#keris tiga naga
Explore tagged Tumblr posts
Text
Trilogy Keris Tiga Naga
Trilogy Keris Tiga Naga
This is one of a kind book in Indonesian LGBTQ literature. The main character is gay, no heart breaking remorse why they are gay, and it’s happy ending. Its still have a hate action agains LGBTQ but its just part of the story, not the whole story. I don’t really like the second book, there is a rape scene and coming without warning. It’s disturbing for me, but the other 2 books is enjoyable. I…
View On WordPress
0 notes
Link
INIHANTU | ASAL USUL JALAN CADAS PANGERAN SUMEDANG | '''Cadas Pangeran''' adalah nama suatu tempat, kira-kira enam kilometer sebelah barat daya kota Sumedang, yang dilalui jalan raya Bandung - Cirebon. Pemberian nama ini terkait dengan pembangunan Jalan Raya Pos Daendels yang melintasi daerah ini. Karena medan yang berbatu cadas, lima ribuan jiwa pekerja kehilangan nyawanya. Hal ini membuat marah penguasa Kabupaten Sumedang, Pangeran Kusumadinata IX (1791-1828) yang lebih populer dengan sebutan Pangeran Kornel, dan ia memprotes Daendels atas kesemena-menaan dalam pembangunan jalan itu. Adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels yang memprakarsai pembangunan jalan "maut" tersebut pada tahun 1809. Dahsyatnya, proyek jalan itu hanya membutuhkan waktu sekitar satu tahun. Jalur Anyer-Panarukan itu dibangun mula-mula sebagai jalan raya pos yang menghubungkan Pulau Jawa pada tahun 1809. Namun, keberhasilan Daendels itu tak terlepas dari penderitaan ratusan ribu warga Jawa yang disuruh kerja paksa atau rodi tanpa bayaran sesen pun. Tak terhitung lagi, ribuan pribumi yang tewas, baik yang melawan maupun meninggal dunia akibat kerja rodi. Maklum saja, Daendels terkenal dengan kekejamannya dan berlaku sangat keras, yang disukai oleh Kaisar Prancis Napoleon--Prancis saat itu menguasai Kerajaan Belanda. Sebaliknya, bagi bangsa Indonesia, kekejian Daendels sangat dibenci hingga ia mendapat julukan "Mas Galak" atau "Mas Guntur". Julukan itu sesuai dengan tindak tanduknya yang kerap menekan kekuasaan raja-raja atau penguasa setempat, khususnya terhadap wong cilik. Walau begitu, sejumlah "inlader" akhirnya nekat menentang Daendels meski nyawa menjadi taruhan. Namun, tak seluruh rakyat memberontak terhadap kehendak "Si Tuan Besar" itu. Satu di antara yang menonjol adalah Peristiwa Cadas Pangeran. Betapa tidak, ribuan pekerja rodi yang meninggal paling banyak terjadi di kawasan antara Bandung-Sumedang sepanjang kurang lebih tiga km. Di daerah tersebut memang memiliki medan yang berbukit cadas dan rawan longsor. Banyak para pekerja yang mati ketimbun tanah longsor maupun tertimpa batu-batu besar jika tidak hati hati karena medan kerja yang sangat rawan. Banyak pula yang terjerembab ke jurang selama pembangunan jalan itu. Belum lagi sejumlah binatang buas yang kerap memangsa beberapa buruh rodi yang keletihan di malam hari. Kabar mengenai ribuan penduduk Sumedang yang tewas akibat kerja rodi tentu membuat gusar penguasa setempat saat itu, yaitu Pangeran Kusumahdinata atau lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Kornel. Dia pun merasa terpanggil untuk membela rakyatnya dari tindasan Daendels. Pangeran Kornel segera mengutus beberapa orang kepercayaannya ke lokasi pembuatan jalan yang masih berupa hutan belantara, bercadas keras dengan berbagai binatang buas yang masih berkeliaran. Setelah meneliti keadaan di lapangan, orang-orang suruhan Pangeran Kornel mengungkapkan bahwa kondisi para pekerja paksa sangat memprihatinkan. Bahkan, mereka cuma mempergunakan peralatan atau perkakas yang tergolong sederhana untuk memapras tebing. Selain kurang peralatan, hambatan lain dalam pembuatan jalan itu adalah perbekalan makanan yang tak mencukupi. Tak heran, buruh rodi banyak yang terjangkit sejumlah penyakit, seperti malaria. Gangguan binatang buas dan hawa dingin yang menusuk di malam hari, turut menambah kesengsaraan para pekerja. Atas kenyataan itulah, Pangeran Kornel berencana secara terang-terangan melawan Daendels di hadapan para pekerja dan masyarakat Sumedang. Disusunlah rencana pemberontakan terhadap Mas Galak. Setelah rencana dianggap matang, Pangeran Kornel bersama sejumlah pengawalnya pergi ke lokasi kerja rodi tersebut. Dia pun sabar menanti kedatangan Daendels. Akhirnya, yang ditunggu-tunggu datang juga. Di kejauhan tampak Daendels menunggang kuda dengan didampingi segelintir pasukannya. Daendels memang secara rutin kerap mengawasi pembuatan jalan di daerah bercadas tersebut. Pangeran Kornel mencegat rombongan Gubernur Jenderal yang kejam itu, tepatnya di Desa Ciherang. Tentu saja Daendels kegirangan melihat kedatangannya disambut sendiri oleh penguasa setempat. Tanpa rasa curiga, dia segera mengulurkan tangan kepada Pangeran Kornel. Bukan kepalang terkejutnya Daendels, saat Pangeran Kornel menyambut ulurannya dengan tangan kiri. Tak cuma itu, penguasa Sumedang ini juga menghunus keris Naga Sastra di tangan kanannya. Dengan pancaran mata yang tajam tanpa berkedip, Pangeran Kornel terus menatap lawannya. Sontak, keangkuhan Daendels luntur seketika. Dia pun terheran-heran dengan perlakuan dari Pangeran Kornel atau Bupati Sumedang itu. Setelah hilang rasa kagetnya, Daendels bertanya kepada Pangeran Kornel mengenai sikapnya itu. Tanpa perasaan takut, Pangeran Kornel menjawab bahwa pekerjaan yang dibebankan kepada rakyat Sumedang terlalu berat. Setelah mengucapkan alasannya, Pangeran Kornel menantang Daendels duel satu lawan satu. Layaknya seorang ksatria, Pangeran Kornel berkata bahwa regent (bupati) Sumedang yang bernama Pangeran Kusumahdinata lebih baik berkorban sendiri ketimbang harus mengorbankan rakyat Sumedang yang tak berdosa. Mendengar alasan yang tegas dan jelas tersebut, serta sadar akan situasi yang tidak menguntungkan baginya, Daendels pun luluh keberaniannya. Kemudian Daendels berjanji akan mengambil alih pekerjaan pembuatan jalan oleh Pasukan Zeni Belanda. Sedangkan rakyat Sumedang diperkenankan hanya membantu saja. Ternyata itu hanyalah akal-akalan Daendels. Buktinya, beberapa hari kemudian, dia membawa ribuan pasukan Kompeni dan hendak menumpas perlawanan Pangeran Kornel. Pertempuran pun berkecamuk di sana. Rakyat Sumedang serta merta angkat senjata membantu junjungan mereka. Lantaran kekuatan yang tak seimbang, akhirnya tentara penjajah berhasil memadamkan pemberontakan Pangeran Kornel dengan memakan korban yang tak sedikit. Sedangkan Pangeran Kornel yang gagah berani itu gugur di ujung bedil pasukan Belanda. Semenjak itulah, jalan yang melintasi medan berbukit itu dinamakan Cadas Pangeran. Ini untuk mengenang keberanian Pangeran Kornel yang rela gugur dalam memperjuangkan atau membela kepentingan rakyat Sumedang yang sangat dicintainya.
0 notes
Text
1) Mau aku peluk? Wara : Ng, apa kita pernah ketemu? Lingga : Boleeh. Sini, sini. *crushing bear hug* Aji : Rude. Ich umarme keine fremden. 2) Masih perawan? Wara : Nggak tuh. Lingga : Kelihatannya gimana? *kedip satu mata* Aji : Ich glaube nicht, dass das eine Art Frage ist, die Sie fremd fragen. 3) Punya anak? Wara : Punya dua. Satu anak asuh, satu anak adopsi. Dua-duanya anak laki-laki yang cakep. Lingga : Pengen. Tapi sebaiknya nggak. Aji : Nein. 4) Pernah bunuh seseorang? Wara : Nggak tuh. Lingga : Pernah kepingin sih iya. Haha. Tapi bukan kamu kok, tenang aja. Aji : Nein. Ada pertanyaan interview yang lebih enak buat dijawab? These questions are all rude and you have no manner. 5) Benci seseorang? Kalo iya, siapa? Wara : *ketawa kecil* Nggak ada yang aku benci sih. Mungkin banyak yang pantas kubenci, tapi aku nggak bisa. Mereka sudah nggak ada. Lingga : Kei. Aji : Like I will tell you. *rolls eyes* 6) Oh gitu.. Hmm.. kamu suka sama seseorang? Kalau iya siapa? Wara : Suka Aga, dia...mm, dia orang yang paling penting buatku. Suka Bima, suka Satya juga. Suka teman-temanku, suka Yono, suka Lingga juga kalau pas dia lagi nggak norak. Lingga : Suka pemilik warung kopi paling manis sedunia. *senyum* Eh aku juga suka kamu kok, kamu oke. Aji : *berusaha keras nahan supaya nggak bilang nama meskipun mata udah berbinar-binar pingin cerita* Suka....seseorang, lah pokoknya. Like...like I will tell you. 7) Pekerjaan? Wara : Fotografer profesional, jurnalis lepas, pawang singa *laughs* Lingga : Dosen arkeologi di UI. Kapaan ya aku naik golongan naik gaji. *sighs* Aji : *manyun* Kamu interview saya tanpa tahu saya siapa? Unnaceptable. 8) Musim favorit? Wara : Musim hujan. Biar aku jadi gampang sakit tapi Jakarta jadi nggak sepanas biasanya. Oh, kalau pas banjir atau hujan deras biasanya keluargaku juga kumpul semua di rumah, nggak pada kerja. Lingga : Musim hujan. Soalnya enak buat ngopi panas. Hehehehehe. Aji : Summer. It's the best time to go to Ibiza or Venice to have some party. Aber ich hasse Sommer in Indonesien. Zu heiß. 9) Temen baik? Wara : Lingga, Aga. *bisik-bisik* Jangan bilang Lingga sama Aga tapi aku menganggap Kei sebagai teman baik. Lingga : Beberapa teman dosen, Wara. Aji : My manager, my three dogs, Lisa, Jennifer, Kate, Lucas, Johann, Genevieve, -- *sebutin 20 nama lagi* 10) Hobi? Wara : Fotografi, traveling, masak buat orang tercinta, main PS, kemarin baru dibeliin PS4, katanya biar aku betah di rumah, main di rumah aja gitu. Lingga : Indiana Jones-ing. Naik gunung. Aji : Ng...playing violin. Practicing. Partying. Shopping. 11) Seandainya wawancaranya udah selesai, kamu mau ngapain? Wara : Pulang terus tidur. Aku belum tidur dari dua hari lalu. Lingga : Cari makan, paling. Aji : *tengok jam tangan* Ich muss jemanden treffen. 12) Warna mata? Wara : Standar mata orang Indonesia lah. Lingga : Sama. Aji : Light brown. 13) Sebenernya kamu itu jahat atau baik sih? Wara : Hm? Aku bukan protagonis sinetron. Manusia biasa aja lah, kadang bisa jahat juga kalau lagi pingin. Lingga : Baik doong. Kapan aku pernah jahat coba? Aji : Was für eine Frage ist das? So silly. 14) Kamu takut apa? Wara : Kehilangan memori dan orang-orang yang aku sayangi. Lingga : M m m m....takut sejarah dan peninggalan bangsa diklaim luar. Oh, sama takut nggak bisa balik kalo pas naik gunung. Aji : Takut kerja kerasku selama ini sia-sia. Takut negara ini... ah, entschuldigung... I shouldn't talk about this country. 15) Menurutmu, ortumu kayak gimana? Wara : Yang terbaik. Sayang mereka sudah nggak ada waktu aku masih remaja, bikin kangen kan. Lingga : Bapakku bisa dipanggil bang Toyib kali, ya. Atau lelaki kardus? *laughs* Ibuku ibu yang baik, masakannya enak sekali, sayang anak-anaknya. Aji : They are awesome. Seriously. Love you, mom, papa. 16) Punya saudara? Wara : *senyum kaku* Sekarang nggak punya. Lingga : Ada satu kakak perempuan, sudah menikah dan punya anak dua, Bima dan Indah. Mereka masih tinggal di Jogja tapi Bima sekarang ikut Wara di Jakarta. Aji : Nein. 17) Senang ga jawab pertanyaan dari aku? Wara : *senyum sopan* Senang. Lingga : Senang kok, neng. Aji : Your questions are rude. 18) Menurut pendapatmu, creatormu itu gimana? Wara : Creator? Maksudmu Tuhan? Aku nggak terlalu percaya yang seperti itu tapi yah, sejauh ini semuanya baik sih. Lingga : Tuhan ya? Yah begitulah. Pertanyaanmu kok kayak mahasiswa filsafat. Kamu mahasiswa filsafat? Angkatan berapa? Kenapa kamu interview saya, nggak interview dosenmu sendiri? Aji : He was nice. In a way. 19) Punya kelemahan? Wara : Entah ya, biasa lah manusia suka susah lihat kelemahan sendiri. Hmm, tapi katanya aku cerewet, suka kabur. Lingga : *lirik kanan kiri* Cewek cantik seksi. Aji : Kalau sudah fokus latihan aku langsung lupa dunia. 20) Kuberi kamu satu permintaan! Monggo! Wara : *gosok tangan* Wahh, sip sip sip. Dari kemarin kepingin bubur ayam Sukabumi aku. Lingga : Harapannya semoga pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan dosen dan pegawai negeri, terus lebih memperhatikan museum dan peninggalan purbakala yang harus dilestarikan. Aji : Grey Memory Micro Ottoman Fur-Lined Parka dari koleksi Tom Ford 2014. Eh Nevermind, I'll buy it myself. 21) Element favorit? Wara : Element....maksud kamu band Indonesia yang udah bubar itu? Yang lagunya 'namun bila...berbagi hati...hidup tanpa bercinta' itu kan? Wah udah lama banget nggak denger lagunya. *langsung browsing* Lingga : Tanah. Bikin rileks. Eh zodiakku Capricorn juga, kata mantanku itu elemen tanah. Aji : Nothing particular. 22) Oh iya, kamu berasal dari fandom apa? Wara : Fan...dom? Ini maksudnya korea-koreaan itu? Lo ngerti, Ngga? *noleh ke Lingga* Lingga : *geleng-geleng* Aji : Classical. *sebenernya nggak ngerti tapi jawab aja daripada dikira bego* 23) Kalo kamu dikasih kesempatan buat pindah fandom, mau pindah kemana? Wara : ??? Lingga : ??? Aji : I'm staying, thank you. 24) Jenis kelamin? Wara : *agak kesel* Perlu aku buka celana? Dedekku sehat walafiat masih rutin dipake. Lingga : Kalau tahu etimologi kata Lingga, yah itulah. Penis. Aku laki-laki. Aji : *merengut* 25) Apa kamu peduli apa yg dikatakan orang lain terhadapmu? Wara : Kadang-kadang mereka benar, kadang-kadang kata-kata orang lain harus diperhatikan kalau aku ingin hidup aman dan nyaman. Tapi biasanya sih nggak. Lingga : Tergantung mereka bilang apa. Aji : Why should I? 26) Hai.. Wara : Hai juga...? Lingga : Haai!! Aji : Isn't it a bit too late to say hi now? 27) Apa kamu mengonsumsi narkoba? Wara : *siul-siul* Mmnoope. Lingga : *alihkan pandangan* Aku nggak. Aji : *ngernyit* That thing would destroy your body. 28) Suka godain lawan jenis? Wara : *laughs* Kata Aga aku ini tukang flirting sama siapapun. Lingga : *tangkupin tangan, duduk tegak, diem agak lama* Sepertinya demikian. Aji : Ew, no. Girls are friends, not to be flirted with. 29) Pernah kepikiran buat ganti jenis kelamin? Wara : Ha ha ha nggak. Lingga : Kalau aku jadi perempuan aneh dong perempuan kok namanya penis? Aji : If I were a girl then I can't be gay, so no. 30) Gimana kalo ngerubah jenis kelamin orang yang kamu sukai ? Wara : *ketawa ngakak* Nggak, nggak. Tapi aku bisa bayangin. Lingga : *merengut nggak suka dan milih nggak jawab* Aji : Why would I? I love cock. 31) Lagu kesukaan? Wara : Sky Full of Stars-nya Coldplay, apa lagi ya. Banyak lah. Aku suka lagu gending Jawa juga. Oh belakangan ini, lagu Indie Indonesia juga banyak yang bagus-bagus kayak Polka Wars, Danilla, Efek Rumah Kaca...Barasuara kemarin malah aku baru nonton konsernya. Lingga : Lagu tahun 60-80an lah. Kalau Indonesia ya macam Koes Ploes, D'Lloyd, Broery, Panbers. Kalau yang luar ya jaman-jaman ABBA, Queen, BeeGees, Barry Manilow lah. Aji : Por Una Cabeza. Chaconne. La Campanella. Ugh it's so much but I love all of Bach's songs. 32) Apa yang ingin kamu ubah dari diri kamu? Wara : Ng, masa lalu, mungkin. Tapi tanpa masa lalu itu aku nggak mungkin sampai di sini. Lingga : Nggak ada. Aji : This skin, it's too oily. 33) Minuman favorit? Wara : Air putih, kopi panas, teh panas, wedang yang ada jahe-jahenya. Lingga : Kopi. Aji : Beer. 34) Kalo kamu jadi binatang, kepingin jadi apa? Wara : Pinginnya sih jadi singa, tapi katanya aku lebih cocok jadi bebek. *laughs* Lingga : Hmm. Beruang kali ya, soalnya lucu. Aji : A dog....samoyed, probably. 35) Mau nggak kubikin crossgend? X3 Wara : Eh nggak usah, makasih. Aku masih cinta penisku. Lingga : Aku juga masih cinta penisku. Aji : *geleng* If I don't have my set of genitals anymore why do I even bother. 36) Benda yang paling di sayang? Wara : Kamera DSLR Canon seken yang kubeli harga 3jutaan. Udah butut sih, tapi belinya perjuangan banget. Biarpun udah punya kamera keren-keren sekarang tapi kamera itu tetep kusimpan dan kurawat. Lingga : Rumah sama mobil kijang kapsulku. *nyusut ingus terharu* Aji : This baby. This is my first and forever love. *usep stradivarius penuh cinta* 37) Harapan kedepannya untuk dirimu? Wara : Bisa terus hidup bahagia dan aman sama keluarga, bisa traveling ke seluruh dunia. Lingga : Banyak mahasiswa baru yang masuk, ikut serta dalam penemuan peninggalan prasejarah yang luar biasa *Lingga angkat tangan dan bilang AMIN keras-keras* Ng, terus...*senyum kecil* mudah-mudahan dia sehat selalu. Itu aja. Aji : Bisa manggung bareng lagi sama musisi-musisi hebat. 38) Cita-cita? Wara : Bahagia *senyum* Lingga : Jadi Indiana Jones Indonesia kali ya *laughs* Aji : Well, I'm living it. Mau manggung sama Bach tapi mustahil, kan? *laughs* 39) siapa yang kau suka ? (2) Wara : Suka nasi gorengg!! Lingga : Mbaknya? *laughs* Aji : Sudah belum sih? ich muss jetzt gehen.
0 notes
Text
NKRI PATIGENI
Oleh: Emha Ainun Nadjib (1) Manunggaling Kawula lan Gusti.Bermacam cara dan bentuk manusia meng-“innovasi” konsep puasa. Ada yang dengan tujuan “putih”: mengintensifikasi hubungan privatnya dengan Allah, mencari presisi cinta dan tauhidnya. Ada juga tujuan “hitam”: menguasai sesama manusia. Ada yang dengan membangun kekuatan, kadigdayan dan “dugdeng”. Ada yang dengan mendayagunakan kekuasaan politik dan birokrasi. Atau ada juga yang memperalat pengetahuan keAgamaan, “kuasa akademik” atas AlQur`an dan wacana-wacana langit lainnya, demi meneguhkan “kepemilikan” atas ummat, santri, rakyat atau anak buah.Yang “putih” memerdekakan manusia, dengan syarat “meniadakan diri” dalam proses tauhid kepada Allah. Karena di dalam hakiki dan rasio Tauhid: tiada yang sejati ada kecuali Allah. Seseorang rela berposisi tidak ada, menempuh “de-eksisten”, bersembunyi dari jasa dan citra, puasa dari pahala dan pamrih.Yang “hitam” mengikat manusia, menyandera ummat, memperdaya rakyat. Konsep “Manunggaling Kawula lan Gusti” direkrut untuk melegitimasi bahwa sebagai Penguasa ia adalah pengejawentahan dari kuasa Tuhan. Sementara jika yang “putih” diamanati pegang kendali managemen sosial, “Manunggaling Kawula lan Gusti” dimaknai “Kalau engkau memimpin, maka dalam jiwamu terdapat penyatuan dan kesatuan antara Tuhan dengan rakyat. Kalau engkau menyakiti rakyat, Tuhan juga tersakiti sehingga Ia murka. Kalau engkau khianati Tuhan, maka engkau terlepas dari tali cinta dan kepercayaan rakyat kepadamu”. (2). Patigeni. Salah satu bentuk pendayagunaan konsep puasa misalnya adalah “Patigeni”. Tolong bersabar jangan berprasangka atau marah dulu.Patigeni itu Anda memasuki kegelapan total. Bisa ruangan tertutup rapat. Atau kalau hanya satu malam, bisa di luar, utamanya di perempatan jalan di malam buta. Anda tidak makan minum, tidak melakukan kegiatan apapun, termasuk melaksanakan hajat kecil atau besar. Hanya duduk bersila. Berpejam mata. Mematikan segala unsur api dan cahaya. Silahkan semalaman, sehari semalam, tiga hari tiga malam.Atau 40 hari 40 malam, seperti yang dilakukan Ken Arok sebelum merebut Keris prematur Empu Gandring, kemudian memulai sejarah ekstrem sampai tujuh turunan. Atau Empu Supo Anom, sebelum melakukan penyamaran di tlatah Blambangan, untuk menempuh strategi merebut kembali Keris Kiai Sangkelat dari bilik pribadi Raja Menakjinggo untuk dikembalikan ke Majapahit.Patigeni adalah semacam pengembangan atau kreativisasi puasa di luar urusan Syariat Mahdloh dalam Rukun Islam. Keperluan atau tujuannya juga tidak sebagaimana perintah puasa Ramadlan yang hilirnya ditentukan Allah “la’allakum tattaqun” : yakni peningkatan kewaspadaan hidup terhadap apapun saja yang menghalangi perjalanan kita ke rumah inti Allah, yang kita semua ditawari untuk menjadi penghuninya.Patigeni adalah satu bentuk lelaku, tirakat, mesu-diri atau pendisiplinan diri secara ekstrem, yang dalam sejarahnya dilakukan oleh mereka yang tujuannya “putih” maupun “hitam”. Bagi yang “putih” , Patigeni adalah mematikan atau memadamkan api di dalam diri, menumpas dan mengubur nafsu. Bagi yang “hitam”, karena Patigeni adalah semacam “hard-reset” jiwa sukma nyawa, maka terbuka peluang untuk bikin partisi baru dan setup OS atau IOS baru pula dengan segala kemungkinan aplikasinya, termasuk bikin GWA dengan teman-teman Jin. (3). Ilmu Kebal. Patigeni merupakan bagian dari prosedur yang harus ditempuh ketika seseorang ingin memperoleh jenis kesaktian-diri yang ekstrem, misalnya Ilmu Kebal, Menghilang, Terbang, atau Tenung Santet pada level Batikmadrim-Anglingdarma. Tidak sekedar memasukkan keranjang ke dalam perut, memasukkan ratusan jarum ke dalam usus, merasukkan kekacauan psikologis dan emosional sehingga seisi rumah bertengkar, atau yang kemarin memakan korban seusai putaran pertama Pilkada Jakarta: sungsum dirusak, lever didesak naik, ruas-ruas tenggorokan terutama yang ke-11 di-disfungsi-kan. Sewaktu-waktu seseorang berubah menjadi harimau, api, air bah, pasukan lebah, kabut, naga, atau apapun yang diperlukan dalam suatu pertarungan. Marja’ atau rujukan (imaginatif) pelakunya bisa Guru Putih Jibril yang hadir kepada Rasulullah saw dengan berbagai wujud, besar atau kecil, kasar atau lembut, konvensional atau tak lazim, serta berbagai formula penyamaran yang lain. Sedangkan Guru Hitam (halusinatif) para penempuh yang sebaliknya adalah Fenomena “Talbis”: yakni Iblis yang berkostum Malaikat, menghampiri Bapak Adam dan Ibu Hawa, anjurannya ditaati oleh beliau berdua, karena menyangka yang bertamu adalah Baginda Jibril atau stafnya entah Malaikat siapa. Tapi ini bukan tulisan tentang Patigeni dan Santet. Patigeni ini nongol mungkin sekedar karena kegagalan saya yang bertubui-tubi untuk memahami segala komplikasi kehidupan yang berlangsung di Indonesia. Begitu dahsyatnya fenomenologi kehidupan makhluk yang bernama NKRI dan manusia Indonesia, sehingga semua ilmu pemetaan tidak pernah lengkap mempetakannya. Bermacam ilmu masa silam, masa kini maupun masa depan, tidak sanggup merumuskannya. Segala hamparan dan tumpukan pengetahuan, gagal memahaminya. Para pendekar “ngelmu” tradisional maupun para pakar ilmu-ilmu modern hanya mampu menyentuh bagian-bagiannya, tanpa pernah bisa merangkum keseluruhan dan kemenyeluruhannya. (4). Tidak Mempan.Manusia atau bangsa Indonesia ini seakan-akan sedang menjalankan lelaku untuk memperoleh Ilmu Kebal, dan dalam banyak hal sudah menguasainya. NKRI itu seperti penempuh Patigeni, di mana matahari tidak meneranginya, tetapi kegelapan juga tak mampu melenyapkannya. NKRI adalah seorang Pertapa Patigeni, yang sangat tangguh menjalani pola kehidupan tidak sebagaimana lazimnya kehidupan manusia. Ketersiksaan, penderitaan, kesengsaraan, kebingungan, kehampaan, kesepian dan ketidakmenentuan, tidak menghancurkan mereka. Separah apapun ketidak-tertataan Negara, sesemrawut apapun dismanagemen pembangunan, setimpang apapun perikehidupan ekonomi mereka serta secacat apapun kepemimpinan atas mereka: tidak mampu mengurangi senyum dan tawa mereka. Korupsi setak-tahu-diri apapun dan struktur tipudaya dengan kaliber sebesar apapun, tidak membuat mereka lumpuh kehidupannya. Seberapapun tak masuk akal perlakuan Penguasa atas mereka, tidak membuat jiwa mereka terpuruk sebagaimana semestinya makhluk hidup. Sesakit apapun yang mereka derita, tidak membuat ekspressi wajah dan perilaku mereka tampil sebagai orang sakit. Komplikasi penyakit-penyakit seruwet apapun, tidak membuat mereka merasa sakit, kemudian berpikir melakukan diagnosis, dan mencari obatnya. Kalau ada yang menyatakan bahwa mereka sakit, mereka malah marah. Kalau dikasih obat, mereka tersinggung. Kalau disuntik, mereka merasa disakiti. Disuntik dengan cairan ilmu, tidak mempan. Disuntik dengan kasih sayang dan kebijaksanaan, tidak mempan. Kalau dilakukan operasi serius, mereka menuduh para Dokter melakukan anarki, destruksi dan intoleransi. NKRI tidak hanya merasa, tapi bahkan meyakini, bahwa mereka sehat walafiat. Mereka sangat mantap dengan hidup yang dijalaninya. Pikirannya, hatinya, budayanya, politiknya, demokrasinya, pandangan terhadap Agamanya, mentalitasnya, semua baik-baik saja. Kalaupun mati, ternyata rangkap nyawanya. NKRI adalah Pertapa Patigeni yang telah berhasil memperoleh dan menguasai Ilmu Kebal yang sangat tangguh dibanding yang pernah dicapai oleh Peradaban Manusia di zaman apapun sepanjang sejarah sejak Adam diturunkan ke Bumi. ***Yogya 28 Mei 2017.
0 notes