#baydhabo | Explore Tumblr posts and blogs

citrafristianova-blog · 7 years ago

Text

Secawan Rindu dari Negeri Mutiara Hitam

Aku menatap langit, menyaksikan awan yang berarak dan bergulung saling menempel gerak. Entah sudah berapa burung yang sedari tadi melintas dalam area pandangku, tembolok-tembolok yang lapar juga kehausan mencari air dari pancuran. Namun, aku pastikan pancuran itu tidak akan ada, mungkin jika pun ada, pancuran itu tersembunyi, berpagar beton karena istimewa bagaikan mukjizat air zam-zam yang mengucur dari kaki mungil Nabi Ismail. Aku menelan ludah yang tak seberapa tetes, lidahku seperti akan tergulung kedalam, kerongkonganku mulai kering lagi. Perutku? Jangan ditanya, lambung ini sudah terbiasa untuk tidak selalu terisi makanan, mengakrabi perih yang melilit setiap hari. Aku cukup waras untuk tidak mengamuk kesetanan. Merebut jatah makan satu keluarga hanya demi mengenyangkan satu lambung milikku. Aku cukup punya nurani untuk tidak memaksa kematian hadir lebih cepat mendatangi mereka. Tanpa kulakukan pun, kematian sudah menghimpit tubuh, memaksa manusia-manusia itu memuntahkan ruh-ruh mereka. Dua tahun belakangan ini, sudah cukup untuk membuatku rajin menampar diri agar selalu bersyukur atas hidup. Pun, jika kehidupan lebih senang melihatku tersungkur. Tapi tidak, ranah dakwah ini tidaklah sepicik itu. Bagi orang normal yang masih memelihara akal sehat dan setitik iman, aku percaya atas semua janji yang Allah berikan. Jika tidak di sini, artinya kesenangan itu Dia persiapkan di surga-Nya. Bukankah aku hanya harus bersabar dan bertahan? Mengingat aku masih ber-Tuhan. Lagipula, langkah ini murni pilihanku. Melangkah dari zona nyaman menuju zona berbahaya, berbekal sebuah harapan. Harapan agar aku bisa sedikit membantu tanah gersang ini basah oleh setetes air yang kubawa.

Di sinilah aku, tanah yang terletak di Tanduk Afrika. Tanah yang hidup dalam rentang lintang bumi yang sama dengan tanah air, juga dilalui garis khatulistiwa. Begitupula dengan Indonesia yang memiliki batas pantai Samudera Hindia. Tanah Somalia. Mungkin jika samudera tidak memisahkannya, kelak Somalia adalah tetangga barat yang paling dekat dengan kita, Indonesia. Vegetasi alam yang luar biasa, jenis hewan dan tumbuhan yang tak terbilang angka, hutan yang luas membentang, kecantikan eksotis alam, yang kesemuanya hampir nampak serupa dengan Nusantara. Namun, tidak pada nasib bangsa dan keadaan ekonominya. Tanah ini, Somalia, yang menembus tingkat kemiskinan mencapai 82% dari jumlah penduduknya. Belum lagi konflik yang merentet panjang sejak tahun 70-an itu membuat negeri ini menjadi daratan luas mencekam. Tidak banyak yang relawan sepertiku lakukan, kami hanya harus berhati-hati dalam segala situasi, pun sambil tetap mengokohkan iman agar tak lekas menjadi frustasi melihat manusia meregang nyawa setiap hari.

Namaku, Emran Syahid. Salah satu relawan kemanusiaan Tim CS (Cinta Saudara) yang datang dari Indonesia. Ini adalah Keberangkatan pertamaku ke Somalia, murni atas keinginanku sendiri. Berawal dari keprihatinan yang menimpa banyak penduduk di tanah ini. Tentu tidak mudah untuk membulatkan tekad yang terbilang nekat. Aku bersyukur, karena keluargaku memberikan restu untukku berangkat. Terutama istriku yang dengan ikhlas kutinggal dalam keadaan hamil anak pertama kami. Sebagai relawan yang masih terbilang amatir, aksi sosial ini jadi sebuah pengalaman pertama yang teramat berharga. Aku memutuskan untuk bergabung dengan Tim CS, dikarenakan mereka sudah berpengalaman, sembilan tahun jadi penggiat sosial di Somalia, bersama dengan seorang sepupu yang berprofesi sebagai dokter ahli, dan memiliki jam terbang tinggi di bidangnya.

Zakiyya Azizah. Aku memanggilnya Kiyya. yang dalam waktu dekat akan segera melangsungkan pernikahan dengan lelaki yang juga berprofesi sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit besar Singapura. Sudah dua tahun kami menetap di Mogadishu. Dan itu bukan waktu yang sebentar mengingat kami harus bertahan hidup dengan cekaman yang setiap saat bisa merenggut nyawa.

“Emran!, ada rombongan yang baru saja datang!”

“Baik, Aku akan segera mengambil air!” aku beranjak dari sebuah batu besar yang sedari tadi kududuki dan langsung mengambil sepuluh liter air untuk rombongan yang baru saja sampai di kamp.

“Gelas tidak ada?” tanya Kiyya. Aku menggeleng.

“ya sudah, langsung saja dari galonnya. Kasihan mereka sudah lemas sekali” katanya sambil membantu beberapa anak-anak kecil minum bergantian. Tidak banyak yang bisa mereka teguk, karena masing-masing dari mereka paham betul bahwa ada banyak tenggorokan yang harus dibasahi selain miliknya. Tidak boleh ada yang serakah dan menyebut dirinya paling menderita. Karena setiap orang di sini sama-sama merasakan pahitnya. Aku memandang satu persatu wajah di antara rombongan yang kini duduk di atas tanah kering tak beratap. Tenda untuk mereka belum disiapkan, karena keterbatasan bahan material. Akibatnya, banyak dari mereka yang terpaksa membangun ‘rumah’nya sendiri dari potongan-potongan ranting dan pakaian yang mereka bawa selama perjalanan. Namun tetap saja, itu sungguh bukan jalan keluar untuk dapat berteduh dari sengatan matahari dan guyuran hujan.

“Fatih, rombongan ini datang dari mana?” tanyaku pada seorang penerjemah Tim kami. Sejenak Fatih berbincang dengan seorang laki-laki dari rombongan.

“Mereka dari desa Baydhabo” kali ini Fatih menunduk lesu. Kami sudah sama-sama tahu, seberapa jauh rombongan itu harus menempuh jarak hingga sampai di kamp ini. Baydhabo adalah desa yang jaraknya seratus lima puluh kilo meter dari kamp Dallada. Kurang lebih sama dengan jarak dari Jakarta menuju Bandung. Seketika hatiku seperti ditusuk tombak, robek terkoyak. Bagaimana bisa mereka berjalan sejauh itu menuju kamp Dallada yang bahkan tidak bisa memberikan perubahan apapun, apalagi untuk menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Mataku memanas lagi, entah kenapa kebiasaan ini hadir begitu saja selama berada di sini. Menangis, dan menangis. Sebagai lelaki aku malu, tapi setiap pemandangan itu memang selalu saja membuat hatiku pilu. Bagaimana bisa seorang manusia tidak merasa terpukul melihat anak-anak kecil berjalan ratusan kilo meter tanpa makanan dan minuman yang bisa dipikul, apalagi ditambah dengan iklim yang kering membuat kulit mereka mengelupas karena terbakar.

“mereka bilang, sudah lebih lega karena sudah sampai di kamp” Fatih meremas pundakku dari belakang. Kata-katanya membuatku semakin ngilu dan nyeri. Allahu rabbi… terbuat dari apa hati mereka sehingga mampu bersyukur secepat itu? bahkan dalam keadaan yang masih bergetar tulang, lambung menyusut, dan tubuh mengkerut?. Kupandangi satu persatu wajah mereka. Seorang Ibu tua renta yang menempuh jarak dengan menaiki sebuah tandu alakadarnya, dipanggul oleh dua orang anak lelaki yang terlihat sangat tak berdaya dengan tubuh tanpa tenaga. Jangankan untuk memanggul sang Ibu sejauh itu, membawa tubuh sendiri saja sudah sangat berat rasanya. Tapi nyatanya, tidak bagi jiwa-jiwa yang luar biasa ini. Ada juga seorang anak yang usianya sekitar belum genap enam tahun harus rela menggendong bayi kecil kurus yang hanya tinggal tulang berbungkus kulit. Entah apa yang harus aku lakukan selain memanjatkan doa pada sang pencipta agar kepedihan mereka lekas terobati. Kuputuskan untuk kembali ke tenda relawan yang tidak jauh dari sana. Mematung, menahan luapan emosi yang sedari tadi kutahan dengan sekuat tenaga, namun akhirnya tumpah juga.

“Emran” seorang perempuan berjas putih memasuki tenda. Aku menghapus linangan air mata yang masih keluar.

“iya, Kiy” jawabku sambil memunggunginya.

“Kita harus kuat Ran, mereka butuh kita” Zakiyya menyentuh pundakku, membiarkan jilbab putihnya jadi sapu tangan untuk menghapus air mata yang sedari tadi keluar. Aku mengangguk.

“pasti. Aku hanya terbawa emosi saja Kiy, aku akan segera kesana. Apa kita dirikan tenda darurat saja untuk anak-anak sekarang juga?”

“ide bagus, kita ajak yang lain ya” sahutnya. Kami berjalan keluar dan mulai mengumpulkan apapun untuk dapat dijadikan tenda. Meski keterbatasan material, minimal cukup untuk sekedar menghalau terik matahari agar tidak langsung menyengat kulit.

Mungkin tidak banyak yang memberitakan perihal apa yang terjadi di sini. Maka tidak heran jika masih ada saja yang tidak tahu berita tentang seberapa pedih masyarakat Somalia berjuang menyambung nafas yang kapan saja bisa berhenti. Somalia adalah Negara berpenduduk mayoritas islam yang mengalami krisis akibat perang saudara. Perang tersebut disulut oleh antar kelompok yang saling memperebutkan sumber daya diantara mereka. Tak heran jika pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan jadi derita sehari-hari. Sementara dari pihak pemerintah pun lemah akan kebijakan. Seolah mereka sudah kehilangan taring terhadap situasi kemanan Negara. Yang ada hanyalah perang demi perang yang semakin berani memasuki kota-kota utama. Gedung kantor dan perumahan, semua itu tidak luput dari amukan peluru besar maupun kecil. Hal tersebut menjadi alasan mengapa banyak masyarakat memilih untuk meninggalkan tempat tinggal mereka dan berjalan menuju kamp pengungsi terdekat. Sayangnya, jarak yang mereka sebut dekat itu harus rela mereka lalui selama berhari-hari bahkan hingga berminggu-minggu. Tidak heran, jika selama perjalanan justru banyak dari mereka yang lebih dulu meregang nyawa karena haus dan lapar tanpa bekal. Ada pula ratusan ribu orang yang dengan terpaksa memilih wilayah Dadaab, bentang savana kering tandus nan liar. Namun mereka harus rela hidup tanpa sumber daya air, listrik, makanan dan kesehatan. Sama saja.

Hari sudah mulai gelap, para pengungsi sudah mulai beristirahat di dalam kamp. meski masih banyak yang tidur tanpa alas juga atap, karena kurangnya jumlah tenda. Sementara aku, Fatih dan Kiya memilih untuk duduk di depan tenda relawan sambil berbincang. Jika sedang begini, aku selalu rindu secangkir teh hangat buatan istriku di rumah. Memang racikannya sederhana saja seperti teh lainnya, hanya saja tangannya membuat minuman hangat itu terasa selalu istimewa. Aku pernah dengan semangat dan percaya diri mengatakan bahwa aku tidak akan berhenti berjuang di tanah ini, namun jika malam tiba rasanya rindu ini tidak bisa kutahan. Maka tak heran jika kebiasaanku tiap malam adalah membuka potret kami di galleri ponsel sambil mengingat-ingat kenangan dua tahun kebelakang sebelum aku berangkat.

“gimana rencana pernikahanmu, Kiy? Ada yang masih harus dipersiapkan?” tanyaku memulai obrolan.

“alhamdulillah tinggal persiapan mental untuk hari H saja, Ran. Livia juga mau membantu untuk sebar undangan, katanya” sahut Kiya tersenyum.

“oh ya, kapan acaranya?” Tanya Fatih.

“Insyaa Allah bulan depan, Fat” Kiyya menyunggingkan senyum. Rona bahagia terpancar dari wajah calon pengantin ini. Kiyya berusia tiga tahun di atasku, namun justru aku yang menikah lebih dulu.

“Udah kangen rumah ya, Kiy?” celetuk Fatih.

“pasti itu. Tapi kan dakwah tidak bisa setengah-setengah, Fat. Allah mengirim kita kesini sebagai relawan bukan tanpa alasan pastinya” Kiyya melipat kedua tangannya di dada. Udara dingin mulai terasa menembus kaos lengan panjang yang dia kenakan.

“iya betul sih. Tapi kadang aku suka pengen pulang, kangen sama Ibu” Fatih menerawang.

“kabari terus Ibumu, Fat. Kasih kabar bahwa kamu baik-baik disini, dan jangan membuat beliau khawatir” dia mengangguk, mengulas senyum samar.

“kalo kamu, gimana?” Kiya menoleh kearahku. Aku tersenyum, kembali mengingat apa yang baru saja melintasi otakku.

“Hmm, Aku tidak menemani Livia selama masa kehamilannya. Bahkan persalinannya pun aku hanya bisa melihat lewat layar ponsel. Mengazankan, dan melihat pertumbuhan anak lelakiku hanya sebatas apa yang dia sampaikan lewat suara telepon, bagaimana bisa aku tidak rindu?”

“sabar Ran, alhamdulillah Livia perempuan yang kuat, jadi kamu tidak perlu terlalu khawatir” Kiya menepuk pundakku.

“Aku tidak pernah khawatir dengan sabar dan kuatnya istriku, Kiy. Justru mungkin Livia yang malah mengkhawatirkanku, kadang aku malah lebih rapuh dan cengeng. Lihat saja, aku sering menangis semenjak disini kan? Itu membuatku malu sebetulnya”

“tidak apa, Ran, aku juga sama. Hanya saja kamu tidak pernah memergoki setiap aku mulai menangis” sahut Fatih sambil terkikik.

“berarti di antara kita, aku yang paling kuat ya?” tawa Kiya meledek kami berdua.

Begitulah, obrolan malam yang kami luangkan untuk sekedar melepas penat dan letih setelah seharian mempekerjakan otak, hati dan tenaga. Langit sedang cerah malam ini. Bintang gemerlap bertaburan seakan sedang berbagi kebahagiaan lewat percik cahayanya. Memayungi setiap jiwa di kamp Dallada yang bertolak belakang dengan langit malam ini. Tubuh-tubuh itu seperti lilin redup, hanya menunggu waktu untuk kemudian padam.

“keliling yuk” ajak Fatih. Aku dan Kiya serempak mengangguk. Kami berjalan melewati setiap tenda, di dalamnya meringkuk anak-anak kedinginan, orangtua renta yang lemah tertidur tanpa bantal, juga ibu hamil yang terpaksa menyenderkan punggung pada penyangga atap tenda karena sudah merasa tidak nyaman untuk tidur berbaring. Aku menyisir tiap-tiap sudut kamp dengan langkah pelan. Memandangi tiap wajah letih, menahan sakit, dan kelaparan. Suatu pemandangan yang aku saksikan setiap hari, namun tetap mampu membuat hatiku remuk berantakan.

“Ran, Kiy, cepat kemari!” Fatih tergopoh menghampiri aku dan Kiya. Kami mengikutinya dengan langkah cepat.

“kenapa Fat?” tanyaku cepat.

Kami sudah tiba di depan sebuah tenda dengan atap seng yang sudah bolong dan berkarat di sana sini. Di atas selembar tikar tipis itu aku menyaksikan seorang anak dengan usia sekitar Sembilan tahun terbaring dengan nafas tersengal. Tubuhnya kurus kering hanya tulang berbalut kulit. Mata dan pipinya terlihat sangat cekung. Perutnya tertarik kedalam membuat barisan tulang rusuknya menyembul. Aku melirik Kiya. Dia mematung, terlihat jelas sekali bahwa dirinya sedang berusaha menguatkan diri. Diraihnya tubuh mungil itu sambil berjongkok. Bagi seorang dokter sepertinya, pemandangan seperti ini adalah yang paling menyakitkan, karena sebuah gelar tidak mampu bernegosiasi dengan datangnya maut agar mengurungkan niat. Kiya hanya berjongkok, membelai kepala anak itu sambil menenangkan seorang Ibu yang sedari tadi menangis histeris. Aku dan Fatih melakukan hal yang sama sebisa kami, apa yang kami lakukan tidak dapat meredakan rasa sakit seorang Ibu saat melihat buah hatinya meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri.

“amara chele! Amara chele!” Ibu itu terus berteriak tidak sanggup melihat anaknya. Kebingungan mencari cara agar dapat menyelamatkan nyawanya, namun yang dia lakukan hanya memukul-mukul permukaan tikar dengan kepalan sambil menangis.

“Dhairyasila, Amara ekhane…” Fatih menenangkan Ibu itu sebisanya. Meski aku tidak faham apa yang coba dia katakannya, tapi aku yakin, itu adalah kalimat yang tepat.

“Fat, Ran, silahkan…” Kiyya menggeser tubuhnya sedikit, agar kami dapat sedikit tempat untuk berjongkok. Anak kecil itu mulai megap-megap, matanya nyaris tertutup. Dengan segera aku dekatkan bibirku ketelinganya.

“Asyhadu allaa ilaaha ilallaah, wa asyhadu’annaa muhammadarrosuulullaah”

^^^

“Datang lagi!” teriak beberapa relawan CS yang sedang mondar mandir membawakan air serta berkardus-kardus roti kearah rombongan yang baru saja datang. Aku dan Fatih pun ikut sibuk memberikan bantuan bagi beberapa perempuan yang tiba-tiba pingsan karena tidak memiliki tenaga untuk sekedar berdiri. Sementara anak-anak masih mendominasi jumlah. Semuanya terduduk lemas. Aku mencari sosok Kiya yang sedari pagi sudah menghilang, Namun hingga saat ini belum juga kulihat batang hidungnya. Akhirnya aku memutuskan untuk membawa beberapa anak yang memang memerlukan perawatan medis segera ke tenda perawatan yang telah siap dengan dokter dan peralatannya.

“kami kehabisan salep, kapan bantuan akan datang lagi?” tanya seorang dokter laki-laki bernama Rizal. Tangannya sibuk membasuh luka sobek pada kaki seorang bapak tua yang terbaring lemah.

“aku coba tanya dulu ya dok” aku beranjak dari sana dan mencari sosok Mas Azzam sebagai penanggungjawab atas data dan informasi bantuan. Ternyata beliau sedang ikut membopong seorang nenek yang pingsan diperjalanan.

“Mas Azzam!” panggilku, beliau menoleh dan tergopoh menghampiriku.

“kenapa Ran?”

“kita kehabisan salep, dokter Rizal menanyakan jadwal bantuan selanjutnya kapan?” Beliau terlihat berpikir lalu terdiam.

“seharusnya kemarin sudah datang, Ran. Namun sampai saat ini belum ada informasi lanjutan terkait hal tersebut, maaf” katanya menyesal.

Sebetulnya ada banyak tenaga bantuan yang sengaja didatangkan bagi pengungsi di sini, namun bantuan kemanusiaan tak mudah masuk ke Somalia. Namun, semua orang asing yang masuk ke Somalia wajib menyewa tentara bayaran yang tarifnya 200 US Dollar perhari. Dan hal itu tidak bisa dinegosiasi selain menukar nyawa dengan selembar surat ijin.

“perihal keamanan lagi? Tanyaku. Beliau terdiam kemudian mengangguk pelan.

“seperti biasa” katanya.

“jadi gimana Mas?”

“untuk sementara lakukan yang terbaik saja dulu tanpa salep, ganti dengan antibiotik atau balut perban saja”

“baiklah kalau begitu” aku langsung lari menuju tenda medis dan tidak menemukan dokter Rizal disana, tapi kulihat Kiya yang kini menggantikannya. Segera kusampaikan amanah dari Mas Azzam mengenai ketersediaan salep dan informasi bantuan selanjutnya. Sejenak Kiya terlihat kecewa namun segera mengiyakan.

Suasana kamp hari ini begitu sibuk dan semakin padat. Pasalnya para rombongan baru, kini lebih banyak berdatangan dan memenuhi tenda-tenda yang memang awalnya sudah sesak. Belum lagi orang-orang yang banyak memerlukan pengobatan medis harus segera didahulukan. Para dokter saling bergantian memeriksa pasien darurat. Tabung-tabung oksigen di alirkan lewat selang-selang, terhubung langsung ke lubang hidung yang berjuang menyambung nafas. Tiang-tiang digunakan untuk menggantungkan banyak kantung infus yang saling meyilang ke tiap tubuh kekurangan cairan. Beberapa anak mulai muntah dan mengalami diare parah. Pemandangan yang selalu saja membuatku ditikam rasa bersalah.

“dua anaknya meninggal baru saja” kata seorang relawan dari tim lain.

“dimana Pak” tanyaku. Dia menunjuk sebuah tenda dengan atap kardus dan ranting-ranting pohon sebagai penyangga. Aku menelan ludah. Hari ini sudah dua puluh tiga jiwa yang kehilangan nyawa, entah selanjutnya berapa lagi?. Setiap hari ada setidaknya tiga puluh gundukan kuburan baru yang dibuat seadanya. Setiap kematian seolah menjadi bumbu penyedap agar lebih membekas pada tiap-tiap potong kejadian.

“Emran, bisa bantu aku sebentar?” Fatih sudah berada di belakangku. Menggendong seorang kakek tua yang badannya penuh cacar. Dengan sigap aku membantu mengangkat tubuh renta itu ke atas sebuah ranjang dorong yang kosong.

“kondisinya semakin parah” kata Fatih saat seorang tenaga medis datang mendekat. Dia hanya mengangguk sambil menekan lengan kakek tua tersebut. Cacar disekujur tubuhnya mulai bernanah dan mengeluarkan aroma yang tidak sedap.

“sudah dehidrasi parah” jawabnya.

“lalu bagaimana?” tanyaku.

“kita infus saja dulu, lihat perkembangannya. Dan tolong jangan bersentuhan langsung dengan kulitnya. Cacar mudah sekali menular lewat kontak fisik” sahutnya, lalu pindah ke ranjang yang lain dengan pasien-pasien yang terus berdatangan. Kakek itu memejamkan matanya. Aku mencoba memeriksa denyut nadinya, dan seketika terkejut.

“Dokter!” panggilku kemudian. Dokter yang baru saja memberikan cairan infuse itu kembali lagi, kali ini lengkap dengan stetoskop. dia menggeleng, memasukkan stetoskop itu ke dalam saku bajunya.

“sudah meninggal” katanya menyesal. Aku dan Fatih terdiam.

“innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun” lihatlah, begitu cepat kematian datang silih berganti. Setiap orang mendapat jatahnya masing-masing. Aku mematung, mengirimkan seikat doa untuk jasad-jasad yang baru saja meninggal di kamp ini. Allah, Mungkin saja tiba giliranku setelah ini?.

^^^

Setelah bergantian shalat dzuhur, aku memutuskan untuk mengeluarkan mushaf kecil yang selalu kubawa dalam tas pinggang. Membuka dan membacanya perlahan. Aku tau, dalam situasi seperti ini, aku sangat membutuhkan penenang agar tidak ikut kalut dalam pemandangan memilukan. Aku membuka surat Al-Baqarah ayat 155, dan membaca terjemahnya perlahan. ‘Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sediit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar’. Aku menangis lagi. Sungguh lemahnya aku terhadap ujian yang Allah berikan. Padahal aku meyakini bahwa setiap sabar bernilai tabungan pahala untuk memasuki surga-Nya. Mataku memandang ke tiap gundukan tanah yang berjejer di pinggiran kamp. Gundukan yang setiap hari bertambah puluhan, mengubur jasad-jasad lemah akibat ganasnya hidup di Somalia. Aku menundukkan wajah, menghapus beberapa tetes airmata yang mulai mengalir membasahi kerah kemeja. Gundukan itu, apakah aku juga akan jadi salah satunya?. Kembali kubuka mushaf dan mulai membaca ayat demi ayat. Kali ini aku membuka surat An-nisa ayat 78, “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam banteng yang tinggi dan kokoh”. Ayat itu seolah menamparku. Apapun yang aku lakukan, kematian akan selalu mencari celah untuk menjemput. Maka yang bisa kulakukan hanyalah mempersiapkan diri saat maut itu datang. Aku tutup mushaf bersampul hitam itu, dan kembali berwudhu. Setelah itu, biasanya aku sudah merasa tenang untuk kembali menuju kamp. Seperti saat ini, mungkin perutku masih kosong, namun hatiku sudah terisi penuh.

“Emran!” Fatih memanggilku. Ditangannya sudah ada dua gelas air mineral dan sepiring makanan.

“belum makan kan?” tanyanya menyodorkan piring dan gelas itu ketanganku.

“tahu saja aku lapar” sahutku.

“tidak ada yang tidak lapar disini” Fatih tersenyum getir.

“jazakallah, Fat” kataku.

“afwan” Fatih mulai menyendok makanan itu kemulutnya. Jatah makan yang hanya bisa kami santap satu kali dalam sehari. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada seorang ibu yan tengah menangis di hadapan empat anaknya yang masih kecil-kecil. Sendok yang baru saja aku raih, aku taruh kembali di atas nampan.

“Fat, lihat”

“apa?” Fatih mengarahkan pandangannya ke sebuah tenda yang aku tunjuk.

“habiskan makananmu dulu, kita kesana” kataku. Mataku tak berhenti menatap sosok perempuan yang terlihat kebingungan menatap anak-anaknya satu persatu.

“Yuk” ajak Fatih. Makanannya sudah ludes tak bersisa. Kami melangkah menuju tenda yang sedari tadi menyita pandanganku. Nasi kebuli yang kini sudah dingin, kutinggalkan begitu saja di atas batu besar tempat kami duduk.

“Fat, tanya kenapa Ibu itu menangis” kami sudah tiba di depan tenda tersebut. Fatih kemudian berbincang agak lama dengan perempuan yang semakin terisak itu. Tangannya memangku seorang bayi dengan keadaan sangat memprihatinkan. Sementara tiga anak lainnya pun dalam keadaan yang tidak kalah menyedihkan. Anak-anak itu hanya menatap sang ibu dengan tatapan kosong, entah apa yang mereka pikirkan. Bayi mungil dalam gendongannya itu hanya sesekali terlihat membuka mulut dan menutupnya kembali seolah meminta sesuatu, apa saja, yang bisa dia kecap dengan lidah. Banyak dari para rombongan adalah wanita hamil. mereka biasanya akan melahirkan di kamp dengan kondisi bayi yang memprihatinkan. Tubuh kurus karena malnutrisi. Tingkat gizi buruk sudah kian menyedihkan.

“Ya Allah…” seru Fatih setelah selesai berbincang. Terlihat ada penyesalan di raut wajahnya.

“kenapa Fat?” tanyaku penasaran.

“Ibu ini kebingungan, Ran. Dengan jatah makanan yang sedikit ini, dia harus memilih anak mana yang harus dia beri makan. Sementara keempatnya sama-sama membutuhkan asupan” Kata-kata Fatih langsung membuatku terduduk lemas, sepicik itukah aku yang baru saja berniat akan menyantap sepiring makananku sendiri? Sementara membiarkan anak-anak ini menggulung lidah mereka, dan menggigiti kuku?. Tangisku pecah. Dengan cepat aku beranjak dan mengambil jatah makanan milikku yang belum aku sentuh. Airmata yang mengucur deras kuseka dengan keras.

“Allah, Allah, Allah” mulutku tak berhenti menyebut nama-Nya. Mencoba menguatkan diri agar kaki tak lekas lumpuh, berjalan kembali menuju tenda itu dengan hati remuk.

“berikan ini untuk mereka, Fat” pintaku. Fatih terdiam sesaat namun langsung menyodorkan sepiring nasi kebuli yang sudah dingin, menaruhnya di atas tikar. Aku bisa melihat bagaimaa ibu itu dengan wajah berbinar mengucapkan terimakasih sambil tak henti menangis. Aku hanya tersenyum sambil memalingkan wajah. Pemandangan itu lebih menyakitkan daripada sekedar menahan lapar untuk sehari ini, batinku.

^^^

“Kiyya!” aku berjalan menghampiri gadis itu dengan tangan meremas perut. Lambungku yang belum terisi makanan mulai terasa perih melilit.

Gadis itu menoleh. Dia sedang sibuk memasang selang infus di pergelangan tangan seorang bayi perempuan. Tidak usah dijelaskan lagi, keadaan fisik seluruh pengungsi hampir semuanya serupa. Tulang berbungkus kulit, mata dan pipi cekung, hingga membuat kepala terlihat lebih besar dari tubuhnya.

“tadi pagi kemana?” tanyaku, mengingat pagi-pagi sekali Kiyya sudah menghilang.

“banyak pasien yang harus aku tangani di kamp, Ran” jawabnya. Dia sudah selesai dengan peralatannya, menyerahkan beberapa pasien ke tangan para perawat disana dan meninggalkan tenda.

“perutmu kenapa? Sakit?” tanyanya.

“tidak apa-apa, hanya sakit perut biasa” kataku mencoba untuk tidak membuatnya khawatir.

“udah makan, kan?” kali ini aku harus jujur. Tidak ada gunanya jika aku berbohong, Fatih akan segera mengadukan hal ini secepatnya pada Kiyya. Aku menggeleng.

“Emran, kenapa lagi? Bukannya tadi Fatih membawakan jatah makanmu?” Kiyya mulai bertolak pinggang. Setiap omelannya bukan tanpa alasan, hal itu karena sebelum berangkat, Livia selalu mewanti-wanti Kiyya agar selalu memastikan bahwa aku sehat selama di sini.

“Kita ini relawan, Ran. Bagaimana bisa kita membantu pengungsi sementara kita dalam keadaan sakit?” Kedua alisnya bertemu, tangannya merogoh saku jas putihnya, mengeluarkan sbungkus roti gandum.

“makan dulu”pintanya. Aku meraihnya dan mengucapkan terimakasih.

“Tadi pagi ada tiga belas pengungsi yang meninggal didepan mataku, sementara obat-obatan semakin menipis” kami berjalan menjauhi kamp. jalanan tanah, dengan batu kerikil itu kami tapaki.

“wabah kolera sudah demikian parah, Ran” lanjutnya. Langkahnya terhenti, hanya memandangi jalan gersang di sekitar kami.

“bukannya ada pemberian vaksin untuk mencegah penyakit ini semakin menyebar?” tanyaku.

Namun Kiyya menggeleng pelan.

“pemberian vaksin sudah sedari awal kita lakukan. Tapi hal itu nyatanya tidak cukup untuk menjadi jalan keluar” jawabnya lemah. Aku mengerutkan dahi. Sebagai relawan dengan latar belakang seorang guru, aku memang tidak begitu mengerti perihal penyakit dan dunia medis lainnya.

“salah satu penanganan kolera adalah dengan cara memberikan air minum yang cukup dan pemberian antibiotik. Tapi keadaan kita tidak mendukung, Ran. Air susah sekali didapatkan. Sepuluh liter untuk satu keluarga dengan 10 orang didalamnya. Minum, berwudhu, dan keperluan lainnya termasuk memasak. Berapa teguk yang bisa mereka dapat?” Kiyya berjongkok. Pandangannya menyapu tiap sudut kamp yang masih riuh dengan banyak macam aktifitas dan suara. Aku hanya terdiam mendengarkan apa yang Kiyya katakana barusan. Memang, akupun mengetahui perihal 3 juta orang di Somalia berisiko mengalami kolera. 13 dari 18 provinsi sudah terkena wabah, itulah mengapa angka kematian di sini sangatlah tinggi.

“kematian biru” bisiknya pelan

“apa?” tanyaku, tidak begitu yakin dengan apa yang barusan dia katakana.

“kematian biru. Sebutan untuk pasien yang meninggal akibat kolera”

“kenapa?”

“kulit penderita akan berubah warna menjadi kebiru-biruan sebab kehilangan cairan tubuh yang hebat” jelasnya lagi.

“lalu vaksin?”

“sederhananya, vaksin ini diberikan satu minggu sebelum potensi paparan. Sementara kamu lihat sendiri bagaimana keadaan kita, jangankan menunggu satu minggu, dalam lima menit saja kita sudah banyak melakukan kontak fisik satu sama lain. Tidak memungkinkan untuk memisahkan penderita kolera dengan yang sehat, karena kondisi kita yang serba kekurangan. Selain itu, kolera tidak bisa terdeteksi secara langsung, bahkan ada yang tanpa memperlihatkan gejala. Dan lagi, dengan jumlah yang kamu tahu, banyak sekali ini, sepertinya tidak mungkin kita dapat memeriksa semua orang setiap saat. Mungkin bisa saja, tapi itu artinya kita harus menambah tenaga medis yang secara otomatis memerlukan tenda tambahan, meskipun mereka membawa tenda sendiri, tetap saja, artinya kita perlu lebih banyak lagi air dan makanan untuk dibagi, dan seterusnya.” aku mengangguk paham dengan penjelasan yang Kiyya berikan dengan bahasa yang tentu saja disederhanakan agar aku mengerti.

“tapi setidaknya pemberian vaksin akan mengurangi dampak kolera untuk orang yang belum terjangkit kan?” aku masih penasaran.

“kamu tahu WHO tidak mewajibkan vaksin ini?” tanya Kiyya. Aku menggeleng cepat.

“karena vaksin kolera yang diinaktivasi hanya memberikan proteksi 50% tidak sampai 100%. Meskipun pemberian vaksin tetap dilakukan, orang tersebut harus tetap memperhatikan makanan, air dan kebersihan individu. Sekarang aku tanya, bagaimana keadaan tiga hal tersebut disini?” kali ini aku tidak mampu menjawab pertanyaan Kiyya yang memang semua orang sudah faham, jangankan untuk memperhatikan asupan makanan, kebersihan dan air, untuk mendapatkannya saja sudah demikian sulit. Jika pun ada, tidak ada waktu untuk berfikir bagaimana kebersihannya, yang ada di otak hanyalah bagaimana caranya mengisi perut agar bertahan hidup meski hanya untuk beberapa detik.

“minggu depan aku sudah harus pulang ke Indonesia, Ran. Pernikahanku sebentar lagi” Kiyya berdiri dan menghadapkan tubuhnya kearahku.

“maaf aku tidak bisa memberikan apa-apa. Tapi Insyaa Allah doa untuk kalian akan selalu kupanjatkan. Barakallahu lakum wa barakallah ‘alaikum, wa jama’a bainakumaa filkhaiir” Kiyya tersenyum.

“ada yang mau kamu titipkan untuk Livia?” tanyanya. Mendengar nama istriku, ingin sekali rasanya aku mengatakan bahwa aku juga akan ikut ke Indonesia. Rindu ini sudah demikian hebat. Namun banyak hal yang memaksaku untuk tetap tinggal. Masih banyak tanggungjawab yang harus ditunaikan, dan perlu beberapa lama lagi sampai aku bisa benar-benar pulang. Sebagai suami, ada rasa bersalah saat tidak mampu mendampinginya di waktu-waktu tersulit. Mungkin saja dia kerepotan di rumah? Atau sikecil yang selalu rewel membuatnya kurang istirahat. Ahh, Zayyid yang bahkan belum sempat aku gendong dalam pangkuanku.

“aku titip surat saja nanti” kataku kemudian.

Kiyya mengangguk dan melemparkan pandangannya kembali ke barisan tenda-tenda pengungsi yang tidak pernah sepi. bertolak belakang dengan hatiku yang lengang, penuh gumpalan rindu. Untuk Istri dan anak lelakiku.

^^^

“Assalamu’alaikuum, Sayang” aku melambaikan tangan ke layar ponsel. Dengan heboh istriku itu berteriak histeris karena bahagia.

“Wa’alaikumsalaam Ayaahh, apa kabar disana? Zayyid sedang main lego nih” kata Livia menirukan suara anak kecil. Sosok mungil itu berada di atas pangkuan Livia. Tangannya memegang sepotong lego berbentuk robot, lalu berusaha meraih layar ponsel sambil tertawa.

“Halo halo, Anak Ayah makin pintar yaa? Ayah kangen Zayyid nih” seruku tidak kalah heboh. Aku melihat Livia tidak berhenti menyunggingkan senyum dan tawanya, hal itu yang selalu membuatku kuat sekaligus lemah secara bersamaan.

“Livia, kamu sehat-sehat kan di sana?” tanyaku kemudian.

“Alhamdulillaah Mas Emran, aku dan Zayyid baik-baik saja. bagaimana keadaan Mas disana?” tanyanya sambil membiarkan anak lelaki kami turun dari pangkuan dan asik bermain lego di atas karpet.

“Alhamdulillaah, seperti yang kamu lihat, Mas sehat-sehat saja disini.” Jawabku. Kerongkonganku tercekat. Ingin rasanya mengatakan bahwa aku sangat rindu, sangat ingin menarik mereka kedalam dekapanku, dan ingin sekali pulang. Tapi sepertinya itu hanya akan menambah kekhawatirannya terhadap keadaanku disini. Seketika aku dan Livia hanya diam saling pandang, menghabiskan detik untuk saling menatap wajah, meluapkan rindu yang telah lama tertimbun oleh debu. Lalu kami sama-sama tersenyum.

“aku rindu kamu, Mas” suaranya serak. Aku tau, jika sudah begitu, Livia akan menitikkan airmata dan aku akan merasa sangat bersalah padanya. Tapi ternyata tidak, Livia hanya tersenyum sambil menatapku.

“Asyukuki, Livia” jawabku dengan suara yang tak kalah parau.

“jam berapa disana?” tanyanya kemudian.

“kenapa, Sayang?”

“gambarmu gelap, Mas” katanya.

“hapeku saja yang memang jadul” aku terkikik

“di sini sudah tengah malam” lanjutku.

“Loh, kenapa menghubungiku di jam segini Mas?” istriku itu mengerutkan dahi.

“memangnya kenapa, Sayang?”

“kamu seharusnya tidur dan istirahat. Bukankah kamu sudah terlalu sibuk saat siang? Jaga kesehatanmu, Mas. Jangan membuatku khawatir” aku tersenyum. Sudah lama sekali aku tidak mendengar istriku ini mengomel. Namun omelannya kali ini sungguh ingin aku dengar lebih lama.

“iya Sayang, setelah ini Mas pasti istirahat” kulihat senyum kembali mengembang di wajahnya. Ahh, Livia, begitu mudahnya kau tersenyum hanya dengan mengetahui aku baik-baik saja disini. Tanpa pernah kau tanyakan kapan aku kembali, karena kau tahu pasti jawabannya akan membuatmu sedikit kecewa. Namun kau sungguh paham, ranah dakwah ini adalah hal yang mempertemukan kita pada pernikahan. sehingga kau selalu dapat mengerti bahwa dakwah tak hanya sekedar ceramah di atas mimbar, namun lebih dari itu, berjuang membantu banyak jiwa yang membutuhkan adalah satu komitmen kita dalam dakwah dan membina pernikahan.

“Ohya, minggu depan Kiyya pulang ke tanah air” seruku.

“Iya Mas, pernikahannya sebentar lagi. Aku juga akan membantu membagikan undangan ke beberapa saudara lewat pos” aku menunggu Livia menanyakan kapan aku pulang, namun dia tetap bungkam.

“aku akan menitipkan sesuatu untukmu lewat Kiyya”

“wah, apa itu?” tanyanya penasaran.

“rahasia” jawabku sambil terkikik. Dan Livia memasang wajah cemberut yang membuatku gemas.

“Livia, Mas akan me-“ belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, gambar di layar ponselku itu buram dan tersendat. Jaringan buruk lagi. Ada rasa kesal yang tiba-tiba hadir dalam hatiku. Aku mengambil nafas panjang dan kemudian beristighfar. Akhirnya ponsel kumatikan. Aku tidak bisa terlalu lama menghidupkan ponsel karena pasokan listrik yang sangat tidak memadai, mengharuskan aku sebisa mungkin berhemat saat memakainya. Aku beranjak menuju tenda, melewati beberapa pengungsi yang masih terjaga duduk di mulut tenda sambil memeluk lutut. Malam ini seakan sangat cepat rasanya. tidak puas hanya dengan komunikasi seperti itu, rinduku benar-benar belum terobati.

^^^

Di sudut tenda beratap seng seadanya, seorang anak kecil melemparkan senyum kearahku. Usianya sekitar enam tahun. Malu-malu saat mata kami beradu, sesekali menutup wajahnya dengan kain tenda. Aku tersenyum, menghampiri anak itu. Dia keluar dengan tangan menutup wajah.

“Hey, siapa namamu?” aku tahu, dia tidak akan mengerti apa yang aku tanyakan, namun itu bukan masalah untuk menjalin keakraban.

“aku, Emran Syahid. Kamu siapa?” aku menjelaskan ucapanku sambil menjelaskannya dengan gerakan tangan agar dia mengerti.

“Abdelahi” sahutnya.

“Ad Abdelahi” dia mengulangnya, kali ini dengan nama yang lebih lengkap. Aku tersenyum, mengacak rambutnya yang hitam keriting.

“kamu mau?” aku merogoh kantong, memberikan sebungkus permen dan memberikannya. Dengan sigap tangannya meraib permen yang aku sodorkan. Dia tersenyum semakin lebar.

“Dhan’yabada” celetuknya. Aku tertawa meski tidak tahu apa maksudnya. Lalu beranjak meninggalkan anak itu yang kini sedang asik dengan permen miliknya.

Hari ini bantuan datang, mobil-mobil pengangkut air berjejer di tiap sudut kamp. Para pengungsi tidak usah ditanya lagi, saat melihat mobil tangki air dari jauh, mereka berhamburan keluar tenda dan membuat barisan panjang. Berbekal wadah apa saja yang mereka punya. Anak-anak dan dewasa semuanya ikut mengambil bagian. Tidak hanya itu, beberapa ton bahan makanan dan obat-obatan juga ikut dikerubungi pengungsi. Berton-ton beras dipindahkan, serta obat-obatan mulai dipilah sesuai dengan kebutuhannya. Semua orang sibuk dengan harapannya. Beberapa tentara terlihat berjajar mengamati dari setiap sudut, seolah peristiwa datangnya bantuan logistic sama mengancamnya dengan pengiriman senjata illegal. Beberapa tim yang bertanggung jawab sudah mulai sibuk dengan tugasnya, sementara aku memilih untuk melangkah menuju sebuah dapur umum.

Kiyya terlihat mulai sibuk dengan obat-obatan dan segala kebutuhan medis yang baru saja diturunkan dari mobil pick up. Sementara aku dan Fatih menemui seorang relawan lokal yang terbiasa memberikan bantuan berupa nasi jagung bagi para pengungsi. Habibah, namanya. Seorang Ibu rumah tangga yang dengan gigih selalu hadir sepekan sekali untuk membagikan bubur jagung. Dia adalah warga Mogadishu yang dengan mulia memberikan bantuan berupa makanan bagi para pengungsi bersama beberapa rekannya. Meski terlihat sepele, namun hal ini merupakan satu pekerjaan yang cukup berbahaya, mengingat setengah wilayah Mogadishu dikuasai oleh tentara-tentara kelompok radikal. Para tentara itu tidak bisa baca tulis, yang mengakibatkan mereka tidak mampu membedakan warga lokal maupun asing. Meski sudah dipasang sebuah papan untuk menjelaskan, tetap saja ada kecaman dari kelompok tersebut yang ingin secara spesifik mengancam dan membunuh para relawan lokal. Jadi sebisa mungkin aksi mreka dilakukan tanpa publishitas, karena sebuah tanda pengenal pun tidak banyak membantu.

Aku dan Fatih ikut membagikan bubur beras bagi para pengungsi yang sudah antri memanjang. Sesekali beradu tawa, atau bercanda saat mereka meminta tambahan jatah. Sementara fatih terlihat mengobrol dengan beberapa rekan Habibah yang juga sedang membagikan bubur jagung di baris antrian lain.

“Emran” panggil Fatih sambil mendekat kearahku.

“satu orang relawan lokal meninggal” katanya. Aku terkejut.

“innalillaah… kenapa?”

“Al-shabab” sahutnya, menyebutkan satu nama kelompok radikal dengan suara serendah mungkin. Aku mengangguk paham. Memang sudah beberapa kali terjadi, tentara-tentara itu menembak para relawan yang di anggap mendukung kelompok lawan. Padahal mereka hanya ingin membantu para pengungsi tanpa ada kaitan dengan kelompok atau partai manapun.

“Emran! Fatih!” aku melihat Kiyya tergopoh kearahku. Di punggungnya sudah ada ransel besar dan sebuah tas kecil yang tersampir di pundak. Nafasnya ngos-ngosan, keringatnya mulai terlihat membasahi kerudung lebarnya. Dia berdiri di hadapanku dan Fatih, mengatur nafas dan mulai bicara.

“aku diminta untuk ke perbatasan!”

Sejenak aku dan Fatih saling pandang.

^^^

Jujur, aku sangat khawatir saat Kiyya megutarakan hal itu. Daerah perbatasan yang dia maksud adalah wilayah sengketa bersenjata yang terletrak antara Nairobi (Kenya) dan Mogadishu (Somalia). Dimana wilayah tersebut sangatlah berbahaya bagi para relawan seperti kami. Entah sudah berapa nyawa yang melayang di sana. Tak pandang bulu, warga lokal ataupun relawan bisa saja jadi sasaran. Namun dia bilang tetap akan kembali dalam beberapa hari ke Dallada, untuk mengemasi sisa peralatan medis miliknya, dan tentu saja mengambil titipan surat dariku untuk Livia. Namun hal itu tetap saja tidak membuatku hilang kekhawatiran. Bagaimanapu juga, Kiyya adalah satu-satunya saudara terdekatku di sini. Bagaimana bisa aku tidak peduli?.

Jam menunjukkan pukul tengah malam, seharian ini aku lupa mencharge ponselku, sehingga tidak ada yang bisa kulakukan selain menyiapkan selembar surat untuk Livia.

Assalamu’alaikum warahmatullaah…

Livia, Istriku sayang…

Saat ini aku sedang duduk menatap langit malam yang menggantung di atas kamp pengungsi Dallada, Mogadishu. Langit malam yang meski hanya dengan beberapa kerlip bintang ini mampu membawaku pada kenangan tentang hangatnya kebersamaan kita. Aku sadar, ada saat di mana ternyata kita hanya mampu merasa tanpa bisa bersua. Pertemuan beberapa menit itu tak sepadan dengan sakitnya menunggu selama ini. Lewat layar seluler yang gambarnya tidak begitu bagus, diimbangi dengan suara putus-putus, kita lepaskan rindu.

Hampir dua tahun, aku masih di sini. Di tengah ribuan jiwa kelaparan menyambung nafas, Somalia. Kau tak harus khawatir dan takut sebegitunya. Cukup doakan aku di sini baik-baik saja. memang tiga tahun terakhir hujan tidak turun, sehingga aku harus lebih berusaha menyambung informasi agar bantuan datang secepat mungkin.

Livia sayang,

Kematian adalah pemandangan yang aku saksikan setiap hari. Mereka haus dan kelaparan, pun juga aku yang ikut merasakan betapa mahal harga sebuah kehidupan.

Mungkin saja tiba giliranku meregang nyawa di sini tak kan lama lagi. Sedang informasi tak cepat kau dapati karena media kurang tertarik dengan kondisi kami. Ya, mungkin saja.

Cukuplah kau ingat, semua kenangan, rawatlah buah hati kita dengan pendidikan Al-Qur’an. Dan luangkanlah sedikit waktumu untuk mengirimiku seikat doa.

Menjadi relawan pengemban dakwah ternyata tak mudah, Faktanya, aku sering ingat rumah. Rasanya ingin sekali pulang, tapi bagaimana? Ranah dakwah ini bukan hanya menjadi urusanku dengan manusia, tapi juga dengan Allah, Tuhan kita. Kalau saja kau tahu, aku sudah merindumu sebegitunya…

Livia sayang…

Maafkan, karena menjadi istriku bukan perkara mudah. Kau rela kutinggal saat kandunganmu semakin besar. Itulah mengapa aku memilihmu di antara jutaan. Kau berbeda, karena luar biasa dalam menjaga apa-apa yang aku pesankan sebelum lekas pergi ke ranah ini. Kumohon, tunggu aku di rumah. Ada saat nanti kau akan melihat seorang lelaki dengan tubuh kurus dan kulit agak hitam membawa ransel besar di depan pintu rumah.

Dan itu adalah aku…

Salam rindu dariku, untukmu dan Zayyid yang lucu.

Wassalamu’alaikum warahmatullaah…

^^^

Sudah lima hari setelah Kiyya meninggalkan Dallada, namun tidak ada kabar apapun yang dapat aku terima. Fatih dan Mas Azzam pun tidak mendapatkan informasi yang jelas. Kiyya berangkat bersama dengan rombongan mobil pick up yang mengangkut logistic, dan sejak saat itu dia belum memberikan kabar apapun. Seluruh pesan yang aku kirim ke ponselnya tidak satupun terbalas. Kekhawatiranku semakin menjadi, seharusnya besok adalah hari di mana Kiyya terbang ke tanah air untuk acara pernikahannya. Seketika pikiranku kalut, beberapa orang yang bertanggungjawab atas urusan logistic sudah aku tanyai satu persatu, bahkan Fatih yang juga mencari informasi lewat relawan lokal. Namun semuanya nihil. Tiba-tiba aku merasa sangat menyesal, mengapa aku tidak dengan tegas memintanya untuk tetap di Dallada? Mengapa harus dia yang pergi ke perbatasan?. Bahkan supir pick up nya pun aku tidak sempat mempotretnya. Aku terduduk lesu, beberapa orang hilir mudik membawa beberapa panci untuk peralatan masak mereka. Anak-anak mengintip dari balik tenda, dan lelaki dewasa sedang mengantri jatah makan hari ini. aku seakan sendirian di sini. Biasanya Kiyya yang selalu menemaniku duduk dan menyempatkan waktu untuk sekedar berbincang perihal rumah dan keluarga kami di Indonesia. Tapi hari ini aku benar-benar merasa kehilangan seorang saudara sekaligus teman.

“Emran! Emran!” suara itu membuyarkan lamunanku. Fatih. Aku berdiri dan lekas menghampirinya. Dia terlihat sangat kebingungan, matanya berair, dan lekas mencengkram lenganku dengan kuat.

“Kiyya, Ran…Kiyya!” katanya dengan bibir bergetar. Hatiku mulai dipenuhi berbagai dugaan. Berkecamuk dan mulai pasrah dengan apa yang akan Fatih katakan.

“Kiyya tertembak, Ran…D-dia meninggal” Fatih tergugu dan terduduk di hadapanku. Lunglai, menangis dan terisak dengan tangan masih mencengkeram lenganku. Aku terdiam, pikiranku kosong, seluruh anggota tubuhku seakan kaku tak bisa digerakkan. Bagaimana mungkin? Bukankah hanya sebentar saja dia di sana? Bukankah seharusnya ada yang melindunginya saat itu? apakah dia tidak berhati-hati?. Aku roboh di atas tanah, tangisku pecah. Debu-debu mengotori celana kain hitamku, memukul-mukul permukaan kering itu dan menghempaskan wajahku di atasnya. Sebuah pemandangan pilu, sekaligus memalukan karena sebagai lelaki, aku harusnya mampu bersikap lebih realistis. Apalagi di hadapan para pengungsi yang lebih pantas untuk menangis secengeng ini. Namun faktanya, aku baru merasakan kehilangan salah satu sanak saudara ternyata begitu menyakitkan.

Jenazah Kiyya dikuburkan langsung di perbatasan yang entah oleh siapa. Aku pun tidak dapat kesana selain dengan persetujuan dan alasan yang cukup kuat. Dan lagi, menuju kesana tanpa pengawalan adalah ide yang buruk.

“aku akan pulang ke Indonesia, besok” Fatih membuka suara. Kami sedang di sebuah dapur umum milik Habibah.

“kenapa mendadak?” tanyaku heran.

“sebenarnya tidak, rencana ini sudah kuajukan sebulan lalu. Ibuku sakit keras, Ran” Fatih menatapku dengan perasaan bersalah. Aku hanya tersenyum. Ada rasa sedih saat harus ditinggalkan seseorang yang sudah menjadi saudara selama ini.

“kamu tidak mau pulang, Ran?” celetuknya. Ah, pertanyaan itu. yang selalu menghantuiku setiap malam. Ingin, aku ingin sekali kembali ke rumah. Memeluk Livia dan menggendong Zayyid untuk pertama kali.

“aku pasti pulang, tapi tidak sekarang” jawabku, menutupi kegelisahan yang sedari tadi berkecamuk dalam otakku. Fatih terdiam, seolah mengerti apa yang aku rasakan.

^^^

Matahari pagi mulai menampakkan kegagahannya. Meski jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh, namun sengatan matahari sudah sangat terasa di kulit. Aku mengangkut beberapa persediaan air. Menakarnya menjadi sepuluh liter tiap gallon. Beberapa kardus roti gandum sudah tersedia untuk dibagikan. Dan antrian sudah memanjang sedari tadi. anak-anak yang mulai berlarian, bertukar tawa di antara tenda-tenda yang berdesakan. Wajah-wajah yang menyembul dari balik pintu tenda, dan senyum-senyum tulus yang mereka berikan pada setiap kami yang lewat di hadapannya. Aku paham, hidup bukanlah tentang seberapa nikmat perjalanan, tapi seberapa mampu kita menikmati perjalanan, meskipun itu pahit. Dalam prosesnya, ada lelah, luka, dan tangisan. Namun aku yakin, Allah tidak akan pernah melewatkan sekecil apapun ikhtiar yang dilakukan.

“Ran, aku berangkat pukul Sembilan” Fatih muncul dari belakang punggungku dan mulai membantu menakar air.

“sudah berkemas?” tanyaku.

“iya”

Sesaat hening. Hanya suara air yang sedari tadi aku tuangkan dari gallon ke gallon.

“Ran… kamu yakin tidak ingin pulang ke Indonesia?” ini pertanyaan yang entah sudah berapa kali dia tanyakan. Aku berdiri mematung, masih membelakanginya.

“Fat, siapa yang tidak rindu dengan tanah air? Aku justru rindu sekali dan sangat ingin pulang. Aku rindu keluargaku, terutama istriku, dan juga anakku yang bahkan sampai sekarang aku belum pernah menyentuhnya. Sebagai seorang suami dan ayah, hatiku sakit, Fat. Namun kamu sudah sangat paham, aku tidak bisa begitu saja keluar dari sini sebelum tanggungjawabku selesai. Kesepakatanku disini hingga tahun depan Fat, masih ada satu tahun lagi untukku menetap disini, meski tanpa Kiyya dan kamu. Aku memang rindu tanah air, rindu orang-orang yang aku sayangi dan juga menyayangiku, namun janjiku untuk menetap sampai batas akhir kesepakatan adalah juga janji dengan Allah, dan itu harus dengan patuh aku tunaikan” aku mendengar Fatih melangkah mendekatiku dari belakang. Suara alas kaki itu berhenti saat aku membalikkan tubuhku. Kami saling berhadapan kini.

“kamu lihat, bahkan selembar surat yang aku tulis untuk Livia pun tidak mampu sampai ke tujuan. Bagaimana dengan aku yang masih menunggak hutang atas tanggungjawabku di sini?” aku mengambil lipatan kertas dari saku celanaku. Memandangnya sejenak, dan merobeknya dengan hati yang juga hancur menjadi serpihan kecil.

“kamu tidak perlu surat untuk melepas rindu dengan keluargamu, Ran” Fatih tersenyum. Dia mengeluarkan secarik kertas dan menyerahkannya kepadaku. Antara bingung dan terkejut, aku memandang selembar kertas itu dengan tatapan tidak percaya. Sebuah tiket menuju Jakarta.

“itu dari Mas Azzam, beliau menyuruhmu pulang bersama denganku” senyum Fatih bertambah lebar. Namun aku semakin tidak mengerti.

“Emran” suara itu mengejutkan aku dan Fatih. Mas Azzam tiba-tiba menghampiri kami berdua dengan pandangan meyakinkan.

“tanggungjawabmu sudah selesai di sini, kini ada tugas baru yang kami bebankan untukmu” Mas Azzam membetulkan letak kacamatanya. Sementara aku hanya terdiam menunggu penjelasan.

“Emran, pulanglah. Ini satu tugas dari kami. temui keluargamu di Indonesia, jelaskan pada mereka tentang apa yang terjadi pada Zakiyya. Kamu adalah saudara terdekatnya di kamp ini, keluargamu pasti perlu penjelasan dari orang yang mereka percaya. Dan itu adalah kamu. Sampaikanlah sejujurnya apa yang terjadi pada sepupumu. Juga tentang pernikahannya yang sebentar lagi terlaksana, sampaikan pula pada calon suaminya, jangan sampai mereka semua mendapatkan informasi yang tidak utuh, apalagi sampai menunggu lama” Mas Azzam menghentikan ucapannya dan menepuk pundakku. Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Sejenak ada rasa haru dan bahagia, namun juga sedih karena harus kembali ke tanah air tanpa Kiyya.

“Jam Sembilan kamu harus berangkat, sekarang siap-siap. Biar saya yang lanjutkan menakar air” Pak Azzam mengambil gallon dari tanganku. Sontak aku memeluknya dengan rasa terimakasih. Entah apa yang Allah rencanakan di depan, namun saat ini yang harus aku lakukan adalah berkemas. Bersiap menginjakkan kakiku di tanah air.

^^^

Kamp Dallada, Mogadishu. Banyak hal yang aku rasakan disini. Banyak pula pelajaran hidup yang aku dapati di sini. Bagiamana aku harus lebih bersyukur atas segala apa yang aku miliki. Dan mendoakan mereka agar segala rasa sakit lekas terobati. Memang, tanah ini memberikan kematian sebagai hidangan hari-hari. Keringnya tenggorokan dan perihnya lambung menahan lapar. Juga irama tangisan yang setiap detik pecah membuat gendang telinga seolah ikut tercacah. Namun, aku menemukan satu kebahagiaan disini. Kebahagiaan saat melihat lengkung senyum anak-anak untuk sebungkus permen. Ucapan terimakasih yang begitu dalam untuk sepiring makanan. Dan murninya hati para orangtua yang mendahulukan kebutuhan anak-anak mereka, menukar nyawa demi melihat buah hati tak lantas meregang nyawa.

Aku berpamitan dengan beberapa relawan yang selama ini kukenal. Terutama dengan Mas Azzam yang tengah sibuk membagikan roti. Aku dan Fatih melangkah gontai ke luar Mogadishu, diiringi tatapan polos anak-anak dalam gendongan ibunya. Segala yang aku lihat di sini adalah kemurnian hati, dimana semua orang dari belahan bumi berlomba ikut membantu, meredakan dahaga, membuat mereka tertawa. Ah, Somalia. Betapapun jauhnya engkau, betapapun keras perjuangan untuk tetap hidup, namun aku pasti selalu rindu.

“Miran Syahed! Miran Syahed!” seorang anak berlari mengejarku dan Fatih. Ternyata anak itu adalah Ad Abdelahi. Aku terkikik, mengingat baru saja dia memanggil namaku dengan ejaan yang salah. Ditangannya ada sebatang jerami yang sudah dia lilit menjadi seperti gelang. Dia menghampiriku dan meraih lenganku. Seutas jerami itu dia ikat di pergelangan tanganku. Abdelahi tersenyum, menarikku untuk berjongkok. Dan kemudian memelukku. Entah apa yang saat itu aku rasakan, namun entah mengapa aku sungguh menyayangi anak ini, juga seketika berat untuk meninggalkan Dallada. Anak itu menitikkan airmatanya, dan melepaskan tangannya.

“Bad Baadi Somalia…” bisiknya. Aku menoleh pada Fatih yang sedang tersenyum. Fatih ikut berjongkok, menautkan tangan kami bertiga, dan mulai bicara.

“Selamatkan Somalia…”

Karawang, 20 Oktober 2017

Citra Fristianova

1 note · View note