Sumber https://rumaysho.com/25367-bahaya-sihir-cara-mencegah-dan-mengatasinya.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali.
#02TobatHebat#asysyakur#attawwab#bintang#nabiMuhammad#sihir#syirik#Taubat#tawwab#tobat#umatNabiMuhammad#zodiak#Alloh#blogAlloh#iman#tobathebat#umatRosululloh
0 notes
Photo
Ngaji Al-qur’an; Masalah yang ada dalam Al-qur’an terjemahan berbahasa indonesia. Salah satu masalah yang ada dalam Al-qur'an terjemahan berbahasa indonesia adalah belum adanya padanan bahasa indonesia yang bisa menyampaikan makna dari alif lam ( ال) makrifah secara pas, padahal alif lam ini sangat banyak ada pada kata-kata dalam Al-qur'an dan sangat penting pemaknaannya, banyak kasus kesalah fahaman memaknai Al-qur'an bagi para muslim yang sangat tergantung kepada terjemahan.
0 notes
Text
Bersama satu kesulitan, sekurang-kurangnya ada dua kemudahan.
______________________
"Kenapa kau cool je?" Dia bertanya dengan jantung berdegup laju.
"Kau risau?"
"Mestilah risau. Bagaimana kalau tak jumpa jalan keluar?"
"Iya. Siapa tak risau kalau diuji sebegini."
"So..."
"Tapi aku percaya janji Allah."
"Janji apa?"
"Bahawa bersama setiap kesulitan, ada kemudahan."
***
Harapan.
Satu kalimah yang beri kekuatan.
Memang kadang-kadang rasa buntu tatkala bertemu kesulitan.
Tak nampak jalan keluar.
Tak tahu bila akan berakhir.
Namun kalamNya sering merawat gundah di jiwa.
Iman kepada surah Asy-Syarh merawat kecamuk dalam hati.
======
(فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ یُسۡرًا إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ یُسۡرࣰا)
Oleh itu, maka (tetapkanlah kepercayaanmu) bahawa sesungguhnya tiap-tiap kesukaran disertai kemudahan,(Sekali lagi ditegaskan): bahawa sesungguhnya tiap-tiap kesukaran disertai kemudahan.
[Surah Al-Sharh 5 - 6]
======
Perhatikan dua ayat ini.
Kalimah "kesulitan" diungkapkan dalam bentuk spesifik (makrifah) ٱلۡعُسۡرِ seakan-akan merujuk "kesulitan itu".
Ia merujuk "Satu kesulitan yang diketahui".
Salah satu tafsirannya beri indikasi bahawa dua kalimah berulang ٱلۡعُسۡرِ dalam ayat 5 & 6 sebenarnya merujuk SATU kesulitan yang sama.
Sebaliknya, kalimah "kemudahan" menggunakan kalimah umum (nakirah) یُسۡرࣰا . "Kemudahan" pada ayat 5, boleh jadi bukn "kemudahan" yang sama dalam ayat 6. Kerana kedua-duanya berbentuk umum.
Maka.
Dalam setiap SATU kesulitan, bersamanya ada sekurang-kurangnya DUA kemudahan.
Sudahkah mengimani formula hidup daripada Allah ini?
"Mana nak tahu apa kemudahan yang disertakan? Bila akan tiba kemudahan itu?"
Mahu tunggu janji ini terbukti baru mahu mengimani?
Atau yakini terlebih dahulu meskipun belum melihatnya depan mata?
Begitulah.
Iman itu pilihan yang terkait kehendak & usaha untuk mengimani.
Apapun.
Iman pada kalamNya menumbuhkan harapan yang membuahkan kekuatan.
Lalu jiwa yang diuji kesulitan atas perjuangan agamaNya akan terus sanggup menapak ke hadapan.
Terus dan terus.
=========
(فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرۡغَب)
Kemudian apabila engkau telah selesai (daripada sesuatu amal soleh), maka bersungguh-sungguhlah engkau berusaha (mengerjakan amal soleh yang lain),Dan kepada Tuhanmu sahaja hendaklah engkau memohon (apa yang engkau gemar dan ingini).
[Surah Al-Sharh 7 - 8]
==========
Buat kalian yang hidup untuk sunnah terbesar Rasulullah s.a.w,
Yang hidup untuk sampaikan Firman Tuhan,
Moga terus tsabat atas perjuangan ini.
Bermula dengan tegakkan wahyu Allah dalam diri.
_________________
Nota refleksi tadabbur surah Ash-Sharh bersama Dr Nasaruddin, Tadabbur Quran anjuran Pena Nusantara.
0 notes
Text
Antara keistimewaan yang terdapat pada buku ini ialah:
• Menjawab dan menghurai permasalahan ummah pada masa kini
• Memperkenalkan masyarakat kepada dalil-dalil sama ada secara naqli atau aqli.
• Memimpin pembaca untuk makrifah dan mengenali cara istinbat hukum.
• Menjelaskan bagaimana penggunaan kaedah usul fiqh dan kaedah fiqh.
• Mengemukakan fatwa ulama dan pendapat mereka.
• Mendahulukan maslahah dan juga menolak mafsadah dalam mengemukakan hukum ijtihad.
• Tidak terikat dengan hanya satu-satu mazhab.
• Menjawab isu-isu kontemporari dan moden dengan menghubungkan illah dan qias.
Penulis mengakhiri pujian terhadap kitab ini seperti yang dinyatakan oleh al-‘Allamah Syeikh Mustafa al-Zarqa’: “Sesungguhnya memelihara dan memiliki kitab ini menjadi kewajipan dan kemestian bagi setiap keluarga Islam.”
Rm60 after 14% discount
0 notes
Text
SIFAT 20 & MAKRIFATULLAH
SIFAT 20 & MAKRIFATULLAH
Apakah maksud sifat 20?
Sifat dua puluh adalah satu konsep ilmu yang ciptaannya sangat ajaib, di dalam mentafsir kaedah mengenal Allah melalui ilmu makrifat.
Sifat 20 dicipta oleh ilham para sufi dan para aulia' terdahulu, bagi tujuan mengajar kita menuju jalan mengenal Allah. Barang siapa mempelajari sifat 20 dengan bersungguh-sungguh, berserta faham akan maksud dan makna yang tersirat, InsyaAllah ia akan dapat mengenal Allah swt dengan nyata dan terang.
Banyak cabang ilmu dan banyak kaedah pembelajaran yang telah didedahkan melalui kitab, melalui pondok, melalui sekolah dan tidak kurang pula melalui guru-guru agama.
Semua itu bertujuan bagi mencari jalan, mencari cara dan mencari kaedah untuk mengenal Allah. Di antara banyak-banyak cara dan di antara banyak-banyak kaedah, cara dan kaedah terbaik bagi mengenal Allah swt adalah dengan mempelajari sifat 20.
Allah tidak akan dapat dikenal melalui mata zahir, ianya dapat dikenal melalui mata hati dengan mempelajari sifat-sifatnya.
APAKAH ASAS SIFAT 20?
Sifat 20 berasaskan kepada 4 perkara;
1) Zat
2) Sifat
3) Af'al
4) Asma'
APAKAH SIFAT ALLAH YANG 20 ITU?
1. Wujud = ada
2. Qidam = sedia
3. Baqa' = kekal
4. Mukholafatuhu lilhawadis = bersalahan dengan yang baharu
5. Qiamuhu binafsih = berdiri sendiri
6. Wahdaniah = esa
7. Qudrat = kuasa
8. Iradat = menghendaki
9. Ilmu = mengetahui
10. Hayat = hidup
11. Sama' = mendengar
12. Basar = melihat
13. Kalam = berkata-kata
14. Qodirun = maha berkuasa
15. Muridun = maha menghendaki
16. Alimun = maha mengetahui
17. Hayyun = maha hidup
18. Sami'un = maha mendengar
19. Basirun = maha melihat
20. Mutakallimun = maha berkata-kata
20 sifat Allah itu terbahagi kepada berapa bahagian?
20 sifat-sifat Allah terbahagi kepada 4 bahagian.
1. Bahagian sifat Nafsiah
2. Bahagian sifat salbiah
3. Bahagian sifat Ma'ani
4. Bahagian sifat Ma'nawiah
Bahagian yang empat inilah yang dikatakan menjadi inti pati dan isi kepada ilmu mengenal Allah. 4 bahagian inilah nantinya yang akan mengupas dan yang akan menterjemahkan sifat 20. Barang siapa yang berhajat untuk mengenal Allah, perlu diambil perhatian kepada ke empat-empat bahagian tersebut.
SIFAT NAFSIAH
Apakah sifat yang terkandung dalam nafsiah?
Sifat yang terkandung di dalam nafsiah itu, hanya satu iaitu sifat wujud. Wujud yang membawa maksud ada. Adanya Allah itu, meliputi segala yang zahir mahu pun yang batin.
Apakah maksud sifat nafsiah?
Sifat nafsiah itu, bermaksud menafikan kewujudan yang lain selain Allah. Hanya Allah sahaja yang ada dan hanya Allah sahaja yang wujud.
Wujudnya Allah itu, adalah ujud yang disertai sekali dengan zat, sifat, af'al dan asma'Nya. Zat Allah itu merupakan sifatNya dan sifat Allah itu adalah juga merupakan zatNya. Zat dengan sifat Allah itu adalah ujud yang tidak terpisah, berpisah, bercerai dan ujud yang tidak berasingan.
Keujudan zat dengan keujudan sifat Allah itu, adalah esa (satu juga pada hakikatnya). Seumpama sifat ilmu dengan sifat kalam Allah. Apabila sifatnya bersifat mendengar (sama'), bererti zatnya juga, bersifat berpendengaran (sami'un). Apabila Allah bersifat melihat (basar), bererti zatNya bersifat berpenglihatan (basirun). Apabila Allah bersifat kuasa (kudrat), bererti zatNya bersifat kekuasaan (kodirun). Begitulah seterusnya dengan sifat-sifatnya yang lain.
Sifat Allah itu seumpama sifat angin dengan sifat bergoyang (bertiup). Apabila kita melihat pokok bergoyang, itu menandakan adanya angin. Tergoyangnya pokok, adalah bagi menandakan bergoyangnya angin. Sifat bergoyang itu sebenarnya bukan sifat pokok, yang bergoyang itu sebenarnya adalah sifat angin.
Walau bagaimanapun sifat angin dan sifat bergoyangnya pokok itu, adalah satu sifat yang sama. Jika tidak ada angin, masakan pokok bergoyang. Pokok tidak boleh bergoyang dengan sendiri, jika bukan kerana digoyang dan ditiup oleh angin. Begitulah juga sifat Allah dengan ZatNya, tidak boleh bercerai.
Begitulah juga kaedahnya kita mentafsir sifat 20. Apabila ianya dirujuk kepada diri. Barulah kita dapat melihat dan mengenal Allah melaluinya. Seandainya sifat 20 itu tidak dirujuk kepada diri, selama itulah kita tidak akan dapat mengenal dan melihat Allah. Dalam memahami sifat nafsiah (nafi) iaitu sifat menafikan, menidakkan, atau sifat menolak.
Kita dikehendaki menidakkan sifat-sifat yang lain selain Allah. Kita dikehendaki menidakkan kewujudan sifat alam dan sifat diri kita sendiri. Menidakkan sifat diri kita, supaya ianya menjadi tidak ada dan tidak wujud (binasa). Cara untuk menidakkan sifat diri kita dan untuk mewujudkan sifat Allah itu, adalah dengan cara, menyerah atau membinasakan diri kepada Allah.
Bila mana sifat telinga telah dipulangkan, ianya akan disambut dengan sifat pendengaran Allah. Bila mana sifat mata telah binasa, akan disambut dengan sifat penglihatan Allah. Sifat berfikir, akan disambut dengan ilmu Allah. Selagi sifat mata menjadi sebahagian daripada sifat kita, sudah pasti kita tidak akan dapat melihat Allah melalui pandangan dan penglihatanNya.
Setelah sifat mata kita itu dipulangkan kepada Allah, akan bertukar menjadi sifat basar Allah, barulah sifat penglihatan basirun Allah itu, boleh melalui sifat mata kita. Bermaknanya di sini bahawa, sifat mata yang ada pada kita sekarang ini, tidak boleh dan tidak layak menerima penglihatan Allah melaluinya, melainkan sifat mata makhluk telah binasa dan bertukar kepada sifat wajah Allah.
Maka kita tidak layak untuk menanggung atau menerima sifat penglihatan Allah yang maha tinggi. Sifat makhluk tidak layak untuk menanggung sifat Allah, melainkan sifat kita itu ditukar milik, supaya menjadi milik Allah, setelah melalui proses penyerahan diri (penyerahan tugas dan penyerahan hak milik) kepada Allah.
Apabila sudah menjadi milik Allah, barulah mata kita itu, dapat melihat melalui penglihatan Allah. Apabila mata kita itu telah menjadi milik Allah, barulah sifat basirun (penglihatan) Allah itu dapat terpancar melalui mata kita.
Apabila penglihatan Allah sudah menembusi mata kita, dengan sendirinya sifat mata akan binasa. Mata makhluk akan hangus terbakar, binasa dan lenyap lantaran dipenuhi oleh cahaya Allah. Cahaya penglihatan Allah itu sendiri, yang membinasakan sifat mata kita. Hanya Allah sahaja yang dapat menanggung sifat Allah. Sifat mata kita tidak dapat untuk menanggung sifat penglihatan Allah.
Selagi mata masih bersifat makhluk atau masih menjadi sebahagian dari anggota diri kita, selagi itulah wajah Allah tidak boleh mengambil tempat. Selagi sifat Allah tidak dapat mengambil tempat, selagi itulah, kita tidak akan dapat mengenal dan melihat Allah melaluinya. Inilah konsep nafsiah, iaitu konsep menidakkan sifat makhluk supaya dapat menjadikan semuanya bersifat wajah Allah.
Setelah kita berjaya dalam menidakkan, fana' dan leburkan diri kita ke dalam cahaya Allah, maka jadilah telinga kita itu, merupakan pendengaran Allah, jadilah mata kita itu, penglihatan Allah dan sebagainya.
Mata kita tidak layak untuk menanggung penglihatan Allah. Begitu juga dengan sifat-sifat yang lain, ianya merupakan pakaian dan persalinan Allah. Sifat kita selaku makhluk, tidak layak untuk memakai yang menjadi persalinan Allah. Seandainya kita terpakai persalinan Allah, cepat-cepatlah bertaubat.
Apabila Allah bersifat basar, Allah juga bersifat basirun. Apabila Allah bersifat qudrat, Allah juga bersifat Qodirun dan sebagainya. Oleh yang demikian bagi yang telah sampai kepada makam (tahap) makrifat, menjadikan yang dilihat itu, adalah juga yang melihat dan yang melihat itu, adalah juga yang dilihat, yang disembah itu, adalah yang menyembah dan yang menyembah itu, adalah juga yang disembah.
Dengan syarat diri kita telah binasa, mati, lebur, dan karam dalam zouk cahaya wajah Allah. Walaupun Allah itu bersifat dengan 20 sifat, namun semua 20 sifat itu, adalah esa (satu) juga dalam zatNya. Walaupun sifat Allah itu banyak, tetapi ia satu dalam zatNya.
Yang menjadikan sifat Allah itu berbilang-bilang adalah dikeranakan khayalan fikiran dan lemahnya sangkaan akal manusia. Sedangkan pada dasar dan pada hakikatnya, kesemua sifat Allah itu adalah satu (esa), tidak berbilang-bilang.
Mempelajari, memahami serta mengetahui sifat nafsiah bertujuan memberi peringatan kepada kita bahawa, tidak ada yang berbentuk, melainkan yang berbentuk itu adalah bentuk bagi Allah dan tidak ada yang bersifat, melainkan yang bersifat itu hanya sifat bagi Allah. Tidak ada yang berupa melainkan yang berupa itu adalah rupa bagi Allah.
Di dalam memahami sifat nafsiah, kita dikehendaki menafikan, mematikan, melenyapkan, menghilangkan dan membinasakan semua sifat-sifat yang lain selain dari sifat Allah. Di peringkat pengajian ilmu sifat nafsiah, kita dikehendaki melihat bahawa hanya Allah sahaja yang ada, ujud, wujud dan maujud.
Keujudan makhluk alam pada peringkat ini belum lagi boleh diletak dalam gambaran fikiran dan belum lagi boleh dibayangkan dalam ciptaan khayalan akal. Yang ada dan yang ujud pada peringkat sifat nafsiah itu, hanyalah Allah semata-mata.
Sifat nafsiah adalah sifat bagi mengajar kita tentang kewujudan Allah secara mutlak dan secara "wujudiah". (wujud yang meliputi), meliputi sekalian alam, meliputi sekalian makhluk dan meliputi sekalian diri kita. Sifat nafsiah dalam wujudiah itu adalah membawa makna kewujudan Allah secara mutlak, secara bersendirian, secara keesaanNya, tanpa adanya lagi yang lain selain Allah.
Seumpama bukan pokok yang bergoyang tetapi yang bergoyang itu adalah angin. Walaupun kita nampak yang bergoyang itu pokok, di dalam kefahaman pengajian ilmu makrifah yang bergoyang itu bukan lagi pokok, sesungguhnya yang bergoyang itu adalah sifat angin. Inilah kedudukan sifat nafsiah dalam tafsiran makrifat.
Di dalam kita belajar sifat nafsiah dalam sifat 20 kita jangan lupa untuk menghubung kaitkan dengan kalimah syahadah. Pelajaran sifat nafsiah dalam sifat 20, bukan sekadar bertujuan untuk dihafal. Pelajaran sifat nafsiah itu selain bertujuan untuk mengenal sifat Allah melalui sifat 20, ianya juga adalah bertujuan bagi mentafsir kalimah syahdah. Sifat nafsiah itu, adalah satu kaedah kiasan sahaja. Tujuan sebenar kiasan sifat nafsiah itu, adalah disasarkan kepada tafsiran dan pemahaman kalimah syahadah.
Sifat nafsiah apabila dikaitkan, diletak atau diterjemahkan pada tafsiran syahadah, ia berada pada kedudukan kalimah "LAA" (iaitu kalimah nafi). Kalimah nafi adalah kalimah menolak yang lain selain Allah, membinasakan yang lain selain Allah. Kewujudan sifat-sifat yang lain itu, seumpama bayang cahaya. Apabila hilang cahaya maka hilanglah bayang.
Apabila kita dapat memahami dan menghayati pengertian isi ilmu nafsiah dalam sifat 20 dengan penuh penghayatan, ianya membuatkan ucapan syahadah kita, benar-benar diterima Allah.
Bagaimana cara ucapan syahadah yang penuh makna?
Ada pun ucapan syahadah yang penuh makna itu, adalah dengan melafazkan ungkapan kalimah "Laa" dengan menghilangkan dan membinasakan sifat-sifat yang lain, selain Allah. Sehingga tidak ada lagi keujudan bulan, bintang, alam, dunia dan keujudan kehidupan diri, melainkan Allah lah yang ujud, wujud dan maujud, pada sekalian wajah alam.
Ucapan perkataan "Laa" adalah tahap ucapan yang tidak ada lagi sesiapa. Tidak ada apa-apa di kiri, di kanan, di atas, dan tidak apa-apa lagi di bawah kita, melainkan semasa melafazkan kalimah "Laa" kita dikehendaki mengisi keyakinan hati dan mengisi kepercayaan akal, bahawa tidak ada yang lain lagi pada keujudan alam ini, melainkan sekalian yang ada ini, adalah wajah Allah (yang meliputi segalanya). Itulah di antara tujuan kita mempelajari sifat nafsiah (sifat 20)
APAKAH BENTUK SIFAT NAFSIAH?
Sifat nafsiah adalah berbentuk "PERKHABARAN", sifat yang hanya ada pada zat Allah dan tidak memberi bekas kepada alam, sifat nafsiah itu, tidak pula boleh dikualiti dan tidak boleh dikuantitikan. Adanya Allah adalah ada yang mutlak, ada yang tidak di keranakan oleh suatu kerana yang lain.
Sifat nafsiah adalah sifat yang mengkhabarkan kepada kita bahawa Allah itu ada, adanya Allah itu melalui perkhabaran yang tidak dapat dipegang atau dirasa dengan tangan, tidak dapat dizahirkan untuk dilihat. Perkhabaran adalah perkara yang tidak boleh dikualiti atau dikuantitikan. Ia hanya boleh dirasa dan diyakini oleh hati.
SIFAT MA'ANI
Sifat Apakah Yang Terkandung Di Dalam Ma'ani?
Sifat yang terkandung di dalam sifat ma'ani ada 7 perkara:
1. Qudrat = kuasa
2. Iradat = berkehendak
3. Ilmu = mengetahui
4. Hayat = hidup
5. Sama' = mendengar
6. Basar = melihat
7. Qalam = berkata-kata
Bagaimana Menterjemah Sifat Ma'ani Pada Diri Kita?
Sifat ma'ani Allah Ta'ala yang jelas terzahir pada diri kita ada 7:
1. Hidup
2. Mengetahui
3. Berkuasa
4. Berkehendak
5. Melihat
6. Mendengar
7. Berkata-kata
Ada dengan terang dan jelas menzahir sifat-sifatNya ke atas diri kita. Tujuan dizahirkan sifatNya supaya dijadikan sebagai pedoman, sebagai panduan dan sebagai iktibar untuk kita mengenal, melihat dan memandang Allah melaluinya.
Allah bukan ain (bukan benda) yang boleh dikenal melalui bentuk hitam dan putih. Allah menzahirkan sifat-sifatnya ke atas diri kita adalah bertujuan supaya dijadikan "Tempat memandang sifat-sifatnya" kepada mereka-mereka yang berpandangan jauh.
Tetapi ramai yang masih tidak memerhatikannya. Sifat hidup, sifat mengetahui, sifat berkuasa, sifat berkehendak, sifat melihat, dan sifat berkata-kata yang dipakai Allah atas diri kita, adalah menjadi tanda kebesaranNya atas diri kita supaya kita memerhati dan melihatnya. Sifat-sifat tersebut bukannya sifat peribadi kita tetapi sifat tersebut sebenarnya adalah hak kepunyaan mutlak Allah Ta'ala.
Sifat yang kita pakai ini adalah pinjaman semata-mata. Dari itu hendaklah kita sedar dan insaf akan hal itu. Kesemua sifat-sifat tersebut adalah hak milik Allah dan kepunyaan Allah swt yang sepatutnya dikembalikan semula kepada tuan yang empunya, sementara hayat masih dikandung badan.
Penzahiran sifat ma'ani (angin) atas makluk (diri kita) adalah sekadar pinjaman yang berupa pakaian sementara, yang akhirnya dikehendaki kembali semula kepada tuan yang empunya. Allah tidak boleh diibarat atau dimisalkan dengan sesuatu.
Maha suci Allah dari ibarat dan misal. Segala misalan atau segala perumpamaan yang dinukilkan itu, hanyalah sekadar untuk mempermudahkan faham. Sifat ma'ani itu, adalah seumpama bayang-bayang, manakala Allah Ta'ala itu, adalah seumpama tuan yang empunya bayang.
Firman Allah:
Surah Al-Furqān (ayat 45)
أَلَمْ تَرَ إِلَىٰ رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا
Tidakkah engkau melihat kekuasaan Tuhanmu? - bagaimana Ia menjadikan bayang-bayang itu terbentang (luas kawasannya) dan jika Ia kehendaki tentulah Ia menjadikannya tetap (tidak bergerak dan tidak berubah)! Kemudian Kami jadikan matahari sebagai tanda yang menunjukkan perubahan bayang-bayang itu;
"Allah Jadikan Manusia dalam bayangNya"
Maksud bayang itu, adalah merujuk kepada makhluk dan diri kita. Bayang (diri) sebenarnya tidak mempunyai apa-apa sifat. Bayang hanya sekadar sifat yang menumpang dari yang empunya bayang. Bergeraknya bayang adalah gerak daripada yang empunya bayang. Berdirinya bayang adalah dengan berdirinya tuan yang empunya bayang (Allah). Mustahil bayang itu boleh berdiri dengan sendiri tanpa kuasa dari yang empunya bayang (Allah). Bayang dengan yang empunya bayang itu, mustahil bersatu dan mustahil bercerai.
Diri kita dengan wajah Allah itu, adalah seumpama ujud bayang dengan yang empunya bayang atau seumpama bayangan wajah di permukaan cermin. Sifat ma'ani itu tidak boleh berdiri dengan sendiri tanpa bergantung dari sifat maknawiah. Hubungan antara sifat ma'ani dengan sifat maknawiah itu, adalah seumpama hubungan antara bayang dengan yang empunya bayang.
Contohnya seumpama sifat mata dengan penglihatan, sifat telinga dengan pendengaran dan sifat mulut dengan yang berkata-kata. Walau bagaimana keadaan sekalipun, ianya tetap tidak boleh bercerai dan juga boleh bercantum. Inilah yang dikatakan hubungan sifat ma'ani dengan sifat ma'anawiah itu, bercantum tidak bercerai tiada.
"Tiada bercerai antara nafi dan isbat, dan siapa-siapa yang menceraikan antara keduanya maka orang itu kafir adanya"
Bayang bukan cahaya tetapi tidak lain dari cahaya. Cahaya bukan matahari tetapi tidak lain dari matahari. Begitu jugalah contohnya hubungan antara Allah dengan diri kita. Dari itu marilah kita sama-sama mengambil faham dan insaf bahawa sifat yang kita miliki ini, sebenarnya hak kepunyaan Allah, yang harus kita serah kembali kepada yang empunya.
Tujuan mempelajari sifat ma'ani adalah bertujuan supaya kita mengaku bahawa sebenarnya diri kita ini tidak ada, tidak wujud, dan tidak terjadi. Yang wujud, yang ada dan yang terjadi adalah hanya semata-mata Allah, seumpama sifat bayang, terzahirnya bayang itu, adalah bagi tujuan menampakkan dan menyatan sifat yang empunya bayang itu sendiri.
Di dalam keghairahan membicarakan soal sifat ma'ani, harus diingat bahawa Allah tidak bertempat. Allah tidak menjelma ke atas jasad. Allah tidak bertempat di dalam atau di luar badan, Allah tidak bersatu, tidak bercantum dengan badan, Allah bukan kesatuan, Allah bukan bersyarikat, bukan bercantum dengan jasad kita. Ada orang yang mengaku bahawa Allah menjelma di dalam jasad dan tidak kurang pula ada yang mengaku menjadi Tuhan dan sebagainya.
Bukan kita yang meliputi Allah, tetapi Allah lah yang meliputi kita. Kesemua sifat yang kita miliki ini adalah milik Allah, sifat yang ada pada diri kita akan hancur, binasa dan hilang lenyap, sifat yang kekal dan yang abadi itu, hanyalah Allah swt.
Firman Allah:
Surah Al-Qaşaş (ayat 88)
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَۘ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُۚ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Dan janganlah engkau menyembah tuhan yang lain bersama-sama Allah. Tiada Tuhan melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu akan binasa melainkan Zat Allah. BagiNya lah kuasa memutuskan segala hukum, dan kepadaNya lah kamu semua dikembalikan.
Apa Hubungan Sifat Maani Dengan Roh?
Sifat ma'ani adalah wajah Allah yang terzahir melalui sifat dan rupa paras roh, melalui sifat mata, mulut, telinga, dan anggota tubuh seluruhnya. Sebagaimana rupa dan paras roh, sebegitulah wajah ma'ani Allah, kerana rohlah sifat ma'ani Allah.
Untuk melihat sifat ma'ani Allah, lihatlah pada wajah dan sifat rupa paras diri kita sendiri. Hubungan roh dengan sifat ma'ani itu, seumpama sifat mata pada roh, penglihatan bagi Allah, telinga pada roh, pendengaran bagi Allah, dan begitulah seterusnya.
Apakah Hubungannya Sifat Ma'ani Dengan Kalimah Syahadah?
Tujuan kita mempelajari dan mendalami ilmu ma'ani itu, adalah untuk membawa kepada pemahaman kalimah syahadah. Tujuan nafsiah membawa pengertian kepada kalimah "Laa" adalah kalimah bagi menafikan kewujudan sifat makhluk. Manakala sifat ma'ani kalimah "Ila ha" pula, bermaksud mengadakan atau mengiakan dan mengambil balik segala apa yang kita telah tolak dalam kalimah "Laa". Jika dalam kalimah "Laa" kita tolak semua sifat makhluk, manakala dalam kalimah "Ila ha" pula, ianya kita adakan semula. Walaupun sifatnya diadakannya kembali, ianya adalah sekadar sifat yang menumpang.
Jika dalam kalimah "Laa" kita mengaku bahawa tidak ada lain, selain Allah, manakala dalam kalimah "Ila ha" pula kita mengaku bahawa Allah telah menzahirkan makhluknya melalui 7 sifatNya, seumpama sifat hidup, kuasa, berkehendak, mengetahui, mendengar, melihat dan sifat berkata-kata. Walau bagaimanapun 7 sifat tersebut di atas hanya sekadar sifat menumpang. Seumpama sifat sama' menumpang sifat sami'un, sifat basar menumpang sifat basirun dan begitulah seterusnya.
Untuk dihubung kaitkan dengan kalimah syahadah, kita hendaklah melihat sifat mata yang kita miliki, tidak berguna, tanpa penglihatan Allah, telinga kita tidak akan bermakna tanpa pendengaran Allah, mulut tidak bererti tanpa berkata-kata Allah, hidung tidak berguna tanpa hidup Allah, akal tidak bererti jika tanpa ilmu Allah, anggota tidak bermakna tanpa kuasa Allah. Segala-galanya yang ada pada kita bergantung dan menumpang sifat Allah.
Semasa melafazkan kalimah "Ila ha" dalam bersyahadah, kita dikehendaki mengingati diri kita bahawa sifat yang ada pada diri dan yang kita bawa ini, tidak boleh berdiri sendiri, hanyalah sekadar sifat yang menumpang dan bergantung kepada sifat Allah. Diri kita tidak memiliki apa-apa. Kita tidak akan dapat melihat tanpa basirun Allah dan kita tidak akan dapat mendengar tanpa samiun Allah.
Dari kesedaran dan keinsafan itu, membawa hati kita kepada suatu perasaan kosong, hiba, hina, kerdil, miskin, kecil dan perasaan fakir di hadapan Allah. Inilah tujuan kita mempelajari sifat ma'ani.
Diri kita ini sesungguhnya yatim piatu yang tidak punya apa-apa. Ibu bapa, anak-isteri, kaum-keluarga, harta benda, hidup mati dan kaya miskin itu, adalah hak Allah ta'ala, yang boleh diambilnya balik pada bila-bila masa. Yang kita miliki ini, adalah semata-mata hak kepunyaan Allah.
Di tangan Allah lah diri kita, segala kekuatan, kecantikan, kekayaan dan kegagahan yang selama ini kita megah-megahkan itu, sebenarnya adalah milik kepunyaan Allah.
Dengan kefahaman bahawa, sifat diri kita ini, sebenarnya mati dan menumpang. Seumpama sifat mata, telinga, mulut, tangan, kaki dan seluruh anggota, menumpang wajah kebesaran Allah. Yang hendaknya dikembalikan semula sifat itu kepada Allah.
Anggaplah diri kita ini, sudah mati, binasa, hilang dan lenyap dalam wajah Allah. Yang kita miliki ini, semuanya adalah hak Allah Ta'ala belaka. Hendaklah kita serah kembali kepada Allah. Kembalikan sifat-sifat tersebut kepada Allah. Jadikanlah diri kita ini seumpama fakir, muflis, hina, mati, binasa, dan hilang dalam kekuasaan Allah. Inilah di antara hikmah dan di antara intipati mempelajari sifat ma'ani dalam sifat 20.
Bagaimana Mengenal Allah Melalui Sifat Ma'ani?
Peranan sifat ma'ani hanya sekadar menjadi saksi (kesaksian) Sifat ma'ani berperanan sekadar sifat menumpang. Seumpama basar, hanya menumpang kepada sifat basirun. Telinga menumpang sifat sama', manakala sama' pula menumpang sifat samiun. Lidah menumpang sifat kalam, manakala kalam pula menumpang sifat mutakallimun. Sifat ma'ani adalah sifat menumpang sifat maknawiah (sifat kekuasaan Allah).
Dari kefahaman itu, dapatlah kita tilik diri sendiri, betapa sifat yang ada pada diri kita ini, semuanya kepunyaan Allah. Kita ada mata, tatapi Allah yang memiliki sifat penglihatan. Kita ada telinga tetapi Allah yang memiliki sifat pendengaran. Kita ada mulut tetapi Allah yang memiliki sifat berkata-kata. Begitulah seterusnya, yang menggambarkan bahawa diri kita ini adalah kepunyaan Allah.
Sifat ma'ani bertujuan supaya sifat Allah dapat dilihat melalui pancaindera, pada roh, dan pada diri kita sendiri. Allah berilmu manakala diri pula bersifat mengetahui melalui akal. Allah berkudrat, manakala diri pula bersifat berkuasa melalui pancaindera. Allah beriradat, manakala diri pula bersifat berkehendak (dapat berkeinginan melalui rasa). Allah bersifat sama' manakala diri pula bersifat mendengar melalui telinga. Allah bersifat basar manakala diri pula bersifat melihat melalui mata. Allah bersifat kalam, manakala diri pula bersifat berkata-kata melalui lidah.
Jangan sekali-kali kita menjadi lupa diri, bahawa semua sifat-sifat yang kita miliki ini, adalah kepunyaan Allah, diri kita ini, hanya sekadar menumpang sifat Allah. Apabila kita faham sifat ma'ani, dengan sendirinya membawa diri kita pulang ke pangkuan Allah dengan tangan kosong, dengan menyerahkan segala sifat kepada Allah.
Bahawasanya diri kita ini, sebenarnya adalah kepunyaan dan milik Allah sepenuhnya secara mutlak. Sifat yang kita pakai dan yang ada pada kita ini, seumpama sifat bayang (menumpang yang empunya bayang).
Setelah kita sedar, bahawa sifat yang kita pakai ini adalah sifat pinjaman dan menumpang sifat Allah, sebaiknya kembalikanlah semua sifat-sifat itu kepada Allah. Jangan sekali-kali cuba memakai pakaian Allah, walaupun secara percuma atau secara pinjaman, kerana kita tahu bahawa pakaian Allah itu, amat tidak layak untuk dipakai oleh kita. Kita tidak layak memakai pakaian Allah dan kita tidak layak untuk menerima pinjaman Allah. Pakaian Allah itu, Allah lah pemiliknya, Allah lah yang layak memakainya.
Sebenarnya kita ini, tidak punya apa-apa pakaian atau persalinan. Kita ini adalah ibarat tangan kosong. Yang menjadi milik dan kepunyaan kita bukan pakaian atau persalinan, yang menjadi milik dan kepunyaan kita yang mutlak, adalah Allah itu sendiri.
Inilah konsep yang hendak diketengahkan dan yang hendak diterapkan melalui sifat ma'ani. Konsep serta kefahaman inilah yang benar-benar perlu kita fahami. Cuba fahami dan hayati betul-betul sifat ma'ani yang tujuh itu, apabila kita telah kasyaf dalam menghayati sifat ma'ani, di sinilah membawanya lebur dan terbakarnya sifat diri yang palsu dan yang menumpang ini.
Bagi mereka-mereka yang mengenal Allah, apabila dia cuba untuk memakai sifat Allah. Maka hancur terbakarlah anggotanya, lebur musnahlah sifat jasadnya. Mereka tidak sekali-kali berani memakai sifat pakaian Allah. Pakaian Allah itu ada tujuh iaitu seumpama sifat hidup, ilmu, kudrat, iradat, samak, basar dan kalam, manakala pakaian kita juga tujuh seumpama:
1. Pakaian sifat mati (binasa).
2. Pakaian sifat bodoh dungu.
3. Pakaian sifat lemah, lumpuh tidak berupaya.
4. Pakaian sifat tidak berkemahuan, tidak berkehendak.
5. Pakaian sifat pekak dan tuli.
6. Pakaian sifat buta.
7. Pakaian sifat bisu.
Inilah pakaian dan sifat-sifat yang kita pakai serta pakaian mereka-mereka yang mengenal diri dan yang mengenal Allah swt. Mereka ini beranggapan dan beriktikad bahawa, diri serta jasad mereka sudah mati, tidak ada, lebur dan binasa. Mereka tidak lagi berakal, tidak lagi mempunyai kekuatan, tidak lagi berkemahuan, tidak lagi berpendengaran, tidak lagi berpenglihatan, dan tidak lagi bersuara diri. Jasad mereka sudah fana', sudah baqa' dan karam dalam wajah Allah swt.
Diri mereka tidak ubah seumpama mayat yang hidup. Mereka tidak memakai pakaian Allah, mereka tidak meminjam pakaian Allah, mereka tidak mengambil persalinan Allah, mereka tidak memakai apa-apa yang menjadi hak Allah. Tidak layak bagi mereka untuk menerima apa-apa yang menjadi milik Allah. Bagi mereka, segala-galanya adalah dari Allah, kepada Allah dan berserta Allah. Baik di dalam tidur, dalam jaga, dalam gerak, dalam tutur kata, dalam penglihatan, pendengaran, berkeinginan dan sebagainya, semuanya milik Allah.
Bukan sifat mata yang mereka pandang, tetapi penglihatan Allah, bukan sifat telinga menjadi tumpuan, tetapi pendengaran Allah, bukan mulut menjadi keinginan, yang menjadi keinginan mereka ialah suara (kata-kata) Allah. Yang berkeinginan dan berkehendak itu, adalah Allah swt. Yang berkuasa dan berilmu itu adalah Allah. Inilah kaedah pegangan iktikad orang makrifat, dalam menterjemah sifat ma'ani. Yang menjadikan hati kita penuh yakin kepada Allah.
Tujuan sifat ma'ani diketengahkan untuk dipelajari dan difahami, adalah untuk membawa kita kepada suatu keinsafan diri, bahawa semua yang kita miliki dan yang ada pada diri kita ini, sebenarnya adalah milik Allah. Setelah kita sedar yang segala-gala sifat itu menjadi milik Allah, hendaklah kita kembalikannya semula kepada Allah.
Seandainya yang menjadi milik Allah itu telah kita serahkan semula kepada Allah, semasa hayat masih dikandung badan dan semasa masih berada di dalam dunia, apabila kita pulang ke rahmatullah kelak (setelah kita mati nanti), tidak ada apa-apa lagi yang perlu ditanya, perlu dihisab dan perlu dipersoalkan oleh Malaikat.
Perkara yang membuat kita ditanya dan disoal itu, adalah kerana hutang sifat kita semasa di dunia masih belum dijelaskan, mereka yang belum melangsaikan pinjaman dan yang belum mengembalikan hak Allah semasa hayat masih ada dan semasa masih hidup di dunia, hutang sifat yang kita pinjam dari Allah, hendaklah dikembalikan semula kepada Allah. Jika ianya dilangsaikan semasa di dunia, tidaklah ada lagi soal jawab dari Munkar dan Nakir di dalam kubur.
Apa lagi yang Allah hendak tuntut, apa lagi yang Allah hendak tagih dari kita, jika semuanya telah dikembalikan dan diserahkan kepadaNya. Hidup dan mati kita telah kita serahkan kepada Allah, jasad zahir dan batin telah dikembalikan kepada Allah. Apa lagi yang hendak Allah dakwa? Apa lagi yang hendak Allah tuntut?
Yang hendak Allah dakwa dan tuntut itu, bagi mereka-mereka yang kembali ke pangkuannya dengan tidak menjelaskan hutang sifat dan tidak mengembalikan hakNya. HakNya diambil pakai, diambil guna, tetapi tidak pandai untuk memulangkan dan tidak pula pandai mengembalikannya semula kepada Allah.
Jika semuanya telah dikembalikan kepada yang empunya, nescaya tidak ada lagi, tuntut menuntut, dakwa-dakwi dan tidak lagi ada soal jawab kubur, malah di pintu syurga lah kita disambut oleh Allah swt.
Inilah tujuan pengajaran sifat ma'ani diperkenalkan. Ini adalah tujuan sifat ma'ani diketengahkan untuk diambil tahu oleh sekalian kita. Dengan mempelajari sifat ma'ani, akan membawa kita tahu untuk membezakan, yang mana hak kita dan yang mana hak Allah swt. Perhatikan sekali lagi perkara ma'ani dan hendaknya kita hayati dan tilik dengan mata hati yang kasyaf.
Selagi hayat masih dikandung jasad, kita di kehendaki mengembalikan hak kepada yang berhak, nantinya bila tiba di alam akhirat kelak, kita akan mendapat layanan dan sambutan yang istimewa dari penguasa langit, lain dari yang lain. Kita akan ditempatkan bersama orang yang sempurna lagi terpuji.
Roh orang-orang sebeginilah dinamakan roh mutmainnah, roh yang diterima Allah. Tempat kita itu, adalah di sisi Allah, bukannya di sisi tanah yang mengandungi ulat dan cacing.
Roh sebeginilah yang dikatakan roh yang suci bersih, roh yang sentiasa disertai air sembahyang, roh yang sentiasa di iringi dengan kalimah syahadah. Inilah roh mereka-mereka yang mati sebelum mati dan roh mereka-mereka yang mengenal diri semasa di dunia. Inilah yang dikatakan roh yang mengenal tuannya.
Tuan yang empunya roh itu, tidak lain dan tidak bukan hanya Allah swt yang satu lagi esa. Inilah penjelasan dan kupasan tentang kefahaman ilmu mengenal Allah (makrifat) melalui pelajaran sifat ma'ani dalam sifat 20, yang bukan sahaja setakat tahu makna tetapi hendaklah dihayati dengan isi di sebaliknya.
via Blogger https://ift.tt/3216llv
0 notes
Text
Mengenal Kitab Irsyad al-Faqih ila Makrifah Adillati al-Tanbih
Mengenal Kitab Irsyad al-Faqih ila Makrifah Adillati al-Tanbih
Www.AhmadAlfajri.Com – Mengenal Kitab Irsyad al-Faqih ila Makrifah Adillati al-Tanbih
Mengenal Kitab Irsyad al-Faqih ila Makrifah Adillati al-Tanbih
Judul : Irsyad al-Faqih ila Makrifah Adillati al-Tanbih Judul Arab : إرشاد الفقيه إلى معرفة أدلة التنبيه Penulis : Ibnu Katsir Nama Arab : ابن كثير؛ إسماعيل بن عمر بن كثير بن ضو بن درع القرشي البصروي ثم الدمشقي، أبو الفداء، عماد الدين Penerbit :…
View On WordPress
0 notes
Text
A Journey into Supra-Consciousness
Unravelling the Mysteries of Movement, Perception, and Timelessness
In the intricate dance of existence, our understanding of the body and spirit often feels like the tip of an unfathomable iceberg. How do humanity, beings of flesh and thought, translate the intangible impulse of intention into the tangible action of movement? This question, deceptively simple, pulls us into the depths of the physical form, where the secrets of motion lie shrouded in mystery.
Consider the marvel of your own body—each movement, whether deliberate or unconscious, is a testament to an unseen dialogue between the mind and its vessel. How do these signals, mere electrical impulses, transform into the grace of a step, the precision of a hand, or the beating of a heart? Is it within the realm of the supra-conscious that this alchemy occurs, where thought and form converge in a dance of existence?
Yet, the body is not merely a machine responding to commands; it is a complex web of sensations, constantly communicating with the spirit. Every twinge of pain, every flush of warmth, every breath drawn—is a message from the depths of the being. But how often do humanity truly listen? How is it that these signals, which guide us through life, are so easily overlooked or misunderstood? Perhaps it is within the supra-conscious that we might find the key to deciphering these messages, allowing us to truly understand the language of our own bodies.
And then there is the matter of time—a concept that governs your lives with relentless precision. How young are you? How much time do you believe you have to unravel these mysteries? The illusion of youth grants us the comfort of perceived abundance, yet the supra-conscious reminds us that understanding is a pursuit that transcends time. The exploration of self, body, and mind is not bound by age but by the depth of our curiosity and the courage to delve into the unknown.
In the end, the journey into the supra-conscious is one of perpetual discovery. It is a path that beckons us to question, to understand, and to transcend the boundaries of what we believe to be true. By engaging with these profound questions of movement, perception, and timelessness, we step closer to a deeper understanding of ourselves and the enigmatic dance of existence in which we all partake.
Mle. AainaA-Ridtz A R, Unravelling the Mysteries of Movement, Perception, and Timelessness — A Journey into Supra-Consciousness
#Supra-Consciousness#Spirit-Body Connection#Movement#Intention#Perception#Awareness#Temporal Illusion#Self-Discovery#Mastery#AainaA-Ridtz#Resonance#Spirit#Ladunni#Tasawwuf#Ayn Sof#Aurélien-Barre#sainte communion#voyage#transcendance#aainaa ridtz#citations de livres#makrifah#makrifat#amour
0 notes
Quote
Apakah yang dimaksudkan dengan redha ? Redha ialah menerima dengan rasa tenang tanpa ada rasa kecewa atau tertekan dengan apa yang diberikan oleh Allah kepada kita baik berupa hukum dan peraturan qadha' mahupun sesuatu ketentuan daripadaNya. Sebenarnya, sifat redha ini adalah daripada sifat makrifah serta mahabbah kita kepada Allah Taala untuk mendekatkan lagi diri kita kepadaNya. Tahukah kita ? Redha Allah kepada hambaNya adalah berupa tambahan kenikmatan, pahala malah ditinggikan lagi darjat kemuliaan kita. Sedangkan redha seorang hamba kepada Allah bererti kita menerima dengan sepenuh hati setiap ketetapan dari Allah yakni dengan melaksanakan segala perintahNya serta menjauhi semua laranganNya. Ketetapan ini mestilah diterima dengan cara bersyukur ketika mendapat kenikmatan dan bersabar ketika ditimpa musibah. Pada masa yang sama, kita perlulah berusaha untuk mengubah segala ketetapan yang kita rasa tidak baik untuk diri kita. FirmanNya : "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." Apa pula yang dimaksudkan dengan pasrah ? Pasrah sebenarnya mempunyai sama maksud dengan redha cuma bezanya pasrah ialah kita menerima kenyataan dengan begitu sahaja tanpa ada usaha untuk mengubahnya. Oleh itu, inilah perbezaan antara maksud redha dan maksud pasrah yang mana masih ramai orang yang keliru dan belum mengetahuinya. Hal ini sebenarnya boleh mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah mahupun pandangan yang serong terhadap makna ayat-ayat yang memerintahkan untuk kita bersikap redha terhadap segala yang Allah tetapkan. Dengan kata lain pasrah akan melahirkan sikap fatalisme sedangkan redha melahirkan sikap optimistisme. "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu." Al-Baqarah 216 "Barangkali kamu tidak menyukai sesuatu , Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." An-Nisa 16 Ingatlah bahawa setiap kesusahan dan cabaran yang kita hadapi merupakan sumber kekuatan kita. Mengapakah begitu ? Hal ini demikian kerana setiap kesusahan itu menjadikan diri kita lebih tabah dan kuat untuk menghadapi masalah yang mendatang. Jadikan setiap kesusahan, keperitan serta halangan sebagai batu loncatan kepada kita untuk mengubah paradigma kehidupan kita. Andai jatuh, bangkitlah semula. Tabahkan diri dengan segala mehnah dan tribulasi. Janganlah terus mengalah dan menyerah diri. Jadikan segala takdir yang telah tersurat ini sebagai penguat diri. Ingatlah, Allah sentiasa bersama dengan orang-orang yang bersabar. Wahai diri, tabahkanlah hati. Bersyukurlah dengan segala mehnah ini. Sesungguhnya Allah Maha Menyayangi hambaNya yang tidak bersedih malah bersabar dengan tribulasi hidup. Inshaa allah.
77 notes
·
View notes
Text
"Jika tidak engkau saksikan Tuhan di dalam segala realiti, bererti tidaklah engkau bersaksikan Tuhan."
"Guru , sumber segala masalah itu apa ya?"
"Selain Allah!"
"Padahal setiap hari kita berhubungan dengan selain Allah?"
"Makanya masalah terus menerus dirasakan "
"Jadi kita tinggalkan semuanya?"
"Fisikmu saja bersama selain Allah. Hatimu bersama Allah"
Murid terpinga-pinga antara mampu atau tidak, mengamalkannya.
Imam Al-Junayd defined TawHeed as: knowing the difference between the creation and the Creator.
Imam Al-Junaid : Tauhid itu adalah mengenal / Makrifah perbezaan antara Makhluk dicipta dan Khalik Pencipta.
Hizb786
الجمال في الكمال
https://t.me/Hizb786
www.facebook.com/tradezara
0 notes
Photo
.....dan ramailah pengamal pengamal agama Islam yang pekak pasal Islam terjerit-jerit...melainkan mereka-mereka berusaha mencari illmu Mantiq + Makrifah + Hakikat yang akan tersenyum memahami yang tersirat. Indahnya Islam bagi mereka yang mendalaminya...Allahu Akhbar....tiba terasa amat rindu pada Arwah Bapak Kiyai Salleh..moga Allah merahmati beliau.. https://www.instagram.com/p/B0P7ngcBqBd/?igshid=1lljctareqi1o
0 notes
Photo
Mualaf secara bahasa berarti dilembutkan hatinya untuk menerima hidayah Allah subhanahu wa ta'ala. Hari ini, @mastercorbuzier mengucap dua kalimat syahadat dibimbing oleh @gusmiftah. Alhamdulillah...beliau orang baik sebelum ini, dan semoga akan lebih lagi setelah ini. . . . =========================== “Kalau saya harus menjadi orang Islam, saya harus menjadi pembela kaum marjinal." ~ @mastercorbuzier =========================== . . . Welcome to the club my man... "Allahumma tsabitna bil-iman wa tsabitna bil-islam wa tsabitna bil-tauhid wa tsabitna bil-ma'rifat min daari dunya ila daaril-akhirah (Ya Allah, teguhkanlah iman di hati kami kami, kokohkanlah Islam di qalbu kami, kuatkanlah tauhid kami, dan mantapkanlah pengetahuan kami akan Engkau (makrifah), sejak di dunia sampai kelak berjumpa denganmu di akhirat). " . . . #deddycorbuzier #mastercorbuzier #IslamDetik #mualaf https://www.instagram.com/p/By9_vhzBDg4/?igshid=1ozkna7hs9pcj
0 notes
Text
Ada yang tulis "syaitan ketawakan kita sebab raya kita kena kurung dalam rumah".
Ya, memang syaitan akan ketawakan kita jika kita tidak sabar dalam menyikapi takdir Allah.
Syaitan ketawakan kita sebab sebulan Ramadhan tak mampu buat kita bertambah kedekatan dengan Allah. Tak mampu buat kita semakin bertaqwa. Tak mampu buat akhlak kita menjadi semakin indah.
Syaitan ketawa, sebab kita kita hilang sabar hilang syukur dengan apa yang menimpa.
Syaitan ketawa, sebab yang terlafaz di mulut kita adalah cacian dan makian.
Syaitan ketawa, sebab dia berjaya curi ingatan kita kepada Allah, dia buat kita nampak kezaliman kerja tangan manusia sahaja, sehingga kita lupa bersandar dengan sepenuh makrifah kepada Allah Al Jabbar Al Alim Al Latif Al Khabir, kita lupa pada Dia As Somad, kita lupa Dia Al Qarib.
Syaitan tertawa, dia buat kita hilang tauhidullah. Tiada pemikiran tauhid pada kita.
Syaitan bersorak ria, sebab dia berjaya curi ingatan kita bahawa dunia ini memang negeri penderitaan, negeri ujian, di akhirat nantilah kita akan di balasi. Darul jaza'.
Syaitan ketawa ketawa je, bila dia berjaya tazyin kita,seolah olah kita ini lebih tahu dari Allah Al Alim, sehingga penderitaan kita, segala urusan kita, tidak kita serahkan kepada Allah Al Wakil.
Syaitan ketawa, sebab berjaya buat kita lupa, kasih sayang Allah itu tidak mampu dipersepsikan oleh akal kita.
Allahu akhbar.
Lalu, mari kita azamkan, untuk buat syaitan menangis, biar jasad terkurung namun qalbu kita masih tetap hidup untuk terus taat, mendekat kepada Allah.
Mari kita buat syaitan menangis dengan menyandarkan segala kerapuhan kita kepada Allah Al Samad.
Mari kita buat syaitan menangis, dengan memperbanyak doa yang sahih.
Mari kita buat syaitan menangis dengan membesarkan Allah sebanyak banyak nya, sehingga segala kedukaan kita menjadi kecil.
Masih terlalu banyak untuk kita syukuri, percayalah.
Masih ada pasangan.
Masih ada anak anak.
Masih ada talian internet untuk saling video call.
Kalau kata tak sedih tu tipu.
Tapi siapalah kita dihadapan takdir Allah.
Kalau kita tengok bagaimana saudara kita di Palestine di zalimi, ambil lah ibrah dari nya.
La Hawla Wala Quwwata Illa Billah.
Dan janganlah pula kita yang jadi syaitan, buat orang lupa pada Allah Rabb Al Alamin.
Allahu akhbar
Allahu akhbar
Allahu akhbar
La Ila ha illallah
Wallahua'lam
MHZ
Dengar Lihat Fikir
0 notes
Text
D A L I L
T A H L I L A N
kok golek ing kitab Hindu,
3 hari
7 hari
25 hari
40 hari
100 hari
1000 Hari
Tak henti-hentinya Wahabi Salafi menyalahkan Amaliyah ASWAJA, khususnya di Indonesia ini. Salah satu yang paling sering juga mereka fitnah adalah Tahlilan yang menurutnya tidak berdasarkan Dalil bahkan dianggap rujukannya dari kitab Agama Hindu. Untuk itu, kali ini saya tunjukkan Dalil-Dalil Tahlilan 3, 7, 25, 40, 100, Setahun & 1000 Hari dari Kitab Ulama Ahlussunnah wal Jamaah, bukan kitab dari agama hindu sebagaimana tuduhan fitnah kaum WAHABI
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻫﺪﻳﺔ ﺇﻟﻰﺍﻟﻤﻮتى
ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ : ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺪﻓن ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺧﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﺋﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻨﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻟﻒ عام (الحاوي للفتاوي ,ج:۲,ص: ١٩٨
Rasulullah saw bersabda: “Doa dan shodaqoh itu hadiah kepada mayyit.”
Berkata Umar: “shodaqoh setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan shodaqoh dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh di hari ke tujuh akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya lalu sedekah dihari ke 40 akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari.”
Referensi : (Al-Hawi lil Fatawi Juz 2 Hal 198)
Jumlah-jumlah harinya (3, 7, 25, 40, 100, setahun & 1000 hari) jelas ada dalilnya, sejak kapan agama Hindu ada Tahlilan ?
Berkumpul ngirim doa adalah bentuk shodaqoh buat mayyit.
ﻓﻠﻤﺎ ﺍﺣﺘﻀﺮﻋﻤﺮ ﺃﻣﺮ ﺻﻬﻴﺒﺎ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ، ﻭﺃﻣﺮ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻃﻌﺎما، ﻓﻴﻄﻌﻤﻮﺍ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺘﺨﻠﻔﻮﺍ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ، ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺟﻌﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﺟﺊ ﺑﺎﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﻭﺿﻌﺖ ﺍﻟﻤﻮﺍﺋﺪ ! ﻓﺄﻣﺴﻚ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﻬﺎ ﻟﻠﺤﺰﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻢ ﻓﻴﻪ ، ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻄﻠﺐ : ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪ ﻣﺎﺕ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﻣﺎﺕ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﺇﻧﻪ ﻻﺑﺪ ﻣﻦ ﺍﻻﺟﻞ ﻓﻜﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ، ﺛﻢ ﻣﺪ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻳﺪﻩ ﻓﺄﻛ�� ﻭﻣﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻳﺪﻳﻬﻢ ﻓﺄﻛﻠﻮﺍ
Ketika Umar sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan–hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib:
Wahai hadirin.. sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang pasti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau mengulurkan tangannya dan makan, maka orang–orang pun mengulurkan tangannya masing–masing dan makan.
Referensi: [Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqat Al Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110]
Kemudian dalam kitab Imam As Suyuthi, Al-Hawi li al-Fatawi:
ﻗﺎﻝ ﻃﺎﻭﻭﺱ : ﺍﻥ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻳﻔﺘﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﻗﺒﻮﺭﻫﻢ ﺳﺒﻌﺎ ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﺴﺘﺤﺒﻮﻥ ﺍﻥ ﻳﻄﻌﻤﻮﺍ ﻋﻨﻬﻢ ﺗﻠﻚ ﺍﻻﻳﺎﻡ
Imam Thawus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat) gemar menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut.”
ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﻴﺮ ﻗﺎﻝ : ﻳﻔﺘﻦ ﺭﺟﻼﻥ ﻣﺆﻣﻦ ﻭﻣﻨﺎﻓﻖ , ﻓﺎﻣﺎ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺳﺒﻌﺎ ﻭﺍﻣﺎﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺍﺭﺑﻌﻴﻦ ﺻﺒﺎﺣﺎ
Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari.”
Dalam tafsir Ibn Katsir (Abul Fida Ibn Katsir al Dimasyqi Al Syafi’i) 774 H beliau mengomentari ayat 39 surah an Najm (IV/236: Dar el Quthb), beliau mengatakan Imam Syafi’i berkata bahwa tidak sampai pahala itu, tapi di akhir2 nya beliau berkomentar lagi
ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﺬﺍﻙ ﻣﺠﻤﻊ ﻋﻠﻰ ﻭﺻﻮﻟﻬﻤﺎ ﻭﻣﻨﺼﻮﺹ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ
bacaan alquran yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai, Menurut Imam Syafi’i pada waktu beliau masih di Madinah dan di Baghdad, qaul beliau sama dengan Imam Malik dan Imam Hanafi, bahwa bacaan al-Quran tidak sampai ke mayit, Setelah beliau pindah ke mesir, beliau ralat perkataan itu dengan mengatakan bacaan alquran yang dihadiahkan ke mayit itu sampai dengan ditambah berdoa “Allahumma awshil.…dst.”, lalu murid beliau Imam Ahmad dan kumpulan murid2 Imam Syafi’i yang lain berfatwa bahwa bacaan alquran sampai.
Pandangan Hanabilah, Taqiyuddin Muhammad ibnu Ahmad ibnu Abdul Halim (yang lebih populer dengan julukan Ibnu Taimiyah dari madzhab Hambali) menjelaskan:
ﺍَﻣَّﺎ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻓَـِﺎﻧَّﻪُ ﻳَﻨْـﺘَـﻔِﻊُ ﺑِﻬَﺎ ﺑِﺎﺗِّـﻔَﺎﻕِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ. ﻭَﻗَﺪْ ﻭَﺭَﺩَﺕْ ﺑِﺬٰﻟِﻚَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ُﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍَﺣَﺎ ﺩِﻳْﺚُ ﺻَﺤِﻴْﺤَﺔٌ ﻣِﺜْﻞُ ﻗَﻮْﻝِ ﺳَﻌْﺪٍ ( ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍِﻥَّ ﺍُﻣِّﻲْ ﺍُﻓْﺘـُﻠِﺘـَﺖْ ﻧَﻔْﺴُﻬَﺎ ﻭَﺍَﺭَﺍﻫَﺎ ﻟَﻮْ ﺗَـﻜَﻠَّﻤَﺖْ ﺗَﺼَﺪَّﻗَﺖْ ﻓَﻬَﻞْ ﻳَﻨْـﻔَـﻌُﻬَﺎ ﺍَﻥْ ﺍَﺗَـﺼَﺪَّﻕَ ﻋَﻨْﻬَﺎ ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻧَـﻌَﻢْ , ﻭَﻛَﺬٰﻟِﻚَ ﻳَـﻨْـﻔَـﻌُﻪُ ﺍﻟْﺤَﺞُّ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍْﻻُ ﺿْﺤِﻴَﺔُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍﻟْﻌِﺘْﻖُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﻭَﺍْﻻِﺳْﺘِـْﻐﻒُﺭﺍَ ﻟَﻪُ ﺑِﻼَ ﻧِﺰﺍَﻉٍ ﺑَﻴْﻦَ ﺍْﻷَﺋِﻤَّﺔِ .
“Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat Islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi Saw. seperti perkataan sahabat Sa’ad “Ya Rasulallah sesungguhnya ibuku telah wafat, dan aku berpendapat jika ibuku masih hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya?” maka Beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit: haji, qurban, memerdekakan budak, do’a dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam”.
Referensi : (Majmu’ al-Fatawa: XXIV/314-315)
Ibnu Taimiyah juga menjelaskan perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada:
ﻓَﺎِﺫَﺍ ﺍُﻫْﺪِﻱَ ﻟِﻤَﻴِّﺖٍ ﺛَﻮَﺍﺏُ ﺻِﻴﺎَﻡٍ ﺍَﻭْ ﺻَﻼَﺓٍ ﺍَﻭْ ﻗِﺮَﺋَﺔٍ ﺟَﺎﺯَ ﺫَﻟِﻚَ
Artinya: “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-Qur’an / kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.
Referensi : (Majmu’ al-Fatawa: XXIV/322)
Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin Ibn al-Syarof, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi menegaskan;
ﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻤْﻜُﺚَ ﻋَﻠﻰَ ﺍْﻟﻘَﺒْﺮِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺪُّﻓْﻦِ ﺳَﺎﻋَـﺔً ﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻠْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﻳَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻝُﻩَ. ﻧَـﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻰُّ ﻭَﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍْﻻَﺻْﺤَﺎﺏُ ﻗَﺎﻟﻮُﺍ: ﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻘْﺮَﺃَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺷَﻴْﺊٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺃَﻥِ ﻭَﺍِﻥْ خَتَمُوْا اْلقُرْآنَ كَانَ اَفْضَلَ ) المجموع جز 5 ص 258(
“Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunnah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai mengha tamkan al-Qur’an”.
Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini;
ﻭَﻳُـﺴْـﺘَﺤَﺐُّ ﻟِﻠﺰَّﺍﺋِﺮِ ﺍَﻥْ ﻳُﺴَﻠِّﻢَ ﻋَﻠﻰَ ﺍْﻟﻤَﻘَﺎﺑِﺮِ ﻭَﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺰُﻭْﺭُﻩُ ﻭَﻟِﺠَﻤِﻴْﻊِ ﺍَﻫْﻞِ ﺍْﻟﻤَﻘْﺒَﺮَﺓِ. ﻭَﺍْﻻَﻓْﻀَﻞُ ﺍَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻭَﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﺑِﻤَﺎ ﺛَﺒـَﺖَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻭَﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَﻘْﺮَﺃَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺃٰﻥِ ﻣَﺎ ﺗَﻴَﺴَّﺮَ ﻭَﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﻘِﺒَﻬَﺎ ﻭَﻧَﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﺎِﻓﻌِﻰُّ ﻭَﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍْﻻَﺻْﺤَﺎﺏُ. (ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﺟﺰ 5 ص 258 )
“Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya”.
Referensi : (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, V/258)
Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hambali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal
ﻗَﺎﻝَ : ﻭَﻻَ ﺑَﺄْﺱَ ﺑِﺎﻟْﻘِﺮﺍَﺀَﺓِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍْﻟﻘَﺒْﺮِ . ﻭَﻗَﺪْ ﺭُﻭِﻱَ ﻋَﻦْ ﺍَﺣْﻤَﺪَ ﺍَﻧَّـﻪُ ﻗَﺎﻝَ: ﺍِﺫﺍَ ﺩَﺧَﻠْﺘﻢُ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺑِﺮَ ﺍِﻗْﺮَﺋُﻮْﺍ ﺍَﻳـَﺔَ ﺍْﻟﻜُـْﺮﺳِﻰِّ ﺛَﻼَﺙَ ﻣِﺮَﺍﺭٍ ﻭَﻗُﻞْ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠﻪ ُﺍَﺣَﺪٌ ﺛُﻢَّ ﻗُﻞْ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍِﻥَّ ﻓَﻀْﻠَﻪُ ِﻷَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺑِﺮِ .
Artinya “al-Imam Ibnu Qudamah berkata: tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hambal bahwasanya beliau berkata: Jika hendak masuk kuburan atau makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan do’a: Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.
Referensi : (al-Mughny II/566)
Dalam al Adzkar dijelaskan lebih spesifik lagi seperti di bawah ini:
ﻭَﺫَﻫَﺐَ ﺍَﺣْﻤَﺪُ ْﺑﻦُ ﺣَﻨْﺒَﻞٍ ﻭَﺟَﻤَﺎﻋَﺔٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﻭَﺟَﻤَﺎﻋَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺍَﺻْﺤَﺎﺏِ ﺍﻟﺸَّﺎِﻓـِﻌﻰ ﺍِﻟﻰَ ﺍَﻧـَّﻪُ ﻳَـﺼِﻞ
rizqi yang halal dan berkah adalah
TAHLILAN
Wallohu a’lam Bishshowab
1 note
·
View note
Text
Makrifah Rasulullah s.a.w
Abu al-Hasan al-Nadwi berkata:
• Jika anda seorang pemuda, maka teladan yang paling elok dan paling cantik bagimu adalah Nabi Muhammad SAW
• Jika anda telah mencapai umur tua, maka Baginda SAW adalah contoh anda
• Jika anda fakir dan miskin, maka Baginda SAW teladan dan contoh bagi anda
• Jika anda kaya, maka Baginda SAW imam anda
• Jika anda berangkat untuk berperang, maka Baginda SAW juga turut serta berperang
• Jika kamu menginginkan perdamaian, maka Baginda SAW akan memberikan kedamaian sebelum kamu memintanya
• Jika anda redha, maka Baginda SAW pun redha
• Jika anda marah (tidak menerima sesuatu), maka Baginda SAW pun demikian halnya
20 in stock
Whatsapp 019-2870575
www.wasap.my/60192870575
0 notes