Tumgik
menikmatimakna · 7 years
Text
KPOP STUDY PLAYLIST
A playlist of soft piano covers and instrumentals that you can listen to while studying! 
BTS RM - Life(생활) - Instrumental
GOT7 - Let Me - Instrumental
LEE HI - 한숨 (BREATHE) - Piano Cover
2NE1 - 안녕 (GOODBYE) - Piano Cover
DAY6 - 예뻤어" You Were Beautiful - Piano Cover
BTS Jimin “Serendipity” - Piano Cover
Wonder Girls) - (DRAW ME) Piano Cover
GOT7 “You Are” - Piano Cover
EXO - (The Eve) Piano Cover
SUNMI) - 주인공 (HEROINE) Piano Cover
Wanna One "Beautiful” - Piano Cover
SEVENTEEN “박수 (CLAP)” - Piano Cover
DAY6 - I Loved You - Piano Cover
GOT7 - 니가 하면 (If You Do) - Piano Cover
iKON - 사랑을 했다 (Love Scenario) Piano Cover
Jonghyun - Lonely (Feat. Taeyeon) - Piano Cover
SEVENTEEN - Don’t Wanna Cry - Piano Cover
IU “이런 엔딩 (Ending Scene)” - Piano Cover
MONSTA X “Beautiful (아름다워)” - Piano Cover
(BTOB) - 그리워하다 (Missing You) Piano Cover
BTS - Spring Day - Piano Cover
Wonder Girls - Why So Lonely - Piano Cover
GOT7 - Fly - Piano Cover
Red Velvet - (Peek-A-Boo) (Ballad Ver.) - Piano Cover
BLACKPINK - STAY - Piano Cover
JJ Project - Tomorrow, Today - Piano Cover
WINNER (위너) - FOOL Piano Cover
DAY6 - (I Like You) Piano Cover
EXO (엑소) “Ko Ko Bop” - Piano Cover
DAY6 데이식스 - Letting Go - Piano Cover
Red Velvet - Bad Boy - Piano Cover
Taeyang - Eyes, Nose, Lips - Piano cover
2NE1 - Come Back Home - Piano Cover
GOT7  “Never Ever” - Piano Cover
TAEYEON 태연 - I (feat. Verbal Jint) - Piano Cover
BTS (방탄소년단) - Butterfly - Piano Cover
GOT7 - You Are Lullaby + Autumn Rain Ver.
(SEVENTEEN) - (Without You) Piano Cover
Red Velvet - Blue Flavor (Red Flavor Sad Ver.) Piano Cover
5K notes · View notes
menikmatimakna · 7 years
Text
Kedai Teh
Terakhir kali kuingat, dingin menembusku seperti peluru. Di sebelahmu lalu aku bertanya, "apa tidak apa bila aku bersandar?" Matamu seakan mengangguk ragu. Namun, tetap diseretlah kepalaku ke bahumu.
Petir menggertak jantungku. Kemarin lusa aku yang telah beku semakin remuk seperti terpukul batu. Kau juga begitu. Namun tetap kau hampiri aku. Menata lagi keluh pilu bersama air mataku.
Kau menghapusnya. Metafora mana yang sanggup menggambarkannya. Tindakanmu bahkan terlampau melebihi hiperbola.
Secangkir teh adalah pengikat mulut agar tak bungkam. Ia menghilangkan aksara. Menghentikan jam manusia yang membuat kita sama-sama terbatas.
Kedai membina ruang abstrak. Hanya dihuni kamu dan aku. Kita sama seperti mereka. Hanya menyewa rumah yang masih jadi andai-andai.
Secangkir teh itu kini kuseduh sepanjang hari. Aku tak ingin kalah dalam pertarungan ini. Dingin itu, biar menembusku. Asal jangan merusak teh ini.
Buru-buru kuteguk dan kubiarkankan itu jadi satu-satunya cara menghadirkanmu. Kamu tak datang dalam pandangan. Aku pun cukup merasa dalam kenangan.
Semoga secangkir teh ini tak pernah padam. Biar punyamu saja. Yang sepertinya sudah dingin, basi dan siap kau tinggalkan.
1 note · View note
menikmatimakna · 7 years
Text
Jual Beli Bahagia dalam Kemasan
Bahagia sekarang, bukan lagi pekara sederhana. Standar kebahagiaan manusia telah mengalami peningkatan.
Memang, kita mendapat likes di setiap unggahan foto di akun media sosial. Sesaat kita bahagia, namun saat melihat feed kita tidak se-rapi teman. Keesokan harinya kita harus menatap layar gawai satu hingga dua jam untuk merapikan feed Instagram, berpose lebih menawan dan tak lupa menenteng perkakas mahal nan kekinian. Iya, kita berkumpul dengan keluarga. Namun, ketika tahu makanan keluarga lain lebih enak dan mewah, kita pun kemudian merasa kecil. Sebagai anak, prasangka "mengapa aku tak bisa membahagiakan kedua orang tuaku?" kemudian muncul. Di satu sisi yang lain, para orang tua merana. Anaknya tak dapat makanan bergizi seperti keluarga lain, atau seperti standar yang disiarkan di televisi. Hanya nestapa yang kemudian menyapa, meninggalkan bahagia yang tiba-tiba terbuang entah kemana.
Lusa, kita membeli susu sambil mengisi ulang kuota. Anak kita yang masih polos merengek dibelikan mainan. Kita belikan, kemudian ia berkata terimakasih. Raut bahagia terlukis di muka anak-anak kita. Gawai berisi kuota penuh menggoda minta dibuka. Kemudian kita berselancar, membuka lini masa yang penuh dengan bayi-bayi lucu. Tawa mereka terekam kamera, tingkah polos mereka mengundang tawa, diiringi dengan latar belakang mewah karena orang tua mereka artis dan aktor ibu kota. "Andai aku anakku selucu itu," kita lagi-lagi memohon iba. "Nak, gimana tadi ngomong terimakasihnya. Ulangi ya, nak. Mau Ibu rekam" "Nak, tertawalah! sebelum tawamu tak masuk Instagram." Saat anak kemudian susah diatur, rewel, atau bahkan membangkang, berani-beraninya kita berkata, "kenapa anakku tak sperti anak mereka?"
Pikiran dan perasaan kita telah berubah. KKM kebahagiaan yang dipatok dunia kian tinggi. Kesdihan, galau dan nestapa kian berkembang biak. Seolah kebahagiaan adalah jarum dalam jerami, ia harus dicari. Kebahagiaan, konon tak mau mendatangi.
Konsep mencari kebahagiaan itulah yang akhirnya menjadi komoditas seksi. Bahkan mungkin istilahnya bukan mencari kebahagiaan lagi, tapi membeli. Sama seperti kita, manusia, yang harus membeli air. Produsenmenggoda kantong kita dengan melabeli kemasan dengan kandungan ini itu. Dari air yang sehat, segar hingga manis. Kemasan dibuat minimalis, elegan hingga nasionalis. Setelah air, kebahagiaan lalu apa lagi? Udara?
Komoditas kebahagiaan yang paling mengguncang ialah lahirnya budaya korean pop (K-Pop).
Di pagi hari hingga larut malam kita bekerja. Tak jarang dalam renggang waktu itu kita bersitegang dengan sesama manusia. Saling sindir di insta-story maupun perang di kolom komentar. Kegiatan membenci dan jadi partisan suatu kaum tertentu sudah jadi aktivitas rutin. Menjadi tertekan, rumit dan penuh masalah barangkali sudah bukan jadi pilihan lagi. Hal itu sudah dipluntir sedemikian rupa sehingga menjadi tertekan, rumit dan penuh masalah adalah barang biasa yang menjadi kebiasaan sekaligus kewajiban.
K-Pop kemudian dengan cerdas mencetak manusia, maksudku, mesin-mesin kebahagiaan. Kecantikan, ketampanan dan kesempurnaan mereka adalah taman impian bagi kita. Tingkah keren dan lucu mereka adalah lumbung kebahagiaan kita. Membuat hati kita terguncang namun di waktu yang sama juga merasa bahagia.
Siapa yang mau membeli album, bersama lightstick, poster dan tiket konser jutaan rupiah kalau bukan orang-orang pencari kebahagiaan? Kita ini bahagia kalau oppa dan oenni juga bahagia disana. Gila bukan?
Mereka benar-benar memberikan apa yang publik mau, yaitu kebahagiaan dengan kemasan yang ciamik serta varian rasa yang berbeda tiap harinya.
Orang dulu pernah berkata, kalau kau minta kebahagiaan pada Tuhan, Ia akan memberinya. Kalau kau sedih, cerita saja pada Tuhan, Ia akan mendengarmu dan memberimu ketenraman hati. Kalau kau ingin rejeki, mohon-lah pada Tuhan lagi.
Namun, hal-hal yang gratis semacam itu malah sulit untuk dilakukan. Mungkin publik sudah tak ingin barang-barang murahan. Logika pasar berkata, “harga tidak pernah berbohong”. Kebahagiaan yang disguhkan Tuhan mungkin terlalu murah. Tidak iri hati, berbaik sangka, memiliki teman baik, merasa berkecukupan dan lapang dada adalah kebahagiaan yang mungkin siap untuk dimuseumkan.
“Bahagia itu rumit, Tuhan. Kau tidak akan mengerti,” pekik seorang dalam do’anya.
1 note · View note
menikmatimakna · 7 years
Text
(Lagi-lagi) Renungan Soal Hijau...
Sungguh, betapa malunya pengelola bonbin Njurug berikut satwanya. Sudah sepi, (nyaris) tutup, tandus, susah cari makan, kini disuruh bersaing dengan lampion dan kehijauan kampus sebelah. Si harimau, buaya sama kuda nil cuma bisa nyium kehijauannya saja. Setidaknya, “aku mati disebelah kampus yang tampak merawat kehijauan dan tetek bengeknya,” begitu testimoni imajiner si singa.
Memang satwa-satwa yang mati bukan ancaman krusial yang dibawa-bawa aktivis hijau di kampus. Karena nyatanya, akhir bulan lebih mencekik daripada bahaya global warning. Uang PPA dan Bidikmisi yang tak kunjung turun juga lebih mengkhawatirkan daripada penambahan jumlah kendaraan bermotor di parkiran kampus. Melihat rompi hijau polisi dari jarak lima meter saja, sudah pasti hati jadi deg-degan. Jadi sebenarnya, agak sayang tenaga kalau pak Rektor menyeru bahaya perubahan iklim. Kehijauan polisi tetap ancaman utama mahasiswa – pembeli rica ISI – tanpa helm dan SIM. Apalagi kalau sudah bidikmisi, ditilang dan akhir bulan lagi. Kelar hidupmu.
Kesimpulannya, polisi dan hijaunya lebih khas duluan. Kampus sudah kalah, tapi tetap saja rektor dan jajarannya mau mengganti lampu (yang konon hemat listrik), mengoperasikan bus listrik (berwarna hijau), serta mau ngos-ngosan menyuruh mahasiswa yang nyaris lulus menanam pohon. Itu ibarat doi yang terus kamu pepet walaupun sudah jadi milik orang lain.
Alih-alih merebut, malangnya, green campus ini malah ketikung lagi. Kalau diibaratkan brand, hijau kini sudah diklaim orang lain. Gerakan green campus sudah ketikung sama jaket ojek online. Harapan punggawa green campus buat menjadikan warna ‘hijau’ jadi sekelas Starbucks atau Supreme sudah gagal. Hijau kalau nempel di kaos, ya dari jauh kesannya cuma ada dua.  Kalau bukan rektor yang sedang senam atau nyangkul, ya pasti itu ojek online!
Saran saja buat pengelola green campus. Untuk mengembalikan pesan keteduhannya, jangan pilih duta yang hanya hafal nama-nama pohon. Tapi juga asma-asma Tuhan apalagi yang fasih melantunkan dalil asmara. Wes pasti akhi-ukti dengan keteduhannya itu, lho. Atau para influencer yang instasory-nya sampai penuh titik-titik, misalnya. Kalau penikmat Nostress, Sisir Tanah, Via Vallen, NDX apalagi FISIP Meraung yang fasih misuh-misuh dan hobi jogedan, langsung coret saja dari ciri-ciri keteduhan. Jauh.
Kalau perlu, kampus perlu kerjasama dengan ojek online. Memang ditikung itu sakit, tapi terpuruk terus-terusan juga tidak baik. Jadi mending galakan kuis atau sayembara yang hadiahnya gratis muter-muter sama abang ojek online (yang ganteng). Syukur-syukur juga dibelikan voucher antar makanan. Hijau, teduh dan untungnya sama-sama dapat. Mahasiswa dari segala kasta pasti senang, bisnis kampus juga tetap jalan. Kemudian yang tercipta adalah keteduhan kuadrat.
Itu baru namanya logika pasar milenial. Kampus pun sudah menyadari, lho, sebenarnya. Tapi kok ya setengah-tengah. Apa masih terbeban moral dan gengsi? Kalau memang yang dicari keteduhan, tidak usah pakai baliho-baliho hijau atau video trone (gambar dekstop windows plus smadav) di depan kampus. Kasihan, mahasiswa juga bisa bosan dengan pajangan jempol pak rektor berikut jajarannya.
Soal keramahan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim, pak Rektor juga kurang gas pol. Terutama nama-nama iklim sekarang yang sudah serba keren kecuali laman Siakad. Daripada terus menerus cetak KRS yang akhirnya hilang ditangan mahasiswa, mending uang ngeprint KRS mahasiswa se-kampus ditabung. Cukup buat memperbaiki laman Siakad yang sudah tidak enak dipandang sejak tahun 2006.ta
Ibarat laki-laki yang hanya mencintai wanita lewat parasnya saja. Inilah akibat green campus yang tak sebegitu filosofis dan ngilmiah. Lha wong, penutupan acara masih sering pakai penerbangan balon-balon gas ke udara. Kan kasian burung sama ikan di laut. Kalo keselek balon kan yang rugi juga kita. Sudah sering kecanduan micin, masak makan protein juga perlu kecampuran plastik.
Yowis-lah. Namanya juga ikhtiar. Seperti aku yang termakan rayuan, “Gapapa, gak perlu menunggu baik hatinya dulu untuk pakai hijab. Mulai dari pakaian turun ke hati.”
Konsekuensinya, kalau ‘pakaian’ dulu yang diperbaiki niscaya tekanan yang diberikan akan lebih berat. Berani menunjukkan identitas, berarti harus membuktikan isi. Ya, semoga aku dan kampus kuat menahan tanggung jawab ini. Siapa tahu ini adalah sebuah pecutan agar kampusku besok bisa beralih fungsi jadi hutan lindung, pusat pengembangan tanaman dan hasil tani, perlindungan flora fauna atau mungkin jadi kanopi kota Solo. Kan sangar, ya tho?
0 notes
menikmatimakna · 7 years
Quote
Kamu hadir, aku permisi dan begitu sebaliknya. Masihkah ini berarti cinta? Atau hanyalah perebutan kuasa atas dirimu dan diriku?
yang beku dan cair begitu mudah
1 note · View note
menikmatimakna · 7 years
Photo
Tumblr media
Diambil saat menikmati tirakatan - yang seharusnya tidak nikmat. Jika RT sebelah merayakan dengan suara keras kendang dan suling. Serta goyang dumang dan kawan-kawan. Disini cukup menghapus bosan dengan gawai, internet dan kawan-kawan. 2017, 16 Agustus.
1 note · View note
menikmatimakna · 7 years
Quote
Setiap hembusan nafasmu adalah puisi Bisa kau lebihkan Bahagia maupun sendunya Sesuai dirimu Kehendakmu Karena hidup adalah puisimu
Yang sedang mencoba hidup
1 note · View note
menikmatimakna · 7 years
Quote
Bilang saja pikiran ini ragu akan keberadaan Tuhan. Hingga suatu ketika kau sadar: darimana kau bisa meragukan Tuhan padahal engkau sendiri tak pernah ingin tahu makna Tuhan
Fiktif
1 note · View note
menikmatimakna · 7 years
Text
Sampah
Hidupku tak jauh dari makna sampah Inilah aku yang sampah Terkadang pula Aku pendaur ulang Tapi lebih sering Aku sebagai penglihat dan memungut saja Mengamati barangkali tidak begitu sampah Barangkali mataku salah Pikiranku jernih Hati ku bersih
Sayangnya Kaca tak pernah utuh Serpihan demi serpihan Terserah ditendang orang macam macam
Lagipula Kaca tak pernah jernih Tertutup ludah dan berak manusia Yang tinggal hanyalah noda
Kaca jadi tak akur dengan sampah Menengok pun tak mampu Sampah jadi tak sadar dirinya adalah sampah Pemungut tak memberitahunya Yang lalu lalang diam menutup bau
Menanti langit membisikan suara Kau adalah sampah
0 notes
menikmatimakna · 7 years
Quote
Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.
Nyai Ontosoroh
0 notes
menikmatimakna · 7 years
Quote
Indahnya harapan bersama Tuhan
Dalam keseriusan malam
0 notes
menikmatimakna · 8 years
Quote
Di tengah kesibukan kota, seorang ayah berjalan pulang dengan gerobak Cilok yang laris manis. Memang sesekali Tuhan datang untuk memantik rasa syukur
Kebahagiaan antara gemuruh klakson dan asap kenalpot.
0 notes
menikmatimakna · 8 years
Text
Berada dalam Foto
Cangkir bukanlah suatu benda, akan tetapi sebuah peristiwa. Para ahli fisika modern menceritakan kepada kita bahwa cangkir terbuat dari tirlyunan elektron dalam gerakan yang konstan, perubahan yang berlangsung terus menerus. [..] tidak ada seorangpun yang pernah melihat cangkir secara keseluruhannya, serentak pada satu ruang dan waktu. Bagaimana proses ia dibuat hingga dapat terpecah belah. Kata cangkir adalah salah satu contoh sebuah konsep, ringkasan dari jutaan partikel yang memiliki kemiripan penampakan dan fungsi.
Ternyata apa yang bisa kita lihat, bukanlah apa yang kita lihat.
- Niel Postman (2002)
Postman memperluas pemikirannya dengan membawa cangkir. Dalam pemaknaannya yang menyoal cangkir, dapat kurasakan begitu berdosanya menunggalkan makna. Bahkan bagiku, makna tak boleh diimbuhi kata sebuah, perlu dua tiga dan semakin banyak lebih baik. Pemerkosaan makna ialah kejahatan pikiran, terlalu sering mendogmakan istilah ialah salah satunya.
Maka, aku ingin memaknai ihwal berfoto seperti Gusdur memaknai orang dari segi baik dan buruknya.
Imlek di tengah Kota Solo, menghadirkan ramai yang sebenarnya sepi. Simbolitas ramai ialah orang-orang yang berdesakan, sedang simbolitas sepi adalah gawai-gawai yang menawan. Mungkin aku adalah salah satu pelaku sinisme atas berfoto dan berswafoto. Namun tak terlalu fundamentalis kurasa, aku bahkan tak mau bila melulu dikaitkan dengan penyembahan Post-mo.
Berfoto ialah suatu kebahagiaan sederhana yang menyentuh sejuta umat. Seperti telolet yang menggema dimana-mana, Indonesia tak perlu repot meraih segudang prestasi olahraga, teknologi maupun keilmuwan untuk tersenyum. Seidaknya di depan kamera.
Entah mereka tahu atau tidak jerih payahnya di korupsi, keluarganya sedang digunjingkan tetangga, atau pekerjaan yang belum sepenuhnya rampung, yang jelas semangat untuk berpose di depan kamera sudah layaknya obat penenang jangka pendek. Berswafoto dikalangan rival politik maupun bisnis tak jarang dianggap ‘menyudahi’ masalah. Simbolitas kerukunan dan tentu saja kebahagiaan.
Apalagi mengunggahnya di media sosial, mendapat pujian dengan kata ‘cantik, ganteng, keren dll’ sejenak membuat kita melambung. Menyelesaikan pekerjaan rumah, mencapai target kerja atau mencari upah tak pernah se-asik berfoto. Kalaupun dapat dibandingkan, kepuasan dalam berfoto sering kita dapatkan dibanding pencapaian dalam sekolah dan bekerja.
Di tengah keterbuaian masyarakat dengan foto, yang lebih perlu dimohonkan adalah jeda waktu berfoto itu tak dimanfaatkan pemilik negara untuk neko-neko namun sebagai kesempatan untuk memperbaiki negara selagi rakyat tersenyum-senyum sendiri.
Berfoto bisa jadi kebahagiaan yang privat, dapat juga kolektif, yang jelas selalu terbatas. Terkadang demi mendapatkan foto yang diprasangkai bagus, seoarng kameramen rela maju-mundur begitu saja. Biar cahaya dan jaraknya pas, hasil pemotretan pun tak begitu mengecewakan. Namun tak jarang menyenggol bahkan tak jarag menabrak orang berjalan, mengganggu pengguna jalan dan yang jelas tidak meminta maaf. Semua demi potret diri yang layak dipuji.
Menghasilkan sebuah foto pun perlu pergunjingan, kadang karena tak sengaja berdiri dibelakang sang model, pengguna jalan tak luput dari umpatan-umpatan karena memberikan ‘noise’ pada sebuah foto. Kebocoran pada foto didakwa sebagai keslahan yang tak berfoto, yang tak jarang orang-orang tua, pedangang kaki lima, pejalan kaki dan anak-anak. Yang menyebabkan kebocoran selalu didakwa tak tahu diri bahwa ada kepentingan paling penting yaitu: Berfoto.
Foto yang konon mendekatkan dapat pula menjadi bumerang yang merenggangkan kata permisi, maaf dan terimakasih. Ia bukan cuma selembar ekspresi, baik sedih, senang, konyol maupun saru. Foto dapat pula melambangkan masa dan etika, dapat pula hasil pergunjingan maupun ketidak sengajaan. Foto merupakan kenangan, ia sebagaian kecil dari pikiran dan perasaan. Namun foto dapat membantu kita memaknai peristiwa. Mak, butuh banyak foto untuk merangkai sebuah keadaan, butuh waktu untuk memaknai sekitar.
Mari banyak berfoto dengan keadaan.
1 note · View note
menikmatimakna · 8 years
Quote
Ada yang menarik dari percakapan Jesse dan Celline dalam film Before Sunrise: Jika kita bertanya Tuhan ada dimana, maka diantara kita inilah Tuhan berada. Lalu ketika aku sedang sendiri, bergumam, berpikir, atau membaca dalam hati, selalu kudengar suatu suara dalam diriku. Apakah itu Kau, Tuhan?
Tulisanku tak lebih dari bualan manusia.
1 note · View note
menikmatimakna · 8 years
Quote
Tuhan mengirimkan pesan kebenaran melalui suara kepada Nabi dan Rasul. Manusia biasa disisakan aksara untuk dibaca, dipikirkan dan dipahami. Bukankah aksara mengandung banyak makna? Karena ketika kita membaca, yang kita tahu hanyalah makna tanpa intonasi atau gestur dari sang penulis. Suara Tuhan Yang Esa tidak multitafsir, tapi penulisan manusia atas ke-esaan Tuhan?
Yang Meragukan Keaksaraan Ajaran
1 note · View note
menikmatimakna · 8 years
Text
Paradoks dalam Kita
Selalu ada dinding besar diantara ‘Kita’.
Kata ‘Kita’ biasanya diucapkan sebagai satu kesatuan, namun nyatanya selalu dibatasi dengan simbol pengurangan (-) dan tanda pembatas (-)
Ki-Ta.
Jika dilahirkan sebelum 1440, aku akan merenung dan menuliskannya pada suatu kertas dengan pena berbulu runcing dan bertinta pekat. Seperti Winston dalam novel 1984 (George Orwell, 2016), lalu aku menaruhnya dalam laci usang sehingga aku tak disimpulkan sedang melakukan ‘Kejahatan Pikiran’. Sayangnya, aku tercipta setelahnya, kemudian sampailah aku di depan komputer jinjing dengan segala godaannya.
Maksudku, dunia akan lebih baik karena ada orang seperti mu .. yang berpendidikan dan bisa berbicara lantang – Jesse, Before Sunset (Richard Linklater, 2004)
Celline bekerja di sebuah organisasi lingkungan. Ia melihat kelaparan dan kehausan yang dapat dicegah tapi nyatanya tetap ‘dibiarkan’ oleh banyak orang. It is like a life’s rule. Mereka kemudian berbicara tentang industrialisasi yang dipindahkan ke negera berkembang dengan upah rendah bagi penduduknya yang – juga – dianggap rendahan. Tapi bagi sebagaian orang barat perubahan itu membuat adagium: World is better than before menjadi populer. Dan Celline berteriak keras atas ketidaksamaan realitas yang ia alami. Better hanyalah kata-kata yang digunakan imperealisme dan kapitalisme untuk menghalalkan keserakahan ekonomi mereka.
Terlalu jauh untuk membandingkan percakapan antara Jesse dan Celline di Paris dengan apa yang terjadi pada bangsa ini. Negeri ini tak setenang cafe di Paris untuk sekedar ngobrol tentang kenaikan harga cabai dan dugaan penodaan agama dengan kepala dingin. Tersisa angkringan mbois, tak lagi murah nan sepi diskusi. Kita terbatas oleh lampu padang-jingglang yang cantik dan menarik untuk di foto. Koneksi internet bak sekat bagi nyata. Sadar maupun tidak, ke-kita-an dan kemanusiaan kita lebih mahal dari koneksi wi-fi yang gratis. 
Bangsa ini sedang diguncang oleh ketidaknyamanan hidup berdampingan. Kata Facebook, kita semua di dunia yang terhubung. Kalau di Indonesia kita terhubung (dengan ada makna terselubung). Jiwa komunalitas - kebersamaan - yang dikatakan Ariel Heryanto melekat pada bangsa kita yang berkiblat komunikasi lisan sudah bukan komunalitas yang universal, melainkan terpisah antara sekat homogenitas.
Umat beragama ramai-ramai menyerukan untuk bersembayang pada sesamanya, mengingatkan keberadaan surga yang damai dan neraka yang mengancam. Namun agaknya lupa untuk tidak menjerumuskan umat lain ke nereka.  Tapi kita akan mendadak plural untuk urusan naik jabatan atau memperbaki status ekonomi.  Namun karena seiring dengan rusaknya alam dan kerapnya bencana, orang kembali menjadi sibuk mencari jalannya ke surga.
Selain itu, ada masalah lain yang sedang seru-serunya dijadkan headline berbagai media. Keberadaan berita bohong (hoax) yang konon meresahkan masyarakat dan - sebenarnya - keberadaan media arus utama. Hoax yang disasarkan kepada media internet, menjadi angin segar bagi media arus utama yang terancam pudar oleh keberadaanya. Semua orang rama-ramai menyelamatkan diri dari ketertipuan akan sebuah berita. Padahal dari berita manapun jika yang diketahui hanya dari satu perspektif atau satu berita, sama saja: kamu telah dibohongi ‘pakai’ kata berita itu sendiri. Penistaan informasi!
Dunia terbagi menjadi dua, antara yang berteriak retoris atau intelektual pasif. Yang berteriak cenderung reaktif dan impulsif sedangkan yang intelek cenderung nyaman dengan keilmuannya sendiri. Mereka sama-sama muak sehingga memilih jalan terpisah dalam memaknai kehidupan. Sehingga tersisalah remahan manusia tak acuh, memilih menikmati hidup dan tergerus arus zaman yang berada diluar kedua golongan tersebut.
Kita tak pernah menjadi kita untuk berpendidikan sekaligus berteriak lantang. Lalu muncullah orang-orang sepertiku dan Winston yang hanya berani menyimpan catatan di laci.
0 notes
menikmatimakna · 8 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Mereka menikmati tujuannya, bukan prosesnya - Celline, Before Sunrise ( Richard Linklater, 2004)
0 notes