#frases abg
Explore tagged Tumblr posts
frasesairbag · 7 months ago
Text
3 notes · View notes
conliderazgoweb · 4 years ago
Photo
Tumblr media
Un gran ejemplo @cedhotariaslc Y este lunes 03 de agosto recibimos en nuestra secciĂłn de Emprendimiento a las 07:30 a.m. Un invitado extraordinario, con quien conversarĂ© sobre su motivadora experiencia de vida, llena de circunstancias exigentes que ha superado con Ă©xito. Jesus Gregorio Medina Silveira @abgjesusmedina quien es Abg. Egresado de la USM y Conferencista Motivacional, quien nos dirĂĄ de que se trata en la prĂĄctica la resiliencia ÂĄdesde el nacimiento! Descubre porque la frase que lo distingue es #siypuedotupuedes Un honor que JesĂșs abra mi programa #cedhotariaslive con @cedhotariaslc para darte experiencia viva, motivadora y resiliente de los que triunfan en Venezuela. ÂĄDisfrutalos en vivo! Invitado: @abdjesusmedina DĂ­a: Lunes 03 de Agosto. Hora: 07:30 a.m. VĂ­a: Instagram Live @cedhotariaslc Tema: ÂżPorquĂ© ·siyopuedotupuedes? Hazte una idea y visita su wcanal de youtube: Jesus Medina Silveira EstarĂĄn online con con Cedhot Arias LC, Lider Comunicacional. . . . . #cedhotariaslive #lidercomunicacional #marketing #emprendimiento #entrepreneur #talento #musica #arte #publicidad #instagramads #facebookads #exito #motivacion #triunfo #venezuela #anaco #cantaura #eltigreanzoategui #lecheria #anzoategui - #regrann (en Anaco) https://www.instagram.com/p/CDNCXJMJzDn/?igshid=3ak0e2fnhd29
0 notes
ariofourpointo · 7 years ago
Text
Impostor
Pernah dengar impostor syndrome? Frase ini digunakan untuk mendeskripsikan kondisi di mana individu tidak bisa menerima (internalized) kenyataan atas pencapaian yang telah diraihnya. Persepsi atas kesuksesan biasanya dititikberatkan pada faktor keberuntungan atau timing yang tepat. Kompetensi yang dimiliki dirasa tidak mumpuni untuk menorehkan prestasi tersebut.
Salah satu ciri seseorang mengalami kondisi ini adalah ketakutan akan kegagalan, fear of failure. Saya pribadi tidak asing dengan perasaan takut gagal ini. Sebagaimana yang Ayah saya sering bilang, “Di dunia nyata, sekali salah, kamu out.” Walaupun kenyataannya tidak seperti itu, saya tetap punya ketakutan kronik bilamana saya underperfoming dalam suatu hal. Kadang, saya ciut dan memilih mengurungkan niat untuk menghadapi tantangan. Di lain waktu, saya nĂ©kat dan berujung pada hasil yang memalukan (dan memilukan).
Contoh di mana saya lari dari tantangan ada banyak. Waktu SD saya pura-pura sakit waktu ada tes olahraga berapa jumlah skipping yang bisa dilakukan dalam satu menit. Saya gak bisa main tali! Saya terlalu takut untuk berakhir di posisi buncit dan jadi bahan lédékan teman-teman.
Kejadian lainnya adalah ketika saya lari dari tanggung jawab sebagai ketua kelas di ITB. Waktu itu, ada event pengenalan jurusan dari fakultas untuk mahasiswa tingkat satu. Dalam rangka memeriahkan acara, setiap kelas harus mengirimkan perwakilannya untuk mentas, apapun bentuknya. Saya yang cupu dan study oriented gak punya ide dan untuk memusyawarahkan perihal ini dengan teman-teman di kelas, saya takut. I could not assert my authority because I volunteered as class captain to be recognized by the teachers, not for these trivial kind of things. I botched the event and let most of my friends down.
Kemudian, contoh di mana saya jadi manusia nĂ©kat biasanya gak jauh-jauh dari urusan perempuan. Saya bukan orang yang gagap dalam interaksi sosial, tapi biasanya saya terjebak dalam situasi awkward ketika berhadapan dengan perempuan-perempuan “sempurna”. Saya gak bisa mendefisikan makna kesempurnaan tersebut, tapi saya sadar hal tersebut exist di alam bawah sadar saya.
Tahun 2005 merupakan pertama kalinya saya merasakan sensasi awkward ketika saya merasa suka (like) pada seseorang. Yap, saya ingat pertama kalinya saya puber. Unbelievable. I felt shitty whenever she was around. Pertama kalinya saya nembak perempuan di belakang sekolah, di hadapan teman-temannya yang “menculik” saya di jam istirahat. How did the relationship go? Total B.S. Saya masuk SMP yang berbeda dengan dia dan ketika kami satu kelas waktu SMA, saya punya pikiran jahat: “What was I thinking back then? What a stupid 11 y.o. boy.” Yes, she was not as attractive as she used to be. Probably becaused I ended up with rich kids at downtown during JHS.
Waktu saya SMP, saya berada di lingkungan sekolah yang isinya anak orang-orang tajir se-kabupaten: dokter, pemilik toko besar, pejabat pemda, pemilik rumah makan, kepala sekolah, you name it. Keluarga saya berkecukupan tapi bukan yang extravagant. We had enough for ourselves. Nah, di kelas 7, saya kesengsem sama satu perempuan yang cuék abis. Gayanya yang simple bertolak belakang dengan gaya perempuan-perempuan ABG umumnya yang ultra-feminim, berisik, dan ménor. Dan dia, orang tuanya merupakan salah satu pemilik gerai tekstil terbesar di Kuningan (jipér gaksiii).
Well, iya saya jipĂ©r. Tapi saya juga punya kepercayaan diri karena zaman itu saya (arguably) lagi tampan-tampannya dan prestasi saya di sekolah lagi okĂ©-okĂ© nya: juara umum, ketua OSIS (yang gak bertanggung jawab), dan sering menang lomba tingkat provinsi. What can go wrong? Yes, everything. It turned out she didn’t like me a bit. She was not into a straight-A student but more into cool kids: the basketball player, the musician, the one who ride their own bike bar illegally etc. I was so desperate to change my mentality of a study oriented student without sacrificing any of my good grades. But then I couldn’t. My academic rapport was more important. And still is.
Tumblr media
Damn, dude. What a jaw line.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai melupakan sang perempuan cuék ini sampai akhirnya dipertemukan sama Bu Dokter pada 2008. Narasi saya jadian dengan Bu Dokter itu layaknya cerita cinta lokasi di FTV lokal. Waktu itu kebetulan sedang event pergantian kepengurusan di OSIS SMP dan kami pengurus OSIS lama jadi panitia pelatihan dasar kepemimpinan selama akhir pekan. Entah bagaimana, kami tiba-tiba dekat dan jadian di minggu berikutnya. Semua terjadi begitu cepat, dan harus diakui kami berdua belum move on sepenuhnya dari gébétan kami yang lama (LOL). Tapi setelah dua bulan berjalan, kami berdua sadar bahwa kami gak bisa main-main sama perasaan. We agreed to keep going and it was going all the way until last year.
One thing I can relate with her was that she might suffer from impostor syndrome as well. Her view upon herself was as negative as it could be. She was not confident because she lived far away from school, in the remote area of town (25 kilometers away from the center) even though her parents are famous medical officers in the region. She was extremely wealthy but in the same time her humility was amazing.
Masa-masa favorit saya adalah zaman SMA ketika visi dan misi kami sama: bekerja giat untuk masuk perguruan tinggi negeri unggulan. Saya masuk kelas akselerasi dan dia belajar di kelas reguler. Kami sama-sama selalu juara kelas selama SMA. Malam minggu kencan isinya belajar logaritma buat ulangan hari Senin (karena saya anak aksel, saya dapat materi lebih cepat dan ulangan lebih dulu). It was an extremely good time.
Hubungan kami mulai deteriorating ketika saya sekolah di Bandung. Yes, LDR was not fun at all. Kami berdua sama-sama struggle. Saya dengan culture shock di ITB (a place where the grass is green and the girls are pretty), dia dengan tĂ©tĂ©k bengĂ©k UN dan SNMPTN. Dia itu bebal, memaksakan diri untuk apply jurusan kedokteran di PTN unggulan. Padahal, saya punya feeling kalau dia apply ke ITB, kans dia diterima Undangan relatif besar. Nevertheless, it is what it is. She ended up enrolling at private university in Jakarta, beknownst more for its fancy living than its academic excellency. The opinion is not uniquely mine. Most people would be wow-ed if I tell them I had a girlfriend studying medical science at that school. “She must be very rich” is the most common respond I get.
Berkaitan dengan perasaan saya sebagai impostor, sensasinya semakin menjadi sejak saya masuk SMP. Saya menyadari bahwa saya gak sanggup jadi cool kid dan akhirnya lebih memilih untuk jadi smart kid since that is what I know best. Akan tetapi, hal ini bukan tanpa resiko. Setiap kali performa akademik saya jeblok saya mempertanyakan relevansi saya sebagai seorang individu.
Zaman SMP, saya hampir tak ada saingan dalam hal ambisi. “Kompetitor” saya menyadari ini dan lebih memilih berteman dengan saya daripada saya “musuhi” karena ingin stand out di bidang akademik. Nope. The throne was mine and mine only.
Zaman SMA, saya menemui lawan tanding setara. Indikatornya sepele, ketika hasil psikotes diumumkan, saya tidak seorang diri mencatatkan nilai tertinggi. Ada satu orang yang rekornya sama dengan saya. Saya sangat terganggu dengan kenyataan ini dan ketika dia memilih untuk tidak mengambil peluang jadi siswa di kelas akselerasi, saya mengganggapnya sebagai suatu “keunggulan” di pihak saya. I was so diabolically ambitious that I might be seen as Kira confronting L on the other side.
Accelaration class made my SHS unmemorable. I studied overtime and still haunted not to get to my favorite destination for higher education. Furthermore, it made my time at ITB even harsher. Ketika saya bilang saya tidak bisa menerima kenyataan ada satu orang yang hasil psikotesnya sama dengan saya, bayangkan apa yang saya rasakan ketika saya harus larut dalam lautan mediocrity selama bulan-bulan pertama di ITB. I was depressed. I would like to believe that I was good enough to be accepted by the institution but at that point, most of the time I felt undeserving.
Pada akhirnya saya berhasil melewati rintangan akademik dengan susah payah. Lalu, bagaimana dengan perkara social awkwardness yang saya idap? Well, semakin menjadi-jadi. Di ITB, saya menemukan banyak manusia “sempurna”, laki-laki maupun perempuan. Saya akhirnya bisa menerima dengan lapang dada bahwa di atas langit, ada langit. Saya banyak belajar dari teman-teman yang satu gender dengan saya. Akan tetapi, ceritanya berbeda ketika saya dihadapkan pada interaksi dengan teman perempuan. Rasanya mudah sekali bagi saya untuk naksir perempuan di ITB. Like, God, how could these girls be so fine? I felt intimidated all the time until I could get my foot on hold when I started delivering good performance in laboratory assisting activities.
Ada satu momen tak terlupakan ketika saya jadi asisten lab. Waktu itu, saya ditunjuk jadi asisten mata kuliah Pemodelan Sistem. Saya bertanggung jawab memberikan tutorial kepada adik tingkat dalam mengerjakan tugas besar (course project). Suatu ketika, saya diajak berfoto bersama oleh satu kelompok setelah mereka selesai memberikan presentasi tugas besar di depan dosen mata kuliah. Kelompok tersebut diisi oleh manusia-manusia sempurna, yang salah satunya saya taksir. Saya terenyuh dan perasaan tersebut menguatkan keinginan saya untuk mengabdikan diri menjadi dosen di ITB. So cheesy, but it is true. This kind of moment lasts forever and manages to lift me from irrelevancy. I don’t know if the trick will work again in the future but it surely worked back then.
I don’t want to be consumed by fear and nostalgia but at the same time I have to prepare myself if I am to let go off things that make me comfortable in the past. I always feel like an impostor and even though I am not acting like it, I am thinking like it. As I grow up, especially after this experience living by myself overseas, I start to get rid of this syndrome and tell myself that I am relevant no matter what kind of career path I choose, no matter whom I will try to date with.
My consciousness is the most demanding judge I can get. In the past, it might lead to erratic responses but now I am more composed to take the right measures. I have gone this far. If I am to be judged as impostor, let it be. Because I am.
.
.
.
.
And who isn’t?
Gothenburg, March 13th 2018
Tumblr media
0 notes
enkivzla · 6 years ago
Text
@IELaMadrizT: RT @JaimesAbg: "Los ADecos robaban pero dejaban robar" es la frase d esa clientela. Si no existieran cabrones como Ramos Allup Vzla no serĂ­a el prostĂ­bulo polĂ­tico q es. AD inscrito en la INTERNACIONAL SOCIALISTA x sus corruptos es q llegaron al poder sus camaradas chavistas. Eso festejan hoy?
@IELaMadrizT: RT @JaimesAbg: “Los ADecos robaban pero dejaban robar” es la frase d esa clientela. Si no existieran cabrones como Ramos Allup Vzla no sería el prostíbulo político q es. AD inscrito en la INTERNACIONAL SOCIALISTA x sus corruptos es q llegaron al poder sus camaradas chavistas. Eso festejan hoy?
"Los ADecos robaban pero dejaban robar" es la frase d esa clientela. Si no existieran cabrones como Ramos Allup Vzla no serĂ­a el prostĂ­bulo polĂ­tico q es. AD inscrito en la INTERNACIONAL SOCIALISTA x sus corruptos es q llegaron al poder sus camaradas chavistas. Eso festejan hoy?
— Abg Adrián Jaimes (@JaimesAbg) September 13, 2018
https://platform.twitter.com/widgets.js
View On WordPress
0 notes
frasesairbag · 2 years ago
Text
Tumblr media
27 notes · View notes
enkivzla · 6 years ago
Text
@humbertotweets: RT @JaimesAbg: "Los ADecos robaban pero dejaban robar" es la frase d esa clientela. Si no existieran cabrones como Ramos Allup Vzla no serĂ­a el prostĂ­bulo polĂ­tico q es. AD inscrito en la INTERNACIONAL SOCIALISTA x sus corruptos es q llegaron al poder sus camaradas chavistas. Eso festejan hoy?
@humbertotweets: RT @JaimesAbg: “Los ADecos robaban pero dejaban robar” es la frase d esa clientela. Si no existieran cabrones como Ramos Allup Vzla no sería el prostíbulo político q es. AD inscrito en la INTERNACIONAL SOCIALISTA x sus corruptos es q llegaron al poder sus camaradas chavistas. Eso festejan hoy?
"Los ADecos robaban pero dejaban robar" es la frase d esa clientela. Si no existieran cabrones como Ramos Allup Vzla no serĂ­a el prostĂ­bulo polĂ­tico q es. AD inscrito en la INTERNACIONAL SOCIALISTA x sus corruptos es q llegaron al poder sus camaradas chavistas. Eso festejan hoy?
— Abg Adrián Jaimes (@JaimesAbg) September 13, 2018
https://platform.twitter.com/widgets.js
View On WordPress
0 notes