#Seno Gumira Ajidarma
Explore tagged Tumblr posts
pulperkrunk · 1 year ago
Text
Di senja yang ironis ini, langit menyapa,
Menyoroti kota yang tak pernah berhenti.
Puing-puing harapan tersebar di jalanan,
Seperti cerita-cerita yang tak tuntas.
Gelapnya malam mengejutkan kita,
Seakan-akan misteri yang tak terpecahkan.
Seno Gumira Ajidarma tertawa di sini,
Dalam ironi yang tak pernah mati.
Pohon-pohon meratap, manusia berlarian,
Tetapi kebingungan tak pernah hilang.
Senja yang penuh makna tersembunyi,
Di bawah misteri yang kita temui.
Tetapi jangan lupa, di balik gelap,
Selalu ada bintang yang bersinar.
Seno Gumira Ajidarma mengajarkan,
Bahwa dalam keironian, kita belajar.
2 notes · View notes
issela-santina · 1 year ago
Text
„Bleed (I must be dreaming)“ by Evanescence actually hits harder after reading the story „Saksi mata“ (transl. Eyewitness) by Seno Ajidarma which is pretty much the same subject but in a horrific context (i.e. massacres by Indonesian military and paramilitary/ninjas in Timor-Leste, 1990s)
Amy desperately singing “no, I must be dreaming” after her song's persona seeing bloodshed and watching the perpetrator justify it with “we all die” 🤝 the gouged-out eyewitness insisting, nonchalantly, before the court that the massacre/genocide around him that he was wiing to testify to “for truth and justice” was all just a dream when the ninjas who directly did the killings got to him
I can never say Amy knew because literature from censoriously marginalized countries, translated to English even, wasn't as easy to find at the time but it does show you a bit of the micro vs macro scale of what violence is like and the universality of our reactions to it being craving for any semblance of distance from it
1 note · View note
apanyablogs · 7 months ago
Text
Cerita Kepada Nona¹
Tahu tidak Nona? Kemarin malam Bulan menemuiku dengan wajah benderangnya yang anggun. Ia mengetuk jendela, menyelinap masuk ke ruang tamuku, duduk di sofa dan bercerita banyak hal. Ia bercerita tentang begitu banyak syukur yang terpanjatkan padanya berapa hari terakhir. Ada yang mengucap syukur karena masih disempatkan memotret senyuman dari orang-orang terkasih mereka dengan kedua matanya. Ada juga yang bersyukur karena di usia mereka yang hampir senja masih diberi kesehatan dan kewarasan, untuk meramu tawa dan bahagia orang-orang terkasih mereka. Bahkan beberapa dari mereka menangis haru sebab masih diberi waktu untuk merenungi kegagalan-kegagalan mereka yang telah lalu. Saya mungkin satu di antara manusia-manusia yang bulan maksud dalam ceritanya. Karena yah, seperti yang kau tahu Nona. Di usia yang hampir seperempat abad ini, ada begitu banyak hal yang mesti saya renungi kembali. Maka, kontemplasi menjadi rutinitas yang datang tanpa diundang akhir-akhir ini. Ia begitu nyaman berlabuh di kepala saya. Mengajak saya berlayar ke alam pikiran yang tak terbatas, yang selalu ada cakrawala di depan pelayaran-pelayaran kami¹.
Kau tahu Nona? Dalam banyak hal saya merasa gagal, dan dalam beberapa hal, saya pikir usaha saya semestinya bisa lebih maksimal. Dari semua hal itu, salah satu penyebabnya ternyata adalah ketidakkonsistenan saya ketika menjalani suatu proses. Selama ini saya selalu merasa bisa melakukan apapun selagi saya ingin melakukannya. Memang tidak salah sebetulnya Nona. Hanya saja, yang lebih penting dari melakukan suatu hal—yang baik tentunya— adalah tentang seberapa mampu kita tetap melakukannya dalam kurun waktu yang panjang². Karena, keniscayaan dari hidup adalah perubahan, dan orang-orang hebat adalah mereka yang bisa tetap merawat kebaikan-kebaikan kecil setiap harinya. Sudah dulu ya Nona, terima kasih berkenan mendengar.
Catatan Kaki:
¹Cerpen "Tukang Pos dalam Amplop" karya Seno Gumira Ajidarma
²Atomic Habits Karya James clear
3 notes · View notes
arsipkata · 8 months ago
Text
'Puisi' dan 'Berbudaya' –oleh Seno Gumira
Setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur, karena kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya sendiri. Puisi memang tidak bisa menunda kematian manusia yang sampai kepada akhir hidupnya, tapi puisi jelas menunda kematian jiwa dalam diri manusia yang masih hidup.
Kalau Anda setiap hari berangkat ke tempat kerja pukul 6.00 pagi dan pulang pukul 17.00 dan di rumah menunggu kantuk di depan TV, dan Anda menjalaninya begitu rupa sehingga kehilangan rasa bosan maupun rasa gembira selama 20 tahun, Anda telah mengalami kematian budaya.
Kalau Anda merasa bahwa selingan yang menggembirakan dalam hidup hanyalah menonton di bioskop Kelompok 21, jalan-jalan di mall, nongkrong di kafe, pergi ke Puncak atau Anyer, dan tempat-tempat “resmi” rekreasi lain, selama hidup Anda yang cuma satu kali ini, Anda telah mengalami kematian budaya.
Kalau Anda merasa bahwa kehidupan yang beradab itu hanyalah makan di restoran terpilih, mendengarkan musik klasik, nonton “seni beneran” dalam Art Summit, membaca buku-buku berat, mengambil kuliah S-3, dan berdiskusi tentang politik dan agama, tapi memandang sebelah mata kesenian pengamen jalanan yang bernyanyi untuk perut dan hidupnya, Anda telah mengalami kematian budaya.
Kalau Anda merasa harus menggauli puisi demi mutu hidup Anda, dan Anda merasa bahwa puisi hanya ditemukan ketika menulis atau membaca sajak-sajak, itu pun yang “bernilai sastra” [betapa kasihan kalimat ini sekarang], apa boleh buat, Anda juga telah mengalami kematian budaya.
Seperti kebahagiaan yang bisa datang ketika tidak diharapkan, demikianlah puisi bertebaran di mana-mana bagi mata hati yang memang terbuka untuk menangkapnya: seperti buku puisi ini telah membuktikannya kepada saya, ketika kloset -seperti sering kita lupakan, meski mengalaminya-dijelmakannya sebagai ruang kehidupan budaya.
Adapun kehidupan budaya maksudnya: perbincangan antara hati dan kepala ketika merenungkan dunia -dalam perbincangan itu berlangsung tarik menarik, antara menyerah, melawan, atau menawar kepada proses kematian budaya.
Selamat membaca. Artinya: selamat menafsir, dan menciptakannya kembali dalam diri Anda. Dengan begitulah puisi akan menyelamatkan jiwa dari kematian budaya.
Pondok Aren, Senin 5 Mei 2003
Oleh: Seno Gumira Ajidarma Pengantar dari buku “Renungan Kloset” karya Rieke Diah Pitaloka, penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2003.
2 notes · View notes
Text
“Sepotong Senja Untuk Pacarku” karya Seno Gumira Ajidarma
Cerita pendek “Sepotong Senja Untuk Pacarku” karya Seno Gumira Ajidarma mengisahkan tentang seorang lelaki yang berjuang untuk mendapatkan sepotong senja untuk kekasihnya, Alina. Cerita ini menggambarkan betapa besar cinta lelaki tersebut pada Alina dan betapa ia rela melakukan apa saja demi membahagiakan kekasihnya.
Cerita ini memiliki alur maju dan terdiri dari tiga bagian: pengenalan tokoh, konflik, dan penyelesaian. Pengenalan tokoh dimulai dengan penggambaran hubungan antara tokoh utama dan Alina sebagai sepasang kekasih. Konflik muncul ketika tokoh utama berusaha mendapatkan sepotong senja untuk Alina dan harus menghindari kejaran polisi. Penyelesaian terjadi ketika tokoh utama berhasil menemukan cara untuk mengganti senja asli dengan senja yang ia bawa dari gorong-gorong.
Tema yang diangkat dalam cerita ini adalah cinta. Cerita ini menggambarkan betapa kuatnya cinta lelaki tersebut pada Alina dan betapa ia rela melakukan apa saja demi membahagiakan kekasihnya. Selain itu, cerita ini juga menunjukkan bahwa cinta tidak selalu mudah dan kadang-kadang memerlukan pengorbanan.
Latar tempat dalam cerita ini meliputi pantai, jalan raya, gorong-gorong, dan kota. Latar waktu terdiri dari sore hari dan malam hari. Latar sosial dalam cerita ini menunjukkan kehidupan memprihatinkan orang pinggiran khususnya para gelandangan dan anak-anak terlantar yang hidup di bawah gorong-gorong.
Seno Gumira Ajidarma menggunakan bahasa yang indah dan puitis dalam cerita ini. Ia juga menggunakan gaya bahasa kiasan untuk memperkuat pesan ceritanya. Cerita pendek “Sepotong Senja Untuk Pacarku” karya Seno Gumira Ajidarma adalah sebuah karya sastra yang indah dan menyentuh hati.
2 notes · View notes
geekiary · 2 years ago
Text
Tumblr media
Tags: Humor. Angst. Misunderstanding. Getting together. Getting back together.
Yes. This movie deserves to be tagged as both humor and angst at the same time.
As a non-English, I'm not overly familiar with Shakespeare's works. Just the very popular one internationally like Romeo & Juliet. Because at school they didn't teach us Shakespeare. We are being taught our own culture like Pramoedya Ananta Toer or Seno Gumira Ajidarma or Chairil Anwar so I'm more familiar with my own country's writers. And when being introduced to Romeo & Juliet, the trope has been overly used in my opinion and I happen to not fancy that trope too much so I didn't have any effort to get to know Shakespeare's works better.
Aside from Romeo & Juliet, I also have heard of Tempest -- in which I know it's being freely adapted into anime Zetsuen to Tempest -- and then also Hamlet and Othello. I have also taken a peek of Midsummer's Night Dream play by Rose Theater from 8 years ago on YouTube. So, basically I just know a tiny surface of Shakespeare's works.
But then a few days ago, a post about this 1993 version of Much Ado About Nothing appeared in my dash, and I'm intrigued, and decided to watch it.
And holy moly, it's so fun! I'm not sure the other of Shakespeare's works can be this fun though. I just also realized that I have watched David Tennant as Benedick in the 2011 stage adaptation of this work.
In this 1993 version by Kenneth Branagh, the humor is so well executed. The English is kinda hard to understand, because again English is my third language, but I enjoyed the whole thing.
Denzel Washington, Kenneth Branagh, Keanu Reeves, Emma Thompson, Kate Beckinsale and Robert Sean Leonard are all soooo young. Michael Keaton is comedically epic 🤣
I really love all the canon ships in here but my favorite is definitely Benedick x Beatrice. The pioneer of enemies to lovers?
And the costumes! God, why did they stop adapting Shakespeare this way?
3 notes · View notes
blognurhayati2 · 1 year ago
Text
Understand the journey of riots 98 through prominent literature
In Indonesian history, the 98 riot has left a deep wound in the hearts of many people. The riots that occurred in 1998 became a significant turning point in the country’s political, social and economic journey. Many leading Indonesian writers have tried to describe the wound journey through their works. In this article, we will discuss some of the prominent literature that understand the riot wound journey 98 in depth.    1. “Larasati” by Pramoedya Ananta Toer  “Larasati” is a novel by the famous Indonesian writer, Pramoedya Ananta Toer. This novel tells the story of a woman named Larasati who was trapped in the riots 98. Through her writing, Pramoedya succeeded in describing the chaos and trauma experienced by Larasati and the surrounding community. This novel gives a different point of view of the riot wound journey 98, describing the loss, fear, and destruction experienced by individuals and society.    2. “House Without Window” by Asma Nadia  Asma Nadia, an Indonesian female writer, has also lifted the 98 riot wound in one of her famous works, “Window Without House”. This novel tells the story of a daughter named Yasmin who was a victim of the 98 riots and lost her parents. Through this story, Asma Nadia described the feeling of loss, sadness, and difficulties faced by Yasmin in facing the journey of wounds that occurred in him and the surrounding community.    3. “Langit of the evening” by Seno Gumira Ajidarma  Seno Gumira Ajidarma, an Indonesian writer and intellectual, also did not miss in describing the journey of the 98 riots through his famous work, “Sky of the evening”. This book is a collection of short stories that show the riot wound journey 98 from various points of view. Through his short stories, Seno Gumira Ajidarma succeeded in describing the chaos, injustice, and suffering experienced by individuals involved in the event.    4. “Love in the glass” by Andrea Hirata  Andrea Hirata, a famous writer who is known through his work “Laskar Pelangi”, has also understood the journey of the 98 riots through his other novels, “Love in a glass”. This novel tells the story of a young man named Rianti who is trying to find his identity after being involved in the riots 98. Through Rianti’s journey, Andrea Hirata tells the changes experienced by individuals in the face of riots 98, as well as the importance of finding and understanding themselves in the healing process.    In conclusion, through prominent literature, we can understand the journey of riots 98 in more depth. Writers such as Pramoedya Ananta Toer, Asma Nadia, Seno Gumira Ajidarma, and Andrea Hirata have succeeded in describing feelings of loss, fear, and suffering experienced by individuals and communities in dealing with these events. Literature provides space for us to reflect, understand, and cure the journey of the 98 riots that are still felt today.
Check more:
0 notes
sasmito-dwi · 1 year ago
Text
Explore the meaning of riots 98 in the famous literary work
The riot wound 98 is still a deep wound for the Indonesian people. The event that occurred in 1998 has left a deep scars in the history and collectivity of Indonesian people. Many famous literary works are able to describe the wounds and trauma produced by this event. In this article, we will explore the meaning of the 98 riots in the famous literary work. 1. "first wound" by Ayu Utami "The first wound" is one of the famous literary works that is able to describe the riot wound 98 in depth. This novel tells the story of a woman named Cok, who suffered injuries and trauma due to the incident. In this novel, Ayu Utami illustrates how the riots wounds have damaged the relationship between the government and the people. This novel not only depicts physical wounds, but also emotional and spiritual injuries experienced by the victims. 2. "Letter in Bottle" by Leila S. Chudori "Bottle Letter" is a collection of short stories written by Leila S. Chudori. One of the prominent stories in this book is "My name is Sita". This story tells the story of a woman who lost her brother due to riots 98. Through this story, Chudori described a deep wound in confiscation and how she tried to overcome the loss. This story also highlighted the conflict of identity and struggle to seek justice for victims of riots 98. 3. "A piece of dusk for my girlfriend" by Seno Gumira Ajidarma "A piece of dusk for my girlfriend" is a collection of short stories written by Seno Gumira Ajidarma. One story that is relevant to the theme of the 98 riots is "Dusk that never ends". This story tells the story of a writer who visited Jakarta in 1998 and accidentally was involved in the 98 riots. Through this story, Ajidarma described the wounds and trauma experienced by the victims. This story also illustrates how this event changed the life and world view of the characters. 4. "The sea tells" by Leila S. Chudori "Sea tells a story" is a novel written by Leila S. Chudori. This novel tells the story of four young people who lived during the revolution and riots 98. Through this novel, Chudori described how the event affected the lives of the characters. Wounds and trauma due to the incident became a common thread in this story. This novel also illustrates the struggle of the characters to seek justice and truth in the midst of social and political turmoil. In his conclusion, the famous literary works such as "first wound" by Ayu Utami, "Letter in Bottle" by Leila S. Chudori, "A Piece of Dusk for My Boyfriend" by Seno Gumira Ajidarma, and "Sea Tells" also by Leila S. Chudori is able to describe the meaning of riots 98 in depth. Through these works, the authors succeeded in describing the physical, emotional, and spiritual injuries experienced by the victims. They also highlighted the conflict of identity, the struggle to seek justice, and social and political changes that occur as a result of this event. Thus, this literary work is a silent witness that reminds us of the wounds that have not healed and still continue to haunt the people of Indonesia.
Check more: Explore the meaning of the riots 98 in the famous literary work
0 notes
zamilahblog · 1 year ago
Text
Revealing the emotional wounds of riots 98 in interesting literary works
Introduction:  The riot 98 was one of the historical events that shook Indonesia in 1998. This event not only left physical injuries, but also a deep emotional wound for many people. In this article, we will reveal the emotional wounds of the riots 98 through interesting literary works. These literary works not only reflect the personal experiences of the writers, but also provide different perspectives on the event.    I. “hidden wounds” by Sapardi Djoko Damono  — Introduction to the work of Sapardi Djoko Damono and his contribution in Indonesian literature.  — Analysis of how emotional wounds riots 98 are reflected in Sapardi’s poems.  — Examples of poetry quotes that describe deep emotional wounds.    II. “Love in Longing” by Ayu Utami  — Introduction to Ayu Utami as the author and her contribution in contemporary literature.  — Analysis of how Ayu Utami described the emotional wound of the riots 98 through her novels.  — Examples of novel quotes that express feelings of loss and longing for the past.    III. “My name is Hiroshima” by Seno Gumira Ajidarma  — Introduction to Seno Gumira Ajidarma and the impact of his work in Indonesian literature.  — Analysis of how Seno Gumira Ajidarma revealed the emotional wound of riots 98 through a short story “My name is Hiroshima”.  — Examples of short story quotations that describe suffering and destruction due to riots 98.    IV. “Letter from Prague” by Dee Lestari  — Introduction to Dee Lestari as the best-seller writer and its contribution in modern literature.  — Analysis of how Dee Lestari describes the emotional wound of the riots 98 in his novel “Letter from Prague”.  — Examples of novel quotes that describe feelings of trauma and loss due to riots.    Conclusion:  Riots 98 is a historical event that cannot be ignored in Indonesian history. Through interesting literary works, the authors have succeeded in revealing deep emotional wounds due to the event. Sapardi Djoko Damono’s poems, Ayu Utami novels, Seno Gumira Ajidarma’s short stories, and Dee Lestari’s novels describe feelings of loss, trauma, and longing that continue to haunt the Indonesian people. By seeing this emotional wound, we can understand and care for the buried feelings, and ensure that similar tragedies do not happen in the future. Literature provides space for people to share experiences and express emotions that are difficult to express directly, and through these works, we can continue to remember and learn from the past.
Check more: reveal the emotional wound of riots 98 in interesting literary works
0 notes
belamelsworld · 1 year ago
Text
Arouse social awareness through literary works about the wounds of riots 98
In 1998, Indonesia experienced a historic event that would always be remembered as a riot 98. This riot occurred as a result of the political and social tensions that hit the motherland. Many casualties and injuries must be borne by the community. Although it has long passed, the wounds are still attached to the memory and heart of every individual involved in it. Therefore, it is important for us to arouse social awareness through literary works that raise the theme of riots 98.    Literary works have extraordinary power in creating empathy and affecting the feelings and thoughts of the reader. Through literary works, we can describe and tell deeply about the wounds produced by the riots 98. This will make the reader feel how painful the experience is and triggers their concern for victims who are still suffering from their impact today.    One of the literary works that raised the theme of the 98 riot wound was the novel “Luka on the edge of the Century” by Seno Gumira Ajidarma. This novel illustrates with details of suffering and difficulties experienced by the community at that time. In this novel, Seno Gumira Ajidarma presents diverse figures, both directly victims and those involved indirectly in the riots. Through the point of view of these figures, readers are invited to reflect on the social impacts produced by political and ethnic tensions at that time.    In addition, other literary works that raised the theme of the riot wound 98 are poems by Taufiq Ismail. These poems give a picture of invisible injuries but felt in the hearts of every individual involved in the event. With beautiful and meaningful language, Taufiq Ismail managed to arouse the social awareness of his readers about the importance of respecting and caring for every victim born from the riot.    Through various literary works that raise the theme of the riot wound 98, we can give a warning to the community about the importance of maintaining national unity and integrity. In these works, we can see how valuable human life is and how bad the impact is produced by conflict and violence. That way, it is hoped that the community can be more sensitive to the signs of social tension and prevent riots or similar conflicts in the future.    Not only as a means to arouse social awareness, literary works about the riots wounds 98 are also a form of service for writers and artists. In presenting stories and poetry that depicted these injuries, they voted the victims and paid respect to those who had struggled and suffered in the incident. These works also become a place to express the writer’s feelings and thoughts about the incident, so that it can trigger reflection and discussion among the people.    In conclusion, literary works about the wounds of riots 98 have an important role in inspiring the social awareness of society. Through novels, poetry, and other literary works, we can feel and understand the wounds produced by the event. These works also remind us of the importance of maintaining the unity and integrity of the nation and respecting every affected individual. Therefore, let us continue to appreciate and support the income of literary works that raise the theme of the riots wounds 98 so that our social awareness is increasing.
Check more: inspire social awareness through literary works about riots 98
0 notes
inirizkynurrdwn · 1 year ago
Text
Jilid 2
Hari ke hari, minggu ke minggu, bahkan bulan pun berganti. Dia tetap menjadi aktor utama dalam pemeran mengambil perasaan saya. Ingin ganti dengan tema lain atau judul yang lebih aman untuk hati, "saya cinta pekerjaan" , " Saya cinta teman teman". Jauh tidak menarik dibandingkan "saya cinta Dennia".
Dennia adalah aktor dari segala peran yang mulai menghiasi cerita sehari hari saya.
Senyumnya menjadi protagonis dan pandangannya sangat antagonis. Saya menyukai semua alur yang dimainkannya ketika bertemu.
Seolah olah yakin bahwa ini akan menjadi cerita yang hebat dan menjadi epilog yang indah, bahkan lebih hebat dari cerita cerita cinta yang ada.
Aku mencinta, namun cinta mencintai cinta lainnya. Seperti sukab dan Alina dalam buku "sepotong senja untuk pacarku" Karangan Seno Gumira Ajidarma. Cintanya Sangat mengacaukan, membuat bencana bahkan dianggap salah oleh alam.
Tapi hati ini tidak bisa dilarang, tidak bisa ditegur, bahkan tidak bisa di debat oleh siapapun, bahkan oleh pacarnya yang entah saya belum tau kebenarannya langsung. Banyak orang yang mengingatkan saya. Bahwa saya akan "terluka dan hancur", saya tidak takut, saya lebih takut kalau saya diam memendam perasaan saya dibandingkan mengambil resiko itu. Tak apa, mungkin sekali lagi saja untuk terakhir kalinya saya merasakan jatuh kembali, hancur kembali bahkan mati karena CINTA Terhadap seseorang yang benar benar telah mencintai CINTA lainnya.
0 notes
nabilash · 1 year ago
Text
Memahami Perjalanan Luka Kerusuhan 98 melalui Sastra Terkemuka
Dalam sejarah Indonesia, peristiwa Kerusuhan 98 telah meninggalkan luka yang mendalam di hati banyak orang. Kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 ini menjadi titik balik signifikan dalam perjalanan politik, sosial, dan ekonomi negara ini. Banyak sastrawan terkemuka Indonesia telah mencoba menggambarkan perjalanan luka tersebut melalui karya-karya mereka. Dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa sastra terkemuka yang memahami perjalanan luka Kerusuhan 98 dengan mendalam. 1. "Larasati" karya Pramoedya Ananta Toer "Larasati" adalah sebuah novel karya sastrawan terkenal Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Novel ini menceritakan kisah seorang perempuan bernama Larasati yang terjebak dalam peristiwa Kerusuhan 98. Melalui penulisannya, Pramoedya berhasil menggambarkan kekacauan dan trauma yang dialami oleh Larasati dan masyarakat sekitarnya. Novel ini memberikan sudut pandang yang berbeda tentang perjalanan luka Kerusuhan 98, menggambarkan kehilangan, ketakutan, dan kehancuran yang dialami oleh individu dan masyarakat. 2. "Rumah Tanpa Jendela" karya Asma Nadia Asma Nadia, seorang penulis perempuan Indonesia, juga telah mengangkat perjalanan luka Kerusuhan 98 dalam salah satu karyanya yang terkenal, "Rumah Tanpa Jendela". Novel ini menceritakan kisah seorang anak perempuan bernama Yasmin yang menjadi korban Kerusuhan 98 dan kehilangan kedua orang tuanya. Melalui cerita ini, Asma Nadia menggambarkan perasaan kehilangan, kesedihan, dan kesulitan yang dihadapi oleh Yasmin dalam menghadapi perjalanan luka yang terjadi pada dirinya dan masyarakat sekitarnya. 3. "Langit Petang" karya Seno Gumira Ajidarma Seno Gumira Ajidarma, seorang penulis dan intelektual Indonesia, juga tidak ketinggalan dalam menggambarkan perjalanan luka Kerusuhan 98 melalui karyanya yang terkenal, "Langit Petang". Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek yang memperlihatkan perjalanan luka Kerusuhan 98 dari berbagai sudut pandang. Melalui cerita-cerita pendeknya, Seno Gumira Ajidarma berhasil menggambarkan kekacauan, ketidakadilan, dan penderitaan yang dialami oleh individu-individu yang terlibat dalam peristiwa tersebut. 4. "Cinta di Dalam Gelas" karya Andrea Hirata Andrea Hirata, penulis terkenal yang dikenal melalui karyanya "Laskar Pelangi", juga telah Memahami perjalanan luka Kerusuhan 98 melalui novelnya yang lain, "Cinta di Dalam Gelas". Novel ini mengisahkan kisah seorang anak muda bernama Rianti yang berusaha mencari jati dirinya setelah terlibat dalam peristiwa Kerusuhan 98. Melalui perjalanan Rianti, Andrea Hirata menceritakan perubahan yang dialami oleh individu dalam menghadapi luka Kerusuhan 98, serta pentingnya mencari dan memahami diri sendiri dalam proses penyembuhan. Dalam kesimpulannya, melalui sastra terkemuka, kita dapat Memahami perjalanan luka Kerusuhan 98 dengan lebih mendalam. Penulis seperti Pramoedya Ananta Toer, Asma Nadia, Seno Gumira Ajidarma, dan Andrea Hirata telah berhasil menggambarkan perasaan kehilangan, ketakutan, dan penderitaan yang dialami oleh individu dan masyarakat dalam menghadapi peristiwa tersebut. Sastra memberikan ruang bagi kita untuk merenung, memahami, dan menyembuhkan perjalanan luka Kerusuhan 98 yang masih terasa hingga saat ini.
Cek Selengkapnya: Memahami Perjalanan Luka Kerusuhan 98 melalui Sastra Terkemuka
0 notes
fauzifaufau · 1 year ago
Text
Mendalami Kekerasan di Balik Luka Kerusuhan 98 Melalui Sastra yang Berkelas
Pengantar Peristiwa Kerusuhan 98 yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 menandai periode gelap dalam sejarah bangsa ini. Kerusuhan tersebut tidak hanya menciptakan luka-luka fisik yang mendalam, tetapi juga luka-luka emosional yang masih terasa hingga saat ini. Kekerasan yang terjadi dalam kerusuhan tersebut telah meninggalkan bekas yang sulit dihapuskan. Namun, melalui sastra yang berkelas, kita dapat mendalami dan menganalisis lebih dalam mengenai kekerasan yang terjadi di balik luka kerusuhan 98 ini. Mengapa Sastra? Sastra memiliki kekuatan untuk mengungkapkan dan merespon kondisi sosial dan politik yang kompleks. Dengan menggunakan bahasa yang indah dan kreatif, sastra membawa kita kepada pemahaman yang lebih dalam mengenai berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam konteks ini, sastra dapat memainkan peran penting dalam memahami dan Mendalami kekerasan yang terjadi selama Kerusuhan 98. Mendalami kekerasan Melalui Pengalaman Pribadi dalam Sastra Banyak penulis Indonesia telah menggunakan pengalaman pribadi mereka selama Kerusuhan 98 sebagai bahan inspirasi dalam karya sastra mereka. Melalui cerita-cerita yang mereka tulis, kita dapat memahami betapa mengerikannya kekerasan yang terjadi selama itu. Salah satu contoh karya sastra yang menonjol adalah "Luka Yang Berdarah" karya Seno Gumira Ajidarma. Dalam karya tersebut, Seno menggambarkan pengalaman pribadinya selama kerusuhan tersebut dan mengungkapkan rasa sakit yang mendalam yang dirasakannya. Dengan membaca karya seperti ini, kita dapat merasakan kekerasan yang mengerikan dan menghayati luka yang dialami oleh korban. Mendalami Kekerasan Melalui Analisis Sastra Selain melalui pengalaman pribadi, kekerasan yang terjadi selama Kerusuhan 98 juga dapat didalami melalui analisis sastra yang mendalam. Sastra memiliki kemampuan untuk mencerahkan kita tentang konteks sosial dan politik di balik kekerasan tersebut. Melalui proses analisis dan interpretasi karya sastra yang berkelas, kita dapat memahami lebih jauh mengenai akar penyebab kekerasan, peran politik dan sosial, serta dampaknya terhadap masyarakat. Dalam karya sastra seperti "Rumah di Seribu Ombak" karya Pramoedya Ananta Toer, kita dapat melihat bagaimana kekerasan Kerusuhan 98 dihubungkan dengan ketidakadilan sosial yang lebih luas yang telah membentuk latar belakang peristiwa tersebut. Mendalami Kekerasan Melalui Perspektif Berbeda dalam Sastra Salah satu kekuatan sastra adalah kemampuannya untuk melihat kekerasan dari perspektif yang berbeda. Melalui sastra, kita dapat mendengarkan suara-suara yang sering kali terpinggirkan atau tidak terdengar dalam narasi yang dominan. Dalam karya seperti "Cinta di Dalam Gelas" karya Andrea Hirata, kita dapat melihat kekerasan yang terjadi selama Kerusuhan 98 dari perspektif seorang anak muda yang hidup di tengah-tengah kekacauan tersebut. Dalam cerita ini, kita dapat merasakan betapa menghancurkannya kekerasan tersebut bagi generasi muda yang harus menghadapi masa depan yang tidak pasti. Kesimpulan Melalui sastra yang berkelas, kita dapat mendalami dan menganalisis lebih dalam mengenai kekerasan yang terjadi selama Kerusuhan 98. Sastra memberikan kita pemahaman yang lebih dalam mengenai pengalaman pribadi korban, konteks sosial dan politik di balik kekerasan, dan perspektif yang berbeda yang sering kali terpinggirkan. Dalam hal ini, sastra menjadi alat yang kuat untuk menyampaikan pesan-pesan yang penting dan mengingatkan kita akan luka yang tidak terhapuskan. Semoga melalui pemahaman yang lebih dalam ini, kita dapat belajar dari masa lalu dan mencegah terulangnya kekerasan serupa di masa depan.
Cek Selengkapnya: Mendalami Kekerasan di Balik Luka Kerusuhan 98 Melalui Sastra yang Berkelas
0 notes
emilkristanti35 · 1 year ago
Text
Sastra sebagai Cerminan Pahitnya Luka Kerusuhan 98 menurut Denny JA
Sastra sebagai Cerminan Pahitnya Luka Kerusuhan 98 menurut Denny JA
Pengenalan: Kerusuhan 1998 adalah salah satu periode paling gelap dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini diwarnai oleh kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, dan kehancuran yang meluas di seluruh negeri. Sastra, sebagai bentuk seni yang menggambarkan kehidupan dan pengalaman manusia, dapat menjadi cermin yang memperlihatkan betapa pahitnya luka yang diakibatkan oleh kerusuhan tersebut.
Dalam pandangan Denny JA, seorang sastrawan terkenal Indonesia, sastra memiliki peran penting dalam mengungkapkan dan memahami dampak traumatis kerusuhan 98. Artikel ini akan mengeksplorasi pandangan Denny JA tentang bagaimana sastra dapat berfungsi sebagai cerminan pahitnya luka kerusuhan 98.
I. Pengaruh Kerusuhan 98 dalam Karya Sastra: Pertama-tama, Denny ja berpendapat bahwa kerusuhan 98 telah memberikan dampak yang mendalam dalam karya sastra. Banyak penulis Indonesia, seperti Pramoedya Ananta Toer, Ayu Utami, dan Seno Gumira Ajidarma, telah menulis tentang pengalaman pribadi dan kolektif mereka selama periode tersebut. Dalam karya-karya mereka, penulis tersebut mengungkapkan perasaan trauma, ketidakadilan, dan kehilangan yang dirasakan o leh banyak orang pada saat itu. Sastra menjadi wadah di mana luka-luka kerusuhan 98 dapat diekspresikan dan dibagikan kepada masyarakat secara luas.
II. Sastra sebagai Sarana Penyembuhan dan Rekonsiliasi: Selain sebagai cermin pahitnya luka, Denny ja juga percaya bahwa sastra memiliki peran penyembuhan dan rekonsiliasi dalam konteks kerusuhan 98. Menurutnya, melalui sastra, orang dapat mengeksplorasi dan memahami perasaan mereka yang terluka dan merawat trauma yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut. Karya sastra juga dapat membangun jembatan antara berbagai kelompok masyarakat yang terlibat dalam kerusuhan, dengan menggambarkan pengalaman yang sama-sama mengerikan dan mendorong dialog dan pemahaman saling antara mereka.
III. Sastra sebagai Sarana Pendidikan dan Pengingat: Dalam pandangan Denny JA, sastra juga berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pengingat akan kerusuhan 98. Karya sastra yang menggambarkan peristiwa tersebut dapat menjadi sumber pengetahuan bagi generasi muda tentang sejarah dan dampaknya. Melalui sastra, mereka dapat belajar tentang pengalaman yang dialami oleh generasi sebelumnya dan menghindari pengulangan kesalahan di masa depan. Selain itu, karya sastra juga dapat mengingatkan kita tentang pentingnya perdamaian, toleransi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Kesimpulan: Dalam kesimpulan, pandangan Denny JA tentang sastra sebagai cerminan pahitnya luka kerusuhan 98 memberikan wawasan yang berharga tentang peran sastra dalam mengungkapkan, menyembuhkan, dan mengingat peristiwa traumatis tersebut. Sastra sebagai bentuk seni memiliki kekuatan untuk mencerminkan pengalaman manusia secara mendalam dan dapat menjadi alat untuk menghadapi dan memahami luka-luka masa lalu. Dengan menghargai karya sastra yang terinspirasi oleh kerusuhan 98, kita dapat mempelajari pelajaran berharga tentang pentingnya perdamaian, rekonsiliasi, dan membangun masa depan yang lebih baik bagi negara kita.
Cek Selengkapnya: Sastra sebagai Cerminan Pahitnya Luka Kerusuhan 98 menurut Denny JA
0 notes
midnight-coast · 2 years ago
Text
As Ballad, Wavering Heart.
For you, who settled to take the way and land here. I salute you, avidly, before we delight in with each other, and let’s toast for the times to come.
Tumblr media
To get rid of your questions, I’m Zinedine Renoir. You can address me with Zi, Zine, Reno or I don’t mind with any sort of nickname by your choice if you have one as long as it’s not offensive. I’m going with masculine pronouns and, worry not, has reached the legal age. Virgo, an INFP–T to be precise.
A few little things that might give you an idea of who I am: I’m one of the F1 enthusiasts and MotoGP as well. Have an interest in classics, history, astronomy, paintings and places over the world, a huge Ghibli fan, if I may add. I read and I do write.
Further side of this lane.
I lay my eyes on many kinds of books, some of my all-time favorites are:
The Monstrumologist (Rick Yancey), A Tale of Two Cities (Charles Dickens), Dracula (Bram Stoker), Burning Heat (Akiyoshi Rikako), Sepotong Senja untuk Pacarku (Seno Gumira Ajidarma), Kambing & Hujan (Mahfud Ikhwan), Kura-Kura Berjanggut (Azhari Aiyub), Burung-Burung Manyar (Y. B. Mangunwijaya), Sang Raja (Iksaka Banu), Perjalanan Mustahil Samiam Dari Lisboa (Zaky Yamani), Semua Untuk Hindia (Iksaka Banu), Night on the Galactic Railroad (Kenji Miyazawa), Death Comes for Archbishop (Willa Cather), Animal Farm (George Orwell).
Close-up of musicians or singers:
Avenged Sevenfold, grentperez, Powerwolf, AURORA, MLTR, Before You Exit, Why Don’t We, Imagine Dragons, 5SOS, OneRepublic, Far Caspian, Cat Stevens, Sufjan Stevens, New West, Beach Weather, Mitski, Charlie Burg, Birdy, Laufey, and more.
I’m not that broad jump into movies, but here’s my best-liked:
Pan’s Labyrinth, Dead Poets Society, Aftersun, The Scent of Green Papaya, Roman Holiday, To Kill A Mockingbird, Une Vie à T’attendre, Top Gun, All Quiet on the Western Front, 1917, Dunkirk, Saving Private Ryan, Interstellar, Good Will Hunting, Better Days, The Little Prince, The Truman Show.
BEFORE YOU FOLLOW. I’m not against you calling me by the old alias, but I’d appreciate it more if you called me the current one. My account is my safe place and I’m labelling this as cyber account slash unlabeled. Mostly talk about my interests or random thingy here, in Bahasa or English. I want to be closer to my mutuals so I hope you don’t mind if I start replying to your tweets by sudden with no intention whatsoever but to make friends.
Minors please be wise since there will be a lot of harsh words and talk about kind of NSFW things. If by any chance you find we are not going well, feel free to BUB.
DO NOT FOLLOW IF you are rude and hateful, hate my faves, don’t wanna interact with me, disrespectful, homophobic, any religion-phobic, involved with war or drama.
All at once, there is always a seat for every one of. Feel free to reach me out anytime whether to exchange interests or setting aside day-to-day chatter. I really look forward to catch new things from you guys.
Tumblr media
Z.
0 notes
janlikapop · 2 years ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Hidup sayangnya tak pernah seindah matahari sore di cerpen dan novel Seno Gumira Ajidarma, ia kerap kali koyak, rombeng dan tidak punya nilai
1 note · View note