#Makam Raja-raja Mataram Islam
Explore tagged Tumblr posts
Text
Anies Baswedan Terima Cakra dari Keluarga Besar Pendiri Kerajaan Mataram Islam
YOGYAKARTA KBA – Bakal Calon Presiden Koalisi Perubahan untuk Persatuan Anies Baswedan menerima sebuah pusaka cakra saat ziarah makam Panembahan Senopati di Kompleks Makam Raja-raja Mataram Islam, Kotagede, Yogyakarta, Minggu, 12 Agustus 2023. Menurut Anies, pemberian cakra ini mengingatkannya pada 2015 saat menjabat sebagai Mendikbud menerima pengembalian tongkat pusaka Cakra Pangeran…
View On WordPress
#Anies Baswedan#Makam Raja-raja Mataram Islam#Mataram Islam#Panembahan Senopati#Tongkat Cakra Pangeran Dipoengoro
0 notes
Text
Mlaku Magelang
Minggu, 26 Februari 2023
Akhirnya bisa belajar sejarah sambil jalan-jalan santai dan bertemu teman-teman baru di komunitas Mlaku Magelang.
Yups, sebenarnya iseng nih nemu instagaram tentang komunitas tersebut dan exited banget untuk ikutin secara aku anaknya sejarah banget gitu ya🙃 apalagi di tempat tinggalku tidak ada komunitas sejarah semacam itu. Yang lebih menarik lagi, pendiri dan orang-orang yang datang saat itu mereka sama sekali tidak ada yang jurusan sejarah atau kerja di bidang-bidang yang berkaitan dengan sejarah. Bahkan, mereka terdiri dari anak-anak SMA, mahasiswa, sampai ibu-ibu buruh pabrik dan kakek nenek yang ikutan kepo tentang ada peninggalan sejarah apa aja sih di sekitar Magelang. Jujur, sangat terharu ternyata masih banyak manusia-manusia yang peduli sejarah diantara manusia-manusia yang menganggap masa lalu adalah sesuatu hal yang sudah berlalu dan harap kita kenang saja.
Tema Mlaku Magelang minggu ini adalah “STATDSWIJK KAWARASAN” atau perumahan bekas Eropa di bagian Barat Magelang. Tepat pukul 08.00 WIB kami semua berkumpul di pohon beringin alun-alun kota Magelang, setelah pendiri komunitas tersebut memperkenalkan diri dan diawali bercerita tentang bagaimana sebuah kota Magelang ini bisa di masuki oleh Belanda dan memperkenalkan bekas-bekas peninggalan belanda dan peninggalan lama magelang di sekitar alun-alun. Ya, orang akan menunjuk menara ai/water toren dan ukiran Masjid Agung di sebelah barat Alun-alun Magelang.
Menara air yang sangat dikenal merupakan landmark Kota Magelang ini dibangun oleh arsitek Belanda bernama Herman Thomas Karsten, Bangunan yang letaknya di pojok alun - alun kota ini bisa menampung sebanyak 1,750 juta liter air dan memiliki ketinggian bangunan 21,2 m dengan terdiri dari 32 pilar penyangga. (Sumber Viva.com) sedangkan Masjid Agung magelang, sebenarnya tidak hanya magelang hampir semua wilayah di Indonesia mengenal konsep alun-alun dan pastinya di dekat alun-alun itu ada Masjid. Loh apa hubungannya? Dahulu, alun-alun hanya digunakan untuk semacam ‘pasar malam’ untuk hiburan orang-orang Belanda di wilayah tersebut, akan tetapi di wilayah Mataram Islam (Yogyakarta dan sekitarnya) penempatan masjid dekat dengan alun-alun, diibaratkan bahwa setelah kita merasakan kebahagiaan di duni, jangan lupa bahwa kita harus bersyukur dan mencari kebahagiaan akhirat alias ya setelah kita puas main-main di alun-alun yo jangan lupa menegakkan solat.
Fakta menarik yang baru saya dapatkan setelah belajar tentang masjid Agung Kauman kota Magelang adalah masih ada peninggalan berupa jam istiwa atau atau jam yang berpatokan pada sinar matahari yang mana di Jawa Tengah tersendiri, jam istiwa ini termasuk salah satu dari tiga yang ada. Dua lainnya ada di Masjid Langgar Agung Magelang dan Masjid Raya Solo. Selain itu, ketika sudah ditemukan jam analog maka beberapa masjid yang ada di Jawa Tengah, diberi hadiah brupa “jam bandul” oleh Raja Kretek (Kudus) yakni Nitisumito.
Setelah selesai belajar peninggalan sejarah di sekitar alun-alun, kami melanjutkan perjalanan menuju tujuan utama kami sambil bercerita tentang bangunan-bangunan yang sekarang menjadi kantor pemkot magelang itu dulunya bangunan apa, menemukan makam anak belanda yang berumur 3 tahun di sebuah gang sempit, sejarha warung makan bu Atmo (sebuah warung sop senerek yang terkenal di Magelang), sampai pada Magelang pernah menjadi lautan Api. Ya kurang lebih hampir sama dengan peristiwa Bandung Lautan Api, tentang ketidaksukaan rakyat akan datangnya Belanda dan mereka memilih tempat tinggal di bumi hanguskan daripada di rampas pihak Belanda.
Magelang di Era kolonial adalah kota praja (gemenente) Belanda. Magelang juga merupakan wilayah gung Mataram atau bagian dari Mataram. Sehingga, saat Inggris yang dipimpin oleh Gubernur Jendral Raffles memimpin pasukan Inggris datang melancarkan peristiwa geger sepoi di Yogyakarta yang dibantu oleh tentara india, dan berakhir kekalahan wilayah Mataram, ia lalu mengambil alih wilayah karesidenan kedu meliputi magelang dan menoreh (Temanggung sekarang) dan dikatakan bahwa karesidenan kedu menjadi sistem sewa tanah pertama di Era Raffles. Setelah itu pasca perang Diponegoro (1825-1830) Magelang juga menjadi pusat basis militer dibuktikan yang kemudian berkembang hingga saat ini.
Nah sampailah kami ditujuan utama kami yakni “STATDSWIJK KAWARASAN” mengapa perumahan ini ada? Dan bahkan saat itu, sudah ada tabel harga perumahan berdasarkan view yang didapat, harga paling tinggi adalah perumahan dengan pemandangan langsung gunung Sumbing. Perumahan ini ada ketika orang-orang Belanda dan orang-orang Indo (percampuran Belanda-Pribumi) membludak jumlahnya di magelang, bahkan dalam catatan sejarah orang Eropa dan Indo di yang tinggal di kota Magelang mendapat peringkat 9 terbanyak di Indo-Eropa (negara Belanda dan di negara yang dijajah Belanda) dan peringkat 16 di Hindia-Belanda (negara Indonesia sekarang). Sekarang kawasan ini berada di Magelang Tengah, dan hanya sedikit bangunan perumahan yang ada karena bangunan lain sudah dibongkar menjadi bangunan-bangunan modern (seharusnya sih tidak boleh ya). Bangunan perumahan pada masa itu, berupa perumahan mungil lantai 1 dan bangunan khas perpaduan indo-belanda. Ohya di sekitar ini, juga ada rumah pribadi milik dr. Oei Hong Djien yang merupakan seorang kolektor seni rupa yang terkenal asal Magelang dan karya pribadinya ada di OHD Museum Magelang kalian bisa mampir kesana yang lokasinya tidak jauh dari alun-alun kota Magelang dengan biaya tiket masuk umum Rp. 50.000 dan pelajar sebesar RP.25.000
Sekian
0 notes
Text
Revitalisasi Kotagede, Wisata Budaya, dan Pemerintah
Kotagede merupakan kawasan di Yogyakarta yang terkenal kental akan budayanya. Di kawasan ini terletak Masjid Mataram yang konon katanya merupakan tempat berdirinya kerajaan Mataram Islam. Selain itu terdapat pula Makam-Makam Raja Besar Mataram yang seringkali dikunjungi wisatawan yang hendak berziarah. Tak lupa pula, terdapat berbagai kerajinan berupa perak sebagai buah tangan khas Kotagede.
24 Mei 2021 | by Ruswan Syarif Thaliba Putra
Wakil Divisi Litbang Himapa Vitruvian
Letak geografis kawasan Kotagede berada di bagian tenggara Kota Yogyakarta yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bantul, terbilang cukup jauh dari pusat Kota Yogyakarta. Akan tetapi, Kotagede bisa menjadi kawasan penghubung (transit place) dari pusat Kota Yogyakarta menuju obyek wisata yang ada di daerah Bantul. Sebagai transit place, Kotagede memiliki cukup banyak daya tarik wisata yang didominasi oleh wisata budaya.
Kondisi geografis di Kotagede seringkali menjadi bahan candaan masyarakat.
“Namanya aja Kotagede, tapi jalannya ora gedhe.” menjadi ucapan yang sering terdengar. Jalanan yang ada di Kotagede terbilang cukup sempit. Meskipun sebetulnya jalanan yang ada sanggup untuk dilewati dua mobil yang saling berpapasan, banyak kendaraan yang parkir di pinggir jalan menyebabkan kemacetan di daerah tersebut.
Tidak adanya rambu-rambu larangan parkir di pinggir jalan merupakan sebuah bukti yang cukup mengecewakan. Kotagede yang seharusnya bisa menjadi kawasan yang potensial dalam sektor pariwisata ternyata kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Akses dan infrastruktur yang baik harus dicapai untuk mengembangkan kawasan tersebut. Dengan mengatur regulasi dan aturan yang baik akan tercipta kawasan Kotagede yang lebih teratur.
Penataan wilayah Kotagede pun masih perlu dibenahi. Banyak sekali PKL yang berjualan di trotoar sehingga mengganggu kenyamanan pejalan kaki. Fasad bangunan yang seharusnya kental akan nilai budaya mulai memudar. Pengembangan konsep wilayah Kotagede dengan menghubungkan unsur solid dan void sangat diperlukan untuk memaksimalkan potensi wilayah Kotagede.
Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa Kotagede memiliki banyak hidden gemsyang terletak di dalam gang-gang kecil di kawasan tersebut. Promosi kawasan Kotagede dirasa sangat diperlukan untuk menambah potensi wisata di kawasan tersebut. Pemerintah diharapkan dapat menaruh perhatian lebih terhadap kawasan ini. Tidak lupa juga masyarakat sekitar harus ikut andil dalam menjaga harmoni yang tercipta di kawasan Kotagede.
3 notes
·
View notes
Photo
Safari masjid adalah satu dari sekian targetku dan mba @nisa_hd dibulan Ramadan kemarin. Setiap harinya kita usahakan berpindah tempat. Ajakan buka bersama dilain tempat kami undur sebagian. Bukan mencari tempat buka gratisan lho ya,ehehe,makanan adalah bonus, yang terpenting adalah kami berdua bisa mendapat suasana yang berbeda dari biasanya, terutama mengulik sejarahnya sebagai bahan tulisan. . Salah satunya adalah disini. Masjid Gedhe Mataram yang berada di Kotagede Yogyakarta, masjid yang menjadi satu dengan kompleks makam Raja Mataram dan Sendang Seliran ini merupakan masjid tertua peninggalan Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta. Masjid bergaya akulturasi Hindu dan Islam yang didirikan oleh Panembahan Sutawijaya. . Sambil menunggu bedug Maghrib kami ikut kajian bersama masyarakat setempat. Disini anak muda diberdayakan dan diikutsertakan dalam acara-acara masjid seperti menjadi panitia dalam kajian tersebut. Setelah berbuka dilanjut dengan sholat isya dan tarawih, kemudian tadarus Al-Qur’an diadakan oleh warga sekitar. Kami berdua juga sempat mengobrol dengan salah satu pengurus masjid. . Hening dan hawa dingin yang berbeda dengan dinginya lembab hujan, yang ada hanyalah suara gemerisik daun yang dibawa angin, dicampur dengan suara lantunan ayat suci yang sayup-sayup terdengar. Suasana ini mengharuskanku untuk membaca lagi riwayat masa kanak-kanakku bersama kawan di surau kampung. Kami menyebutnya Langgar. Langgar adalah kehidupan penduduk untuk belajar sembahyang dan membaca Al-Qur’an. . Aku ingat masa-masa ketika tertidur diatas sajadah, dan bermain dengan teman disela menunggu giliran mengaji, aku juga tidak lupa bau kertas usang kitab suci yang penuh dengan jejak masa lampu dan sedikit dimakan rayap, baunya selalu berbeda dan unik. Kenangan itu sudah cukup menyeret rasa rinduku pada kampung. . "Sering-seringlah main kesini dik, anak muda harus mengerti sejarahnya sendiri” ujar pengurus masjid tersebut. #herritage#yogyakarta#Mataram #mataramislam#storyteller #ramadan#pakualaman#kauman #islamicstory#travelling#javanese (di Kotagede, Yogyakarta, Indonesia) https://www.instagram.com/p/Bza-YOTnQN5/?igshid=1a599arjyqr3l
#herritage#yogyakarta#mataram#mataramislam#storyteller#ramadan#pakualaman#kauman#islamicstory#travelling#javanese
5 notes
·
View notes
Photo
Mataram Kingdom. Sinuhun Sultan Agung Hanyakrakusuma. Susuhunan Agung. 1613-1645. Kerajaan Mataram Islam. Lokasi : Kompleks Pasarean Astana Kasultan Agungan, Imogiri. Arsitek Pajimatan : Kyai Tumenggung Tjitrokoesoemo. Foto : Kompleks Paku Buwanan. Ruang Modular Kompleks Makam Raja-Raja di Imogiri tersusun seperti modul-modul halaman yang berjajar menyamping satu demi satu sehingga terlihat seperti sekarang. Masing-masing modul memiliki tiga halaman yang diatur segaris ke belakang. Pada ruang teratas dimakamkan para raja, istri, dan juga keluarga terdekat. Halaman kedua yang berada di tengah merupakan ekstensi dari halaman utama, sementara halaman terbawah merupakan halaman penyambut bagi peziarah. Satu pintu gerbang menghubungkan satu halaman dengan halaman lain, juga menghubungkan halaman terbawah dengan satu sirkulasi menyamping kompleks makam secara keseluruhan. Makam raja bertanah wangi berada di ruang atau halaman tertinggi sebagai sebuah bentuk penghormatan. #mataramkingdom #kerajaanmataramislam #abad17 #kasultanagungan #kasunananyogyakarta #kasunanansurakarta (at Pegunungan Sewu) https://www.instagram.com/p/Ch6Gk2iJeQnqiEM2nR6wfYMCnwVrLxvpqTWNfI0/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
Text
Sejarah dan Perkembangan Islam di Indonesia
🕌 Masuknya Islam di Indonesia 🕌
ada beberapa teori mengenai masuknya islam di Indonesia, berikut di antaranya:
1. Teori Gujarat
Teori ini beranggapan bahwa agama dan kebudayaan Islam dibawa oleh para pedagang dari daerah Gujarat, India yang berlayar melewati selat Malaka. Teori ini menjelaskan bahwa kedatangan Islam ke Nusantara sekitar abad ke 13, melalui kontak para pedagang dan kerajaan Samudera Pasai yang menguasai selat Malaka pada saat itu.
Teori ini juga diperkuat dengan penemuan makam Sultan Samudera Pasai, Malik As-Saleh pada tahun 1297 yang bercorak Gujarat. Teori ini dikemukakan oleh S. Hurgronje dan J. Pijnapel.
2. Teori Persia
Umar Amir Husen dan Hoesein Djadjadiningrat berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui para pedagang yang berasal dari Persia, bukan dari Gujarat. Persia adalah sebuah kerajaan yang saat ini kemungkinan besar berada di Iran.
Teori ini tercetus karena pada awal masuknya Islam ke Nusantara di abad ke 13, ajaran yang marak saat itu adalah ajaran Syiah yang berasal dari Persia. Selain itu, adanya beberapa kesamaan tradisi Indonesia dengan Persia dianggap sebagai salah satu penguat.
Contohnya adalah peringatan 10 Muharam Islam-Persia yang serupa dengan upacara peringatan bernama Tabuik/Tabut di beberapa wilayah Sumatera (Khususnya Sumatera Barat dan Jambi).
3. Teori China
Teori ini berpendapat, bahwa migrasi masyarakat muslim China dari Kanton ke Nusantara, khususnya Palembang pada abad ke 9 menjadi awal mula masuknya budaya Islam ke Nusantara. Hal ini dikuatkan dengan adanya bukti bahwa Raden Patah (Raja Demak) adalah keturunan China, penulisan gelar raja-raja Demak dengan istilah China, dan catatan yang menyebutkan bahwa pedagang China lah yang pertama menduduki pelabuhan-pelabuhan di Nusantara.
4.Teori Mekkah
Dalam teori ini dijelaskan bahwa Islam di Nusantara dibawa langsung oleh para musafir dari Arab yang memiliki semangat untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia pada abad ke 7. Hal ini diperkuat dengan adanya sebuah perkampungan Arab di Barus, Sumatera Utara yang dikenal dengan nama Bandar Khalifah.
Selain itu, di Samudera Pasai mahzab yang terkenal adalah mahzab Syafi’i. Mahzab ini juga terkenal di Arab dan Mesir pada saat itu. Kemudian yang terakhir adalah digunakannya gelar Al-Malik pada raja-raja Samudera Pasai seperti budaya Islam di Mesir. Teori inilah yang paling benyak mendapat dukungan para tokoh seperti, Van Leur, Anthony H. Johns, T.W Arnold, dan Buya Hamka.
🕌 Perkembangan Islam di Indonesia 🕌
Perkembangan agama Islam di Indonesia semakin pesat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia berlangsung antara abad ke-13 hingga abad ke-18. Kerajaan tersebut dapat dibagi berdasarkan lokasi pusat pemerintahan mereka, yaitu di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku.
Kerajaan Islam yang didirikan pertama kali adalah Kerajaan Perlak. Bukti sejarah yang menunjukkan terdapat masyarakat dan kerajaan Islam dilaporkan oleh Marco Polo dari Venesia yang singgah di Kerajaan Perlak dalam perjalanan pulang ke Italia tahun 1292. Di perlak, Marco Polo juga menjumpai adanya penduduk yang telah memeluk Islam dan pedagang Islam dari India yang menyebarkan agama Islam.
Menyusul Kerajaan Perlak, berdiri pula Kerajaan Samudra Pasai. Bukti sejarah adanya kerajaan ini ditulis oleh Ibnu Batutah, seorang utusan kerajaan Delhi ke Tiongkok. Dalam perjalanan dari India ke Tiongkok, Ibnu Batutah singgah di Samudra Pasai dan mengunjungi istana Sultan Malik Az-Zahir. Dari hasil kunjungannya ke kerajaan Islam di Samudra Pasai, diketahui bahwa Samudra Pasai merupakan pelabuhan penting tempat kapal-kapal India dan Tiongkok berlabuh.
Selain kedua kerajaan tersebut, kerajaan Islam lain yang pernah berdiri di Indonesia di antaranya adalah Kerajaan Demak, Kerajaan Banten, Kerajaan Mataram, Kerajaan Makassar, Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore, dan Kerajaan Aceh Darussalam.
Ada beberapa cara penyebaran ajaran Islam di Indonesia, antara lain sebagai berikut:
1. Perdagangan
Kaum saudagar asing sudah masuk ke Nusantara sejak awal masehi. Jalur perdagangan inilah yang dinilai sebagai langkah awal penyebaran agama Islam di Kepulauan Nusantara. Sejak abad ke-7 Masehi, kawasan Nusantara sangat ramai dikunjungi pedagang dari Arab, Persia, India, maupun Cina. Kaum pedagang inilah yang ditengarai membawa ajaran Islam dan menyebarkannya di daerah-daerah yang dikunjungi.
2. Perkawinan
Banyak pedagang asing muslim yang menyambangi kemudian memutuskan untuk menetap. Mereka mendirikan perkampungan orang Islam yang biasa disebut dengan istilah pekojan. Dari sinilah terjadi interaksi dengan warga lokal. Tidak sedikit pedagang asing muslim yang menikahi penduduk setempat. Orang lokal yang belum beragama Islam kemudian menjadi mualaf dan beranak-pinak turun-temurun.
3. Pendidikan
Faktor pendidikan juga berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di Indonesia seiring munculnya para ulama, kyai, atau guru agama yang kemudian mendirikan pondok pesantren dan memiliki banyak murid atau santri. Pada masa Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, misalnya, para Wali Songo biasanya juga mengasuh pondok pesantren. Para santri pesantren inilah yang kemudian turut menyebarkan ajaran Islam di Nusantara.
4. Kesenian
Kebudayaan lokal ternyata dapat digunakan sebagai cara menyebarkan Islam di Nusantara. Para pendakwah Islam awal di Jawa, terutama para Wali Songo, melakukan syiar Islam dengan cara memadukan ajaran agama dan tradisi lokal, seperti seni musik, tari, sastra, ukir, hingga bangunan. Beberapa strategi berkesenian dalam penyebaran Islam di Jawa di antaranya adalah pertunjukan wayang yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan permainan musik oleh Sunan Bonang.
🕌 Peranan Umat Islam di Indonesia 🕌
1. Peranan Umat Islam pada Masa Penjajahan
Melihat perilaku bangsa Belanda yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan, seperti melakukan penekanan, penindasan dan ketidak adilan itu, kaum muslimin berusaha untuk melepaskan diri dari perlakuan dan tindakan para penjajah yang kejam.
Dilandasi semangat tauhid dan keyakinan ajaran agama, kaum muslimin bangkit untuk menentang perilaku ketidak adilan dan penjajahan Belanda tersebut. Melihat kenyataan ini, Belanda menghadapinya dengan kekerasan senjata. Perlawanan bangsa Indonesia untuk memperoleh kembali kemerdekaannya terus menerus diperjuangkan. Di seluruh pelosok tanah air bangsa Indonesia yang sebagian besar kaum muslimin, berjuang untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Perlawanan, perjuangan, dan peperangan terus berkecamuk tidak ada habis-habisnya, hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
2. Peranan umat Islam pada Masa Kemerdekaan
Perilaku kaum penjajah makin lama makin kejam terhadap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tertindas, miskin, terbelenggu oleh kaum penjajah. Kaum muslimin yang merupakan penduduk terbesar bangsa Indonesia tentunya juga merasakan perilaku kaum penjajah itu. Para ulama bersama kaum muslimin bangkit, berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari tangan para penjajah. Diseluruh pelosok Nusantara, kaum muslimin bangkit untuk merebut kembali kemerdekaannya yang telah dirampas oleh penjajah.
Pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan berjuang terus tiada henti-hentinya dengan segala pengorbanan, baik berupa harta maupun jiwa. Pejuang muslim dan pahlawan kemerdekaan itu antara lain K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Ashari, HOS Cokroaminoto di Pulau Jawa, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, Panglima Polim (Aceh), Imam Bonjol (SumBar), Sultan Mahmud Badruddin (Palembang), Raden Intan (Lampung) di Sumatra. Pangeran Antasari di Kalimantan, Sultan Hasanuddin di Sulawesi, dan lain-lain yang tersebar diseluruh Nusantara. Para pejuang muslim itu dengan ikhlas dan semangat jihad berjuang di jalan Allah SWT menentang dan mengusir penjajah Belanda maupun Jepang dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga mereka.
1 note
·
View note
Text
SANGKAN PARANING DUMADI MENJALA MAKNA KEHIDUPAN DARI SUDUT KOTA MUNTILAN
“…Ya ning kene iki, Ya ning kutha iki, Ning kutha Magelang, Pager ijo sing nyekseni …”
Sayup-sayup terdengar lagu Sang Maestro campur sari The Godfather of Brokenheart, Didi Kempot. Siapa tak kenal Beliau, lagu-lagu beliau yang easy listening, nyaman di dengarkan, apalagi pas lagi hujan, ambyaaar. Beberapa hari ini, hujan mengguyur Muntilan. Ketika siang, langit memberi alarm melalui awan mendung. Lantas menjelang petang, ia menjatuhkan tangisnya ke bumi. Tangis rindu langit terhadap bumi. Serupa rindu yang menghadirkan kenangan. Lagu “Magelang Nyimpen Janji” menjadi bukti bahwa Magelang memang menyimpan banyak janji, juga kenangan. Bicara tentang Magelang memang tak ada habisnya. Ibarat mata air yang terus mengalirkan kesejukan airnya yang jernih. Hujan kali ini, membawa saya mengenang sepenggal kisah tentang Magelang, kisah tentang sudut Kota Muntilan dengan segala pesona yang terngiang dalam ingatan.
Konon, Magelang berasal dari kata tepung gelang, yang berarti "mengepung rapat seperti gelang". Bagaimana tidak, secara geografis, Magelang merupakan kawasan dataran tinggi di pusatnya Tanah Jawa. Keluasan bentang alam dataran Magelang dipagari dengan deretan gunung dan pegunungan yang membentuk gelang maha raksasa. Banyak yang percaya bahwa Magelang merupakan pusering tanah Jawa. Magelang Gemilang: Gemah-Ripah, Iman-Cemerlang, begitu masyarakat akrab menyebutnya. Magelang yang moncer, makmur-sejahtera, taat beribadah dan berwawasan luas.
Menilik sejarah kebudayaan klasik, Magelang menjadi tempat bertemunya budaya India, China, Eropa dan peradaban Islam. Salah satu bukti peninggalan peradaban islam yang ada di Magelang adalah adanya makam para aulia atau tokoh agama yang tersebar di beberapa wilayah. Selain makam para aulia, terdapat pula tempat bersejarah bekas penyebaran agama Islam seperti Langgar Agung petilasan Pangeran Diponegoro dan Masjid Agung Payaman yang pernah jadi pusat penyebaran agama Islam ratusan tahun silam.
Salah satu makam aulia yang tersohor di Magelang adalah Makam Kyai Raden Santri atau lebih dikenal dengan Makam Gunungrping yang berada di Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan. Seperti namanya, Makam Gunungpring terletak di puncak bukit dengan ketinggian kurang lebih 400 mdpl yang dipenuhi pohon pring (bambu) sehingga masyarakat menyebutnya Gunungpring. Keberadaan Makam Gunungpring membuat Kota Muntilan menjadi terkenal, bahkan hingga penjuru Indonesia. Makam Gunungpring merupakan makam dari Pangeran Singasari atau dikenal dengan Kyai Raden Santri. Sejarah mengatakan, Pangeran Singasari atau Kyai Raden Santri adalah salah satu putra Ki Ageng Pemanahan, pendiri kerajaan Mataram Islam. Bedanya, Kyai Raden Santri lebih memilih menyebarkan Islam hingga pelosok daerah di Jawa Tengah sedangkan saudaranya, Panembahan Senopati, meneruskan tahta kerajaan. Makam Gunungpring memiliki hubungan dekat dengan Kraton Yogyakarta, maka makam tersebut masuk dalam Wewengkon Kagungan Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Adanya Makam Gunungpring ini membuat perkembangan wisata religi di Muntilan sangat signifikan. Masyarakat yang tadinya menganggap wisata religi hanya sebatas ziarah kubur kini meluas, apalagi makam ini memiliki sejarah yang menunjukan bahwa Muntilan menjadi bukti adanya peraban Islam. Perjalanan menuju Makam Kyai Raden Santri serupa jika kita mengunjungi makam raja-raja di Imogiri. Peziarah harus mendaki deretan anak tangga untuk menuju makam utama. Makam utama terletak di belakang mushola bertuliskan “Makam Aulia Pangeran Singosari (Kyai Raden Santri)” di papan berwarna kuning emas. Dalam cungkup itu terdapat makam keturunan Kyai Raden Santri.
Agar wisatawan atau peziarah tidak merasa bosan dan lelah, sepanjang anak tangga di kanan dan kiri terdapat kios-kios pedagang yang menjajakan bermacam-macam dagangan. Mulai dari pakaian, batik, perlengkapan ibadah, berbagai oleh-oleh khas Muntilan, alat-alat pertanian, kostum tari tradisional “Topeng Ireng” dan tak mau ketinggalan ada berbagai kuliner yang membuat wisatawan menelan ludah.
Menikmati kuliner di Gunungpring tidak hanya enak di lidah, namun juga memiliki makna yang sangat dalam sehingga dapat kita gunakan untuk bekal dalam menjalani kehidupan. Filosofi kuliner khas Muntilan terbilang cukup unik, karena berkaitan dengan kehidupan manusia, alam dan ketuhanan, khususnya blendrang dan jemunak yang ada di Gunungpring. Keduanya punya filosofi kehidupan, bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk pulang, ya pulang ke haribaan-Nya, untuk kembali kepada Sang Pencipta, kalau kata orang Jawa “sangkan paraning dumadi”. Tak banyak yang tahu duo kuliner ini karena keberadaannya sudah hampir punah.
Blendrang merupakan makanan khas Muntilan khususnya Gunungpring (karena saya belum pernah menemukannya di daerah lain) yang memiliki tekstur mirip dengan bubur sumsum, hanya saja blendrang memiliki cita rasa yang asin, gurih, sedikit pedas dilengkapi toping berupa balungan (tulang ayam, tulang sapi atau tulang kambing), tidak seperti bubur sumsum yang manis dengan toping saus gula merah. Keberadaan bubur ini diperkirakan sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Awalnya blendrang menjadi makanan utama bagi para santri yang tinggal di Gunungpring. Versi lain menyebutkan bahwa masyarakat setempat meyakini kehadiran blendrang lekat dengan kisah Pangeran Diponegoro. Menurut mayarakat, bubur tersebut merupakan makanan penghangat badan saat berbuka puasa bagi pasukan Diponegoro. Seiring perkembangan jaman blendrang bisa dinikmati oleh khalayak umum walaupun hanya dalam bulan suci ramadhan, namun karena banyaknya permintaan, kini blendrang sudah dijajakann setiap hari oleh beberapa penjual yang ada di Desa Gunungpring.
Menurut Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa), kata blendrang berarti sisa masakan bersantan yang sudah dipanaskan berkali-kali. Pantas saja apabila tekstur dari blendrang ini kental dan berwarna kecoklatan. Bubur yang dibuat dari bahan utama tepung terigu yang dicampur dengan aneka rempah dan disajikan dengan toping tulang ini memiliki keistimewaan yaitu penikmat kuliner bisa menikmati tulang dengan cara berbeda. Harga yang ditawarkan pun tidak akan membuat kantong kering, cukup dengan Rp. 5.000,- kita sudah bisa menikmati gurihnya bubur tulang tersebut.
Bagi saya, menikmati semangkuk blendrang bukan hanya sebatas mencari kenyang, ada nilai filosofi yang ada pada semangkuk blendrang. Proses memasak bubur blendrang tidak sebentar, diawali dengan merebus balungan yang masih ada sisa daging menempel, menyiapkan bumbu dari berbagai rempah, memasukan adonan tepung gandum dan tulang-tulang kambing, sapi atau ayam dimasukkan ke dalamnya. Tidak bisa asal nyemplungke, tapi harus menunggu timing yang tepat agar cita rasa dan tingkat kekentalan bubur bisa selaras. Hal ini mengajarkan kita untuk selalu menghargai proses. Belajar menikmati proses dan menikmati proses belajar karena tidak ada hasil yang menghianati sebuah proses.
Sensasi utama ketika menyantap bubur ini adalah saat mencecap balungan, menyedot sumsum dan menguliti daging yang masih menempel pada tulang. Dari sini saya belajar untuk bersabar. Mencapai kebahagiaan itu tidak bisa serta merta. Sama kalau kita ingin menikmati balungan, harus sabar dan alon-alon, tidak boleh grusah-grusuh, nanti balungannya malah bisa nyocok dan menyakiti penikmatnya. Pun dalam hidup, tidak boleh grusah-grusuh, harus pandai memilih dan memilah mana yang baik (bisa dimakan) dan yang tidak baik (bagian yang harus dibuang), sabar jadi kuncinya karena sebaik-baiknya hamba adalah mereka yang bersabar atas segala ujian.
Menyoal kuliner, Muntilan memang tak ada matinya. Muntilan adalah sudut kota kecil yang menjadi icon kuliner di Magelang. Berbeda dengan blendrang dengan cita rasa asin, gurih dan pedas, jemunak punya cita rasa manis, gurih dan legit. Bagi masyarakat sekitar Desa Gunungpring, jemunak akrab sebagai makanan berbuka puasa sejak zaman dahulu. Jemunak menjadi kudapan khas selama puasa Ramadhan, kalau hari biasa, jemunak menjadi barang langka yang sering diburu masyarakat pecinta kuliner. Jemunak dan blendrang punya kesamaan yaitu sebagai takjil di selama puasa di bulan Ramadhan tempo dulu.
Jemunak juga punya kemiripan dengan bubur sumsum, namun teksturnya lebih padat dan kenyal. Bubur utama yang disajikan dibuat dari bahan dasar singkong, beras ketan, gula merah, dan parutan kelapa. Pembuatan jemunak, dimulai dengan mengupas dan memarut singkong lalu mengukusnya hingga setengah matang. Beras ketan juga dikukus hingga setengah matang. Parutan singkong dan ketan yang telah dikukus setengah matang kemudian dikolaborasikan, mereka ditumbuk menggunakan lumpang hingga legit kemudian dikukus lagi hingga matang, selanjutnya dibungkus dengan daun pisang. Setiap bungkusan jemunak ditaburi parutan kelapa yang telah dicampur sedikit garam. Untuk menyantap jemunak, terlebih dahulu disiram dengan kinca (air gula kelapa atau gula jawa).
Jemunak bukan sekedar kudapan, dari jemunak kita bisa menjala makna kehidupan. Lihat saja, dari komposisinya, banyak makna tersirat. Jemunak terbuat dari singkong dan ketan. Singkong, nama kerennya manihot utilissima. Banyak orang tidak suka singkong karena dianggap makanan kaum alit, bukan kaum elit. Padahal kalau kita lihat, pohon singkong itu hidupnya tidak ribet. Dia bisa tumbuh di tanah bawah atau di tanah kering. Bisa ditanam di mana saja tanpa perlu pupuk sekalipun, dalam keadaan apa pun, singkong tetap tumbuh, tanpa direkayasa. Singkong tidak baperan, tidak mudah galau. Hebatnya lagi, semua bagian pohonnya berguna. Daunnya buat lalapan atau sayur. Batangnya dibikin pagar. Buahnya pun enak.
Saat pohonnya tumbuh menjulang tinggi, tapi bagian yang membesar tetap ada di bawah. Justru akar yang jadi buahnya. Berbeda dengan manusia. Tidak sedikit manusia yang makin menjulang pangkat dan jabatannya, justru makin menjauh dari akarnya, makin lupa diri dari mana dia berasal. Pun hidup, harusnya belajar dari singkong. Siapapun saat meninggi (menjulang pangkat, jabatan, harta, status sosial) tapi manfaatnya tetap terasa sampai ke bawah, kepada mereka yang membutuhkan.
Lain singkong lain beras ketan. Ketan merupakan varietas beras yang berwarna putih banget (bukan putih bening seperti beras yang dimasak jadi nasi ya) ada juga yang berwarna hitam. Ketika dimasak ketan akan menjadi lengket. Konon, makanan dari ketan sudah ada sejak zaman Majapahit. Ketan, menurut orang Jawa diartikan sebagai kraketan: ngeraketne iketan atau merapatkan ikatan. Atau malah kelingan mantan? Uups, bukan ya. Ketan diartikan sebagai simbol tali persaudaraan.
Ketan juga berarti kemutan, yang berarti teringat. Maksudnya, ketan dapat mengingatkan manusia untuk berinstropeksi diri karena apa yang kita tanam akan kita tuai. Pepatah Jawa mengatakan ngunduh wohing pakarti, bahwa setiap perbuatan (baik atau buruk) pasti akan mendapat balasannya.
Rasa manis dari kinca yang tebuat dari gula jawa yang dicairkan menunjukkan kesejahterasan dan rasa terima kasih, manisnya hidup serta kebahagiaan. Makanan manis sepadan dengan filosofi yang dianut masyarakat Jawa yang meyakini manis adalah simbol kenikmatan. Dalam budaya Jawa kerap melagukan tembang dhandhanggula yang melambangkan seseorang telah menemukan manisnya kehidupan.
Apabila dibuat kerata basa, jemunak dapat diartikan sebagai “ngajeng-ajeng nemu kepenak". Maksudnya, setiap manusia berhak memiliki harapan menemukan kehidupan yang tenteram, damai, sejahtera dan bahagia. Menyantap jemunak bukan sekadar menyantap secara kebendaan atas makanan tersebut, tetapi juga mengantarkan kita untuk merefleksikan diri, bagaimana hidup rendah hati, bisa migunani tumraping liyan (bermanfaat bagi sesama), menjaga persaudaraan agar tetap raket (erat), tolong-menolong dengan harapan mencapai kehidupan yang manis, bahagia dan uripe kepenak, penuh anugerah serta genggaman berkah.
Muntilan mengajarkan saya tentang banyak hal. Tentang manusia yang harus memiliki jiwa hamemayu hayuning bawana yang berarti menebar kebaikan untuk kemakmuran dunia. Bahwa hidup harus menyala, urip iku urup. Jadilah penerang seperti lentera, memberi manfaat bagi sesama. Bahwa manusia harus bersikap rendah hati dan sopan santun, punya rasa lembah manah lan andhap asor,.
Dari sudut Kota Muntilan, saya belajar bahwa ziarah tak melulu soal berdoa dan menabur bunga, tetapi sekaligus wisata yang menyuguhkan berbagai aspek di dalamnya seperti keindahan, kebahagiaan, dan romantisme alam. Ziarah bukan lagi menjadi hal yang kuno dan membosankan, akan tetapi sebuah perjalanan yang menyenangkan namun tetap dalam nuansa religi, perjalanan yang membawa jejak menuju perbaikan diri menemukan pemahaman akan inti sebuah hidup dan kehidupan.
Dari sudut Kota Muntilan, saya belajar bahwa manusia tidak akan hidup selamanya. Mati sakjeroning urip, mati di dalam hidup, bahwa jalan menuju pulang (kematian) itu adalah jalan yang harus ditapaki oleh seseorang sejak sekarang. Sejak hidup di dunia ini, kita sudah diseru untuk merenungi (dan mempersiapkan bekal) kematian. Maka, selalu ingat dan libatkan Tuhan dalam setiap urusan.
Jauh dari itu semua, saya bisa temukan butiran pesan cinta dari sudut Kota Muntilan. Datanglah, berkunjunglah, bertamulah ke Muntilan. perkenalkan dirimu pada keajaiban-keajaiban yang dicipta oleh-Nya. Tajamkan indera-inderamu pada Yang Maha Indah. Tatap varian warna bumi di balik lensa matamu sendiri. Dari sana kamu akan merasakan makna Sangkan Paraning Dumadi, "sesungguhnya kami adalah milik-Nya dan kepada-Nya lah kami kembali”.
Suatu saat nanti, ketika Tuhan masih memberikan kesempatan saya untuk bernafas lebih lama, saya ingin menikmati masa tua saya, menjelajahi setiap sudut Kota Muntilan, menapaki bukit Gunungpring dan berziarah ke Makam Kyai Raden Santri. Menghirup udara suci, menikmati temaram senja yang mengintip dari celah rimbunnya pohon bambu. Sesekali menyantap semangkuk blendrang untuk mengenang nenek moyang, menggigit sepotong jemunak sambil bersyukur atas hidup yang kepenak. Teriring doa, semoga Magelang tetap Gemilang dan Muntilan semakin nyaman dan selalu terdepan.
Hari ke tujuh di bulan ke tujuh tahun dua ribu dua puluh satu
Menuju senja di sudut Kota Muntilan
~Imanti~
0 notes
Text
Tombak Cakra Anies dan Cincin Muhaimin, Bukti Cinta Kotagede Yogyakarta untuk AMIN
YOGYAKARTA | KBA – Seorang desain perak Kotagede Yogyakarta, Priyo Salim membuat desain cincin bertulis AMIN. Cincin ini akan diberikan kepada cawapres Koalisi Perubahan Muhaimin Iskandar. Priyo Salim sebelumnya memberikan cinderamata Tombak Cakra kepada Anies Baswedan saat ziarah ke Makam Raja-raja Mataram Islam di Kotagede beberapa waktu lalu. “Saat kunjungan Pak Anies, saya memberi cinderamata…
View On WordPress
0 notes
Text
Agama Islam pertama kali lahir di Mekkah, Arab Saudi. Para pemeluknya menyebarkan agama Islam lewat berbagai jalur. Salah satu teori menyebutkan bahwa agama Islam di Indonesia masuk lewat jalur perdagangan. Ketika Islam menyebarkan agama dan kebudayaannya ke Indonesia, prosesnya cenderung berjalan dengan damai. Karena itu, raja hingga rakyat biasa menerimanya dengan hangat.
Selain perdagangan, ada saluran lain yang menyebabkan agama Islam dapat masuk dan berkembang di Indonesia. Saluran tersebut di antaranya adalah saluran perkawinan, pendidikan, dan seni budaya.
Ada teori-teori yang menyebutkan tentang asal penyebar Islam di Indonesia, yaitu teori Gujarat, teori Arab, dan teori Persia.
Teori Gujarat ini diajukan oleh kalangan sejarawan Belanda, seperti Jan Pijnappel, Snouck Hurgronje, dan Jean Piere. Menurut teori ini, penyebar Islam di Indonesia berasal dari Gujarat (India) antara abad ke-7 hingga abad ke-13 M. Kalangan yang berperan khususnya adalah para pedagang. Sejak abad ke-7, mereka telah memeluk Islam dan di tengah kegiatannya berdagang, mereka turut mengenalkan agama Islam, termasuk di Indonesia.
Sementara itu, teori Arab diajukan oleh Jacob Cornelis van Leur dan Buya Hamka. Teori ini menyebutkan bahwa pengaruh Islam dibawa langsung oleh pedagang Arab sekitar abad ke-7. Teori Arab didukung dengan adanya pemukiman Islam di Barus, pesisir barat Sumatera, di abad ke-7. Ada pula nisan pada makam wanita di Gresik, Jawa Timur, yang ditulis dengan huruf Arab bergaya Kufi.
Teori lainnya adalah teori Persia yang didukung oleh Hoesein Djajadiningrat. Teori ini berpendapat bahwa pengaruh Islam di Indonesia dibawa masuk oleh orang-orang Persia sekitar abad ke-13. Argumen yang diajukan oleh teori ini adalah terdapat kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Persia dan Indonesia, seperti peringatan 10 Muharram, kesamaan ajaran sufi, kesamaan seni kaligrafi pada nisan makan, dan terdapat perkampungan Leran yang sempat menjadi perintis penyebaran Islam di Jawa.
Perkembangan agama Islam di Indonesia semakin pesat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia berlangsung antara abad ke-13 hingga abad ke-18. Kerajaan tersebut dapat dibagi berdasarkan lokasi pusat pemerintahan mereka, yaitu di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku.
Kerajaan Islam yang didirikan pertama kali adalah Kerajaan Perlak. Bukti sejarah yang menunjukkan terdapat masyarakat dan kerajaan Islam dilaporkan oleh Marco Polo dari Venesia yang singgah di Kerajaan Perlak dalam perjalanan pulang ke Italia tahun 1292. Di perlak, Marco Polo juga menjumpai adanya penduduk yang telah memeluk Islam dan pedagang Islam dari India yang menyebarkan agama Islam.
Menyusul Kerajaan Perlak, berdiri pula Kerajaan Samudra Pasai. Bukti sejarah adanya kerajaan ini ditulis oleh Ibnu Batutah, seorang utusan kerajaan Delhi ke Tiongkok. Dalam perjalanan dari India ke Tiongkok, Ibnu Batutah singgah di Samudra Pasai dan mengunjungi istana Sultan Malik Az-Zahir. Dari hasil kunjungannya ke kerajaan Islam di Samudra Pasai, diketahui bahwa Samudra Pasai merupakan pelabuhan penting tempat kapal-kapal India dan Tiongkok berlabuh.
Selain kedua kerajaan tersebut, kerajaan Islam lain yang pernah berdiri di Indonesia di antaranya adalah Kerajaan Demak, Kerajaan Banten, Kerajaan Mataram, Kerajaan Makassar, Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore, dan Kerajaan Aceh Darussalam.
____________________________________
Masuk nya Islam di Indonesia
Islam di Indonesia merupakan mayoritas terbesar umat Muslim di dunia. Data Sensus Penduduk 2018 menunjukkan ada sekitar 86,7% atau 231 juta jiwa dari total 266 juta jiwa penduduk beragama Islam. Walau Islam menjadi mayoritas, tetapi Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam. Indonesia sendiri secara konstitusional mengakui 6 agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu.[1] Meski tak menerapkan hukum Islam secara menyeluruh sebagaimana halnya Arab Saudi dan Qatar, napas-napas Islam tetaplah diakui dan diterima dalam hukum positif di Indonesia dengan adanya sejumlah regulasi/undang-undang tentang perkawinan, peradilan agama, perbankan syariah, wakaf, pengelolaan zakat, penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, serta yang terbaru Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.[2]
____________________________________
Perkembangan Islam di Indonesia
Perkembangan agama Islam di Indonesia semakin pesat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia berlangsung antara abad ke-13 hingga abad ke-18. Kerajaan tersebut dapat dibagi berdasarkan lokasi pusat pemerintahan mereka, yaitu di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku.
____________________________________
Peranan Umat Islam di Indonesia.
Masa penjajahan
Sesungguhnya Allah SWT menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dan menjadikannya bersuku-suk dan berbangsa-bangsa agar mereka saling satu sama lain saling mengenal. Agama Islam sangat menekankan hubungan yang baik, harmonis saling menghormati antara seorang dengan orang lain, antara suku dengan suku yang lain, dan antara bangsa dan bangsa yang lain. Islam tidak membenarkan adanya perlakuan sewenang-wenang dan penindasan yangdilakukan oleh manusia terhdapa manusia lainnya, golongan kepada golongan lainnya, suku kepada suku lainnya, bangsaterhadap bangsa lainnya. Islam mengajarkan bahwa setiap manusia disisi Allah sama tidak ada perbedaan ras, suku dan bangsa dan yang paling mulia adalah yang paling taqwa kepadaNya.Keyakinan dan semangat yang dilandasi yang dilandasi ajaran agama ini melahirkan sikap antipati kaum musliminIndonesia terhadap perilaku dan tindakan kaum penjajah Belanda yang sangat sewenag-wenang, menindas,membelenggu dan menjajah. Semangat ajaran agama itulah yang membangkitkan semangat jihad berjuang di jalan AllahSWT, demi mewujudkan kebenaran, keadilan dan membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penindasan,keseweang-wenangan dan penjajahan.
b.
Peranan Umat Islam pada masa Penjajahan
Sebelum bangsa Belanda masuk ke Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia telah memeluk agama Islam.Ajaran Islam telah diamalkan dengan baik oleh sebagian besar kaum muslimin. Keyakinan bahwa manusia disisi AllahSWT adalah sama, tidak ada perbedaan drajat kecuali dalam hal iman dan taqwanya kepada Allah SWT, menumbuhkankesadaran terhadap kemandirian dan kebebasan untuk menentukan arah dan tujuan kehidupannya, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara.Bangsa Belanda datang ke Indonesia pada mulanya berniat hendak berniaga, berdagang. Namun dalam perkembangan selanjutnya niat itu berubah menjadi keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai koloni, dibaahkekuasaan dan jajahannya. Belanda dalam berdagang mula-mula bebas, yakni orang indoneisa bebas menjual barangdagangannya kepada siapa saja yang membeli dengan harga yang layak tetapi kemudian perdagangan itu menjadimonopoli orang-orang Belanda. Orang Indonesia harus menjual barang dagangannya keopada orang-orang Belandadengan harag yang ditentukan oleh mereka, yaitu orang-orang Belanda. Kemudian daerah pusat perdagangan pundikuasainya, dan kehidupan kemasyarakatan dikuasainyadan akhirnya bangsa Indonesia dijajahnya.Melihat perilaku bangsa Belanda yang melakukan penekanan, penindasan dan ketidak adilan itu, akummusliminsangat merasakannya, dan berusaha untuk melepaskan diri dari perlakuan dan tindakan bangsa Belanda yangdiluar batas perikemanusian.Dilandasi semangat tauhid dan keyakinan ajaran agama, kaum muslimin bangkit secar pribadi dan kelompok menentang perilaku ketidak adilan dan penjajahan Belanda tersebut. Melihat kenyataan ini Belanda menghadapinyadengan kekerasan senjata. Perlawanan bangsa Indonesia untuk memperoleh kembali kemerdekaannya terus menerusdiperjuangkan. Diseluruh pelosok tanah air bangsa Indoensia yang sebagian besar kaum muslimin berjuang untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan itu. Perlawanan perjuangan dan peperangan terus berkecamuk tidak adahabis-habisnya, samapi proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945
______________________________
Nama = Rachel. H
Kelas : 9 (D)
No absen : 28
Literasi Agama Islam ...
1 note
·
View note
Text
0 notes
Text
Fauda
6 Juni 2016, malam terakhir sebelum kami menggelar aksi simpatik tuk memperingati kematian Munir. Saya, bersama seorang kawan (mbah Muhammad Irfan) berdiskusi kecil tentang tokoh Mesir yang tewas mengenaskan: Farag Faoda. Pertama kali mendengar namanya, saya beranggapan bahwa ia adalah tokoh perempuan. Sama seperti yang digambarkan El-Seedawi di Perempuan Titik Nol. Namun, ternyata anggapan saya salah. Malam itu kami tidak banyak membicarakan Fouda. Sisi gelap Islam, dibunuh, dan Sahabat Nabi adalah kata kunci yang saya dapat. Tentang bagaimana ia dibunuh, kenapa, dan siapa yang membunuhnya, luput dari pertanyaan saya ke mbah Irfan malam itu. Walhasil, saya mencoba mengobati rasa penasaran saya dengan berselancar di linimassa. Pada 10 Oktober, saya menemukan ebook "Kebenaran Yang Hilang" milik Faraq Fouda. 18 Juni 1992, dua orang bertopeng menyerang Fauda di Madinat al-Nasr, Kairo. Fouda tewas tertembak, anaknya luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: “Ya, kami membunuhnya.” Memang, Fouda kerap beradu argumen dengan kelompok pendukung Khilaffah ini. Mereka yang membunuh Fouda, tentunya tak menganggap apa yang dilakukan adalah dosa. Sikap mereka terlegitimasi oleh ayat al-Quran yang mereka anggap benar. Terlebih, lima hari sebelum Fouda dibunuh, sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar menyatakan bahwa Fouda telah menghujat agama, dan sebab itu (boleh) dibunuh. Fouda dianggap Murtad dengan sikap satirnya terhadap sejarah Islam. Buku dari Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean, adalah salah satu buku Fauda yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (atau satu-satunya?). Lima bulan sebelum Fouda dibunuh, Fouda terlibat perdebatan di Pameran Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia berdebat dengan Muhammad al-Ghazali, salah satu ulama Mesir. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan lembaga khilafah. Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab dalam Kebenaran Yang Hilang. Ahli Satire, kata Samsu Rizal Pangabean dalam kata pengantarnya. Fouda, dalam beberapa pernyataan dan bukunya, memang bisa mengguncang sendi-sendi pemikiran pendukung Khilaffah dan umat Islam secara keseluruhan. Mereka yang ingin menegakkan “negara Islam” berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat, serta mereka yang menerima Islam sebagai doktrin, tentu akan kalang kabut dan memfatwa Fouda Kafir. Bila di sejarah Islam arus utama, masjid, menggambarkan periode salaf sebagai zaman keemasan yang patut dirindukan, tidak begitu untuk Fouda. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu Rizal Panggabean, periode itu “zaman biasa”. “Tidak banyak yang gemilang dari masa itu”, demikian kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. “Malah, ada banyak jejak memalukan.” Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman bin Affan, Khilafdah ke-3, yang juga disampaikan mbah Irfan kala itu, mayat Usman dibiarkan begitu saja selama tiga hari. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang kafir, Murtad, atau Yahudi, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak. Memang, saya pernah mendengar dari kakak saya bahwa sejarah Islam penuh dengan darah. Darah, menjadi pertanda siapa yang ingin berkuasa. Ekspansi kewilayahan pun dilakukan tuk menyebarkan Islam. Sejarah ini tak pernah diceritakan, Fouda yang bercerita. Dan ia dibunuh karena ceritanya. Masih menurut Fouda, waktu itu tak ada yang mau melakukan shalat untuk Khaliffah ke-3 ini. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, akhirnya Usman dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Fouda juga menukil kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad yang menyebutkan satu data yang menarik: ada bau keserakahan ketika Usman memimpin. Setelah Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar. Kita tak akan mendengar sejarah seperti ini diucapkan oleh mereka yang sangat mengagungkan hukum islam, tentu. Apa yang disampaikan Fouda, adalah implikasi bahwa ada yang kurang dalam hukum Islam: "tak ada pegangan yang mengatur cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan, tentunya, bagaimana pergantian kekuasaan dilakukan," kata Fouda. Ketika Usman diminta untuk turun tahta, ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!” Kaum Muslim waktu itu menemukan jalan buntu. “Mereka juga mencari kaidah dalam Islam…tapi mereka tak menemukannya,” tulis Fouda. Dari dulu sampai sekarang, memang orang selalu memakai dalih agama untuk mempertahankan tahta, menjatuhkan penguasa, klaim kebenaran, sampai membunuh. Pada tahun 661, setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua hari kesakitan. Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya dibakar. Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang pertama kali muncul dan mengawali kepemimpinan adalah al-Saffah, “Si Jagal”. Ini merupakan darah yang ditorehkan sampai akhirnya dinasti ini tumbang. Di mimbar ia berseraya, “Allah telah mengembalikan hak kami.” Suatu keyakinan yang memang perlu dimantapkan dalam hati. Sama, seperti ketika Diponegoro mengobarkan Java Orlog. Ia mengaku sebagai "Khaliffah ing ngalogo." Pun dengan raja-raja Jawa. Tidak hanya di Arab, di Jawa, Mataram Islam ketika Sultan Agung berkuasa pun melakukan hal serupa. Tumenggung Indrayana, yang dianggap membelot dan berkhianta kepada Sultan Agung, dibunuh dan mayatnya di pertontonkan di Pasar Pleret selama satu minggu. Tidak sampai disitu, musuh yang telah mati masih terasa belum mutlak mati jika derajatnya tak nista. Maka, kuburanya pun diletakan tepat ditangga makam raja di Pleret. "Makam penghianat pantas untuk diinjak-injak," seru Sultan Agung. Manusia, memang, selalu ingin tak ada lubang dalam keyakinannya tentang kebenaran dan kekuasaannya. Dan juga jalan hidupnya. 28 Oktober 2017 Balangan.
1 note
·
View note
Text
Hutan itu Bernama Wonokerto
Mukadimah Berawal dari kegemaran menyimak apapun terkait dengan sejarah Keraton Kartasura, dan apapun yang berkaitan dengannya. Dan, beberapa hari yang lalu sepupuku datang. Ia minta diceritakan tentang Keraton Kartasura. Tentu dengan semangat aku menceritakan apa yang aku tahu, walau terkadang aku lupa detail dan nama-nama tokoh yang terlibat di dalamnya. Setelah itu, aku merenung. Ternyata selama ini aku tertarik dengan sejarah. Ingin sekali aku membagikan apa yang aku tahu mengenai sejarah kepada orang banyak. Mendongeng itu menyenangkan. Dan, terpilihlah laman tumblr ini sebagai pelampiasan. Akan sangat senang bila ada yang merespon, bertanya, atau mungkin membenarkan ceritaku bila ada yang kurang tepat. Jadi, begini ceritanya… Hutan itu Bernama Wonokerto. Kisah ini berawal dari runtuhnya Keraton Mataram Lama di Plered, Jogja. Singkat cerita sih karena perselisihan saudara yang berebut tahta, antara Pangeran Puger dan Adipati Anom. Yang kemudian, dimenangkan oleh Adipati Anom, yang selanjutnya bergelar Amangkurat II. Keduanya adalah keturunan dari Amangkurat I. Keduanya diberi mandat melanjutkan tahta, karena sebuah pemberontakan. Dua saudara yang diberi mandate, tentu berakhir dengan perebutan kekuasaan. Pangeran Puger menempati Keraton Mataram di Plered sesuai mandat sang ayah, sedangkan Amangkurat I yang diberi mandat mendapat gelar raja tanpa tahta. Amangkurat I pergi meninggalkan Plered, menyusun rencana dan berbalik melawan sang adik dengan bantuan VOC. Pangeran Puger kalah. Mataram jatuh ke tangan Amangkurat I. Namun, karena kondisi Keraton Mataram yang sudah tak layak untuk dijadikan pusat pemerintahan, akhirnya Amangkurat II pergi untuk mencari petunjuk lokasi baru keraton. Ada beberapa pilihan yang diberikan oleh penasehat keraton, dan salah satunya adalah sebuah hutan yang terletak di timur Plered. Hutan itu adalah Wonokerto. Wonokerto dianggap paling strategis, dan dekat dengan sumber mata air, Sungai Bengawan Solo (yang entah dulu namanya apa) dan mata air pegunungan di daerah (yang saat ini) bernama Boyolali. Maka, dibangunlah sebuah keraton di sana. Seingatku, pembangunan berlangsung tak lama, dan tak lama setelahnya pula, pusat pemerintahan di Pleret pindah ke Wonokerto, dan diberi nama, Kartasura. Kartasura Hadiningrat. Amangkurat II bertahta. Ia dikenal sebagai raja Jawa pertama yang memiliki banyak isteri, namun hanya diberi satu keturunan yang kelak menjadi Amangkurat III. Keraton Kartasura hanya berusia 62 tahun saja. Laiknya usia manusia, menurut ajaran Islam (setahuku sih, patokannya usia Rasul, sekitar 60-an). Setahuku, Keraton Kartasura belum mencapai masa jayanya. Ada intrik dan konflik yang menimbulkan perdebatan sampai ke pemberontakan. Rasa-rasanya, Tanah Jawa, bukan Jawa saja sih, lebih ke peradaban semi-monarki (atau monarki seutuhnya) selalu dipenuhi intrik dan konflik yang berujung pemberontakan. Kartasura menjadi salah satunya. Geger pecinan pecah, tepatnya tahun 1742, usut punya usut konflik ini dikomandani oleh Sunan Kuning dan Madura. Kalau ditarik ke belakang lagi, Madura agaknya punya dendam dengan Jawa, misal saja pemberontakan di Plered yang juga dikomandani Madura, Trunojoyo. Ditambah lagi taktik mendua yang dilakukan oleh keturunan Amangkurat IV, yang selanjutnya akan bergelar Paku Buwono II, membuat geger Kartasura di tahun itu. Paku Buwono II lari ke Ponorogo, pulang-pulang Keratonnya sudah hancur. Lucu ya cerita sejarah kita. Paku Buwono II akhirnya memutuskan untuk membangun keraton baru di Dusun Sala, yang saat ini di kenal sebagai Kota Solo. Intermeso, wahai warga Solo, janganlah congkak dan menyebutkan bahwa Kartasura bukan bagian dari Solo. Tanpa Kartasura, Solo tak akan semegah ini, punya dua keraton lagi. Diceritakan di Babad Giyanti, yang hanya kubaca melalui laman Perpusnas, dan cuma artikel singkat saja, karena file pdf-nya not found, Paku Buwono II beserta keluarga dan jajaran, tak lupa abdi keraton, para penari, dan semua barang-barang keraton dikumpulkan di Setinggil keraton (yang sekarang jadi nama kawasan di timur keraton), yang kemudian diangkut ke Keraton Surakarta Hadiningrat. Dituliskan, hari itu adalah Hari Rabu pagi, tahun 1745. Dengan begitu, berakhirlah kisah Keraton Kartasura yang singkat dan penuh konflik. Kini, Keraton Kartasura hanya tinggal bangunan bata yang tersusun berbentuk persegi, yang katanya dulu adalah benteng. Ada dua benteng (dulu), Srimanganti dan Baluwarti. Dan, yang nampak tersisa adalah Benteng Srimanganti yang (dulu) luasnya sekitar 2,5 hektar lebih. Di dalamnya dulu adalah rumah raja, tapi kini jadi makam. Tak nampak kemegahan sama sekali, malah aura mistis yang kuat terasa kalau masuk ke sana. Katanya juga, kalau punya mata batin, kamu masih bisa lihat megahnya isi keraton dulu. Tapi di mataku yang tersisa adalah dua pohon beringin, dan sebuah batu besar, yang katanya (lagi) adalah pusat keraton. Selain benteng, nama-nama kawasan di dekat keraton menjadi saksi bisu lain. Seperti halnya, Gedung Obat yang dulu katanya tempat mesiu, kini masih ada kok tulisan “Gedung Obat” itu, tulisannya aja sih. Lalu Gunung Kunci, yang dulu adalah taman air keraton (balekambang). Lalu, nama-nama kawasan seperti, Sethinggil, Sayuran, Krapyak, Sanggrahan, Kauman, dan dusunku tercinta, Kemasan, adalah yang tersisa dari sebuah Keraton Jawa dulu. Satu lagi yang tertinggal, yaitu kisah mistisnya. Di lain kesempatan bisa saja aku ceritakan, tapi tidak malam ini, karena aku adalah orang yang parnoan. Begitu singkat kisah tragis tempat aku lahir dan tumbuh, yang mulanya Wonokerto, menjadi Kartasura Hadiningrat, dan berakhir jadi Kecamatan Kartasura. Akhiran Mungkin tak banyak yang tahu kalau ada sebuah keraton di Kartasura. Sebuah kecamatan yang masuk dalam kawasan administrasi Kabupaten Sukoharjo, yang sebenarnya sih, lebih dekat dengan pusat Kota Solo dibandingkan pusat kabupaten. Sampai saat inipun, Kartasura masih strategis. Bagi yang kerap ke Jogja atau Semarang dari arah Solo pasti melewati kawasan ini, begitupun sebaliknya. Juga, Kartasura sangat dekat Bandara Adi Sumarmo. Dekat dengan Stasiun Purwosari. Strategis bukan? Aku selalu berandai, kalau saja dulu Keraton Mataram tak pecah, andai tidak ada geger pecinan. Rasa-rasanya Kartasura akan jadi kawasan yang besar. Tapi, apalah angan kalau sudah jadi masa lalu, yang hanya bisa didengar kisahnya dari mulut ke mulut. Bahkan, wujud Keraton Kartasura sudah tak bisa dilihat lagi. Yang ada hanya tumpukan batu bata, kuburan dan rumah warga. Benar-benar diabaikan. Aku miris. Mungkin Kartasura hanya sebuah tempat persinggahan, kecil dan sementara. Tapi, alangkah baiknya bila dijadikan sebuah kisah manis dan tragis, dibingkai dalam layar sinema. Atau setidaknya rangkaian kata berwujud novel. Memang ada yang mau lihat? Ada yang mau baca? Masyarakat Indonesia sudah lupa akan sejarahnya! Anak muda sekarang lebih suka baca cerita teenlit, percintaan remaja dibandingkan sejarah. Lebih suka menulis status di berbagai akun media sosialnya dibanding menulis dan berliterasi (ya walau tak dipungkiri aku juga mengidap penyakit yang satu ini, haha). Mau gimana lagi, semua kembali ke diri sendiri. Mau sadar sejarah atau tidak. Mau peduli sejarah atau tidak, kan yang penting update status terbaru, coy! Habis mengunggah inipun, aku bakal update status HAHAHA. Sampai berjumpa di kisah lainnya.
0 notes
Link
SPORTOURISM - Kompleks Masjid Jami Lasem adalah salah satu cagar budaya yang ada di Jawa Tengah. Masjid ini terletak di Desa Kauman, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Jawa Tengah. Kompleks Masjid Jami Lasem terdiri dari bangunan ruang utama, pawestren, serambi, kompleks makam, serambi tambahan, dan bangunan lain yang didirikan di dalam halaman Kompleks Masjid Jami Lasem.
Masjid Jami Lasem berada di sebelah jalan raya pantai Utara Jakarta-Surabaya dan Kampung Pecinan. Sebelah Timur kompleks Masjid Jami Lasem berbatasan dengan jalan, dan bekas alun-alun yang sekarang menjadi kios-kios makanan dan minuman. Sedangkan sebelah Selatan dan Barat Kompleks Masjid, merupakan daerah Kelurahan Kauman.
Sejarah berdirinya Masjid Jami Lasem sedikit banyak mempunyai keterkaitan dengan sejarah Kota Lasem. Lasem sudah dikenal sejak jaman Kerajaan Majapahit, tepatnya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Sumber “Negarakertagaama” menyebutkan bahwa Hayam Wuruk pernah mengadakan perjaanan ke Lasem pada tahun 1276 ��aka. Menurut sumber tersebut, penguasa Lasem pada waktu itu adalah ratu Indudewi yang bersuamikan Rajasawardhana seorang penguasa dari Mentahun.
Di dalam Pararaton, disebutkan bahwa gelar Bhre Lasem Sang Ahayu diberikan kepada putri Hayam Wuruk yang bernama Kusumawardhani. Sedangkan di dalam babad Lasem disebutkan bahwa pada tahun çaka 1276, Lasem diperintah oleh Dewi Indu sepupu raja Hayam Wuruk dari Wilwatikta. Pada masa kerajaan Mataram Islam Lasem juga menjadi wilayah kerajaan sejak masa pemerintahan Sultan Agung pada tahun 1616 M.
Berdasarkan info yang dihimpun dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, Lasem pada masa lalu merupakan kabupaten dengan masyarakat terbesar dari etnis Cina. Kelompok etnis di Cina mempunyai perkampungan tersendiri yang disebut Pecinan. Masyarakat Cina yang datang pertama kali ke Lasem adalah orang-orang Cina beragama Islam Hanafi yang berasal dari wilayah Swatou dan Yunan.
Orang-orang Cina ini kemudian mendirikan masjid untuk sarana ibadahnya. Kemudian datang orang Cina dari Hokkian yang menyembah Kong Hu Cu dan mendesak orang Cina yang datang terlebih dahulu. Masjid-masjid yang telah berdiri dibakar dan diganti dengan klenteng yang sampai sekarang masih ada.
Di dalam Babad Lasem disebutkan beberapa tokoh yang dikenal hingga saat ini antara lain Nyai Ageng Maloko (kakak Sunan Bonang), Bi Nang Un, Bi Nang Ti, Sayyid Abu Bakar, Mbah Srimpet, dan Sultan Mahmud. Di antara tokoh-tokoh tersebut yang dihubungkan dengan pendirian Masjid Jami Lasem, menurut tradisi lisan adalah Mbah Srimpet. Mbah Srimpet adalah bupati yang pernah memerintah di Lasem.
Menurut cerita, pada masa pemerintahannya keamanan di Lasem kurang begitu baik. Akhirnya Mbah Srimpet mencari orang yang dapat mengantisipasi hal tersebut. Munculnya tokoh Mbah Sambu dapat menetralisir keadaan. Atas jasanya kemudian mbah Sambu (Sayyid Abdurrohmah) dinikahkan dengan putri Mbah Srimpet. Selanjutnya Mbah Sambu diangkat menjadi bupati, ia membuat berbagai fasiitas dan salah satunya Masjid Jami Lasem.
Menurut kajian historis, masa berdirinya Masjid Jami Lasem sendiri belum dapat diketahui secara pasti. Namun beberapa prasasti yang ada di Masjid Jami Lasem dapat menjadi data yang dihubungkan dengan masa pendirian maupun pemugaran masjid.
Di dalam ruang utama masjid terdapat lima prasasti berhuruf dan berbahasa arab dan satu prasarti berhuruf dan berbahasa Jawa. Empat diantara lima prasasti memuat angka tahun 1829 M, 1318 H, 1281 H, dan 1286 H. Belum dapat diketahui angka tersebut berkenaan dengan pendirian atau pemugaran masjid, karena prasasti hanya berisi kalimat toyyibah atau kalimat pujian. Berdasarkan data yang ada Masjid Jami Lasem pada jaman dulu berperan penting dalam kehidupan sosial politik. [AR]
via SPORTOURISM.ID
0 notes
Text
NAPAK TILAS KERAJAAN MATARAM ISLAM: MENGGALI KEMBALI PERADABAN YANG TERLUPAKAN
Kata kunci: Jelajah Mataram Islam, Komunitas Malam Museum
Beberapa waktu lalu, Komunitas Malam Museum mengadakan kegiatan yang sangat seru, asik dan sangat bermanfaat. Kegiatan tersebut bernama Jelajah Peradaban Mataram Islam. Kita diajak untuk napak tilas tentang sejarah dari Kerajaan Mataram Islam, mulai dari berdirinya sampai akhirnya kerajaan tersebut terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Mangkunegaran. Perpecahan tersebut terjadi setelah adanya perjanjian Giyanti.
Nah, kegiatan tersebut terbagi menjadi tiga sesi, di mana setiap sesi dilaksanakan pada hari yang berbeda. Pada hari pertama, tepatnya tanggal 14 Oktober 2016, kegiatan Jelajah Peradaban Mataram Islam ini dimulai dengan menelusuri petilasan yang ada di Kota Gedhe, Pleret, dan Kerto. Selanjutnya pada hari kedua, tanggal 15 Oktober 2016, Jelajah Peradaban Mataram Islam dilanjutkan ke Solo. Adapun petilasan yang dikunjungi adalah situs Keraton Kartasura, Keraton Surakarta, dan Puro Mangkunegaran. Jelajah pada hari kedua ini seharusnya dimulai dengan mengunjungi petilasan Keraton Kartasura agar kronologis, namun karena Keraton Surakarta ditutup jam tiga sore, panitia memutuskan untuk mengunjungi Keraton Surakarta lebih dulu, lalu dilanjutkan ke Puro Mangkunegaran, dan terakhir baru ke petilasan Keraton Kartasura. Sesi ketiga dari kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober 2016. Situs-situs yang dikunjungi adalah Keraton Yogyakarta, Puro Pakualaman dan Makam Imogiri.
Untuk bisa mengikuti kegiatan ini, kita terlebih dulu harus mendaftar kepada panitia penyelenggara, yaitu teman-teman dari Komunitas Malam Museum. Dari ketiga sesi kegiatan, kita tidak diwajibkan untuk mengikuti ketiganya, bisa memilih salah satu. Saya sebagai salah satu peserta kegiatan ini, sayangnya saya hanya mengikuti sesi kedua. Pada sesi kedua ini, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, dimulai dengan mengunjungi Keraton Surakarta. Di Keraton Surakarta, peserta diajak berkeliling keraton dengan didampingi oleh seorang pemandu dari keraton. Bapak pemandu menjelaskan seluk beluk keraton dari mulai sejarah berdirinya, silsilah keluarga raja-raja yang memerintah, dan berbagai hal terkait Keraton Surakarta. Kegiatan jelajah dilanjutkan dengan mengunjungi Puro Mangkunegaran. Di sana peserta diajak keliling sembari dijelaskan seluk-beluk Puro Mangkunegaran oleh pemandu. Ada satu hal yang cukup menarik bagi saya, yaitu tentang simbol matahari yang ada di dalam istana. Simbol matahari tersebut dibuat untuk menghormati Mangkunegara I yang merupakan raja pertama Kasunanan Mangkunegaran, sebab di antara raja-raja yang lain hanya Mangkunegaran I yang tidak memiliki foto yang dipajang di dalam istana. Dari Puro Mangkunegaran, jelajah dilanjutkan ke petilasan Keraton Kartasura.
Bagi saya, ini adalah bagian yang paling menarik setelah dua kunjungan sebelumnya.
Di petilasan ini, ada Bapak Surya Lesmana yang menjelaskan tentang Keraton Kartasura.
Kasunanan Kartasura berdiri pada tahun 1680 dan merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram Islam di Plered. Istana atau keraton Kasunanan Kartasura terletak di Kartasura, Sukoharjo, tepatnya di sebelah selatan pasar sekarang (https://id.wikipedia.org/wiki/Kasunanan_Kartasura). Keraton didirikan dalam kurun waktu yang cukup singkat, yaitu sekitar sembilan bulan. Pembangunan dilaksanakan pada bulan Januari hingga September. Raja pertama yang berkuasa adalah Amangkurat II, putra dari Amangkurat I. Amangkurat II mendirikan keraton ini karena keraton di Plered telah dikuasai oleh adiknya yakni Pangeran Puger dan juga karena keraton di Plered telah hancur akibat serangan dari Trunojoyo. Untuk membangun Keraton Kartasura Hadiningrat ini, Amangkurat II meminta bantuan VOC di Semarang. Ia bertahta selama 23 tahun. Soecipto Abimanyu (2015: 112) mengatakan bahwa selama menjadi raja Amangkurat I juga dikenal dengan sebutan Sunan Amral. Ia adalah raja Jawa pertama yang mengenakan pakaian dinas ala Eropa sehingga rakyatnya memberinya julukan tersebut. Kata Amral adalah ejaan Jawa untuk admiral. Hal tersebt dapat dimaklumi mengingat Amangkurat II sangat dekat dengan VOC. Sejak awal perebutan tahta Mataram dari tangan Trunojoyo hingga berdirinya Kasunanan Kartasura, Amangkurat II menjadi sekutu bagi VOC.
Amangkurat II digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat III. Ketika Amangkurat III berkuasa, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Untung Suropati terhadap VOC. Ia adalah seorang buronan kompeni Belanda. Untung menjadi buronan karena membunuh salah satu kapten mereka. Dalam peristiwa perlawanan tersebut, terjadi kerja sama antara Untung dengan Amangkurat III untuk melawan VOC. Untung berhasil membunuh Kapten Tack di Alun-alun Kartasura. Ia kemudian melarikan diri ke Pasuruan dan meninggal di sana, tepatnya adalah di Bangil. Sementara itu, Amangkurat III yang anti VOC terusir dari Kartasura karena membantu perlawanan yang dilakukan oleh Untung Suropati. Amangkurat III, oleh VOC dibuang ke Sailon atau Sri Lanka dan akhirnya meniggal di sana.
Setelah membuang Amangkurat III, VOC kemudian mengangkat Pangeran Puger sebagai raja dengan gelar Pakubuwana I. Pemerintahan Pakubuwana I dilanjutkan oleh Amangkurat IV. Setelah Amangkurat IV, pemerintahan dilanjutkan oleh Pakubuwana II. Pada masa pemerintahan Pakubuwana II, terjadi lagi peristiwa pemberontakan oleh Raden Mas Garendi atau yang dikenal dengan peristiwa Geger Pacinan. Peristiwa ini mengakibatkan hancurnya Keraton Kartasura. Akibat dari peristiwa ini juga Pakubuwana II melarikan diri ke Ponorogo. Selama pelariannya di Ponorogo, ia menyusun kembali kekuatan.
Keraton Kartasura kemudian dikuasai oleh Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning yang bergelar Amangkurat V.
Sekitar setahun kemudian, Pakubuwana yang sudah merasa memiliki cukup kekuatan kembali ke Kartasura untuk merebut kembali kedudukannya, sehingga terjadi perang yang mengakibatkan kehancuran Keraton Kartasura.
Karena keraton telah hancur, Pakubuwana II tidak lagi berkenan melanjutkan pemerintahan di Kartasura. Ia kemudian membangun keraton baru di Surakarta, dan Kasunanan Kartasura resmi runtuh sejak saat itu.
Keruntuhan Kasunanan Kartasura yang berakibat dari peristiwa Geger Pacinan ini menarik sekali untuk dibahas. Dalam penuturannya, Bapak Surya Lesmana mengatakan bahwa peristiwa ini adalah peristiwa yang sangat dahsyat. Saat ini, situs Keraton Kartasura tidak dapat lagi kita lihat wujudnya, sebab tidak ada yang tersisa selain pagar tebal yang terbuat dari bata merah. Sisa dari Keraton Kartasura ini sekarang menjadi komplek pemakaman.
Jadi begitulah hasil dari Jelajah Peradaban Mataram Islam sesi kedua. Penjelasan singkat di atas semoga bisa menambah sedikit wawasan kepada teman-teman pembaca semua. Terima kasih banyak kepada Komunitas Malam Museum yang telah menyelenggarakan acara ini. Terima kasih telah mengajak kita untuk mengingat kembali masa lalu yang banyak dilupakan orang. Mari hidupkan sejarah, agar kita menjadi bangsa yang besar. Jas merah, jangan lupakan sejarah!
0 notes
Photo
Kompleks Makam Kotagede. Kitha Ageng (Jawa) atau Kotagede adalah salah satu daerah di Kota Yogyakarta yang memiliki sejaesh panjang. Pada abad ke-17 kota ini didirikan sebagai ibukota Kerajaan Mataram Islam yang pertama, oleh Panembahan Senopati. Sejarah sebagai ibukota salah satu kerajaan islam terbesar itu dapat dilihat jejak fisiknya hingga saat ini, salah satunya adalah kompleks Makam Raja Kotagede ini. Nuansa Hindu dan mistik kejawen sangat terasa di tempat ini karena arsitektur bangunan dan ritual-ritual yang ada. Hal itu terkait dengan fase awal perkembangan agama Islam di Indonesia yang tidak serta merta mengubah budaya pra-Islam di Jawa, atau di Indonesia secara umum. Inilah yang menjadikan budaya Islam di Indonesia unik dan berbeda dari wilayah lain. #linecreativate2017 #unjukkreasilokalmu #regionaljawa @line.indo @faviaveroni @yusrizhal @giffari_erwa
0 notes
Text
Kotagede, Lorong Waktu Menuju Rahim Yogyakarta
Kotagede adalah persenyawaan masa silam dan kini. Yang silam dikenang sebagai pusat Kerajaan Hindu yang disulap menjadi Kesultanan Mataram Islam, tempat singgasana Panembahan Senopati bertahta. Tidak ada batas jelas antara yang lalu dan kini. Tapi yang pasti, kota pusaka ini seolah menandakan peradaban modern terbit kemarin Legi.
Pagi ini Matahari memulas biru langit dengan bias-bias cahaya secara diam. Sinarnya membentuk bayang-bayang pada jalan, dinding bangunan, dan pepohonan yang sejak semalam tua. Saya menyusuri jalanan menuju Kotagede, menyaksikan dan merasakan, bagaimana sinar itu mengubah gelap menjadi hidup secara gaib.
Akiik… akiik… akiiiikkk…
Seruan pedagang datang lebih gempita. Ini mungkin menjadi hari besar bagi warga Kotagede. Minggu yang datang pada pasaran Legi. Pikuknya merambat ke atas, membentuk bias-bias dalam terpa sinar mentari pagi di udara. Likat manusia dan suara lantangnya yang tidak terjadi tiap hari, hanya pada pasaran kedua penanggalan Jawa. Sargedhé, begitu pasar tua itu disebut.
Saya berhenti di depan gelaran lapak pedagang cincin batu akik. “Monggo, Mbak,” sapa ibu pedagang. “Ini batu apa, Bu?” tanya saya seraya menunjuk salah satu batu berwarna kecokelatan. “Mata kucing Mbak,” jawabnya kemudian melanjutkan, “Bagus itu. Warnanya bisa berubah kalau kena sinar sepeti mata seekor kucing.”
Di sisi barat pasar, gelaran lapak pedagang dari mulai hewan unggas, tanaman hias, sampai cincin akik. “Kalau yang ini harganya berapa?” tanya saya akhirnya merujuk kepada sebuah batu berwarna kebiruan. “Tiga puluh ribu sudah sama cincinnya, Mbak.”
Tak perlu lama, si ibu pedagang dengan cekatan memasang batu biru pada sebuah cincin yang telah saya beli. Saya membeli sebuah cincin akik!
Terus berjalan dari sisi barat memutar menuju timur. Keramaian pasar semakin meluber. Pada sisi ini, mustahil kendaraan bisa melintas.
Pasar memang selalu menjadi pusat keramaian. Aktivitas ekonomi yang terbalut dalam interaksi sosial dan budaya dari pelaku-pelakunya. Tidak ada legalitas sosial antara kaya dan miskin. Semua berbaur dalam salah satu pilar Catur Gatra Tunggal.
Di Kuthagedhé —dalam bahasa Jawa kota itu disebut—, ihwal dan peradaban silih berganti.
Di Alas Mentaok, pada abad XVI Kerajaan Mataram Kuno telah runtuh. Yang tersisa dari peradaban Hindu itu hanyalah dongeng yang tak lekang oleh jaman. Hutan itu adalah hadiah Kesultanan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan karena berhasil membunuh Ario Panangsang, musuh kerajaan. Di tangannya, bekas singgasana Hindu itu menjadi sebuah desa kecil yang kemudian mulai berganti dengan kekuasaan Islam, berabad silam.
Saya memutari pasar dari sisi timur kembali menuju barat, lalu terus berjalan ke selatan. Menyusuri kios-kios pengrajin perak dan toko kelontong, sorak-sorai pedagang masih mengalun lembut di udara dan kemudian hilang ketika saya berbelok ke barat, memasuki Kawasan Ndodongan.
Di dalam Kawasan Ndodongan, ada tiga komplek bangunan: Masjid Gede Mataram, Pasareyan Raja, dan Sendang Seliran.
Pasar tidak berdiri sendirian. Panembahan Senopati, anak Ki Ageng, dalam kekuasaannya mendirikan langgar yang berjarak seratus meter di barat daya pasar. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan oleh Sultan Agung, cucu Panembahan Senopati. Oleh Sultan Agung, bangunan inti masjid dilengkapi dengan serambi, kuncungan, jagang, dan pagar batu bata. Pagar dengan gapura paduraksa yang berlekuk-lekuk ramping seperti tubuh seorang dewi, menjulang ke atas. Peradaban baru itu kemudian menjadi besar, mempersatukan sebagian besar tanah Jawa dan Madura.
Melewati paduraksa, saya masuk ke dalam lorong ruang dan waktu abad XVII, ketika Sultan Agung membangun pagar batu bata berciri khas arsitektur Hindu itu. Warga Alas Mentaok yang masih beragama Hindu dan Buddha bergotong-royong menyusun satu demi satu batu bata merah yang direkat dengan air aren, disusun seperti rupa candi.
Setelah melewati paduraksa, berbelok ke kanan pada dinding kelir, saya sampai di komplek masjid. Menebar pandang secara perlahan pada halaman, pada paduraksa dan pagar batu bata, pada tugu jam yang dibangun oleh Paku Buwono X, pada pohon-pohon sawo kecik nan rindang dengan suara desik dahan tertiup angin, pada bangunan masjid. Seorang bapak tua sedang menyapu halaman.
Dari hadapan paduraksa di sisi timur komplek, saya berjalan sedikit ke sisi utara. Meraba lembut batu bata merah yang menjulang ke atas setinggi dua setengah meter, mengelilingi sejenak lalu berjalan menuju pagar putih masjid.
Masuk ke dalam area masjid, melalui area kuncungan hijau tua seperti warna khas Yogyakarta, dengan ornamen keemasan kaligrafi, melewati jagang yang berada di bawahnya, kolam sebagai batas suci. Jagang itu dulunya adalah parit yang mengelilingi bangunan masjid sebagai tempat aliran air wudhu. Kali ini, ada tiga ekor ikan tampak berenang di dalam jagang.
Jagang bersilih dengan bagian serambi. Saya duduk di dalam serambi, mengamati eloknya bangunan ini. Delapan saka guru berdiri gagah, memegang kendali pada balok-balok di atasnya. Saka guru itu tertopang pada umpak batu padas berwarna hitam. Ada pula ornamen kuningan pada kaki masing-masing tiang, seperti mengenakan binggel.
Delapan saka guru itu diikat oleh dua balok dengan besar yang sama. Mereka saling tumpu. Usuk dan reng tak mau kalah berpautan di atasnya, membentuk rangka-rangka atap limasan. Ada pula kayu yang diukir kaligrafi. Lima pintu kayu yang tak kalah menawan berjajar pada dinding putih bangunan induk masjid. Bagian tengah ukurannya lebih besar dari pada lainnya.
Angin berhembus silir-semilir. Mengibarkan malai rambut pada wajah. Teduh sekali tempat ini, gumam dalam hati. Si bapak masih asyik menyapu halaman. Saya beranjak menuju bagian dalam masjid. Berdiri pada bagian belakang pawestren, mengamati dengan diam. Bagian dalam bangunan utama masjid tak kalah anggunnya dengan serambi. Malah lebih menawan. Empat saka guru yang lebih besar dari yang pertama berdiri gagah perkasa menggurui lainnya, seolah ingin menghidupi makhluk lain yang berada di bawahnya. Pada bagian tengah sisi barat, terdapat mihrab kayu dengan semarak ukiran, hadiah dari Adipati Palembang kepada Sultan Agung. Saya mengamati satu per satu bagian dengan seksama, bangunan cantik ini adalah mutiara Yogyakarta.
Selesai pada bangunan masjid, saya beranjak keluar menuju halaman. Sepintas saya melihat bapak tua sedang duduk di depan pagar putih masjid. Mengamati gesturnya dalam diam, tubuhnya mungkin renta, tetapi tekadnya perkasa. Di matanya tampak kecintaan pada tanah kelahirannya, pada halaman yang ia sapu tiap hari.
“Mlebu nang kana, nang sendang,”¹ ucapnya lantang dengan bahasa Jawa seraya menunjuk pada paduraksa lain di sisi selatan. Saya berjalan menghampiri dan membalas ucapannya dengan bahasa Jawa yang terbatas, “Saget mlebu, njih, Pak?”²
Bapak tua itu kembali menjawab, “Saget. Nek makame mboten saget, nang halamane wae.”³
“Njih, Pak. Suwun.”⁴ jawab saya kemudian.
Mengikuti anjuran bapak tua untuk masuk menuju sendang. Melewati paduraksa kedua di sisi selatan ada taman yang cantik dengan dua bangunan rumah tradisional Jawa di sisi timur laut dan selatan. Cicitcuit burung terdengar riuh. Tentram rasanya.
***
Tempat ini bagaikan labirin. Labirin batu padas dan bata. Labirin dengan taman indah dan cicitcuit burung. Labirin dengan eloknya paduraksa dengan daun pintu kayu yang tak kalah memesona.
Paduraksa ketiga ini tampak lebih megah dari lainnya. Bukan tanpa alasan, karena kali ini saya sudah masuk ke dalam halaman depan Pasareyan Raja. Ya, halaman saja.
Pada halaman ini, ada dua bangunan rumah tradisional Jawa dan dua bangsal. Dua bangunan pertama sebagai rumah tinggal dan tempat mengurus administrasi dan dua bangsal terakhir sebagai tempat istirahat para peziarah yang datang. Di sisi paling barat setelah dua bangsal, ada paduraksa putih tinggi dengan daun pintu kayu besar. Pintu tertutup. Itulah pintu masuk ke Pasareyan Raja. Sesajen ada di setiap sudut. Pohon-pohon besar berdiri menghalau panas. Halaman kali ini dijaga oleh tiga abdi dalem. Saya melepas pandang pada halaman ini, lagi-lagi seperti masuk ke dalam lorong waktu berabad silam; seperti set sebuah film kolosal!
“Monggo, Mbak. Silakan isi buku tamunya.” sapa ramah salah satu abdi dalem. Saya berjalan menghampiri bangunan di sisi selatan. Mengisi buku tamu dan memasukkan sejumlah uang untuk dana pemeliharaan.
Matahari semakin menyengat sinarnya. Saya memutar pandangan pada halaman yang sangat kental akan akuturasi budaya.
Berada di dalam Sendang Seliran, lagi-lagi saya kembali masuk ke dalam abad XVI, ketika putri dan dayang-dayang mandi di Sendang Putri dan para pangeran di Sendang Kakung. Mereka berkecipak bermain air yang keluar dari dalam sumbernya. Cipak air yang disertai derai tawa dan senda gurau. Suara-suara yang kemudian berbaur di udara. Tetapi kini, sendang itu adalah rumah bagi ikan-ikan yang sengaja dipelihara. Ikannya besar-besar. Ada ikan lele yang besarnya melebihi paha saya.
***
Duduk di dalam bangsal, dinaungi pohon-pohon besar dengan semilir angin yang memburai helai rambut, berpijak pada tanah Yogyakarta dengan seribu satu catatan sejarah. Menemukan surga yang tersembunyi di sudut timur Kota Yogyakarta.
Surga di sini bukanlah putihnya pasir pantai Wonosari dengan ombak yang mengulun indah, bukan hamparan bukit hijau Pegunugan Menoreh, tetapi surga di sini adalah pasar tertua Yogyakarta yang dibangun pada abad enam belas, adalah masjid dengan struktur kayu jati yang dibawa langsung dari Blora, adalah dinding-dinding batu bata merah tua nan perkasa. Lingga peradaban yang menjadi legalitas Yogyakarta sebagai kota pusaka. Surga dalam satu fragmen sejarah Indonesia.
Jangan ragu untuk berkenalan dan becakap dengan surga sejarah itu. Singgahlah sejenak ke Kotagede pada pasaran Legi. Kalian bisa berwisata mengunjungi #SurgaTersembunyi yang berada di bekas ibukota Negara Indonesia ini. Datanglah pada pagi hari, selain sinar matahari masih hangat, lupis dan cenil dengan guyuran kuah legit gula jawa, yang dijual oleh seorang nenek di depan pintu masuk pasar masih tersedia. Boleh juga kalau ingin membeli batu akik seperti saya.
Kalian bisa memantau harga tiket pada laman Tiket.com. Tidak hanya transportasi, di Tiket.com juga bisa memesan akomodasi.
Karena bagi saya, berjalan pada gang-gang kecil dengan suasana perkampungan jaman dulu dan berujar, “Nderek langkung,”⁵, tersenyum sembari menganggukkan kepala sedikit kepada warga sekitar yang bercengekarama di depan rumah, bisa menghadirkan kebahagiaan tersendiri. Barangkali juga bisa berfoto bersama.
Sementara, Kuthagedhé adalah rahim. Tempat benih bernama Yogyakarta lahir dan berkembang, alas pertama.
¹ “Masuk ke sana, ke sendang.”
² “Bisa masuk, ya, Pak?”
³ “Bisa. Kalau makamnya tidak bisa, hanya di halaman saja.”
⁴ “Baik, Pak. Terima kasih.”
⁵ “Numpang lewat,”
#kotagde lorong waktu menuju rahim yogyakarta#kuthagedhe#kotagede#pasar legi kotagede#masjid besar mataram kotagede#sendang seliran#pasareyan raja#surga terembunyi#kawasan ndodongan#yogyakarta#ngayogyakarta
1 note
·
View note