#well tbf ri is also panicking so ...
Explore tagged Tumblr posts
fontralis · 2 years ago
Text
cerita  |  2026
Riku memulai dengan suara pelan. “Ko.”
“Ha.”
“Ngadep ke aku dong.”
Arko mengalihkan pandangan dari layar ponsel. “Apaan?”
“Aku mau cerita. Kamu nggak sibuk, kan.”
Bukan pertanyaan. Bahasan seriuskah ini? Pikiran Arko berkeliaran sesaat, menerka-nerka apa yang mungkin telah dilakukan anak malu-malu seperti kembarannya. Mungkin kena tipu MLM. Sepertinya tidak mungkin, mengingat Tiffany mungkin akan mencegah kecerobohan macam itu. Atau habis kena tilang dan tidak paham cara ambil SIM balik di Jakarta. Ini mungkin, sih. Riku tidak pandai menyetir.
Heh, Arko. Serius. Ia memutar kursi untuk menghadap Riku yang duduk di kaki ranjang sambil memainkan plastik Cheetos. “Kenapa?”
“Inget nggak waktu itu aku bilang aku nggak mau dikenalin sama temen kamu, si… siapa itu namanya? Pedro? Pedal?”
“Pedal apaan coba?” Arko tertawa, tidak mengatakan bahwa dirinya juga tidak ingat. Sudah setahun berlalu dan orang itu bukan temannya, hanya koki di tempat ia bekerja yang bahkan jarang satu shift bersama.
“Ya, itulah pokoknya.” Kresek.
“Inget, inget. Kenapa?”
“Waktu itu aku bilang enggak, kan.”
“Iya?” Waktu itu juga Arko menjawab oke-oke saja. Dipikirnya Riku memang ingin fokus pada studi dan kerja, tapi sekarang Arko tahu Riku menolak karena sudah punya pacar. Tiffany pula ternyata.
“Dia, eh, dia nggak marah sama kamu, kan?” Kresek lagi.
“Hah? Enggak lah, aku sih bilangnya kamu sibuk aja.”
“Oh… oke oke. Baguslah dia gak jadi bete sama kamu atau gimana,” kata Riku, masih memainkan plastik makanan kosong dengan jemarinya. Arko tahu untuk tidak memintanya berhenti.
“Iyalah,” Arko menyahut saja.
“Ya. Nice.”
“Yeah.”
Arko diam agar Riku dapat lanjut membawa percakapan ke arah yang dia inginkan, tetapi Riku kembali berkutat dengan plastik, menunduk.
“So?” Arko angkat bicara.
“So, um,” akhirnya Riku membuka mulut, masih tidak menatap Arko. “Aku waktu itu nolak, nolaknya karena, ummm, udah punya pacar.”  
Nyaris Arko menjawab, loh, iya. Fane kan? tapi buru-buru ditelan kata-kata itu. Riku bersikap seperti Arko tidak tahu. Ini tes, kah? Atau Riku memang tidak tahu Arko sudah tahu? “Nice,” sahut Arko. “Mau ngenalin yaaa?” sengaja ia bernada meledek agar Riku tidak gugup-gugup amat.
“Iya.”
“Oke?” Arko menunggu.
“Tapi kamu mesti janji!” Riku memanyunkan bibir.
“Janji apa?”
“Nggak boleh jijik sama aku.”
Arko tertawa. Bolehkah ia tertawa dalam situasi ini? Entah, tapi ia tak yakin bagaimana menjawab agar Riku tidak berprasangka buruk. “Nggak bakalan lah!” akhirnya ia memilih untuk tidak menambah embel-embel seperti jangan serius-serius amat, dong (nanti Riku menganggapnya meremehkan) atau kita kan saudaraan (kata-kata seperti itu tidak memberi rasa tenang sama sekali).
“Beneran, ya.”
“Iya, bener. Janji.”
Riku menunduk ke kanan, menjauhi wajahnya dari pandangan Arko.
Kresek.
“Kalo kubilang... uh... kamu udah kenal pacarku gimana?”
“Good then,” Arko mengangguk-angguk meski Riku tidak melihatnya. “Do I like them?”
Jemari Riku berhenti memainkan plastik Cheetos, menoleh cepat ke Arko saat mendengar kata them. Arko merasa menang dan di kepalanya ia menepuk pundak sendiri. Bagus, bagus.
“Yeah. You like her.” Akhirnya Riku berkata. Wajahnya pucat di bawah lampu redup kamar Arko.
“Good to hear,” lancar betul Arko menjawab. Sepertinya itu respon terbaik yang dapat ia berikan. Kasual? Biasa saja? Takut betul rasanya ia membuat saudaranya itu merasa ia menggampangkan, padahal intensinya untuk menunjukkan sikap suportif dan positif, tapi, tapi Riku sering negative thinking, jadi bisa saja ia salah paham? Arko pusing sendiri. Yang come out saudaranya yang mumet justru diri sendiri. Padahal tinggal terima-terima saja, kan? Alis Riku bertaut mendengar respon kelewat santai itu. Arko sudah memampus-mampusi diri sendiri di dalam hati.
“It’s, uh… a her.” Suara Riku bergetar sedikit.
“Well,” that’s good? That’s great? I’m happy for you? Are you gonna tell me her name? I don’t mind either way and it’s not my place to tell you who to love? Love is love no matter what? That’s better than you dating some asshole fucker I don’t know? Arko berputar-putar memikirkan apa respon yang baik yang tidak terdengar menyepelekan, merendahkan, respon apapun yang tidak terdengar tak menyenangkan. Sejak mulai bekerja ia sering berhadapan dengan orang-orang dengan segala seksualitas dan identitas gender dan ia selalu baik-baik saja, tapi kenapa sulit betul memilih kata-kata untuk menjawab adiknya? “Well, nice. Siapa tuh orangnya?”
“Kamu nggak kaget pacar aku cewek?”
Kalau dijawab tidak, apakah Arko akan terdengar terlalu memaksakan? Pusing. Kalau dijawab iya, selain bohong juga Riku akan menarik diri. “Enggak, sih,” akhirnya Arko menyahut setelah beberapa milisekon berpikir. “Love’s love.”
“Oke… beneran nih, ya.”
“Beneraaan.”
Kerut-kerut di dahi Riku mulai hilang dan ujung bibirnya rileks. Arko tersenyum. Sukses, sukses.
“Aren’t you gonna ask anything?” tanya Riku setelah mereka saling tatap dalam diam beberapa saat.
“Siapa pacarnya.”
“Ya kalo cewek kamu kan pasti bisa nebak.”
“Hm… Fane ya?”
“Iya.”
“Tuh, aku jago kan.”
“More like aku nggak deket sama siapa-siapa yang lain, jadi gampang nebaknya,” Riku tertawa. Akhirnya dia rileks juga, Arko mengangguk-angguk pada dirinya sendiri.
“Sejak kapan pacarannya?” Pura-pura terkejut, Arko menepuk tangan ke mulut. “Jangan-jangan udah dari kita masih kecil banget itu!?”
Tawa Riku semakin lepas. “Enggak lah! Baru dari taun lalu, pas aku di Belanda…” cerita mulai mengalir. Dan kembali, semua terasa normal dan Arko dapat melepas napas yang entah sudah berapa lama ditahannya.
“Ri, kalo kubilang aku sebenernya udah tau sebelum kamu ngomong kemarin malem gimana?” Arko bertanya saat mereka menyantap sarapan di ruang tengah.
Riku melotot. Sendoknya yang berisi sesuap sereal tanpa susu jatuh ke mangkuk. “Hah?”
“Iya, aku kira kamu udah tau kalo aku tau!”
“Nggak, lah! Kan aku nggak pernah bilang!” wajah Riku memerah. “Pantes kemaren nggak kaget! Kapan kamu taunya?”
“Bulan lalu kan kita jalan bertiga, terus pas pulangnya kamu nganter dia sampe rumah, pake ciuman di depan pintu—”
“HAH. Kamu liat?!”
“Ya liat, lah. Mata aku gak mines.” Arko terkekeh, sementara Riku mengerucutkan bibir. Manyun. tapi matanya berbinar-binar seperti ingin tersenyum, dan itu yang terpenting.
notes: both riku and arko are terrible overthinkers. but often riku’s focused of possible negative responses and feelings others feel for her while arko’s more focused in how to carry conversations and interactions flow as perfectly as possible. they’re a mess, this pair of twins.
0 notes