#Islamieten Bond
Explore tagged Tumblr posts
Text
Penafsiran baru atas ajaran-ajaran agama, khususnya Buddhisme, yang mempunyai tujuan merumuskan suatu etos kerja yang mutlak bagi modernisasi, sebagaimana diusahakan oleh Suzuki Shoshan, telah pula dilakukan di Indonesia, tetapi dua ratus tahun terlambat. Usaha itu berbentuk pendirian Jong Islamieten Bond yang diprakarsai oleh Haji Agus Salim dan kawan-kawannya. Selain itu prakarsa Suzuki adalah Orisinil, sedangkan apa yang dilakukan oleh Agus Salim dkk. adalah suatu reaksi terhadap Barat.
Sumber: Arifin Bey, 'Peranan Jepang dalam Pasca "Abad Amerika"', diterbitkan pada 1990 oleh Antarkarya: hlm. 45.
0 notes
Photo
Sekadar catatan sejarah perbandingan. Jong Islamieten Bond (JIB) dibentuk pada 1 Januari 1925. Dua tokoh muslim di balik organisasi proto-intelektual ini, yaitu Hadji Agoes Salim dan Samsurijal. Sedangkan Jamaah Ikhwanul Muslimin baru dibentuk Hasan al Banna di Mesir pada tahun 1928. Jadi, kesadaran eksistensial cum geopolitik muslim Hindia-Belanda (kelak menjadi nama Indonesia) mendahului kesadaran muslim Mesir. Perbandingan ini tentu akan ditolak mereka pengikut Ikhwanul Muslimin dengan berbagai dalih, namun fakta sejarah tak mungkin dipungkiri. Selain itu, para penggerak JIB sudah terbiasa dalam kemajemukan. Terbiasa berdebat logis-rasional. Polyglot. Terbuka dalam perbedaan pendapat. (at My home ☺) https://www.instagram.com/p/CcE6ug-vWCq/?utm_medium=tumblr
0 notes
Photo
Reposted from @jejakislambangsa Masyudul Haq adalah nama yang diberikan oleh Angku Sutan Mohammad Salim kepada anaknya yang baru lahir pada hari itu, 8 Oktober 1884. Terinspirasi dari seorang tokoh utama dari buku yang kala itu dia sedang baca, dengan satu harapan bahwa sang anak kelak semoga menjadi seorang pembela kebenaran sesuai dengan namanya. Namun bayi yang tumbuh dewasa itu dikenal orang luas justru bukan dengan nama tersebut, sebab ketika masih kecil dia diasuh oleh seorang pembantu asal Jawa yang sering memanggil Masyudul Haq dengan sebutan ‘den bagus’ atau secara pendeknya ‘gus’. Sempat menjalani hidup sebagai agnostik dimasa muda, selepas belajar dengan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangbawi, ia menjadi pejuang Islam yang sungguh-sungguh. Ia menjadi aktivis Sarekat Islam dan membela kepentingan rakyat kecil, termasuk kaum buruh. Bukan hanya berperan dalam perjuangan di SI saja, Haji Agus Salim juga sering membina anak-anak muda Islam, juga berkat dukungan dia para pemuda Islam mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) pada tahun 1925. Tidak heran jika Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam tulisan kenangannya untuk buku Seratus Tahun Haji Agus Salim menuliskan, “ tokoh-tokoh intelektual Muslim seperti Natsir, Roem, Kasman, Prawoto, Jusuf Wibisono dan masih banyak yang lain adalah hasil bentukan Salim yang sangat gemilang, terutama lewat Jong Islamieten Bond…”. Para pemuda di JIB, Natsir, Roem, Prawoto, dkk ini kita ketahui kelak setelah kemerdekaan mereka banyak mengisi kursi kepemimpinan di Partai Masyumi. Haji Agus Salim merupakan salah seorang sosok penting dalam perjuangan Bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Sosoknya dikenal sebagai seorang yang jenius namun juga jenaka. Seorang diplomat ulung yang menguasai banyak bahasa, Belanda, Inggris, Arab, Jepang, Mandarin, Turki, hingga Perancis. selengkapnya: https://jejakislam.net/?s=agus+salim atau swipe ig story hr ini ya! #agussalim #hajiagussalim #foundingfathers #sarekatislam #politikislam #sejarahindonesia #sejarahituasyik #yukbaca https://www.instagram.com/p/CUxkYHXP3kf/?utm_medium=tumblr
#agussalim#hajiagussalim#foundingfathers#sarekatislam#politikislam#sejarahindonesia#sejarahituasyik#yukbaca
0 notes
Text
Hari Ibu bukan Mother’s Day!
Setengah abad lebih bangsa ini mengingat 22 Desember sebagai hari ibu. Waktu yang cukup lama kadang tidak selalu berarti baik, karena alih-alih semakin meresapi perayaan hari ibu, putaran zaman malah menggerus makna hari ibu itu sendiri.
Lalu bagaimana seharusnya kita memaknai hari ibu? Mau tidak mau kita harus menilik kembali sejarahnya. Hari ibu resmi dirayakan secara nasional di Indonesia sejak tahun 1959. Ketika itu Presiden Soekarno meresmikan hari ibu melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959. Tanggal 22 Desember dipilih karena 31 tahun sebelumnya pada tanggal yang sama Kongres Perempuan Indonesia pertama diselenggarakan. Hal ini berbeda sekali dengan kebanyakan negara di dunia yang merayakan mother’s day pada Minggu kedua bulan Mei. Bukan hanya tanggalnya yang berbeda tetapi makna dari hari ibu dan mother’s day itu pun sangat berbeda pula. Jika di negeri lain, mother’s day dirayakan “sebatas” untuk menghargai jasa para ibu, maka hari Ibu di Indonesia memiliki arti yang lebih dari itu. Pemilihan 22 Desember sebagai hari Ibu tidak lepas dari perjuangan para kaum wanita dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama untuk memperjuangkan hak-hak wanita dan menegaskan bahwa wanita merupakan bagian integral yang tidak bisa dilepaskan dari perjuangan bangsa Indonesia. Mungkin terdengar sederhana di abad ini, tetapi tidak di tahun 1928.
Perjuangan Para Muslimat
Salah satu penggagas Kongres Perempuan Indonesia adalah ‘Aisyiyah yang merupakan organisasi otonom bagi Wanita Muhammadiyah yang didirikan pada 19 Mei 1917. Bersama dengan Wanito Tomo dari Boedi Oetomo, Wanita Taman Siswa, Wanita Katolik, Jong Islamieten Bond dan perkumpulan perempuan lainnya ‘Aisyiyah memperjuangkan hak-hak perempuan utamanya masalah pendidikan dan hukum bagi perempuan yang ketika itu masih menjadi masalah besar. Adanya perkumpulan perempuan berbasis Islam dalam Kongres tersebut mematahkan tudingan bahwa nilai-nilai Islam lah yang pada zaman itu menjadi penghalang bagi hak asasi perempuan, karena yang sebenarnya terjadi nilai-nilai tersebut bukan berasal dari Islam melainkan sisa-sisa zaman feodal ketika Islam belum hadir. Maka tidak aneh ketika perkumpulan perempuan seperti ‘Aisyiyah pun turut bergabung dalam pergerakan ini. Hadirnya perkumpulan wanita Islam dalam kongres juga turut mengawal kongres agar tidak jatuh pada feminisme yang cenderung liberal.
Hari Ibu bukan Hari Perempuan
Ada banyak pendapat kenapa pemerintah menetapkan 22 Desember sebagai hari ibu, bukan hari perempuan. Terlepas dari itu, pemilihan kata ibu dibanding perempuan memang lebih tepat. Pada tahun 1935, Kongres Perempuan Indonesia sepakat, salah satu cara Perempuan Indonesia membantu kemerdekaan Indonesia adalah mereka berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan. Ya, mereka dengan penuh kesadaran mengambil peran sebagai Ibu Bangsa. Bahwa dengan menjadi ibu perjuangan seorang perempuan dapat lebih optimal untuk kemajuan bangsa.
Ibu adalah sekolah, jika kau siapkan ia dengan baik, Maka kau telah menyiapkan generasi harapan Ibu adalah taman, jika kau tata dan kau rawat, Maka ia akan menjadi indah menghijau hamparan Ibu adalah guru para pendidik ulung Yang pengaruhnya menyebari segala penjuru dunia peradaban
(Hafizh Ibrahim)
14 notes
·
View notes
Text
Hari ibu
Be the good thinker
Assalamualaikum wr wb
Kadang aku bingung sama orng yang bilang, "ngapain sih memperingati ibu, padahal kewajiban kita untuk menyayangi ibu setiap hari bahkan waktu"
Padahal hari ibu itu dieringati karena ingin mengenang jasa jasa ibu dahulu bukan masalah rasa sayang kita yang kita harus munculkan hanya pada tanggal 22 Desember.
Menurut Yohana menteri PPPA, peringatan tersebut ditujukan untuk mengenang kaum perempuan yang telah berjuang bersama laki-laki dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
Hari Ibu dideklarasikan pertama kali dalam Kongres Perempuan Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928, di Yogyakarta, tepatnya di pendopo Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipoero.
Kongres ini dihadiri oleh wakil-wakil dari perkumpulannya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah, dan Jong Islamieten Bond. Tokoh-tokoh populer yang datang antara lain Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), A.D. Haani (Walfadjri).
Sekitar 600 perempuan dari berbagai latar pendidikan dan usia hadir dalam kongres Perempuan Indonesia Pertama ini. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam penyelenggaraan itu antara lain: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo, perempuan-perempuan Sarekat Islam, Darmo Laksmi, perempuan-perempuan Jong Java, Jong Islamten Bond, dan Wanita Taman Siswa, demikian yang dicatat Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (2007).
Hampir seluruh kongres ini membicarakan relasi mengenai perempuan. Hal itu bisa dilihat dari pertemuan hari kedua kongres, dimana Moega Roemah membahas soal perkawinan anak. Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya juga menyampaikan tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Kemudian disusul Siti Moendji'ah dengan “Derajat Perempuan” dan Nyi Hajar Dewantara—istri dari Ki Hadjar Dewantara— yang membicarakan soal adab perempuan.
Namun, yang tak kalah pentingnya adalah pidato Djami dari organisasi Darmo Laksmi berjudul “Iboe”. Di awal pidatonya, ia menceritakan pengalaman masa kecilnya yang dipandang rendah karena menjadi seorang perempuan. Pasalnya, di masa kolonial, hanya anak laki-laki yang menjadi prioritas dalam mengakses pendidikan. Sementara perempuan, dianggap tak jauh dari urusan kasur, sumur, dan dapur. Pandangan usang itu mengakar kuat. Pendidikan bagi perempuan juga tak dianggap penting karena selalu berakhir ke dapur.
Tapi, Djami punya pendapat lain soal ini. Ia mengatakan: “Tak seorang akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya yang ibunya atau perempuannya bukan seorang perempuan yang tinggi juga pengetahuan dan budinya.”
Djami melanjutkan: “selama anak ada terkandung oleh ibunya, itulah waktu yang seberat-beratnya, karena itulah pendidikan Ibu yang mula-mula sekali kepada anaknya.”
Itulah kenapa pembangunan sekolah-sekolah untuk memajukan perempuan seperti yang dilakukan Rohana Koedoes, Kartini juga Dewi Sartika memiliki peran penting. Seorang ibu yang pintar dan cerdas akan memiliki modal besar untuk menjadikan anaknya pintar.
Maka, pada 22 Desember 1953, dalam peringatan kongres ke-25, melalui Dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1953, Presiden Sukarno menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai: Hari Ibu
Source :
(tirto.id - ale/ale)
Jadi, Sah sah aja bila kita memperingatinya. Memberikan sesuatu yang lebih spesial pada hari ibu.
Coba kita bayangkan kalo semua hari dibilang "ahhh hari peringatan ini kan bisa dilakukan setiap hari. Kenapa harus diperingati?"
Coba kita fikirkan apabila kita tidak ada peringatan hari kemerdekaan dengan alasan negara kita kan sudah merdeka. Maka, kita juga akan kehilangan sejarah sejarah yang ada dibalik kejadian itu. Mungkin hal seperti ini sepele. Namun, peringatan itu juga perlu, karena ada cerita dibaliknya.
Maaf bila ada salah kata.
Wassalamualaikum wr wb
#beropini
12 notes
·
View notes
Photo
--Sejarah Pramuka di Indonesia-- Gerakan Kepanduan di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Tahun 1916, Mangkunegara VII di Surakarta memprakarsai berdirinya Javaansche Padvinders Organisatie. Setelah itu, bermunculan gerakan-gerakan sejenis yang dikelola oleh organisasi-organisasi pergerakan, sebut saja Hizbul Wathan (Muhammadiyah), Nationale Padvinderij (Boedi Oetomo, Sarekat Islam Afdeling Padvinderij (Sarekat Islam), Nationale Islamietische Padvinderij (Jong Islamieten Bond), dan lain-lain. Menurut Panduan Museum Sumpah Pemuda (2009), gerakan Kepanduan di tanah air yang berlingkup nasional dimulai pada 1923 dengan berdirinya Nationale Padvinderij Organisatie (NPO) di Bandung dan Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO) di Batavia, lalu dilebur menjadi Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (INPO) pada 1926. Adapun istilah Pramuka resmi digunakan untuk menyebut gerakan Kepanduan nasional baru terjadi cukup lama setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada 14 Agustus 1961. Idenya bermula dari gagasan Presiden Sukarno yang ingin menyatukan seluruh gerakan Kepanduan di Indonesia. Maka, setiap tanggal 14 Agustus diperingati sebagai Hari Pramuka. Misi utama gerakan Pramuka adalah untuk mendidik pemuda dan pemudi Indonesia, dari usia anak-anak, demi meningkatkan rasa cinta tanah air dan bela negara. Istilah Pramuka dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX, terinspirasi dari kata Poromuko yang berarti pasukan terdepan dalam perang. Namun, kata Pramuka diejawantahkan menjadi Praja Muda Karana yang berarti “Jiwa Muda yang Gemar Berkarya". Salam Pramuka. #erzavlog #lazuardikamila #gamer #gaming #instadaily #instagamer #callofdutymobile #haripramuka #haripramuka59 #haripramuka2020 #contentcreator #games #animes #anime #lazuardikamilagis #mobilelegends #freefire #pubg https://www.instagram.com/p/CD2dQ77pjrZ/?igshid=184oiiy2olvq9
#erzavlog#lazuardikamila#gamer#gaming#instadaily#instagamer#callofdutymobile#haripramuka#haripramuka59#haripramuka2020#contentcreator#games#animes#anime#lazuardikamilagis#mobilelegends#freefire#pubg
0 notes
Text
KEDATANGAN BANGSA EROPA SAMPAI SUMPAH PEMUDA
SYAFIKA PRIKITIW XI IPA 2
SEJARAH INDONESIA Indonesia dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah. Rempah-rempah dicari bangsa Eropa karena manfaatnya sebagai penghangat dan bisa dijadikan pengawet makanan. Selain karena harganya yang mahal, memiliki rempah-rempah juga menjadi simbol kejayaan seorang raja pada saat itu. Dari faktor-faktor itu, banyak Bangsa Eropa yang berusaha untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah, salah satunya Indonesia.
Portugis Bartholomeus Diaz melakukan penjelajahan samudra dan sampai di Tanjung Harapan, Afrika Selatan, pada 1488. Penjelajahan lalu diteruskan Vasco da Gama yang sampai di Gowa (India) pada 1498, lalu pulang ke Lisboa, Portugal, dengan membawa rempah-rempah. Portugis pun semakin gigih dalam mencari sumber rempah-rempah. Untuk itu, Portugis melanjutkan ekspedisi ke timur yang dipimpin Alfonso d’Albuquerque untuk menguasai Malaka. Ia berhasil menguasai Malaka sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara pada 10 Agustus 1511. Spanyol Orang Spanyol yang pertama kali melakukan penjelajahan samudra adalah Christopher Columbus. Ia berlayar ke arah barat melewati Samudra Atlantik sesuai Perjanjian Tordesillas menuju India sekitar tahun 1492-1502. Ternyata ada kesalahan, karena sebenarnya ia sampai di benua Amerika; yang ia pikir adalah India. Penjelajahan berikutnya dilakukan Magelhaens dari Spanyol ke barat daya melintasi Samudra Atlantik sampai di ujung selatan Amerika, kemudian melewati Samudera Pasifik dan mendarat di Filipina pada tahun 1521. Pelayaran Magelhaens berpengaruh bagi dunia ilmu pengetahuan karena dirinya berhasil membuktikan bahwa bumi itu bulat. Penjelajahan Magelhaens kemudian dilanjutkan Sebastian del Cano. Pada 1521, Sebastian del Cano berhasil berlabuh di Tidore, namun kedatangan mereka dianggap melanggar Perjanjian Tordesillas. Untuk menyelesaikan permasalahan keduanya, Portugis dan Spanyol melakukan Perjanjian Saragosa pada 1529.
Belanda Pada 1596, Cornelis de Houtman berhasil mendarat di Banten. Sikap Belanda yang kurang ramah dan berusaha memonopoli perdagangan di Banten membuat Sultan Banten saat itu marah. Akibatnya, ekspedisi ini terbilang gagal. Sekitar 1598-1600, pedagang Belanda mulai berdatangan kembali. Kedatangannya kali ini dipimpin Jacob van Neck. Ia berhasil mendarat di Maluku dan membawa rempah-rempah. Keberhasilan van Neck menyebabkan semakin banyak pedagang Belanda datang ke Indonesia. Inggris Masuknya bangsa Inggris ke Indonesia juga bertujuan mencari rempah-rempah. Tokoh penjelajahnya adalah Sir Henry Middleton dan James Cook. Henry Middleton mulai menjelajah di tahun 1604 dari Inggris menyusuri perairan Cabo da Roca (Portugal) dan Pulau Canary. Henry Middleton lanjut menuju perairan Afrika Selatan hingga Samudra Hindia. Ia sampai di Sumatra, lalu menuju Banten di akhir 1604. Ia berlayar ke Ambon (1605) lalu ke Ternate serta Tidore dan mendapat rempah-rempah, seperti lada dan cengkeh. Sedangkan ada James Cooksampai ke Batavia tahun 1770, setelah dari Australia.
Di antara bangsa-bangsa tersebut, Belanda merupakan negara yang cukup lama berada di Indonesia. Hingga akhirnya mereka membuat perusahaan dagang di Indonesia. Meski telah bangkrut, sampai sekarang, perusahaan ini tercatat sebagai salah satu perusahaan terkaya di dunia lho. Ada yang bisa menebak nama perusahaannya? Vereenigde Oostindische Compagnie atau lebih dikenal dengan VOC merupakan perusahaan dagang tersebut. VOC didirikan pada 20 Maret 1602 oleh Johan van Oldenbarnevelt. Kepemimpinannya dipegang oleh 17 orang pemegang saham (Heeren Zeventien) yang berkedudukan di Amsterdam. Tujuan pembentukannya adalah: (1) menghindari persaingan sesama pedagang Belanda. (2) Memperkuat Belanda dalam persaingan dengan Bangsa Eropa lain. (3) Memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Keberadaan VOC tidak hanya sebagai kongsi dagang, namun juga menjadi kekuatan politik. VOC memiliki hak octrooi, yaitu monopoli perdagangan, mencetak mata uang sendiri, mengadakan perjanjian, menyatakan perang dengan negara lain, menjalankan kekuasaan kehakiman, memungut pajak, memiliki angkatan perang, dan mendirikan benteng. VOC pun memiliki beberapa kebijakan, yaitu: 1. Contingenten: pajak wajib berupa hasil bumi yang langsung dibayarkan ke VOC. 2. Verplichte leverantie: penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditentukan VOC. Kebijakan ini berlaku di daerah jajahan yang tidak secara langsung dikuasai VOC, misalnya Kesultanan Mataram. 3. Ekstirpasi: menebang kelebihan jumlah tanaman agar produksinya tidak berlebihan sehingga harga dapat dipertahankan. 4. Pelayaran hongi: Pelayaran dengan perahu kora-kora untuk memantau penanaman dan perdagangan rempah-rempah oleh petani. Pada tahun 1799, VOC bangkrut karena pegawai VOC banyak yang melakukan korupsi, menanggung utang akibat perang, dan kemerosotan moral para pegawai. Dengan dibubarkannya VOC, maka kekuasaannya di Indonesia kemudian diambil alih oleh pemerintah kerajaan Belanda yang saat itu dikuasai Perancis.
Masa Pemerintahan Belanda Van der Capellen ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, menerapkan kebijakan dalam menghapuskan peran penguasa tradisional, menerapkan pajak yang memberatkan rakyat, sehingga muncul banyak perlawanan dari rakyat. Belanda juga mengutus Johannes van den Bosch untuk meningkatkan penerimaan negara Belanda yang kosong akibat perang dengan masyarakat Nusantara dan Bangsa Eropa lainnya. Van den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) sejak tahun 1830. Penerapan cultuur stelsel banyak mengalami penyimpangan, seperti waktu tanam yang melebihi usia tanam padi, tanah yang seharusnya bebas pajak tetap kena pajak, hingga rakyat harus menyediakan sampai setengah tanahnya. Meski begitu, Tanam Paksa juga berdampak positif karena rakyat Indonesia mengetahui jenis-jenis tanaman baru dan mengetahui cara tanam yang baik.
Lahirnya Sumpah Pemuda Kongres Pemuda II dilangsungkan selama dua hari pada 27 dan 28 Oktober 1928 di Batavia. Hari pertama, kongres menempati Gedung Katholikee Jongelingen Bond atau Gedung Pemuda Katolik, sedangkan kongres di hari kedua diadakan di Gedung Oost Java (sekarang di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat). Tujuan Kongres Pemuda II antara lain: (1) Melahirkan cita cita semua perkumpulan pemuda pemuda Indonesia, (2) Membicarakan beberapa masalah pergerakan pemuda Indonesia; serta (3) Memperkuat kesadaran kebangsaan dan memperteguh persatuan Indonesia. Kongres ini diikuti oleh lebih banyak peserta dari kongres pertama, termasuk Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Katholikee Jongelingen Bond, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun dan lainnya. Hadir pula beberapa orang perwakilan dari pemuda peranakan kaum Tionghoa di Indonesia dalam Kongres Pemuda II ini, seperti Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie, namun asal organisasi/perhimpunan mereka belum diketahui.
Gedung yang nantinya menjadi tempat dibacakannya Sumpah Pemuda merupakan rumah pondokan atau asrama pelajar/mahasiswa milik seorang keturunan Tionghoa bernama Sie Kok Liong. Gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat, ini kini diabadikan sebagai Museum Sumpah Pemuda. Adapun susunan panitia Kongres Pemuda II, seperti yang dituliskan Ahmad Syafii Maarif melalui buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009) adalah sebagai berikut: Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI) Wakil Ketua: R.M. Joko Marsaid (Jong Java) Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond) Bendahara: Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond) Pembantu I: Johan Mohammad Cai (Jong Islamieten Bond) Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemuda Indonesia) Pembantu III: R.C.I. Sendoek (Jong Celebes) Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon) Pembantu V: Mohammad Rochjani Su'ud (Pemuda Kaum Betawi) Hadir pula Wage Rudolf Supratman yang memainkan lagu Indonesia Raya di Kongres Pemuda II dengan alunan biolanya. Lagu Indonesia Raya juga dinyanyikan untuk pertamakalinya dalam kongres ini oleh Dolly Salim yang tidak lain adalah putri dari Haji Agus Salim.
Dolly Salim, “Indonesia Raya”, dan Sumpah Pemuda
Aksi WR Soepratman di Kongres Pemuda II
Isi & Makna Sumpah Pemuda
Setelah melalui prosesi panjang selama 2 hari, maka pada 28 Oktober 1928, para peserta Kongres Pemuda II bersepakat merumuskan tiga janji yang kemudian disebut sebagai Sumpah Pemuda. Adapun isi Sumpah Pemuda adalah sebagai berikut:
Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Menurut Azyumardi Azra, seperti dikutip oleh Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010), Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak sejarah bangsa Indonesia dalam mengawali kesadaran kebangsaan. Sementara dalam buku Literasi Politik (2019) yang ditulis Gun Gun Heryanto dan kawan-kawan diungkapkan bahwa ikrar sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa merupakan ikrar yang sangat monumental bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ikrar ini atau Sumpah Pemuda yang dibacakan di arena Kongres Pemuda II dan dihadiri oleh kaum muda lintas suku, agama, dan daerah, nantinya, 17 tahun kemudian, melahirkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Makna yang terkandung adalah bahwa peristiwa bersejarah itu mengajarkan nilai-nilai persatuan bangsa. Sumpah Pemuda membuktikan, perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia ternyata dapat disatukan sebagai perwujudan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu".
Sumpah Pemuda juga memuat banyak nilai positif yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sri Sudarmiyatun dalam buku berjudul Makna Sumpah Pemuda (2012) menyebutkan nilai-nilai Sumpah Pemuda antara lain: Nilai patriotisme, gotong-royong, musyawarah untuk mufakat, cinta tanah air, kekeluargaan, persatuan dan kesatuan, kerukunan, kerja sama, cinta damai, serta tanggung jawab. Maka, Sumpah Pemuda hendaknya bisa dijadikan sebagai inspirasi bagi generasi muda Indonesia sekarang untuk membawa negara ini ke arah perubahan yang lebih baik, bukan justru terpecah-belah dalam pusaran konflik antar sesama anak bangsa sendiri.
0 notes
Text
Medan Pengabdian Kasman
Namanya pendek saja, Kasman. Singodimedjo barangkali nama bapaknya. Jadilah ia bernama Kasman Singodimedjo. Namanya khas Jawa, dan barangkali terkesan abangan yang tak dekat-dekat amat dengan Islam. Hal ini berbeda benar dengan nama kawan-kawan seangkatannya di pergerakan Islam zaman kolonial hingga akhir hayatnya di awal-awal Orde Baru seperti Mohamad Natsir, Mohamad Roem, dan Hamka yang bernuansa kearab-araban.
Nyatanya, Kasman Singodimedjo adalah seorang pejuang Islam yang konsisten. Mengutip tulisan Mohamad Roem dalam Bunga Rampai Sejarah 3, namanya: Singa di meja. Kenyataannya: Singa di mana-mana. Tidak hanya itu, Kasman Singodimedjo juga ikut andil dalam membangun Indonesia lewat peranannya di awal-awal kemerdekaan. Maka tak heran jika tahun ini, Kasman Singodimedjo menjadi salah satu anak bangsa yang dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Ada dua versi mengenai tahun kelahiran Kasman Singodimedjo yakni tahun 1904 dan 1908 dengan tanggal dan bulan yang sama yaitu 25 Februari. Ensiklopedi Indonesia pertama keluaran tahun 1955 mendokumentasikan bahwa Kasman lahir tahun 1908 tanpa menyebut tanggal dan bulan kelahiran. Mohamad Roem-kawan dekatnya-yang mengenal Kasman sejak tahun 1924 ketika bersekolah di Stovia dalam obituari ketika Kasman meninggal dunia menuliskan bahwa ia lahir pada 25 Februari 1904.
Sedangkan Benedict Anderson dalam Lampiran Biografi untuk bukunya yang telah menjadi klasik, Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, mencatat bahwa bahwa Kasman Singodimedjo lahir pada tanggal 25 Februari 1908. Bapaknya merupakan seorang pengurus agama di desa dan seorang priyayi rendahan. Barangkali karena itulah di depan nama Kasman tersemat gelar raden. Kasman yang lahir di tengah-tengah gelora politik etis merasakan betul dampak bagi pendidikannya.
Bahkan menurut Yudi Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa, bahwa periode antara 1920-an sampai dengan awal pendudukan Jepang pada 1942 merupakan masa keemasan bagi akses kaum pribumi terhadap pendidikan modern dengan kualitas standar Eropa pada abad ke-20. Penguasaan mereka atas bahasa Eropa memberi paspor untuk bisa masuk ke dalam lingkungan warga "Republik Susatra" Barat yang merupakan sumber utama dari pengetahuan dan peradaban barat. Pada saat-saat inilah Kasman menapaki jejak dan membuat fondasi bagi arah pergerakannya kelak. Ia bersekolah dan bergaul dengan anak muda dari seluruh penjuru nusantara. Karena hanya baru di Jakarta-lah ada dua sekolah tinggi yakni bidang kedokteran dan hukum yang belum lama berdiri.
Dengan kesederhanaan, Kasman bisa menempuh pendidikannya di HIS, MULO, Stovia, dan akhirnya memperoleh gelar sarjana di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Dalam kesaksiannya, Mohamad Roem menulis bahwa "Hampir semua murid belajar dengan ikatan dinas. Tiap bulan mendapat uang saku yang cukup, untuk mengupahkan cucian pakaian dalam dan membersihkan sepeda. Kemudian saya tahu bahwa bapak Kasman dari tunjangan uang saku itu masih membelanjai sekolah adiknya. Karena itu bapak Kasman memerlukan benar-benar tiap sen dihemat, agar dapat membantu adik-adiknya mengikuti pelajaran sekolah, yang orang tuanya tidak mampu membayarnya."
Salah satu tonggak penting Kasman menceburkan diri ke dalam dunia aktivis adalah ketika ia bergabung dengan JIB (Jong Islamieten Bond). Sebuah organisasi yang terilhami oleh seorang mentor politik tiada tanding, Haji Agus Salim. JIB ini beranggotakan anak-anak muda yang masih menuntut ilmu di sekolah-sekolah "sekular" milik kolonial seperti di Stovia dan RHS. Diantaranya adalah Roem, Kasman Singodimedjo, Yusuf Wibisono, Prawoto Mangkusasmito, Sjafruddin Prawiranegara, Isa Anshari, dan Natsir. Kemunculan JIB ini menjadi penting karena-mengutip R. E Elson-untuk pertama kali, dasar perkumpulan pemuda pada nasionalisme sempit telah didobrak. Anak-anak muda JIB yang saat itu berusia 20-an tahun barangkali melihat bahwa di sekeliling mereka teramat kurang organisasi yang berasaskan pada Islam. Dan mereka menyadari bahwa masa depan Islam di Indonesia di waktu mendatang akan menjadi tanggung jawabnya.
JIB menurut Yudi Latif merupakan katalis paling penting bagi transmisi tradisi-tradisi politik "intelektual" muslim dari generasi pertama ke generasi kedua. JIB yang lahir pada bulan Januari 1925 di Jakarta dengan segera menjadi ruang-ruang baru bagi pelajar atau mantan pelajar dari sekolah-sekolah menengah yang secara ideologis dekat dengan Islam.
Kasman yang waktu itu masih merupakan pelajar bagian persiapan Stovia tercatat pernah menjadi ketua JIB periode ketiga antara tahun 1930-1935. Dardiri Husni dalam tesisnya berjudul Jong Islamieten Bond: A Study of Muslim Youth Movement in Indonesia During The Dutch Colonial Era 124-1942 yang ditulisnya untuk Mc Gill University pada 1998 menelusuri perjalanan JIB sebagai salah satu organisasi anak muda muslim di Indonesia sepanjang mulai berdirinya hingga Belanda menyerah pada Jepang.
Pada kongres kelima JIB yang diadakan pada Desember 1929, Kasman menggantikan Wiwoho yang telah usai memimpin organisasi dari tahun 1926-1929. Salah satu tugas pertamanya adalah mengadakan tur organisasi ke tanah Sumatera bersama Mohamad Roem. Terutama di Sumatera Barat, ia dan Roem berhasil mendirikan sejumlah cabang seperti di Bukit Tinggi, Padang Panjang, Sawah Lunto, dan Payakumbuh. Sedangkan di Sumatera Utara dan Aceh, cabang-cabang JIB yang berdiri adalah di Sibolga, Padang Sidempua, Sigli, dan Lokhseumawe. Hasilnya cukup lumayan.Di akhir 1930, terdapat 39 cabang yang beroperasi dan pada tahun 1933 jumlahnya meningkat menjadi 55 cabang dengan anggota 4000 orang.
Pada masa kepemimpinannya, Kasman dan Natsir ingin mengubah arah gerak organisasi JIB serupa dengan Muhammadiyah atau Persis yang bergerak di bidang sosial, kesehatan, dan pendidikan. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang Kasman dan Natsir yang juga merupakan aktivis Muhammadiyah dan Persis. Namun ide ini tak mendapat tempat. Barangkali karena aktivitasnya sebagai organisatoris, Kasman tak menyelesaikan pendidikannya menjadi seorang dokter. Untunglah ia tamat di sekolah tinggi hukum di Batavia dan berhak menyandang gelar Mr. Kasman Singodimedjo.
Setelah tak lagi menjadi aktivis JIB, ia menjadi guru di sejumlah sekolah Muhammadiyah. Hal ini mudah dipahami bahwa sebelumnya ia pun telah aktif di Muhammadiyah. Kasman mulai moncer sebagai tokoh Muhammadiyah, konon setelah ia membuat gempar sebuah konferensi Muhammadiyah di Bogor pada Mei 1940. Ia berpidato dan berucap yang kira-kira intinya adalah demi Indonesia merdeka. Karuan saja, ucapan subversif ini membuat gerah intel kolonial dan langsung menciduknya. Ia kemudian ditangkap dan diadili di Bogor. Untung, ia dibebaskan dari tuntutan jaksa. Tokh, Kasman tak kapok dengan apa yang telah dilakukannya, karena ia barangkali meyakini bahwa suatu saat nanti Indonesia akan mendapat kemerdekaan, bukan dengan cara diberikan oleh penjajah melainkan karena hasil perjuangan bangsanya sendiri.
Karena barangkali Kasman merupakan seorang yang terpelajar dan menjadi tokoh Muhammadiyah khususnya di wilayah Jakarta, maka ketika Jepang masuk dan bermaksud mendirikan tentara PETA pada Oktober 1943, maka dengan mudah Kasman menjadi seorang yang terpilih untuk menjadi semacam daidancho atau komandan batalion. Menurut Ben Anderson dalam Revolusi Pemuda, mereka yang dipilih menjadi daidancho, tidak diberi latihan militer yang intensif dan juga tak dimasukkan asrama. Fungsi utama mereka adalah menjalankan kepemimpinan moral dan pengawasan politik pada anak buahnya.
Dari menjadi daidancho inilah kelak, Kasman ikut menjadi salah satu tokoh yang merumuskan dasar-dasar kenegaraan sehari setelah proklamasi. Karena Kasman pulalah, Ki Bagus Hadikusumo hatinya menjadi luluh dan ikut menyetujui bahwa perumusan sila pertama dasar negara itu menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketika itu ia diminta Bung Hatta setelah tokoh Islam yang lain seperti Teuku Mohammad Hasan dan KH Wahid Hasyim tak berhasil membujuk Ki Bagus.
Medan pengabdian Kasman Singodimedjo kemudian berlabuh sepenuhnya di Partai Masyumi, bersama-sama kawan-kawannya semasa muda seperti Natsir dan Roem.
0 notes
Text
Partisipasi Pemuda Muslim dalam Sumpah Pemuda
“Tiap kali kuhadapi masalah-masalah besar, yang kupanggil adalah anak muda” (Umar Bin Khattab RA, Khalifah ke-2).
Pemuda adalah aset bangsa yang tak ternilai harganya, ditangan pemudalah bangsa ini dipertaruhkan. Tidak jarang para tokoh nasional sering menggaungkan hebatnya peranan pemuda dalam membangun masyarakat dan bangsa. Ir. Soekarno sebagai founding father dan bapak proklamator sering kali mengobarkan semangatnya dengan berucap “Berikan aku 10 pemuda maka akan aku hentakan dunia ini”. Begitu hebatnya peranan pemuda dalam menggerakan dan mengawal berdirinya suatu kedaulatan bangsa.
Kita pasti ingat akan kekuatan sumpah pemuda yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta), Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada “tanah air Indonesia”, “Bangsa Indonesia”, dan “bahasa Indonesia”. Keputusan ini juga diharapkan menjadi asas bagi setiap “perkumpulan kebangsaan Indonesia”, dan agar disiarkan dalam segala surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan” pada saat itu.
Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim sudah sepatutnya menjadi garda terdepan dalam mengawal dan menggerakan kemajuan suatu bangsa. Mereka adalah tulang punggung yang membentuk unsur pergerakan dan dinamisasi. Karena ia mempunyai kekuatan yang produktif, kontribusi yang terus menerus. Dan suatu umat tidak runtuh jika berada di pundak para pemuda yang punya kepedulian dan semangat menggelora.
Hari Sumpah Pemuda yang selalu diperingati setiap tanggal 28 Oktober, sebenarnya merupakan hari terakhir Kongres Pemuda ke-2. Para pemuda melihat gerakan pemuda dari berbagai daerah seperti Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Java, Jong Sumatera, juga seperti Jong Islamieten Bond (JIB) dan menginspirasi sebagian pemuda seperti Moh. Hatta, Yamin, Soekarno, termasuk Natsir juga, dan lain-lain merasa harus berkumpul dan dikumpulkan pada suatu kongres.
Rapat pada kongres kala itu menghasilkan sebuah keputusan, yaitu memberikan nama, apa sebenarnya yang diperjuangkan. Akhirnya, populer nama ‘Indonesia’ dari kongres pemuda. Nama Indonesia dikenal sebelumnya hanya pada kalangan pelajar, khususnya mahasiswa Indonesia di Belanda yang mempelajari ilmu geografi, ada istilah ‘indo nesos’ (kepulauan Hindia), juga dalam pelajaran biologi, maka para pelajar ini mengusulkan nama ‘Indonesia’ dalam kongres.
Mula-mula terjadi korespondensi mahasiswa Indonesia di Belanda, dengan mahasiswa Indonesia di Mesir. Akhirnya ketika mereka pulang ke Indonesia, dipatenkan nama Indonesia untuk menyebut apa yang mereka perjuangkan berupa tanah air Indonesia, bangsa (nation) Indonesia, dan bahasa Indonesia
Pejuang dan pemuda Islam pada saat itu ikut terlibat dan memberikan nama apa yang mereka perjuangkan. Terjadi juga korespondensi antara mahasiswa Indonesia di Belanda dan di Mesir yang juga para mahasiswa Islam. Juga yang berkumpul di sana, pada kongres ialah umat Islam, walaupun karena sekulerisme telah kokoh, terjadi perbedaan pandangan.
Tiga tahun sebelum bergulirnya Sumpah Pemuda, berdirilah Perhimpunan Pemuda Islam yang dalam lembaran sejarah disebut Jong Islamieten Bond (1 Januari 1925). Organisasi pemuda Islam ini turut berperan dalam proses tercetusnya Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928).
berdirinya JIB membangkitkan perjuangan menegakkan nasionalisme Indonesia. JIB berjuang untuk melepaskan diri dari penindasan Barat serta berjuang menjadi tuan di rumah sendiri. Tidak mengherankan jika pada akhirnya, organisasi pemuda yang melepaskan diri dari keterikatan dasar perjuangan kedaerahan Jawa ini mendorong lahirnya Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (1926) dan Jong Indonesia yang berperan besar dalam Kongres Pemuda II yang mencetuskan lahirnya Sumpah Pemuda.
Dari masa kemasa sosok pemuda memiliki andil serta peranan yang sangat penting terkait dengan masalah peradaban universal, seperti yang telah disebutkan diatas, termasuk dalam membangun umat. The best agent of change merupakan frasa yang tepat menggambarkan sepak terjang pemuda dalam perspektif sejarah Islam maupun dunia.
Dalam kacamata sejarah peradaban Islam, pemuda merupakan tonggak kebangkitan umat serta sumber kekuatan pembela terhadap aqidah dan ideologi. Islam tak bisa dilepaskan dari pemuda, karena Islam itu sendiri tumbuh dan besar karena banyaknya pemuda berkualitas didalamnya sebagai kader-kadernya. Jika dahulu Islam pernah mencapai masa kejayaannya (the golden of age Islam), maka saat ini waktu adalah yang sangat tepat untuk mengupayakannya kembali, menghadirkan Islam yang jaya dan Indonesia yang sejahtera.
Facebook WhatsApp Twitter
from WordPress https://ift.tt/2JptyEY via IFTTT
0 notes
Text
Ada apa sih dengan kamu?
Tulisan ini murni merupakan opini aku pribadi. Mungkin banyak hal-hal belum aku tau tentang apa yang aku bahas di sini. Aku tidak suka berdebat, tapi aku hanya ingin meluapkan opini pribadiku dan terbuka untuk segala diskusi.
Kenapa aku menulis hal ini di Tumblr? Yang notabene sedang diblokir pemerintah dan tidak banyak masyarakat Indonesia yang menggunakan Tumblr. Alasannya simpel. Aku tidak pernah berniat untuk menunjukkan opini pribadiku ini kepada khalayak luas. Aku Cuma ingin “meluapkan” opiniku, daripada aku Cuma simpen di dalam kepala. Seenggaknya, kepalaku masih bisa kapasitasnya untuk menampung materi-materi kuliah yang seringnya masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Baik. Ini tentang Indonesia. Ini tentang sebuah negara yang besar, baik dari segi teritori, suku, bahasa dan manusianya. Tapi, ada apa sebenarnya dengan Indonesia saat ini?
Aku adalah seorang Muslim. Ya. Ketika aku masih berseragam abu-abu hingga akhirnya berhasil memakai toga dengan gelar Sarjana, kehidupanku lebih banyak bergulat belajar mengenai agama. Tapi, agama yang dulu pernah aku pelajarin, kenapa penganutnya sekarang kaya gini? ☹
Beberapa tahun belakangan, istilah “Pemuda Hijarah” bergaung cukup nyaring, lalu muncul “Indonesia Tanpa Pacaran”, nikah muda, negara Islam, bencana di kota ini karena banyaknya X,Y,Z, dan banyaknya pemberitaan-pemberitaan yang ngebuat aku sedih dan kecewa banget sama bangsaku sendiri.
Indonesia menjadi negara Islam. Mungkin aku akan menjadi salah satu orang yang paling keras untuk menolak hal itu. Bukan, bukan karena aku membenci Islam, aku pun seorang Muslim. Indonesia tumbuh dan berkembang karena berbagai macam variasinya. Yuk kita tengok sejarah Indonesia, berbagai kerajaan besar di Indonesia bermula dari Hindu, Buddha, hingga masuknya Islam. Indonesia itu terbentuk dari dasar perbedaan. Lupakah kita akan berbagai perbedaan sebelum kemerdekaan Indonesia tercapai? Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi dan Jong Celebes bahkan PPPI bersatu padu untuk bersumpah satu yaitu Indonesia? Mereka berasal dari latar budaya dan agama yang berbeda pastinya. Tapi, tujuan mereka ingin membebaskan belenggu dari penjajah, yang notabene adalah VOC. Lalu sekarang? Indonesia kembali dijajah, iya dijajah, oleh para penduduknya sendiri. Yang memiliki kepentingan kelompok bahkan pribadi untuk menebarkan isu kebencian pada suku atau agama tertentu. Sedih banget. Islam memang menjadi mayoritas di Indonesia. Tapi, hey! Indonesia terbentuk dahulu dari para pemuda dan pejuang yang memiliki latar belakang macam-macam. Beberapa waktu, membaca mengenai suku pedalaman di Sumatera yang “memeluk Islam”, dengan alasan untuk mempermudah segala urusan birokrasi dan untuk bisa mendapatkan beras. Bahkan salah seorang pengabdi negara bilang, “Mereka kini sudah mengenal Tuhan”. ???!!! Ada apa dengan aliran kepercayaan? Apakah mereka salah? Apakah Indonesia tidak berakar dari aliran kepercayaan? Kenapa orang-orang Indonesia sungguh ribet ngurusin kepercayaan orang lain? Apakah mereka ga punya permasalahan dalam hidup yang harus diurus hingga harus mengurusi kepercayaan orang lain? Menurutku, semua orang jelas memiliki kebebasan untuk memilih apapun yang baik dalam hidupnya, tapi jika alih-alih pilihan itu adalah sebuah “paksaan”. Di mana letak Hak Asasi itu sekarang?
Hingga akhirnya muncul banyak sekali “intelek-intelek” maya yang mengatakan, kota X terkena musibah karena azab, di sana banyak maksiat, alkohol, LGBT, hingga tetek bengek lainnya atau bahkan karena presidennya. Jika memang benar, seharusnya Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali-lah yang seharusnya terkena musibah terbesar dan terberat hingga harus luluh lantah. Tapi, aku pun tidak pernah lupa pada saat aku pertama kalinya mendapatkan pelajaran Geografi ketika masih berseragam putih-biru. Guruku berkata, “Letak Indonesia yang cukup unik karena terletak di pertemuan beberapa lempeng tektonik. Dua lempeng kontinenal yaitu lempeng Eurasia atau lempeng Sunda dan lempeng Australia atau lempeng Sahul. Juga, Indonesia terletak di di anttara dua lempeng samudera, yaitu lempeng Laut Filipina dan lempeng Samudera Pasifik, sehingga hal inilah yang menyebabkan Indonesia rawan akan bencana alam seperti gempa bumi, gunung api meletus, hingga tsunami. Hal ini dikarenakan setiap tahunnya lempeng tersebut bergerak 1 mm.”. Apakah tidak bisa menjelaskan kenapa banyak terjadinya bencana alam di Indoesia? Atau betapa bodohnya kah masyarakat Indonesia, karena tidak memahami bahasa Indonesia untuk “Ring of Fire”?
Atau jika kita melihat lebih luas. Belanda dan Kanada. Merupakan dua negara yang menjadi negara, “I want to live”, merupakan negara yang melegalkan ganja, LGBT, minuman beralkohol yang biasa dikonsumsi oleh orang dengan batas usia tertentu, dan berbagai hal yang menurut “orang-orang” Indonesia itu haram. Coba yuk diputar balik pernyataan dan pertanyaannya. Kenapa bencananya ga menerpa mereka aja ya? Toh, mereka lebih jahanam dari Indonesia karena melegalkan ini itu? Tapi yang aneh, penjara di sana itu ga sepadat di Indonesia, apa karena penduduk di sana lebih sedikit dibandingkan di sini? Tapi yang aneh lagi, penduduk di sana lebih banyak agnostik atau bahkan atheis, atau istilahnya ga mau kenal Tuhan, lah Indonesia katanya lebih mengenal Tuhan? Bukannya katanya kalo mengenal Tuhan, hidup itu lebih baik? Berperilaku lebih baik? Tapi tapi tapi tapi kok? Hhhhh mungkin butuh beberapa detik untuk menghela nafas panjang.
Dari berbagai “hal” yang biasa disebut “agama”, dari banyaknya agama di dunia, dan juga di Indonesia. Aku akan mencoba menuangkan isi pikiranku dari perspektif aku sebagai seorang Muslim, seorang yang masih sedikit mempelajari tentang Islam, masih berproses, menjadi mayoritas sekaligus minoritas.
Yang aku mahfum. Islam dan Muslim adalah dua hal yang berbeda. Islam di mana ajaran-ajaran berlaku, mengenai segala hal Ketauhidan, manusia, pola hidup, bahkan hingga hal kecil yang mungkin tidak terpikirkan. Sedangkan Muslim adalah penganut Islam. Islam tidak pernah salah, tapi Muslim-lah yang most of the time salah, kenapa? Banyak alasan, karena mereka belajarnya setengah-setangah, karena mereka Cuma caplok sana caplok sini, karena mereka ga tau sumbernya shahih atau ga, karena mereka mungkin belajar dari sumber yang emang memiliki kepentingan pribadi, karena mereka mungkin belajar secara online secara dunia udah digital, karena doktrin dari keluarga dan lingkungan yang salah, serta karena-karena lainnya.
Yah, begitulah Indonesia saat ini. Aku sering cemburu dengan keadaan Indonesia dahulu kala. Mungkin Indonesia dahulu pun tidak terlepas dari konflik, tapi setidaknya tidak harus melawan bangsa sendiri. Mungkin itu alasanku lebih menyukai kata “Nusantara”, dan mengakar “Lakum Dinukum Waliyadin” Q.S. Al Kafirun : 6.
Ya, aku masyarakat Indonesia. Aku mengaku orang Indonesia. Dan ya, Aku bodoh.
0 notes
Text
Menerka Keemasan Pemuda Abad XX dengan Pemuda Milenial
TheSunIndonesia THE SUN INDONESIA.COM Letupan sumpah pemuda 90 tahun silam dari para pemuda sepanjang Sabang sampai Merauke mengkiaskan spirit persatuan yang amat kekar. Menyembul organisasi kepemudaan semacam Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Soematranen Bond(1917), Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Roekoen dan Pemoeda Kaoem […] The post Menerka Keemasan Pemuda Abad XX dengan Pemuda Milenial appeared first on The Sun Indonesia. http://dlvr.it/QprD50
0 notes
Text
SEJARAH JONG ISLAMIETEN BOND
SEJARAH JONG ISLAMIETEN BOND. Ketika Jepang menduduki Indonesia pada awal tahun 1942, semua organisasi, apapun bentuk dan coraknya dibubarkan. Hanya organisasi yang bekerjasama dengan Jepang yang dibolehkan hidup, JIB termasuk yang dibubarkan, serta tidak pernah didirikan kembali walaupun Indonesia telah merdeka.
Foto Para Tokoh Jong Islamieten Bond pada Museum Sumpah Pemuda
SEJARAH JONG ISLAMIETEN BOND Latar belakang kehidupan dan pendidikan zaman Kolonial Belanda
Pada tahun 1920-an pandangan kaum terpelajar bangsa Indonesia terhadap agama Islam sangat negative, kurang perhatian dan kurang perhargaan. Golongan terpelajar yang mendapatkan pendidikan dan pelajaran pada lembaga-lembaga Barat. Waktu itu,…
View On WordPress
0 notes
Text
SEJARAH INDONESIA DARI SUMPAH PEMUDA SAMPAI REFORMASI
Muzammil , XII Ips 4 Pemuda adalah agent of change. Terkait dengan Sumpah Pemuda, ungkapan ini benar adanya. Dalam sejarahnya, perjuangan Bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme, yang lebih mengutamakan fanatisme kedaerahan selama tiga abad, memasuki sejarah baru dengan bangkitnya sejumlah pemuda mendirikan organisasiorganisasi kepemudaan nasional. Perjuangan yang pada awalnya lebih bersifat kultural berubah menjadi perjuangan yang membawa isu-isu nasionalisme dengan lebih mengedepankan diplomasi politik. Tercatat pada tahun 1915-an berdiri sejumlah besar organisasi kepemudaan yang masih bersifat kedaerahan, seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Soematranen Bond (1917), Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Roekoen dan Pemoeda Kaoem Betawi. Organisasi tersebut bersifat kedaerahan dan kelompok khusus. Adapun Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) yang berdiri setelah selesai Kongres Pemuda I pada tahun 1926 memiliki perberbedaan, yaitu bersifat lintas primordial; organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Tokoh-tokohnya adalah Sigit, Soegondo Djojopoespito, Soewirjo, S. Reksodipoetro, Moehammad Jamin, A. K Gani, Tamzil, Soenarko, Soemanang, dan Amir Sjarifudin. PPPI memprakarsai dilaksanakannya Kongres Pemuda II. Kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam kesempatan itu, Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan sebagaimana termuat dan dibacakan di akhir kongres. Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis. Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, sebagai hal yang dibutuhkan dalam perjuangan. Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia Raja” karya Wage Rudolf Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia, berbunyi: POETOESAN KONGRES PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang berdasarkan dengan nama Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Batak Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar Indonesia. Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di negeri Djakarta. Sesoedahnja mendengar segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini. Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan: Pertama Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan asas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelanperkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloearkan kajakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar poetoesannja: Kemajoean Sedjarah Bahasa Hoekoem Adat Pendidikan dan Kepandoean Dan mengeloearkan penghargaan soepaja ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan dimoeka rapat perkoempoelanperkoempoelan. Djakarta, 28 Oktober 1928 Kongres Pemuda II telah membangkitkan bersatunya gerakan pemuda bersifat nasional, memperoleh reaksi yang kurang menyenangkan dari pemerintah kolonial. Di mata kolonial Belanda, semangat Sumpah Pemuda yang terwadahi dalam statu gerakan organisasi merupakan kekuatan yang mengancam keberlansungan kegiatan eksploitasipenjajahan. Untuk itu, beberapa pejabat kolonial berupaya untuk memperlemah persatuan dengan memberikan angin sepoi-sepoi segar terhadap bangkitnya daerahisme kepada pribumi yang masih memendam sisa-sisa semangat patrimonial, sebagaimana dilakukan oleh Hendrikus Colijn mantan Menteri Urusan Daerah Jajahan, kemudian Perdana Menteri Belanda, Veteran perang Aceh dan bekas ajudan Gubernur Jenderal van Heutz, mengeluarkan reaksi negatif berupa pamflet yang menyatakan bahwa kesatuan Indonesia sebagai suatu konsep kosong. Katanya, masing-masing pulau dan daerah Indonesia ini adalah etnis yang terpisahpisah sehingga masa depan jajahan ini tak mungkin tanpa dibagi dalam wilayahwilayah. Suatu pernyataan yang merendahkan dan memandang sebelah mata terhadap gerakan pemuda tersebut, juga dinyatakan bahwa Belanda telah berkuasa di Indonesia selama tiga setengah abad dan akan berkuasa tiga setengah abad lagi. Sebagaimana yang diberitakan bahwa kerapatan dikunjungi beratus-ratus orang, dimana bagi siapa yang menyaksikan sendiri akan berbesar hati karena pemoeda-pemoeda kita bukan baru mencita-citakan saja, tapi telah tegak berdiri di pusat persatuan dan kebangsaan. Dalam kesempatan inipun telah diperdengarkan untuk pertama kali kepada umum oleh Pemoeda W.R. Soepratman, lagu Indonesia Raja. Dalam POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDI INDONESIA, tercatat bahwa “Poetra dan Poetri Indonesia” mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia; mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sebagai realisasi penyatuan ini, pada tanggal 31 Desember 1930 jam 12 malam, Jong Java, Perhimpunan Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Pemoeda Soematra (awalnya bernama Jong Sumatranen Bond) telah berfusi menjadi satu dan membentuk Perkoempoelan Indonesia Moeda. Para anggota panitia Kongres Pemuda ke II terdiri dari pemuda-pemudi Indonesia yang di kemudian hari amat berperan dalam gerakan pemuda yang memperjuangkan kebangsaan dan kemerdekaan. Di antaranya terdapat nama, Soegondo Djojopoespito dari PPPI (ketua), Djoko Marsaid dari Jong Java (wakil ketua), Muhammad Jamin dari Jong Sumatranen Bond (Sekretaris), Amir Sjarifudin dari Jong Sumatranen Bond (bendahara), Djohan Mu Tjai dari Jong Islamieten Bond. Kontjosoengkoeno dari P.I, Senduk dari Jong Celebes, J. Lemeina dari Jong Ambon dan Rohyani dari Pemoeda Kaum Betawi. Panitia didukung tokoh-tokoh senior seperti Mr. Sartono, Mr. Muh Nazif, A.I.Z Mononutu, Mr. Soenario. Dalam kongres ikut berbicara tokoh-tokoh besar kebangsaan lainnya seperti S. Mangoensarkoro, Ki Hadjar Dewantoro, dan Djokosarwono. Hadir sebagai undangan sekitar 750 orang. Terdapat nama-nama yang kemudian terkenal seperti Kartakusumah (PNI Bandung), Abdulrachman (B.O Jakarta), Karto Soewirjo (P.B Sarekat Islam), Muh. Roem, Soewirjo, Sumanang, Masdani, Anwari, Tamzil, AK Gani, Kasman Singodimedjo, Saerun (wartawan Keng Po), WR Supratman. Dari Volksraad yang hadir adalah Soerjono dan Soekawati dan dari pihak Pemerintah Hindia Belanda yang hadir adalah Dr. Pyper dan Van der Plas. Jelas bahwa Kongres Pemuda II yang mengikrarkan Sumpah Pemuda bukan pekerjaan dalam sedikit waktu saja, dan terang juga bukan hasil usaha dari beberapa gelintir orang saja. Hal ini merupakan perjuangan panjang sejak Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908. Bahkan ada sebuah peristiwa lainnya yaitu ketika tahun 1904 Dr A. Rivai lulus ujian dokter sebagai Nederland Arts di Utrecht Belanda, pupus sudahlah anggapan jelek bahwa bangsa Indonesia itu “laksheid”. Kata ini amat sakit didengar karena berarti pemalas, tidak punya kemauan bekerja atau berbuat sesuatu. Setelah Indonesia muda terbentuk, berarti pemuda Indonesia memiliki organisasi kepemudaan nasional yang solid, kuat dan bercita-cita menuju kemerdekaan yang lebih pasti. Anggota IM terdiri dari semua pemuda seperti anak-anak SLP, SLA, sekolah khusus, kejuruan sederajat dan mahasiswa. Sejak tahun 1931 kongres demi kongres diadakan sehingga lebih menampakkan eksistensinya. Nyatanya memang IM tidak berafiliasi dengan partai politik. Dari sekilas terhadap peristiwa bersejarah tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian dikenal sebagai “Sumpah Pemuda” terjadi berkat kesepatan yang muncul diantara pimpinan organisasi kepemudaan dan kedaerahan. Berangkat dari konflik secara damai simbolik keberadaan penjajah Belanda yang menyimbolkan berbagai kelompok pribumi sebagai bagian atau berada di bawah Belanda. Masyarakat di wilayah Nusantara terbagi menjadi tiga golongan yakni Eropa, Timar Asing, dan Pribumi. Kata-kata “kami” dalam Sumpah Pemuda menunjukkan keberadaan pihak lain dan ini sekaligus merupakan pencanangan “konflik dengan konsep” terhadap Belanda. Sebagaimana pendapat Asvi Warman Adam, Sumpah Pemuda 1928 dapat dipandang sebagai “Proklamasi” bangsa Indonesia dan perubahan sosial politik yang terjadi dalam dunia ide dan pemikiran. Secara terbuka, “jiwa” dan “roh” bangsa Indonesia “ditiupkan” dalam bentuk Sumpah Pemuda, diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh WR Soepratman di Kramat Raya 106 pada tanggal 28 Oktober 1928. Selanjutnya, jiwa itu menyertai “raga” bangsa (nation) Indonesia yang lahir pada 17 Agustus 1945 di tengah perjuangan menentang fasis Jepang dan kolonialis Belanda. Sebelum Sumpah Pemuda, konflik dengan kekerasan dilakukan pada tingkat lokal dan didasarkan rasa permusuhan terhadap penjajahan Belanda. Sejak Sumpah Pemuda terjadilah “Pemerdekaan secara simbolik dan mental”, karena saat itu diikrarkan kecintaan pada Indonesia. Ketika itu “Hindia Belanda” secara terbuka telah “didekontruksi” dan sekaligus “direkontruksi” menjadi “Indonesia”. Setelah proklamasi, yakni dalam perang mempertahankan kemerdakaan, kaum nasionalis berkonflik dengan Belanda demi Indonesia, bukan untuk kepentingan lokal lagi. Pada masa Sumpah Pemuda, sentimen kesukuan dan kedaeerahan dikalahkan oleh rasa kebangsaan, mereka yang membawa nama kedaerah dan agama sepakat berpikir dan bertindak sebagai satu bangsa. Demi kepentingan bangsa, mereka rela menyampingkan kepentingan organisai kedaerahan, kesukuan dan keagamaan. C. SUMPAH PEMUDA DALAM LINTASAN SEJARAH BANGSA Sumpah Pemuda yang pada tanggal 28 Oktober tahun 2012 ini akan diperingati dalam usianya yang ke-84, merupakan jiwa pemersatu bangsa, semangat dan roh yang menjiwai perjuangan bangsa. Kaitannya dengan perjuangan proklamasi kemerdekaan, uraian seperti berikut ini tidaklah berlebihan bahwa Sumpah Pemuda merupakan peristiwa besar dan maha penting bagi bangsa kita dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda dan merebut kemerdekaan nasional. Begitu besarnya arti atau peran yang dikandungnya, boleh dikatakan bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan dalam tahun 1945 tidak akan diperoleh oleh bangsa kita, seandainya tidak ada Sumpah Pemuda dalam tahun 1928. Sumpah Pemuda 1928 adalah cikal bakal proklamasi kemerdekaan 1945 yang melahirkan NKRI. Sumpah Pemuda adalah sumber konsep besar persatuan bangsa yang dikenal sebagai Bhinneka Tunggal Ika. Sumpah Pemuda adalah juga landasan inspirasi gagasan besar Bung Karno yang kemudian dirumuskan dalam Pancasila. Arti penting semangat yang dijiwai oleh Sumpah Pemuda dalam menumbuhkan persatuan yang menjadi modal perjuangan merebut kemerdekaan untuk memasuki masa depan yang lebih baik, dalam perjalanannya sampai dengan era Reformasi telah mengalami berbagai ujian dan cobaan. Sebagian tonggak sejarah bahan tinjauan Sumpah Pemuda setelah tercapainya kemerdekaan, berikut ini dikemukakan beberapa pokok-pokok, di antaranya: 1. Kembali kepada Negara Kesatuan Kemerdekaan 17 Agustus 1945, mendapat ujian dan cobaan. Upaya Belanda untuk menguasai kembali dilakukan berbagai cara dengan segenap kemampuannya. Secara sistematis-politis, upaya memecah belah dilakukan dengan mendorong munculnya kembali semangat kedaerahan dalam wujud proyek Republik Indonesia Serikat dengan mendirikan negara daerah, negara bagian. Proyek itu mengalami kegagalan berkat kemauan dari bangsa Indonesia untuk tetap dalam semangat persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akhir dari peristiwa tersebut menyisakan persilangan konsep dasar antara pengakuan kedaulatan dengan penyerahan kedaulatan. 2. Tantangan Eksternal dan Internal Gerakan Kedaerahan Dalam perjalananannya nasionalisme itu ditafsirkan berbeda-beda dari masa ke masa. Ketika Soekarno memegang tampuk kekuasaan, secara eksternal nasionalisme itu dihubungkan dengan kebangkitan dunia ketiga dan perjuangan anti kolonialisme. Adapun secara internal, terkait dengan mulai timbulnya gerakan separatis pada tahun 1956, maka Bung Karno berpidato tentang ”penyimpangan dari Sumpah Pemuda 1928”. Ketika keadaan menjadi kritis tahun 1957, pergolakan daerah muncul, maka justru ketika itu peringatan Hari Sumpah Pemuda dirayakan secara besar-besaran. Diperlukan simbol pemersatu, dan itu diperoleh dari pernyataan pada Sumpah Pemuda. 3. Merengkuh Kembali Wilayah Irian Barat Setelah pergolakan di daerah dapat diatasi, maka Sumpah Pemuda pun dikaitkan dengan Manipol tahun 1960 dan pada tahun berikutnya Sumpah Pemuda merupakan bagian dari slogan untut merebut Irian Barat. 4. Pembangunan Nasional Pada era Orde Baru, nilai-nilai pada Sumpah Pemuda dihubungkan dengan upaya untuk memantapkan landasan pembangunan nasional. Nasionalisme itu diberi makna dan diselaraskan dengan pembangunan yang mengandalkan stabilitas keamanan serta “persatuan dan kesatuan”. Sumpah Pemuda bukan hanya simbol pemersatu, tetapi mengakui adanya pluralisme bangsa. Setelah Soeharto jatuh, muncul istilah kemajemukan, sesuatu yang jarang disebut pada masa sebelumnya. 5. Tantangan nasionalisme Pada era Reformasi, ide nasionalisme kembali di bawah bayang-bayang konflik komunal dan apa yang sering disebut sebagai “disintegrasi nasional”. Peristiwa Poso, Sampit, Aceh, dan Irian Jaya yang pada awal reformasi sempat berkobar panas membara tersulut oleh lepasnya Timor Timur dari bumi pertiwi, satu demi satu dapat didinginkan oleh upaya yang disemangati oleh roh persatuan dalam Sumpah Pemuda. Pencerahan reformasi dalam politik kebangsaan, tantangan keterpurukan harkat dan martabat bangsa mestinya dapat menyingkirkan kepentingan sempit kelompok partai sebagaimana dipertontonkan oleh elite partai. D. REFORMASI DALAM SEMANGAT SUMPAH PEMUDA Masa depan bangsa terletak di tangan pemuda. Sebagaimana Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama, proklamator kita pernah berucap “Berikan aku 10 pemuda dan akan aku goncang dunia”. Demikian pula yang dikemukakan oleh Ben Anderson dalam Revolusi Indonesia, bahwa pemuda merupakan sumber kekuatan utama revolusi. Sejarah Indonesia juga mencatat runtuhnya dua rezim karena gerakan pemuda. Tritura yang lahir dari gerakan pemuda tahun 1966 berhasil menghapuskan komunisme di tanah air. Dan tentunya masih terekam dengan jelas gerakan reformasi 1998 yang memakan korban sejumlah pemuda dan menjadi titik balik demokrasi di Indonesia, dipelopori oleh pemuda. Pemuda selalu berperan dalam setiap zaman. Ketika kolonialisme tidak lagi pada masanya, pemuda harus tetap memainkan peran dalam perang ekonomi global abad ini. Sumpah pemuda lahir karena adanya ruang-ruang sempit pemikiran kedaerahan bangsa ini. Mengusung semangat sumpah pemuda, kita harus menghapus batas-batas kedaerahan, agama maupun partai untuk memajukan negara ini sesuai cita-cita dari founding fathers. Hilangkan kepentingankepentingan sempit politik sesaat. Satukan pikiran untuk membawa kemerdekaan yang sesungguhnya kepada bangsa ini. Pembangunan negara ini harus kembali diarahkan ke jalur yang benar. Setelah 84 tahun sumpah pemuda, sudah saatnya pemuda di era reformasi tidak hanya menjadi Agent of Change, tetapi Agent of Solution itu sendiri. Setelah berhasil membidani lahirnya reformasi, suka atau tidak suka, dengan semangat membangun bangsa ke depan, semangat pemuda harus kembali tampil mempelopori perebutan secara beradap di partai politik di Senayan sebagai penentu rumusan perjalanan bangsa dan negara ke depan, menggeser pendompleng-pendompleng reformasi yang telah bertingkah mengingkari roh reformasi. Pada era reformasi, dalam kurikulum sejarah 2004 dimasukkan butir Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia tahun 1925 di negeri Belanda. Manifesto ini dianggap lebih maju dari Sumpah Pemuda karena memadukan unsur persatuan, kesetaraan dan kemerdekaan. Sedangkan pada Sumpah Pemuda hanya terdapat unsur persatuan. Persatuan itu hanya bermakna bila ada kesataraan, dan keduanya hanya dapat diperoleh bila ada kemerdekaan. Kesetaraan juga akan mewujudkan keadilan, sesuatu yang masih dicari sampai sekarang. Pada saat dibacakan Sumpah Pemuda dinyatakan pula bahwa sejarah (persamaan nasib, musuh bersama, tekad untuk hidup bersama le decir d’etre ensemble) memang telah menjadi faktor perekat bangsa. Demikian pula penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada tahun 1928 adalah pilihan yang jitu mengacu kepada masa depan. Bahasa Indonesia yang berasal dari Melayu selama berabad-abad telah digunakan sebagai lingua franca di Nusantara ini. Betapa arifnya pemimpin kita masa itu dengan kesepakatan memilih sebuah bahasa yang bukan digunakan oleh etnis mayoritas Jawa atau Sunda. Setelah berhasil dalam persoalan bahasa, kita juga mampu memecahkan masalah yang tidak kalah peliknya yaitu dasar negara. Pendiri negara ini telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Dalam kaitan itu Piagam Jakarta dinyatakan menjiwai pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Sayang sekali seiring perjalanan waktu, masalah ini kembali diungkit. Harapan ke depan yang lebih cerah, dapat dipetik dari pidato kenegaraan 17 Agustus 2008 oleh Presiden Republik Indonesia: Saudara-saudara, Tahun 2008 ini merupakan tahun yang sangat bermakna bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tahun ini kita memperingati kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-63, bertepatan dengan peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional; 80 tahun Sumpah Pemuda; dan 10 tahun Reformasi. Tonggaktonggak sejarah ini, membuktikan jati-diri Indonesia sebagai bangsa yang besar, bangsa yang tangguh, bangsa yang selalu mampu mengatasi tantangan zaman. Setiap cobaan yang kita alami, membuat kita lebih tegar. Setiap krisis yang kita hadapi, membuat kita lebih kuat. Setiap tantangan yang silih berganti, membuat kita lebih bersatu. Dalam 10 tahun terakhir semenjak bergulirnya reformasi, bangsa Indonesia telah menjalani salah satu era yang paling transformasional dalam sejarah Indonesia modern. Kita tahu, hanya segelintir bangsa-bangsa di dunia yang menghadapi badai dan gejolak bertubi-tubi sebagaimana yang kita alami. Dan hanya segelintir kecil bangsa-bangsa yang mampu bertahan, bahkan bangkit menjadi lebih tegar akibat dari cobaancobaan sejarah tersebut. Dari kondisi yang terpuruk 10 tahun yang lalu, Indonesia kini telah berubah menjadi bangsa yang dinamis dan penuh harapan. Kita sudah pulih dari krisis moneter yang dulu melumpuhkan Indonesia. Kita telah melaksanakan reformasi yang menyeluruh di berbagai sektor. Kita sudah berhasil menjalani transisi demokrasi yang penuh tantangan, yang kini menjadikan Indonesia negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Kita juga berhasil mengembangkan budaya politik baru yang demokratis, yang mengedepankan keterbukaan, kebebasan berpendapat, dan akuntabilitas pada rakyat, di mana sekarang hukumlah yang menjadi panglima. Kita juga berhasil, dalam tahun-tahun terakhir ini, memperkokoh integritas NKRI: Aceh yang damai, Papua yang stabil, serta Maluku, Poso, dan Sampit yang tenteram. Kita berhasil mengatasi bencana alam paling dahsyat di dunia, yaitu tragedi tsunami tahun 2004, dengan semangat solidaritas dan gotong-royong. Dan kita telah kembali menempatkan Indonesia di garis terdepan dalam percaturan regional dan internasional. Semua ini bukanlah prestasi individu atau kelompok, namun prestasi dan kerja keras seluruh bangsa Indonesia. Dengan segala perubahan mendasar ini, kita tetap melestarikan jati-diri bangsa kita, yang tercermin dalam empat pilar: yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Apapun yang terjadi, kita harus terus berpegang teguh pada keempat pilar itu, sebagai landasan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejarah kemudian membuktikan bahwa modal kejuangan diatas amat penting artinya pasca penjajahan Jepang (1942-1945), dimana api Revolusi Kemerdekaan mulai dinyalakan dengan kesadaran adanya kesatuan dan persatuan kebangsaan yang bermotifkan pantang untuk dijajah kembali oleh kekuatan asing apapun bentuknya. Proklamasi Kemerdekaan mengawali "Revolusi Pemoeda", dan berahir ketika penjajah terahir di Indonesia yaitu Imperium Belanda menyatakan pengakuannya pada Kemerdekaan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Tidak sampai 1 tahun kemudian, RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk kembali pada tanggal 17 Agustus 1950. Kiranya layak untuk berharap bahwa Sumpah Pemuda di era reformasi memperoleh perhatian yang memadai dengan mengadakan upacara peringatan yang meriah sebagai momentum membangkitkan kembali gelora kebangsaan.
0 notes
Text
Thought via Path
MERDEKA MBAHMU Surabaya, 18/08/2014. Tahun kemarin saya terperanjat membaca kata kata tersebut di atas yang muncul di media sosial. Saya sempat berpikir kurang ajar banget yang membuat istilah tersebut. Tetapi kembali saya mengunyah setiap Informasi yang saya baca dan baru mengunyah setelah halus, agar tenggorokan saya tidak tersedak. Ungkapan itu seperti mencerminkan sifat apatis, dan putus asa seorang Patriot dengan keadaan negerinya Indonesia yang jauh dari kondisi merdeka sepenuhnya, sehingga terucap makian itu. Seperti yang pernah saya tulis di tahun kemarin trilogi Kemerdekaan untuk Merebut Kedaulatan bangsa seutuhnya, bahwa Bangsa Indonesia masih jauh dari makna kemerdekaan itu sendiri. Dan sepertinya itu sudah tidak disadari oleh generasi sekarang, bahwa masih banyak yang harus direbut. Membaca kenangan para generasi muda tentang masa kecilnya saat memperingati Kemerdekaan Indonesia tiap 17 Agustus, ternyata rata rata kenangannya beragam dan sama, yaitu mereka sangat senang mengingat masa kecilnya yang ikut berbagai macam perlombaan yang diadakan di kampung kampung dan perumahan di daerahnya. Dan kenangannya makin bertambah bila mereka menjadi juara di salah satu perlombaan tersebut. Tetapi yang membuat saya miris rata rata mereka SEBEL dengan kenangan ikut Upacara bendera memperingati detik detik proklamasi,bahkan ada yang tidak mengerti tentang upacara “Renungan Suci” di makam para pahlawan yang dilaksanakan di malam 17 Agustus. Mungkin saat ini sepengatuan generasi muda malam 17 agustus itu identik dengan malam tirakatan yang diisi dengan syukuran dengan nasi tumpeng dan berkumpul dengan para tetangga di pos satpam, pos RT ataupun pos RW. Di era 90-an, malam tirakatan masih ada acara mendengar kisah kisah dari para pejuang, Veteran yang mengangkat senjata dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan agar bisa menulari semangat perjuangan ke genarasi muda. Sekarang acara Malam tirakatan sudah melenceng dari makna dari malam 17 Agustus sesungguhnya. Mungkin sekarang hanya diisi dengan seremonial menutup jalan untuk melaksanakan tumpengan menandai bersyukurnya Republik ini, telah merdeka dan diiringi oleh lagu lagu dangdut koploan yang lagi laris. MERDEKA BANGSAKU Merdeka Mbahmu bisa diartikan bahwa yang mengerti arti merdeka sesungguhnya adalah mbah mbah kita yang lebih menghormati dan memaknai arti merdeka dibandingkan generasi sekarang yang tak peduli apa arti merdeka. Generasi sekarang yang penting bisa mencari uang untuk: makan, sandang, papan dan Hiburan. Mereka lebih peduli bahwa rejekinya tetap mengalir lancar walaupun itu dari sesuatu yang menjerat dan merongrong negaranya, lagi mengancam Integritas negara ini ke depan. Gaya hidup Hedonisme sudah mengakar merubah kepedulian anak bangsa. Mereka lebih peduli dirinya, anaknya, bahkan cucunya agar tidak akan kekurangan. Mereka lupa bahwa anak dan cucu bangsa ini juga harus tetap merdeka dengan segala sumber daya yang dipunyai, yang ditinggalkan oleh mbahnya pendiri negara Indonesia ini. Bila ingin istilah Merdeka Mbahmu tidak identik dengan kondisi sekarang bagi bangsa Indonesia, maka ketahuilah tentang kejayaan kejayaan bangsa Indonesia dan jadikan semangat untuk mengisi kemerdekaan dan menuju kedaulatan bangsa sepenuhnya. Mungkin saya bisa menggali apa info info untuk generasi muda tentang bangsa dan negaranya di bawah ini sebagai pengganti wejangan dari para veteran yang tidak didapatkan dalam malam tirakatan kemarin : INDONESIA Nama Indonesia tidak hanya dicomot begitu saja. Pada zaman Purba kepulauan tanah air kita disebut dengan berbagai nama. Orang Tionghoa menyebut dengan Nan Hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menyebut dengan Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang). Bangsa Arab menyebut dengan Jaz’ir Al Jawi (Kepulauan Jawa). Ketika bangsa Eropa datang ke negara kita, mereka menyebut dengan Kepulauan Hindia (Indische Archipel/Indian Archipelaho). Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara (mengambil dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920). Nama Indonesia diterbitkan sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), Singapura pada tahun 1847, yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay- Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu, untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians. Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Makna politis Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan!. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. “Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”, ujar mereka. Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. “Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah. Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia. MERAH PUTIH Warna Merah dan Putih sangat dihormati oleh bangsa Indonesia. Warna putih dan merah dianggap lambang KEAGUNGAN, Kesaktian KEJAYAAN. Hal ini tidak terlepas dari sejarah Bangsa Indonesia purba yang saat itu masih mendiami daratan Asia Tenggara, kurang lebih 6000 tahun lalu yang mengganggap matahari dan bulan adalah benda benda langit yang sangat penting dalam perjalanan hidup umat manusia. Penghormatan terhadap benda benda langit tersebut disebut “Penghormatan Surya Candra”. Bangsa Indonesia menghubungkan Matahari dengan warna merah dan bulan dengan warna putih, akibat dari penghormatan Surya Candra maka bangsa Indonesia sangat menghormati warna merah dan putih. Bagi bangsa Indonesia dan bangsa Aestronia, warna merah dan putih merupakan lambang keagungan, kesaktian dan kejayaan. Berdasarkan anggapan tersebut maka Lambang perjuangan bangsa Indonesia dan Lambang negara nasional yang berbentuk bendera berwarna Merah dan Putih. Dan Bendera merah putih bergelar “Sang” yang berarti kemegahan turun temurun, sehingga “Sang Saka” berarti bendera warisan yang dimuliakan. Bandira / Bandir yang artinya umbul-umbul. Bandiera dari Bahasa Itali Rumpun Romawi Kuno. Dalam Bahasa Sangsakerta untuk Pataka, Panji, Dhuaja. Bendera adalah lambang kedaulatan kemerdekaan. Di mana negara yang memiliki dan mengibarkan bendera sendiri, berarti negara itu bebas mengatur segala bentuk aturan negara tersebut. Menurut W.J.S. Purwadarminta, Bendera adalah sepotong kain segi tiga atau segi empat diberi tongkat (tiang) dipergunakan sebagai lambang, tanda, panji tunggul. UNTUK DIRENUNGKAN “Tuan-tuan Hakim, siapakah orang Indonesia yang tidak mengeluh hatinya, kalau mendengarkan cerita tentang keindahan itu. Siapakah yang tidak menyesalkan hilangnya kebesaran kebesarannya ?. Siapakah orang Indonesia yang tidak hidup semangat nasionalnya kalau mendengarkan riwayat tentang kebesaran kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Tentang kebesaran Mataram yang pertama, kebesaran zaman Sindok dan Erlangga, Kediri dan Singasari, Majapahit dan Pajajaran. Kebesaran pula dari Bintara, Banten dan Mataram kedua di bawah Sultan Agung. “Siapakah orang Indonesia yang tidak mengeluh hatinya kalau ia ingat akan benderanya yang dulu ditemukan dan dihormati orang sampai di Madagaskar di Persia dan di Tiongkok. Tetapi sebaliknya, siapakah yang tidak hidup harapannya dan kepercayaannya, bahwa rakyat yang demikian besarnya hari dulu, memiliki cukup kekuatan untuk mendatangkan hari kemudian yang indah pula, yang seharusnya pasti masih mempunyai kebisaan-kebisaan meningkat lagi, di atas tingkat kebesaran untuk kemudian hari. Siapakah yang tidak seolah-olah mendapat nyawa baru dan tenaga baru kalau ia membaca riwayat zaman dulu itu !. Begitulah pula rakyat, dengan mengetahui kebesaran hari dulu itu, lantas hiduplah rasa “Nasionalnya”, lantas menyala lagi api harapan di dalam hatinya, dan lantas mendapat lagilah rakyat itu nyawa baru dan tenaga baru oleh karenanya.” (Ir.Soekarno, dalam pidato pembelaannya di depan Pengadilan Kolonial Hindia Belanda, 1930). Sun Tzu berkata, untuk menghancurkan suatu bangsa salah satu caranya adalah dengan mengaburkan/menutupi Sejarah Kejayaaan dulu bangsa tersebut. Maka PELAJARILAH Kejayaan bangsamu agar menyala api semangat nasionalisme dan mendapatkan nyawa baru dan Tenaga baru untuk mengisi kemerdekaan menuju Indonesia Jaya selanjutnya, atau merdeka itu hanya kiasan “Merdeka Mbahmu”. diolah dari berbagai sumber (By Satrio). Sumber : https://jakartagreater.com/merdeka-mbahmu/ #MerdekaMbahMu – Read on Path.
0 notes
Text
Hubungan Indah dan Bersejarah Antara Indonesia dengan Palestina
Hubungan Indah dan Bersejarah Antara Indonesia dengan Palestina
Harianpublik.com – Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari Palestina. Hal ini disebabkan sejarah Indonesia berkaitan erat dengan Palestina. Berikut adalah penuturan tentang hubungan yang begitu indah dan bersejarah yang melingkupi Indonesia dan Palestina.
Pemuda Palestina berhadapan dengan tentara Yahudi
Hubungan Indah dan Bersejarah Antara Indonesia dengan Palestina
Hari-hari terakhir ini, kawasan Masjid Aqsha di Palestina kembali memanas. Penyebabnya tidak lain kebrutalan dan kesewenang-wenangan Israel yang tetap ingin mengangkangi tanah air bangsa Palestina.
Umat Islam di seluruh penjuru dunia tergerak membela dan mendukung perjuangan rakyat Palestina, bukan saja karena di sana terletak Masjid Aqsha, tetapi terlebih-lebih karena perbuatan Israel mengangkangi tanah Palestina bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Di Indonesia, soal Palestina telah menjadi perhatian umat Islam, bahkan saat bangsa ini masih dijajah oleh kolonial Belanda, beberapa tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Anak-anak Palestina
Palestina Mendukung Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Hubungan bangsa Indonesia dengan bangsa Palestina memang sudah terjalin jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada pertengahan tahun 1920-an, datang ke Mesir seorang pemuda bernama Abdul Kahar Mudzakkir (1907-1973). Selain berkuliah di Universitas Al-Azhar dan Universitas Darul Ulum, pemuda asal Kotagede, Yogyakarta itu aktif memperkenalkan Indonesia yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda melalui tulisan-tulisannya di surat-surat kabar Mesir seperti Al-Ahram, Al-Balagh, Al-Fatayat, dan Al-Hayat.
Berkat aktivitasnya itu, Mudzakkir populer di Mesir. Pada 1931, Mudzakkir diminta oleh Mufti Besar Palestina, Sayyid Amin Al-Husaini untuk mengikuti Muktamar Islam Internasional di Palestina sebagai wakil umat Islam Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan pimpinan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) di tanah air, Mudzakkir berangkat ke Palestina. Mudzakkir hadir di Muktamar bukan saja sebagai peserta termuda, tetapi juga berperan cukup signifikan, karena oleh Mufti Palestina, Mudzakkir diminta menjadi Sekretaris Muktamar, mendampingi Sayyid Amin Al-Husaini.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Mudzakkir untuk lebih mengenalkan Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim dan meminta dukungan Muktamar bagi perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
Mengenai peristiwa ini, Tashadi, penulis biografi Mudzakkir, menulis: “Kongres Islam di Palestina pada tahun 1931, bagi bangsa Indonesia yang terjajah merupakan satu tonggak sejarah…. Pemuda Abdul Kahar Mudzakkir berani menentang seluruh struktur kolonial Belanda pada 1930, yakni ketika Perdana Menteri Belanda, Colyn, mengatakan bahwa kekuasaan Belanda di Indonesia kokoh seperti gunung.”
Peristiwa di tahun 1931 itu menjelaskan mengapa Mufti Sayyid Amin Al-Husaini memberikan dukungan ketika Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Janji Jepang itu disampaikan oleh Perdana Menteri Jepang, Koiso, di depan Sidang Istimewa Teikoku Gikai pada 7 September 1944.
Segera sesudah mendengar janji PM Jepang, Mufti Palestina mengirim telegram kepada PM Koiso yang antara lain menyampaikan penghargaan atas janji PM Jepang itu. Menurut Amin Al-Husaini, sekalian kaum Muslimin di dunia sungguh memperhatikan benar-benar nasib Indonesia.
Masjid Al Aqsha yang sebenarnya
Resolusi Congres Al-Islam Indonesia I
Pada 25-28 Dzulhijjah 1356 bertepatan dengan 26 Februari-1 Maret 1938, di Surabaya diselenggarakan Congres Al-Islam Indonesia ke-1. Congres Al-Islam ini diikuti oleh 25 organisasi Islam baik tingkat pusat maupun tingkat cabang, dan Komite Umat Islam dari berbagai daerah.
Wakil-wakil perhimpunan yang bermandat itu ialah: 1. Lajnah Tanfiziyah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) di Jakarta, 2. Hoofdbestuur Muhammadiyah di Yogyakarta, 3. Hoofdbestuur Nahdlatul Ulama di Surabaya, waktu pengambilan keputusan delegasi HBNU tidak hadir, 4. Hoofdbestuur Perserikatan Ulama di Majalengka, 5. Jong Islamieten Bond di Semarang, 6. Hoofdbestuur Ahmadiyah Lahore di Solo, 7. Hoofdbestuur Al-Islam di Solo, 8. Hoofdbestuur Perserikatan Penghulu dan Pegawainya (PPDP) di Solo, 9. Perhimpunan Putera Surabaya (Pesura). 10. Al-Irsyad Surabaya, 11. Al-Irsyad Banyuwangi, 12. Partai Arab Indonesia (PAI) Cabang Surabaya, 13. Muro’atul Ikhwan Surabaya, 14. Kolliyah Islam Surabaya, 15. Al-Khairiyah, 16. Perhimpunan Pegawai Pos Telegram Telepon dan Radio Dients Rendahan (PTTR) Cabang Surabaya, 17. Komite Pembela Agama Islam Palembang, 18. Komite Persatuan Ummat Islam Banjarnegara, 19. Komite Ummat Islam Malang, 20. Komite Ummat Islam Purworejo. 21. Komite Ummat Islam Probolinggo, 22. Komite Ummat Islam Cibadak, 23. Komite Ummat Islam Banyuwangi, 24. Komite Ummat Islam Makassar, dan 25. Komite Ummat Islam Ketanggungan.
Congres Al-Islam menyepakati sembilan keputusan yang meliputi soal-soal 1. Perbaikan peraturan perkawinan menurut syara’ agama Islam, 2. Penghinaan pada Nabi Muhammad saw, Al-Quran, dan agama Islam, 3. Hak waris Ummat Islam dan Raad Agama, 4. Rencana perbaikan urusan hak waris dan Raad Agama, 5. Daya upaya mempersatukan permulaan hari Puasa dan seterusnya, 6. Perbaikan perjalanan haji, 7. Bea pemotongan (slachtbelasting) pada waktu Hari Raya Haji (Qurban), 8. Propaganda agama Islam pada kolonisten, dan 9. Palestina.
Masjid Al Aqsha
Tiga Butir Keputusan Soal Palestina
Mengenai masalah Palestina, Congres Al-Islam memutuskan: 1. Algemeene Actie Congres menyerahkan pada sekretariat Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) supaya menyiarkan sebanyak-banyaknya maklumat kepada perhimpunan-perhimpunan Islam di seluruh Indonesia dengan pengharapan yang keras supaya nanti pada hari Jum’ah tanggal 14 Shafar 1357 atau 15 April 1938 mengadakan aksi bersama-sama untuk mengamalkan doa qunut baik di masjid-masjid maupun di surau-surau teruntuk bagi arwah umat Islam di Palestina yang telah menjadi korban, dan juga bagi keselamatan mereka yang sekarang sedang menghadapi rupa-rupa bahaya itu.
2. Congres berseru kepada perhimpunan-perhimpunan dan juga pada umat Islam Indonesia untuk membantu uang dengan keikhlasan hati kepada saudara-saudara umat Islam di Palestina yang di dalam kesengsaraan itu dengan perantaraan Comite Palestina di Batavia Centrum.
3. Congres menyerahkan kepada Sekretariat MIAI untuk menyampaikan mosi kepada mandaten Comissie Volkenbond di Geneve yang maksudnya supaya hajat England hendak membagi-bagi Palestina menjadi tiga (Yahudi, Arab, dan England) itu dapat dibatalkan.
Aksi Solidaritas untuk Palestina
Sikap NU Dipuji
Meskipun tidak ikut di dalam pengambilan keputusan pada Congres Al-Islam ke-1 di Surabaya, tidak berarti Nahdlatul Ulama duduk berpangku tangan menyaksikan penderitaan rakyat Palestina.
Di halaman awal Berita Nahdlatoel Oelama Nomor 21 Tahun ke-7, 6 Rejeb 1357/1 September 1938 terdapat tulisan berjudul “Falesthiena”. Tulisan tanpa nama penulis itu patut diduga merupakan editorial atau tajuk rencana BNO nomor itu.
Setelah menguraikan riwayat perjuangan rakyat Palestina yang tanahnya dirampas oleh Inggris dan diberikan kepada Yahudi, tulisan itu menegaskan bahwa kesengsaraan rakyat Palestina sungguh wajib mendapat perhatian umat Islam seluruh dunia. “Umat Islam wajib menolong saudaranya yang ditimpa malapetaka, bencana yang maha hebat itu…,” tulis BNO.
Di bagian penutup tulisan, BNO menjelaskan bahwa Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama bersedia akan menyampaikan derma siapapun, kepada umat Islam Palestina, dan bersedia pula akan menguruskannya. Derma-derma itu, tulis BNO boleh diperantarakan kepada pengurus cabang NO di mana-mana tempat untuk disampaikan kepada HBNO. BNO mengingatkan bahwa di Surabaya dan Betawi, warga keturunan Arab sudah lama mendirikan Comite Penolong Kesengsaraan Palestina. “Bangsa kita harus menyusul,” tutup BNO.
Tidak berhenti pada pengumpulan derma, HBNO –seperti dicatat oleh H. Agus Salim (1884-1954) dalam tulisannya di Pandji Islam, 9 Januari 1939– “menggiatkan usaha akan mendapatkan persatuan gerak bersama dari antara berbagai-bagai pergerakan Islam berkenaan dengan soal Palestina.”
HBNO memandang soal Palestina sebagai satu perkara yang amat berat kepentingannya untuk alam Islam seluruhnya dan umat Islam segenapnya.
Pendirian dan gerak HBNO itu dipuji oleh Salim. “Dan sungguh benar sekali pendapatnya dan patut sekali perbuatannya itu, yang harus mendapat sepenuh-penuh persetujuan dari segala pihak dan golongan kaum Muslimin,” tulis Salim.
Unkapan Cinta Palestina untuk Indonesia
Soal Nasionalisme
Agus Salim berpendapat soal Palestina bukan semata-mata soal agama, melainkan soal politik. Soal Palestina berkait dengan permainan politik Inggris yang ingin mendapatkan dukungan pada Perang Dunia dengan menjanjikan tanah bangsa Palestina untuk kaum Yahudi diaspora.
Bangsa Palestina yang beragama Yahudi, sejak masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi menaklukkan Aursalaim di tahun 1187, sampai runtuhnya Kesultanan Turki pada 1918, tidak pernah terganggu keamanan hidupnya.
“Daripada bukti riwayat itu,” kata Salim, “boleh kita tetapkan bahwa pertentangan Arab-Yahudi di Palestina bukanlah pertentangan karena agama.” Menurut Salim, pertentangan itu ialah soal nasionalisme rakyat Palestina yang terbit karena perasaan kebangsaan yang dilukai dan hak-hak sebangsa yang dilanggar oleh kekuasaan Inggris.
Siapa saja yang mengaku dirinya nasionalis, tidak layak bungkam melihat penderitaan rakyat Palestina yang seolah tidak kunjung berakhir.
Oleh: Lukman Hakiem*
Sumber : Source link
0 notes
Photo
Mengenal Mohammad Natsir
Politisi dan da’i sejati. Itulah sebutan yang nampaknya tidak berlebihan jika dilalamatkan pada sosok laki-laki pejuang Islam: Mohammad Natsir.
Mohammad Natsir lahir di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai juru tulis kontrolir di kampungnya. Ibunya bernama Khadijah. Ia dibesarkan dalam suasana kesederhanaan dan dilingkungan yang taat beribadah.
Laki-laki Pintar dan Cerdas
Natsir mulai menuntut ilmu tahun 1916 di HIS (Holland Inlandische School) Adabiyah, Padang kemudian pindah di HIS Solok. Sore hari belajar di Madrasah Diniyah dan malam hari mengaji ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab.
Tamat dari HIS tahun 1923, Natsir melanjutkan pendidikannya di MULO (SMP) (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Padang. Disanalah ia mulai aktif berorganisasi di Jong Islamieten Bond (JIB) atau Perkumpulan Pemuda Islam cabang Sumatra Barat bersama Sanoesi Pane. Aktivitas utama organisasi ini pada saat itu adalah menentang para misionaris kristen di wilayah Sumatra Utara.
Natsir adalah laki-laki cerdas. Sejak muda ia mahir berbahasa Inggris, Arab, Belanda, Prancis, dan Latin. Karena kecerdasannya, tamat dari MULO pada 1927, Natsir mendapat beasiswa studi di AMS (Algemere Middlebare School) A-II setingkat SMA di Bandung dan lulus tahun 1930 dengan nilai tinggi. Ia sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya, agar ia menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi.
Tetapi, semua peluang itu tidak diambil oleh Natsir, yang ketika itu sudah mulai tertarik kepada masalah-masalah Islam dan gerakan Islam. Di kota inilah ia berkenalan dengan H. Agus Salim dari Syarekat Islam, Ahmad Soorkaty pendiri organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah, dan A. Hasan, pendiri Persatuan Islam (Persis). Natsir mengambil sebuah pilihan yang berani, dengan memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan A. Hasan. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.
Aktivis Sejati
Sedari muda Natsir aktif berorganisasi. Berbagai aktivitas dakwah dan politik dijalaninya dengan penuh kesungguhan hingga akhir hayatnya. Berikut ini organisasi-organisasi dan berbagai jabatan yang sempat diembannya:
Ketua Jong Islamieten Bond, Bandung.
Mendirikan dan mengetuai Yayasan Pendidikan Islam di Bandung.
Direktur Pendidikan Islam, Bandung.
Menerbitkan majalah Pembela Islam, dalam melawan propaganda misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan kaki tangan asing.
Anggota Dewan Kabupaten Bandung.
Kepala Biro Pendidikan Kota Madya (Bandung Shiyakusho).
Memimpin Majelis Al Islam A’la Indunisiya (MIAI).
Menjadi pimpinan Direktorat Pendidikan, di Jakarta.
Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta.
Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Anggota MPRS.
Pendiri dan pemimpin partai MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia)
Dalam pemilu 1955, yang dianggap pemilu paling demokratis sepanjang sejarah bangsa, Masyumi meraih suara 21% (Masyumi memperoleh 58 kursi, sama besarnya dengan PNI. Sementara NU memperoleh 47 kursi dan PKI 39 kursi). Capaian suara Masyumi itu belum disamai, apalagi terlampaui, oleh partai Islam setelahnya, hingga saat ini.
Menentang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda dan mengajukan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dikenal dengan Mosi Integrasi Natsir. Akhirnya RIS dibubarkan dan seluruh wilayah Nusantara kecuali Irian Barat kembali ke dalam NKRI dengan Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri-nya. Penyelamat NKRI, demikian presiden Soekarno menjuluki Natsir.
Menteri Penerangan Republik Indonesia.
Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.
Anggota Parlemen. Penentang utama sekulerisasi negara, pidatonya “Pilih Salah Satu dari Dua Jalan; Islam atau Atheis” di hadapan parlemen, memberi pengaruh yang besar bagi anggota parlemen dan masyarakat muslim Indonesia.
Anggota Konstituante.
Menyatukan kembali Aceh yang saat itu ingin berpisah dari NKRI.
Mendirikan dan memimpin Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang cabang-cabangnya tersebar ke seluruh Indonesia.
Wakil Ketua Muktamar Islam Internasional, di Pakistan.
Aktif menemui tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat membela Palestina.
Anggota Dewan Pendiri Rabithah Alam Islami (World Moslem League), juga pernah menjadi sekjennya.
Anggota Majelis Ala Al-Alamy lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia).
Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London.
Pendiri UII (Universitas Islam Indonesia) bersama Moh. Hatta, Kahar Mudzakkir, Wahid Hasyim, dll. Juga enam perguruan tinggi Islam besar lainnya di Indonesia.
Hingga akhir hayatnya, tahun 1993, Natsir masih menjabat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami dan anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami.
Tokoh Dunia Islam
Mohammad Natsir sangat dihormati oleh dunia Islam. Ia adalah ulama, da’i militan yang tidak pernah menyerah kepada lawan, selalu membela kebenaran. Dunia Islam mengakuinya sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara. Tahun 1957, Natsir menerima bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa pernah diberikan kepada ulama besar India, Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul A’la al-Maududi.
Dunia mengakuinya, namun di negerinya sendiri mulai dari rejim Soekarno dan Soeharto telah memandang sebelah mata. Ia beberapa kali masuk penjara dan sampai dilarang pergi keluar negeri oleh pemerintahan Soeharto karena ketokohannya yang sangat disegani dan dihormati di kancah perpolitikan Islam.
Penulis Tangguh
Disamping mahir berorganisasi sehingga menjadi negarawan ulung, Natsir juga berkarya dalam dunia perbukuan untuk mewariskan tsaqafah-nya. Karya-karya Mohammad Natsir antara lain: Fiqhud Da’wah (Fikih Dakwah), Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih Salah Satu dari Dua Jalan), Shaum (Puasa), Capita Selecta I, II, dan III, Dari Masa ke Masa, Agama dalam Perspektif Islam dan masih banyak lagi.
Natsir memang bukan sekedar ilmuwan dan penulis biasa. Tulisan-tulisannya mengandung visi dan misi yang jelas dalam pembelaan terhadap Islam. Ia menulis puluhan buku dan ratusan artikel tentang berbagai masalah dalam Islam. Tulisan-tulisan Natsir menyentuh hati orang yang membacanya.
Haus Ilmu
Natsir juga dikenal sebagai pribadi yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Ia selalu mengambil manfaat dan inspirasi dari para pejuang dan orang-orang salih. Diantara tokoh dunia Islam yang mempengaruhinya adalah Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna, dan Imam Hasan Al-Hudhaibi.
Syuhada Bahri (Ketua DDII) menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir Al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hasan.
Mencintai Dunia Pendidikan
Kecintaan Natsir di bidang pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya ada sembilan kampus yang Natsir berperan besar dalam pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya. Tahun 1984, Natsir juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina Pondok Pesantren Indonesia. Di bidang pemikiran, tahun 1991, Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia.
Cita-citanya yang belum tercapai
Agus Basri dalam sebuah wawancara bertanya kepada Natsir, “Adakah sesuatu yang belum tercapai?” Ia menjawab: “Hingga sekarang ini, yang belum tercapai, sama seperti keinginan saya waktu jadi Perdana Menteri: orang-orang yang rukun, beragama, ada tasamuh, toleransi antara umat beragama yang satu dengan umat yang lain, itu ndak tercapai. Iya, Baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur (Negara sejahtera yang penuh ampunan Allah), itu yang ndak atau belum juga tercapai…”
Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan ampunan padanya. Semoga ada generasi baru yang meneruskan cita-citanya. Amin…
Sumber Tulisan:
Seabad Mohammad Natsir, Mengenang Sosok Da’i negarawan yang tangguh, http://ift.tt/1t1Uz0H
Mengenang Seabad Mohammad Natsir, Adian Husaini
Mengenang Moh. Natsir : Mujahid Dakwah Legendaris, Agus Basri.
Filed under: Tokoh Islam Tagged: Natsir Baca selengkapnya di: http://ift.tt/2hEVHHi
0 notes